K ota Tlemcen, di belahan barat Aljazair dekat perbatasan Maroko,

K ota Tlemcen, di belahan barat Aljazair dekat perbatasan Maroko,

merupakan kota yang paling banyak walinya. Jumlah wali yang demikian besar sepanjang sejarah membuat kota ini disebut “kota yang dijaga dengan baik”. Kota Tlemcen senantiasa memberikan penghormatan kepada para laki-laki dan perempuan yang mempunyai kelebihan itu, yang sejak dahulu melindungi kota ini dari penakluk-penakluk asing. Di antara wali yang paling terkenal, dapat disebutkan Sidi Daoudi, Sidi al-Haloui, Sidi Boumediène, dan Lalla Setti… Berbagai buku telah ditulis tentang wali-wali itu, misalnya karya Ibn Meryem (1908). Sidi Boumediène dianggap sebagai wali pelindung (mo ūl al-bl d) kota Tlemcen sejak beliau meminta dikuburkan di kota tersebut ketika merasa bahwa ajal telah datang menjemput dalam perjalanannya ke Marakesh.

Kompleks makam Sidi Boumediène terletak dua kilometer di timur kota Tlemcen, tepatnya di desa kuno al-Eubbad, yang kini sudah berubah menjadi salah satu kampung dalam kota. Menurut G. Marçais (1950), nama desa ini mungkin berasal dari sebuah rib t kuno, yaitu rib t al-eubb d (rib th al-‘ubb d, pondok para pemuja) yang didirikan di bagian rendah dari desa itu, tempat pendiri dinasti Almohad (al-Muwahhid ūn) berkhalwat, atau mungkin berasal dari nama wali pertama desa tersebut, yaitu Sidi al-Eubbad. Karena memiliki banyak kuburan dan makam wali, al-Eubbad dinamakan “Kota orang mati”.

Di bagian timur kota Tlemcen ada jalan mendaki menuju makam Sidi Boumediène melewati sebuah kuburan, yang merupakan tempat favorit kaum perempuan untuk berjalan santai, dan berbagai makam lainnya: makam seorang kadi masa lalu, makam Sidi Bou Ishaq al-Tayyar,

Sossie Andézian

dan makam ahli ilmu kalam (mutakallim) al-San 1 ūs (disebut Snousi) . Dari jauh tampak menara masjid serta atap-atap banyak sisi dengan genteng

hijau mengkilat yang menjorok di atas atap rumah-rumah al-Eubbad yang dibangun bertingkat. Di pintu masuk desa, di tengah alun-alun kecil, terlihat sebuah bangunan persegi yang konon menampung sisa-sisa jasad Sidi al-Eubbad. Di sebelah kanannya terdapat masjid Sidi Boumediène berikut bangunan penunjangnya. Makam terletak di sebelah kiri alun-alun. Pada makam itu terlihat atap bersisi empat dengan genteng hijau, yang menaungi atap melengkung bersegi dua belas dari ruang makam itu.

Sultan Yaghmorassen ben Zyan konon membangun makam itu pada Abad Pertengahan. Pada masa dinasti Zyanid, kota Tlemcen merupakan ibu kota kerajaan merangkap kota perdagangan dan kerajinan yang kaya, juga terkenal sebagai pusat kegiatan budaya dan terutama sebagai pusat penyebaran ajaran tasawuf. Zawiyah-zawiyah bermunculan, dibangun di sekitar makam para wali, berdampingan dengan madrasah-madrasah yang memberikan pengajaran agama klasik, sekaligus memperkenalkan ajaran sufi. Pelajar dan ulama datang berkunjung dan tinggal di kota dalam suasana doa dan meditasi. Ada anak raja yang menyiapkan tempat di dalam kompleks makam mereka untuk dijadikan makam bagi wali yang dihormati pada masa mereka. Pada abad ke-14, dinasti Merinid kembali memper- tinggi penghormatan bagi Sidi Boumediène dengan memperindah makamnya dan membangun sebuah masjid tambahan, menambah sebuah wadah air untuk berwudu, sebuah hamm m (tempat mandi uap) dan sebuah

madrasah. Leo Africanus 2 serta Ibn Battuta sempat mengunjungi tempat itu, dan Ibn Khaldun berkhalwat di situ pada tahun 1369 sambil mengajar

di madrasahnya. Makam Sidi Boumediène kemudian dihormati juga oleh kaum Usmaniyah. Setelah mengalami kerusakan karena terbakar, makam itu kemudian diperbaiki dan dihiasi ukiran, lukisan, dan tembikar berglasir atas perintah Mohammed Bey pada tahun 1793.

1 Sidi Muhammad bin Y ūsuf al-Husain al-Sanūs (1428-1489), penulis kitab akidah, Umm al-Bar h n yang dipelajari di banyak pesantren di Indonesia (catatan

penerjemah). 2 Seorang ahli geografi yang nama Arabnya adalah al-Hasan bin Muhammad al-

Wazz n (1495-1554). Dalam pengembaraannya, ia tertangkap perompak di Laut Tengah dan dijual sebagai budak, hingga sampai ke lingkungan kepausan di Roma. Oleh Paus Leo X ia dibebaskan dan diberi nama Leo Africanus serta dipekerjakan sebagai penulis. Di antara karyanya adalah Pemerian Afrika yang diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa Eropa. Konon, setelah Paus Leo X meninggal ia menetap di Tunis, walaupun ada juga yang mengatakan bahwa ia tetap tinggal di Roma sampai meninggal (catatan penerjemah).

Makam Sidi Boumediène di Tlemcen (Aljazair) 177

Kompleks makam Sidi Boumediène diklasifikasikan sebagai monu- men nasional dan objek pariwisata sejak kemerdekaan, dan kini dalam kondisi relatif baik, karena pemerintah daerah secara teratur mengawasi perawatannya. Masjid yang berada di situ adalah salah satu masjid terbesar di kota Tlemcen. Penduduk desa-desa sekitar Tlemcen bila pergi ke kota selalu menyempatkan diri untuk sembahyang di masjid itu. Makam yang sering dikunjungi, baik oleh wisatawan maupun oleh orang yang meng- harapkan berkah, dijaga oleh seorang juru kunci (moqaddem). Pada bulan Oktober 1990, menjelang hari Maulid Nabi Muhammad, juru kunci itu dikecam oleh kelompok neo-fundametalis yang rajin mengunjungi masjid yang menuduhnya mendukung pemujaan kepada arwah orang mati. Menyusul peristiwa itu, makam ditutup untuk umum selama seluruh minggu perayaan Maulid.