Peralihan dari Ritus Lama atau Bukan?
Peralihan dari Ritus Lama atau Bukan?
Kebiasaan-kebiasaan ziarah yang dibicarakan di sini kerap dipersepsikan sebagai lanjutan dari ritus pra-Islam. Itulah satu interpretasi yang selalu ditemukan dalam penilaian praktik ziarah ke makam wali seperti ini. Memang semua ritus ziarah yang tersebar dalam masyarakat berkembang berdasarkan suatu proses rekomposisi yang terus berkelanjutan dan berada di luar ruang ortodoksi dogmatis yang dikuasai sepenuhnya oleh ulama- ulama dan juru interpretasi mitos-mitos dasar lainnya. Sementara itu, secara paradoksal mengingat stereotip umum yang mereduksikan Islam Sahara Selatan menjadi tak lebih suatu ragam “Islam Hitam” yang “pasti” marjinal, dan oleh karena itu tak bisa lepas dari “sinkretisme”, ritus ziarah tampaknya lebih terkait dengan sistem tarekat, yang seluruhnya diimpor dari Magribi, dan bukan merupakan “sisa-sisa” ritus kuno Afrika. Bertahannya kepercayaan-kepercayaan kuno itu terlihat dalam ritus yang bersifat “lebih pribumi” misalnya ritus kesurupan, peramalan, persem- bahan, pemakaian jimat, hubungan yang taksa dengan “jin-jin”, peran
Guy Nicolas
marabout biasa sebagai perantara—yang sering jauh sekali dari praktik
18 yang dibicarakan di atas 19 —atau juga peran dari para syarif . Berbeda dengan keadaan yang ditemukan di Magribi, dan mungkin oleh karena ritus
kepercayaan tradisional di Afrika Barat masih hidup dan berada di luar ruang penyebaran agama Islam dan Nasrani, maka tidak terdapat benang merah antara ritus-ritus tersebut dan kewalian Islam yang disebut di atas itu. Keadaan ini tidak berarti bahwa ritus kewalian Islam tidak juga ikut memanfaatkan model, praktik ataupun kebiasaan dalam penghayatan hubungan dengan kekeramatan yang berasal dari berbagai warisan agama pribumi yang kompleksitasnya telah disinggung di atas. Demikianlah, dalam masyarakat ini atau itu kita dapat menemukan berbagai kesamaan pada kultus leluhur, pada pohon kosmis, ataupun pada ritus pembaiatan. Tampaknya ritus ziarah Islam juga mendapat hikmah dari merosotnya ritus- ritus kesurupan yang lalu mulai terpusat di sekitar sosok jin, yang sepertinya berfungsi sebagai pengganti dari leluhur yang hilang itu. Dalam garis besarnya, sang wali memanglah menggantikan leluhur itu yang makamnya dulu merangkap sebagai altar. Akan tetapi, banyak masyarakat Afrika Barat, yang landasannya lebih rumit, telah mengembangkan pola- pola hubungan dengan arwah orang mati lain, terutama melalui sistem dinasti. Ziarah kubur di atas tampaknya berkembang dalam situasi kehampaan lembaga-lembaga kuno yang mengatur hubungan dengan orang-orang yang mati, dan merupakan akibat dari munculnya kesatuan- kesatuan politik yang besar, dari perbudakan, serta dari ambruknya kerajaan-kerajaan yang lama. Mungkin saja bukanlah suatu kebetulan bahwa kebanyakan pusat ziarah dari Afrika Barat terletak di Senegal, yang masyarakatnya paling banyak mengalami disintegrasi pada masa penjajahan.
Sementara itu, masih perlu dijelaskan mengapa justru tradisi kewalian ini, yang tidak dapat dianggap sebagai warisan tradisi asal Senegal atau Gambia, justru terpusat di Senegal. Pemusatan fenomena kewalian di Senegal itu didorong oleh penyebaran ke luar dari penerus- penerus “jihad” Torodo, yang mendirikan suatu negara Islam di lembah
sungai Senegal, atau Fouta Toro 20 , pada tahun 1776. Pemusatan itu juga didorong oleh adanya kaum pengembala nomad, yaitu Peul, oleh tarekat
18 G. Nicolas (1985a). 19 Sebagai anggota keluarga besar Nabi Muhammad, kaum syarif dihormati di
seluruh Afrika Barat. Mereka dianggap memiliki kekuatan adikodrati (supranatural).
20 Daerah di Senegal yang dibatasi di sebelah baratnya oleh Sungai Senegal, antara Dagana dan Bakel (catatan penerjemah).
Afrika Barat 199
Tijaniyah, serta oleh pembentukan kesatuan kolonial Afrique Occidentale Française (AOF, ‘Afrika Barat Prancis’) dengan ibu kotanya di Dakar, yang merupakan pusat persiapan penyiar agama Islam ke seluruh kawasan berbahasa Prancis. Akan tetapi, di bagian Timur, dan terutama di Nigeria Utara, tempat pemerintahan Islam telah mapan dan bertahan, dan kaum penganjur “jihad” telah berubah menjadi raja yang berpengaruh hingga kini, situasinya kurang menguntungkan penyebaran tradisi kewalian. Namun, sukses cabang Nyassiyah dari tarekat Tijaniyah di kerajaan Kano disebabkan terutama oleh faktor-faktor politik (konflik antara keemiran tersebut dengan “khalifah” Sokoto). Tradisi ziarah di makam-makam Usman dan Fodyo di Sokoto serta gurunya Jibril di Agades didasarkan pada karisma politik kedua pembaharu tersebut. Pemusatan fenomena kewalian di Senegal juga ditunjang oleh ketegangan yang terasa di kawasan lembah Sungai Senegal antara kaum “Hitam-Afrika” di satu pihak dan kaum “Berber-Arab” di lain pihak. Hal ini terutama berlaku dalam kasus tarekat Muridiyah, yang penyebarannya bersifat sangat lokal, seperti dilihat di atas, sebelum terjadi pembukaan baru-baru ini kepada orang Barat dan orang Afrika-Amerika dan Karibia keturunan budak itu. Muncul- nya pengikut baru ini dalam tradisi lokal dapat saja mengancam pusat- pusat ajaran sufi, yaitu tarekat-tarekat yang selama ini merupakan penjaga tradisi kewalian tersebut. Ini bisa terjadi karena penganut-penganut baru di atas pada galibnya mencari suatu padanan pada “akar” mereka yang tidak dikenal dan diimpi-impikan, serta acuan-acuan yang terkait dengan identitas “black” (hitam), suatu identitas yang kemudian ditambat secara simbolis di pusat-pusat ziarah yang dibangun di sekitar makam-makam leluhur besar di atas. Akan tetapi, ancaman ini diimbangi oleh munculnya sekelompok penganut baru lagi, terutama orang-orang Barat, yang lebih tertarik oleh pendekatan mistis murni daripada oleh ritus ziarah yang dimaksud. Bagaimanapun juga, fenomena ziarah itu tetap merupakan dasar sikap keagamaan massa yang setiap tahun berbondong-bondong ke makam- makam wali dan penerusnya.
Walaupun kini diserang secara tajam oleh penganjur reformasi Islam beraliran Salafi atau Wahhabi yang makin besar jumlahnya, terutama di kalangan-kalangan terdidik, teknokrat dan perkotaan, agaknya tarekat- tarekat Afrika Barat, seperti halnya tarekat-tarekat Marokko, masih mampu menghadapi penentang-penentang itu, kendati dengan mengadakan ber- bagai reformasi dalam bidang akidah dan dengan berkompromi dengan fundamentalisme. Sesungguhnya kekuatan mereka terletak dalam berakar- nya tarekat pada kewalian, yang menjamin dukungan kuat dari berbagai lapisan masyarakat. Presiden Iran Rafsanjani benar-benar menyadari hal itu
Guy Nicolas
pada waktu kunjungannya ke kota suci Touba 21 , ketika dia menghadiri Puncak OKI (Organisasi Konferensi Islam) di Dakar pada waktu bulan
Desember 1991. Kunjungan ini merupakan suatu tanda pengakuan yang bertepatan dengan berakhirnya zaman rasa minder dari penjaga-penjaga tradisi kewalian terhadap penentang-penentangnya yang menuduh mereka menyimpang dari akidah dan tunduk pada tahayul, tuduhan yang diperkuat oleh bertahannya citra negatif dari kaum “Arab-kolonial” terhadap “Islam Hitam” itu. Makin dalam orang-orang Islam dari kawasan Selatan Sahara terintegrasi dalam umat Islam antarbangsa, tempat mereka langsung berhubungan dengan penganut sesama agama dari berbagai negeri, makin mereka menyadari bahwa ada ratusan juta orang Islam lainnya yang meng- ikuti kepercayaan dan praktik serupa, tanpa harus dicap marjinal ataupun “negro”. Sukses penyebaran ajaran tarekat-tarekat Afrika Barat ke tengah masyarakat Barat dan lingkungan yang mempunyai pendidikan barat, terutama seperti tampak dalam ziarah-ziarah ke makam walinya, membenarkan mereka dalam keyakinan itu. Dengan demikian, penjaga- penjaga makam itu makin percaya diri untuk menghadapi serangan dari penganjur reformasi Islam yang agresif.
21 Universitas Islam Mesir al-Azhar, salah satu pusat pengajaran Sunni yang paling terkemuka, memberikan pengajaran di Touba dengan bantuan 17 ulama Mesir. Al-
Azhar menerima di kampusnya di Mesir mahasiswa yang semula dididik di tempat keramat Muridiyah di atas (S. Khadim 1993). Khalifah Touba mempunyai juga hubungan yang mantap dengan Kolonel Khadafi.