Antara Masa Penutupan Kompleks Makam (1925) hingga Masa Kebangkitan Kembali Tradisi Ziarah Kubur (1964)
Antara Masa Penutupan Kompleks Makam (1925) hingga Masa Kebangkitan Kembali Tradisi Ziarah Kubur (1964)
Pelarangan tahun 1826, yang ditujukan kepada korps Janiseri, tidak berhasil melumpuhkan pelaksanaan ritus di sekitar makam Haji Bektash Wali. Lain halnya dengan tindakan-tindakan Mustafa Kemal Atatürk tahun 1925 yang menghapus semua tarekat Turki dan menyita semua makam dan pondoknya. Larangan itu, yang tetap berlaku hingga kini, menjauhkan untuk selama-lamanya tarekat Bektasyiyah dari kompleks makam serta mengurangi secara drastis—paling sedikit sampai tahun 1964—praktik- praktik religius yang dilaksanakannya. Atatürk sesungguhnya sama sekali tidak dapat bersikap bermusuhan terhadap kompleks keramat dan tarekat Bektasyiyah. Dia sepenuhnya didukung oleh kaum Alawi Anatolia selama perang kemerdekaan (1919-1923) dan banyak sahabat-sahabatnya adalah anggota tarekat Bektasyiyah. Selain itu, celeb -celeb yang terakhir sangat
dekat dengan dia 22 . Tindakan-tindakan represif sebenarnya diarahkan kepada tarekat-tarekat yang langsung menentang pendiri Turki modern ini.
Lembaga-lembaga negara yang pada awal zaman Republik diserahi pengawasan atas kompleks makam Haji Bektash Wali membiarkannya rusak tanpa perawatan, setelah memindahkan pusaka-pusakanya—benda keramat bernilai tinggi, permadani, benda seni, karya kaligrafi, manuskrip
20 Dalam B. Noyan (1964, hlm. 32-39, 56-61) ditemukan keterangan mengenai diri orang-orang yang dimakamkan dalam kedua makam di atas, di sekitarnya dan
dalam pekuburan, di samping teks sejumlah epitafnya. Berkenaan dengan pekuburan itu, atas dasar kunjungan singkat ke situ pada tahun 1986 dapat saya katakan bahwa kuburan-kuburannya tidak lebih tua dari akhir abad ke-18.
21 Untuk keterangan lebih rinci mengenai arsitektur dan sejarah kompleks itu, lihat
H. Zübeyir (1967), yakni ringkasan dari H. Zübeyir (1926); M. Akok (1967); penulis ini telah mengambar denah kompleksnya pada tahun 1958-59, sebelum mulai dipugar, maka artikel ini mengandung banyak denah dan foto; lihat juga B. Noyan (1964); A.I. Dogan (1977, hlm. 103-137).
22 Lih. Th. Zarcone (1993a, hlm. 168-169) dan C. Shener (1991).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 435
langka dan sebagainya—ke museum-museum dan perpustakaan-perpus- takaan Ankara 23 . Seorang pejabat yang penuh semangat bahkan pernah
mengatakan bahwa pembongkaran total makam akan merupakan sum- bangan besar ke arah sekularisasi yang diidamkan republik Turki yang
muda itu 24 . Namun, pada tahun 50-an kebijakan terhadap Islam dan warisan budaya negara mulai melunak, dan keluarlah keputusan yang
mengubah status kompleks makam menjadi museum. Untuk itu program restorasi dilancarkan. Pada waktu itu kondisi kompleks Haji Bektash agak menyedihkan setelah diubah menjadi sekolah tidak lama menyusul
pelarangan di atas 25 . Pada tahun 1964, museum pada akhirnya dibuka dengan nama “Museum Haji Bektash Wali” 26 . Di antara pengunjung yang
diberi kesempatan mendekati makam wali Anatolia itu setelah beberapa dasawarsa dilarang, tentunya terdapat kaum Alawi dan bekas anggota Bektasyi yang mengunjungi desa Hacïbektash dengan tujuan yang lain daripada sekadar berwisata. Bersamaan dengan dibukanya museum itu, diselenggarakan suatu festival seni budaya yang terpusat di sekitar tokoh Haji Bektash Wali (Hacï Bektash Shenlikleri), yang bertujuan mengem- bangkan pariwisata dan membangun daerah. Festival tersebut tetap dilak- sanakan secara tahunan antara tanggal 16 dan tanggal 20 Agustus, dan menarik pengunjung dalam jumlah yang sangat besar. Kebanyakan pengunjung adalah peziarah dari kaum Alawi, dan, dari tahun ke tahun, festival di atas sedikit demi sedikit berubah bentuk menjadi suatu perayaan religius yang besar, lengkap dengan praktik-praktik ziarah ke makam wali serta ke tempat-tempat keramat yang tersebar di daerah itu. Sebagai bagian dari acara festival itu diselenggarakan lomba-lomba puisi mistis, diilhami oleh gaya Bektasyi-Alawi itu, serta pertunjukan-pertunjukan khas Alawi. Setiap tahun beberapa majalah Turki memperuntukkan halaman mukanya yang berwarna buat meliputi peristiwa itu, demikian pula koran-koran tidak ketinggalan memberitakan apa yang terjadi. Hal-hal itu menandakan betapa penting peranan sosial dan politik festival ini sejak beberapa tahun terakhir ini. Kaum Alawi memang merupakan komponen yang tak dapat dilupakan dari suara-suara yang biasanya diberikan kepada partai-partai kiri. Politisasi dari perayaan ini dimulai pada tahun 1970-an, dan pada waktu
23 Lih. H. Zübeyir (1967, hlm. 19); Oriente moderno, tahun VI, 5, Mei 1926, hlm. 583-584.
24 B. Noyan (1964, hlm. 90-91). 25 H. Zübeyir (1967, hlm. 19).
26 Sejak itu, beberapa karya seni dipindahkan dari Ankara ke Hacïbektash; lih. “Hacï Bektash Veli Müzesi” dalam A. Teshdelen (ed., 1986, hlm. 17-22).
Thierry Zarcone
pemerintahan dipegang oleh Bülent Ecevit yang beraliran tengah-kiri itu, festival bahkan dihadiri oleh beberapa menteri 27 .
Bagaimanapun juga, kompleks makam tetap berstatus museum. Karena itu praktik-praktik ziarah dilaksanakan dengan latar belakang yang ganjil, yaitu di tengah lemari kaca dan boneka lilin yang berupa masa lalu. Namun, walaupun mendukung kebangkitan kembali praktik ziarah ke makam wali, sejak pertengahan tahun 1950-an Direktorat Urusan Agama di Ankara menghalangi munculnya praktik-praktik yang dianggap bidah, seperti pemasangan lilin (mum) atau potongan kain (bez), pengucapan nazar (adak) dan permohonan kepada wali demi tujuan pribadi. Untuk memperkuat hal itu, semua tempat ziarah dilengkapi dengan papan-papan larangan terhadap praktik bidah itu. Kompleks makam Haji Bektash Wali pun dilengkapi berbagai papan seperti itu, namun hal itu sama sekali tidak dapat mencegah peziarah untuk melanggar dengan tenang larangan- larangan itu. Demikian pula, petugas-petugas kompleks semestinya menindak pengunjung yang secara berlebih-lebihan melakukan ritus ziarahnya, namun mereka tidak banyak berhasil dalam usahanya.
Praktik yang Taksa: Animisme, Syamanisme, dan Islam
Selain oleh golongan Alawi dan Bektasyi, Haji Bektash Wali dimuliakan juga baik oleh kelompok Naqsybandiyah, yang menganggapnya
sebagai salah seorang wali dari tarekat mereka 28 , demikian pula oleh orang Nasrani. Orang Nasrani menyatakan bahwa kompleks makam itu
menempati situs sebuah biara Nasrani kuno, bahkan mereka yakin bahwa kuburan Haji Bektash Wali menempati kuburan Santo Chralambos (atau Santo Eustathius). Sebelum memasuki ruang makam, orang Nasrani
biasanya membuat tanda salib 29 . Kembali kepada anggota golongan Alawi dan Bektasyi, yang memberikan kepada kompleks identitas khasnya, dan
sebelum mengkaji dari dekat praktik-praktik yang dilaksanakan dekat makam wali, hendaknya ditambahkan bahwa ziarah ke desa Hacïbektash biasanya terbagi dalam dua tahap: ziarah di kompleks makam sendiri, dan ziarah ke berbagai tempat keramat di sekitarnya—tempat sang wali melakukan karomah di masa lalu. Dulu seperti juga pada masa kini, kebanyakan peziarah terdiri atas kaum Alawi atau Bektasyi, ataupun atas
27 Mengenai festival ini, lihat P. Dumont (1991, hlm. 162-163) dan J. Norton (1995).
28 Mengenai hubungan antara H cï Bekt sh Vel dan Naqsybandiyah, lihat M. Molé (1959, hlm. 44-47).
29 F.W. Hasluck (1929, jil. I, hlm. 83-85; jil. II, hlm. 571-572).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 437
1. Çatal Kapï; 2. Pesanggrahan; 3. Kedai roti; 4. Halaman pertama; 5. Pintu Tiga Orang; 6. Halaman kedua; 7. Pintu Enam Orang; 8. Halaman ketiga; 9. Ruang Empat Puluh Orang;
10. Makam Haji Bektash Wali; 11. Makam Balim Sultan; 12. Kamar khalwat; 13. Pekuburan; 14. Kediaman dede bâbâ; 15. Dapur; 16. Ruang pertemuan; 17. Masjid Naqsybandi.
Denah Kompleks makam Haji Bektasy Wali (menurut A.I. Dogan 1977)
Thierry Zarcone
Islam lainnya yang tertarik oleh citra khas wali Haji Bektash itu, yang menempati posisi yang terhormat dalam sejarah kultural dan religius Turki. Kunjungan keliling kompleks, yang dimulai dari pintu gerbang utama dan berakhir di makam wali, diandaikan sebagai perjalanan mistis. Peziarah diminta melalui tujuh pintu gerbang yang berakhir dengan pintu masuk
makam wali 30 . Seperti telah saya katakan pada awal kajian ini, mustahil mem-
presentasikan semua praktik ritual yang dilakukan di kompleks, terutama oleh kelompok Bektasyiyah. Satu-satunya jenis praktik ritual yang akan saya bicarakan selanjutnya ialah praktik yang pada umumnya dilakukan oleh semua peziarah, apa pun afiliasinya baik Alawi maupun Bektasyi.
Halaman yang pertama kita temukan ketika masuk kompleks tidak memiliki fungsi ritual; itulah tempat peziarah disambut pada masa lalu, sebelum ditawari makanan dan penginapan oleh petugas perempuan. Ritus ziarah sesungguhnya baru mulai setelah melalui gerbang kedua. Di dapur, yang dahulunya dipimpin oleh kepala koki, yang merupakan orang kedua di kompleks setelah dede b b , para peziarah diharapkan menciumi sebuah “ketel besar hitam” (kara kazan), yang asal ceritanya dari Vil yet-n me. “Ruang pertemuan” (meyd n evi) tempat diadakan pertemuan rahasia anggota-anggota Bektasyi sebelum pelarangan tahun 1925, kini hanya berfungsi sebagai ruang penyimpanan benda-benda keramat. Para peziarah membungkuk di depan setiap kulit domba, berjumlah dua belas, yang dibentangkan di lantai. Di situlah dulu duduk kedua belas darwis Bektasyi
yang bertugas menyambut anggota baru tarekat 31 . Kemudian masjid Naqsyband adalah tempat ritual yang cukup aneh. Bukannya bersem-
bahyang di dalamnya, para peziarah bahkan merangkak tiga kali mengelilingi tembok dalam—sebagai tanda hormat terhadap kekeramatan tempat itu—suatu acara yang kemungkinan besar mengacu pada tawaf di sekeliling Ka’bah. Lazimnya, pada peziarah juga diharapkan merangkak ketika masuk di ruang makam Haji Bektash Wali dan Balim Sultan.
Ketika mencapai halaman yang ketiga, para peziarah sudah sampai ke tempat kedua makam. Mereka memasuki kedua bangunan makam itu mulai dengan makam Haji Bektash; mereka juga berdoa di atas makam
30 B. Noyan (1964, hlm. 46-47). 31 Mengenai upacara ini, lihat J.K. Birge (1965, hlm. 175-202); A.I. Dogan (1977,
hlm. 114-129). Sebuah pemerian keadaan dan kandungan meyd n evi pada tahun 1926, sebelum bahan-bahan ritual dipindahkan ke Ankara dan sebelum ruangan itu diubah menjadi museum, terdapat dalam H. Zübeyir (1926, hlm. 372-374).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 439
para celeb dan dede 32 . Salah satu ruang yang pertama dikunjungi—di sebelah kanan, ketika mau memasuki bangunan makam Haji Bektash—
adalah “ruang khalwat” (çilleh ne), yang konon dipakai oleh sang wali untuk melakukan khalwat selama empat puluh hari. Ruang tersebut merupakan pusat kompleks. Para peziarah mengelilinginya dengan cara yang sama seperti masjid di atas.
Ruang pertemuan besar, disebut “ruang empat puluh orang” (kïrklar meyd nï 33 ) , yang dilalui ketika menuju makam Haji Bektash Wali,
dilengkapi dengan sebuah jendela kecil yang memungkinkan para sufi melihat kuburan sang wali dan menghaturkan persembahan-persembahan (nez r) kepadanya. Jendela itu disebut jendela nazar (niy z penceresi). Ruang itu mengandung sejumlah besar benda-benda keramat (senjata kaum Janiseri, perhiasan ritual para sufi, mangkok sedekah, bendera-bendera, tempat lilin bercabang dua belas, dan sebagainya) yang sekarang merupakan benda koleksi museum dan dipajang secara acak. Para peziarah percaya bahwa, di masa lalu, benda-benda itu turut membantu proses permohonan berkah dari sang wali, dan, oleh karena itu, masih mampu menyalurkan permohonan berkah yang diajukan oleh mereka. Ruang tempat makam Haji Bektash Wali dimasuki melalui sebuah pintu kecil yang disebut “kehadiran p r” (huz ūr-i p r). Seperti di atas, menurut tradisi, orang harus memasukinya dengan merangkak, dan tanpa menginjak ambang pintu. Kadang-kadang peziarah menaruh di atas makam, selama beberapa hari, baju-baju yang dimaksudkan untuk dipakai oleh bayi yang akan lahir atau sehelai kerudung yang akan dipakai oleh penganten perempuan. Menciumi makam juga merupakan acara yang lazim. Di antara kalimat-kalimat suci yang diucapkan di dekat makam, di samping ayat-ayat terkenal seperti surat al-Fatihah atau al-Baqarah, ada juga berbagai doa pendek yang dikenal dengan nama gülbenk atau tercüm n 34 . Mengingat
ciri-ciri yang setengah-setengah Syiah dari Islam ragam Alawi-Bektasyi, doa-doa itu dialamatkan, demi kuatnya permohonan, kepada tokoh-tokoh
sejarah Syiah, seperti Ali atau imam-imam tertentu 35 . Hendaknya diingat di sini bahwa, menurut Vil yet-n me, Haji Bektash Wali adalah keturunan
imam Musa K zhim 36 . Dalam sebuah buku yang ditulis pada tahun 1945
32 Lihat pemerian makam-makam ini dalam C.H. Tarïm (1948, hlm. 113-117); B. Noyan (1964, hlm. 40-56); A.I. Dogan (1977, hlm. 130-137).
33 Upacara-upacara penyambutan kaum Bektasyi dulu dilaksanakan di situ, sebelum dipindahkan ke meyd n evi di halaman kedua.
34 B. Noyan (1985, hlm. 168-170). 35 Lih. sebuah contoh dari “doa bagi wali” sebagaimana digunakan oleh kalangan
Alawi Bulgaria, dikutip oleh Y. Ziya (1931, hlm. 64-65). 36 Lih. A. Gölpïnarlï (ed., 1958, hlm. 1).
Thierry Zarcone
oleh seorang tokoh Bektasyi, terdapat teks berbagai doa tercüm n yang dibaca oleh peziarah sebelum kompleks ditutup pada tahun 1925. Terdapat
juga deskripsi dari perjalanan peziarah di kompleks 37 . Doa dan satu tercüm n pertama diucapkan di ambang pintu, yang kedua pada saat
perjalanan keliling makam sudah selesai. Yang kedua itu berbunyi sebagai berikut, “Atas nama Sh h (Syah)…. Allah, Allah…/ Nur Illahi-Mu adalah Nur keindahan/ kiamat yang Kau janjikan karena cinta, itulah wajah-Mu/ O kehadiran Tuhan yang ada di tanah apa pun yang Kau injak/ mahkota dan tutup kepala kaum eren/ terpujilah Allah di dunia ini dan di akhirat/ Kau yang merupakan Penguasa agama dunia/ terpujilah Muhammad, imam Hasan dan Husain, serta Ali yang agung”. Suatu tanda lain dari pengaruh Syiah dalam sejarah kompleks makam adalah sebuah air mancur dengan hiasan singa (arslan çeshme) di halaman kedua. Imam Ali kerap
digambarkan dalam bentuk seekor singa 38 . Bangunan makam kedua, di mana berada kuburan Balim Sultan,
langsung terkait dengan sejarah Bektasyiyah. Di ambang pintu makam itulah dibaiat para anggota lapis atas Bektasyi “yang hidup membujang” (mücerred). Pada akhir upacara pembaiatan, telinga mereka dilubangi dan dipasang sebuah anting-anting bundar (menghush) sebagai tanda bahwa
mereka diterima dalam lapis elite tarekat ini 39 . Di sebelah kanan makam terdapat pohon murbei besar yang terkenal, disebut “pohon permohonan”
(dilek agacï), yang rantingnya selalu penuh potongan kain (bez) yang digantungkan oleh peziarah yang mengajukan permohonan kepada wali. Bagian tubuh apa pun yang sakit konon dapat sembuh apabila digosokkan
pada batang pohon ini 40 . Di samping makam itu terdapat kuburan seorang qalandar (fakir pengelana). Hal itu menandakan ikatan-ikatan yang erat
antara para Bektasyi pertama dengan sufi-sufi kelana heterodoks yang lingkungannya kemungkinan besar melahirkan tarekat Bektasyiyah 41 .
Ziarah kemudian dilangsungkan di luar kompleks makam, di tempat- tempat Haji Bektash Wali menunjukkan berbagai karomahnya. Tempat- tempat itu disebut dalam Vil yet-n me. Kepercayaan tambahan, yang pada umumnya terkait dengan kekuatan magis tempat-tempat yang ber- sangkutan, dari abad ke abad telah ditambahkan pada legenda asli dari sang
37 M.T. Oytan (1979, hlm. 263-264). 38 Lih. B. Noyan (1985, hlm. 18-21); M. Aksel (1967, hlm. 83-89); F. De Jong
39 M. Hikmet (1928, hlm. 18) menemui banyak darwis yang berdandan perhiasan seperti itu dalam kunjungannya ke kompleks suci ini pada tahun 1928.
40 H. Zübeyir (1926, hlm. 380); J.K. Birge (1965, hlm. 57). 41 Mengenai hubungan antara tarekat ini dengan kompleks suci tersebut, lihat A.Y.
Ocak (1992b, hlm. 185-186).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 441
wali. Hampir semua tempat tersebut sesungguhnya menyangkut unsur alam—pohon, goa, batu, mata air—suatu hal yang menandakan ketahanan dari kultus-kultus animis di tengah anggota-anggota tarekat Bektasyiyah.
Isi Vil yet-n me memberikan banyak keterangan mengenai hal ini 42 . Di bawah ini akan disebutkan beberapa hal penting saja.
Peranan goa-goa karang dan batu-batu sangat khas 43 . Dekat desa Haji Bektash, di sebuah bukit yang disebut Arafat dagï dalam Vil yet-
n me , terdapat sebuah goa yang dapat dimasuki melalui dua lubang masuk. Di situlah konon sang wali biasa berkhalwat (çilleh ne). Para peziarah masuk melalui lubang masuk utama dan menyelusup keluar melalui suatu lubang sempit yang konon dibuat dengan kepalan tangan sang wali, ketika
dia memukul tembok goa untuk menambah cahaya 44 . Apabila tidak dapat menyelinap keluar melalui lubang itu karena badannya terlalu besar,
peziarah harus tobat lagi. Tidak jauh dari tempat itu terdapat suatu batu besar bernama minder kaya (“batu bantal”) yang dijadikan tempat duduk sang wali. Peziarah diharapkan mendudukinya. Di atas bukit yang sama, pengunjung juga menggelincirkan diri di sepanjang “batu punggung” (kulunç kaya) yang konon berkhiasat menyembuhkan sakit ginjal. Di belakang kompleks makam, di suatu desa bernama Karahoyuk, menurut Vil yet-n me , Haji Bektash meninggalkan bekas tapak kakinya pada sebuah batu yang diinjaknya laksana adonan terigu. Vil yet-n me menyebut batu yang konon diinjak itu sebagai hamur kaya atau batu
adonan terigu 45 . Suatu bagian Vil yet-n me menyebut bekas-bekas lain yang konon ditinggalkan oleh sang wali, namun itulah bekas tapak kaki
burung yang konon dibuat oleh sang wali di atas sebuah batu yang kini berada di desa Sulucakarahöyük. Dikisahkan dalam legenda bahwa sang wali, sebagaimana syaman-syaman (dukun) Asia, telah mengubah dirinya menjadi seekor burung dara, agar dapat terbang dari Asia Tengah ke Anatolia, dan batu itulah yang pertama-tama dihinggapinya setibanya di
negeri R 46 ūm . Batu itu disebut “batu tapak” (iz tashï). Motif burung dara kemudian mengilhami para kaligrafis dan seniman Anatolia lainnya 47 .
42 Lihat A.Y. Ocak (1983). 43 Lih. B. Noyan (1964, hlm. 64-86); juga H. Tanyu (1987), yaitu sebuah karya
khusus mengenai semua praktik ziarah di Turki yang terpusat di sekitar karang- karang dan batu-batu.
44 A. Gölpïnarlï (1958, hlm. 38); J. Norton (1995, hlm. 194). 45 A. Gölpïnarlï (1958, hlm. 33-34).
46 Idem, hlm. 18 serta pemerian dan komentar kritis oleh B. Noyan (1964, hlm. 77- 79).
47 M. Aksel (1967, hlm. 73-76).
Thierry Zarcone
Pada jarak 10 kilometer lebih dari desa Haji Bektash, lima batu raksasa (beshtashlar) berdiri tegak berjajar di tengah padang steppa. Vil yet-n me menceritakan bahwa batu-batu itu konon memberikan
kesaksian lisan atas ajaran agama yang disebarkan oleh sang wali 48 . Peziarah sering mengumpulkan krikil-krikil yang tersebar di sekitar batu-
batu raksasa itu. Akhirnya, ada satu batu lagi, yaitu “batu kuda” (atkaya) yang diziarahi oleh pengikut Haji Bektash Wali. Batu itu adalah tanda dari kuatnya pengaruh kepercayaan syamanis terhadap Islam ragam Anatolia. Sang wali konon seusai menghidupkan batu itu, kemudian melayangkannya ke udara dan menumpanginya seperti seekor kuda yang dipacu melawan
musuh 49 . Menurut versi lain dari legenda Bektasyi ini, yang dipakai sebagai tumpangan adalah tembok sebuah rumah; tema cerita itu berasal dari kaum
pengelana sufi (qalandar) dan terkenal di seluruh Anatolia, di Asia Tengah maupun di India 50 .
Tempat-tempat ziarah penting lainnya terkait pada mata air atau pohon-pohon. Terdapat paling sedikit tiga mata air yang merupakan tahapan dalam pelaksanaan ziarah di luar kompleks makam. Air yang dikumpulkan adalah unsur suci yang dapat dibawa pulang, berbeda dengan batu-batu yang hanya dapat dilihat. Mata air pertama adalah “mata air Zamzam” (Zemzem pïnarï) yang terletak di atas bukit Arafat dagï; namanya
jelas dipinjam dari sumur “Zamzam” di Mekkah 51 . Di samping mata air tersebut, terdapat pohon jambu Napoli (alïc agacï) yang rantingnya penuh
potongan kain yang bergelantungan. Tempat pohon ini ditanam disebut “kali manikam” (cevher deresi) dan tanahnya “tanah manikam” (cevher topragï ). Pada awal bulan Muharram, kaum Alawi biasa meminum air yang telah dicampuri sedikit tanah yang dikumpulkan dekat makam-makam imam-imam Hassan dan Hussein di Karbala (Irak). Namun, apabila “tanah manikam” asli Kerbala ini tidak terdapat, cukup dengan “tanah manikam”
dari Haji Bektash sebagai pengganti 52 . Minuman berkhasiat itu konon dapat menyembuhkan penyakit dan menyebabkan perempuan mandul
menjadi hamil. Tidak jauh dari tempat itu terletak makam modern keluarga Ulusoy, yaitu keluarga celeb terakhir di makam, serta suatu kuburan Bektasyi-Alawi.
Dua tempat berfungsi memperingati seorang wali perempuan bernama Kadïncïk Ana yang, menurut Vil yet-n me, menampung Haji
48 A. Gölpïnarlï (1958, hlm. 31-32). 49 Idem, hlm. 49-50. 50 Lih. M. van Bruinessen (1991). 51 Disebut dalam A. Gölpïnarlï (1958, hlm. 45).
52 B. Noyan (1964, hlm. 67-69).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 443
Bektash Wali di rumahnya serta menafkahinya ketika dia menutup diri untuk berkhalwat 53 . Para celeb mengaku sebagai keturunan Kadincik Ana
ini—kata mereka dia menikah dengan Haji Bektash; tetapi pernyataan itu ditolak oleh cabang dede b b . Tempat pertama terdapat di atas bukit Arafat dagï; yang kedua di desa Haji Bektash. Yang terakhir ini berupa sebuah bangunan kecil yang konon merupakan tempat tinggal wali perempuan di atas dan tempat dia menampung para peziarah. Salah satu dinding dalam rumah itu konon dapat menyembuhkan rasa sakit ginjal asal orang menempelkan punggungnya padanya; dinding itu, kata sang wali, akan berdiri tegak sampai hari kiamat (kiy met günü). Dekat rumah Kadincik Ana mengalir air dari mata air lainnya, yang disebut “mata air bening (atau putih)” (akpïnar) yang konon dapat melindungi orang yang mandi di situ dari jilatan api neraka. Suatu mata air yang ketiga terdapat di dekat kuburan seorang dede b b , di luar desa; mata air itu disebut sheker
pïnarï 54 (mata air gula) . Di antara pohon-pohon yang menarik perhatian para peziarah dapat
disebutkan, selain yang dibicarakan di atas mengenai desa yang dekat Açik Saray, sebuah pohon jenewer (ardïç agacï) yang konon pernah dipakai
sebagai tempat berkhalwat oleh Haji Bektash Wali 55 . Pendeknya, apa yang dikatakan dan apa yang dilakukan disekitar
makam Haji Bektash Wali mencerminkan kekhasan dari Islam ragam Anatolia yang diperkaya oleh dimensi sinkretisnya. Kepercayaan- kepercayaan animis, syamanis, dan setengah-setengah Syiah nampak di belakang lapisan Islam. Namun, di mata Republik Turki, kompleks makam di atas hanyalah sebuah museum, dan tampaknya harus menunggu lama lagi, andaikan hal itu mungkin terjadi, sebelum dijadikan lagi suatu tempat ziarah yang sesungguhnya, lengkap dengan struktur pengelolaannya. Hal itu tidak menghalangi kaum Alawi untuk berziarah dalam jumlah yang makin besar, sementara kaum Islam fundamentalis memprotes dengan
keras, menentang apa yang di mata mereka adalah praktik-praktik bidah 56 .
53 Idem, hlm. 66, 70-74; J. Norton (1995, hlm. 192); A. Gölpïnarlï (1958, hlm. 26-
29, 64-65). 54 Idem, hlm. 82-84.
55 Idem, hlm. 24-25; B. Noyan (1964, hlm. 86-87). 56 Misalnya, T.M. Sözengil (1991).
Thierry Zarcone