Pengaruh Sufisme
Pengaruh Sufisme
Mari sekarang kita mengkaji sufisme. Bersamaan dengan semangat gh z di atas, sufisme merupakan penggerak utama dari sinkretisme agama. Sinkretisme itulah yang pada gilirannya memberikan warna khas pada tradisi kewalian. Kebanyakan sejarawan sependapat bahwa mistikus- mistikus Islam, entah anggota dari tarekat atau tidak—tarekat-tarekat tidak muncul di dunia Turkik sebelum abad ke-13—mengambil peran yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di Asia Tengah. Harus ditambah pula bahwa para mistikus Islam tak putus-putus berperan sebagai penasihat dan guru spiritual dari para sultan dan pemimpin (kh n) sepanjang waktu, ratusan tahun lamanya, yang menyusul gerakan islamisasi yang pertama, termasuk pada saat agama Buddha dan syamanisme muncul kembali dengan sangat kuat pada periode Mongol. Sejak abad ke-13, tarekat-tarekat yang sesungguhnya menanggung pertahanan wilayah Dar al-Islam, walaupun mereka tidak menghentikan kegiatan dakwah pengislaman.
Sudah diketahui bahwa, sejak abad ke-8, Syaqiq al-Azdi (wafat 880), seorang sufi Persia dari daerah Balkh, mendakwahkan ajaran Islam di
33 Lih. Th. Zarcone (1992d, hlm. 10-11). Sebuah analisis yang bagus mengenai menakïbnan me ini, yang akan kita bahas lagi nanti, telah dikerjakan oleh A.Y.
Ocak (1984).
34 Lih. J.K. Birge (1965, hlm. 51-52); I. Beldiceanu-Steinherr (1977, hlm. 275- 276); B. Noyan (ed., 1990).
35 Ö.L. Barkan (1942).
Thierry Zarcone
kalangan orang-orang Buddhis dari Tokharistan 36 , namun penyebar utama dari ajaran serta mistik Islam di kalangan pengembala Turkik adalah
dinasti Samaniyah (874-999), suatu dinasti asal Persia yang menguasai Transoxania. Diduga juga bahwa suku bangsa Qara-Khan dari Kashgar
memeluk agama Islam di bawah pengaruh sufi-sufi asal Persia 37 . Baik di Khurasan maupun di Transoxania Samaniyah, gerakan sufi memang amat
berkembang; suatu aliran mistis yang disebut aliran Khurasan bahkan mencapai puncaknya pada waktu itu 38 ; berbagai manakib dan buku
penuntun mistis mengagungkan kedalaman pikiran dari para sufi aliran itu 39 . Sesungguhnya tarekat Malamatiyah yang tersohor lahir di Nisyapur
pada akhir abad ke-9, sedangkan tarekat Karramiyah, yang sudah ada sejak zaman dinasti Tahir (821-875), hadir di Herat, Farghana, Samarkand, dan
lain-lain 40 . Namun aliran sufisme ini tetap ortodoks, dan oleh karena itu tampaknya ditinggalkan oleh sebagian murid Turkiknya: ternyata yang
kemudian berkembang di Asia Tengah adalah kelompok-kelompok mistis sinkretis, yang menyerap dalam sistemnya berbagai kepercayaan dan praktik Turkik pra-Islam. Akan tetapi, hal itu jangan diartikan bahwa sufisme aliran ortodoks tidak berpeluang untuk berkembang di bagian dunia Islam ini. Sebaliknya, sufisme ortodoks hadir melalui tarekat-tarekat Q diriyah, Kubrawiyah, dan Naqsybandiyah, walaupun tetap diresapi ber- bagai pengaruh lingkungan Turkik di atas. Singkatnya, Asia Tengah terbagi dalam dua kelompok aliran sufi: aliran heterodoks yang berkembang di kalangan petani dan pengembara, sedangkan aliran ortodoks lebih diminati di lingkungan perkotaan yang berada di bawah pengaruh kultural Persia. Apakah pembagian ini berdampak terhadap tradisi ziarah, menurut aliran yang dianut oleh wali yang bersangkutan? Dalam kenyataan tidak: para wali dari kawasan Asia Tengah pada umumnya diakui dan diziarahi oleh semua pihak. Perbedaan antara masing-masing kelompok heterodoks dan ortodoks di atas cenderung hanya nampak dalam praktik mistis dan perilaku sosial pengikutnya. Contoh-contoh yang paling baik dalam hal itu adalah para pengikut Ahmad Yasaw (wafat 1167) dan Baha al-Din Naqsyband (wafat 1389), yaitu masing-masing pendiri dari tarekat Yasawiyah dan tarekat Naqsybandiyah—diberi nama berdasarkan nama pendirinya—yang sering dipertentangkan satu sama lainnya sebagai
36 E. Es n (tth., hlm. 190-192), (1985, hlm. 7). 37 C.E. Bosworth (1975, jil. III, hlm. 1141) mengutip misalnya nama Abü l-Hasan
Muhammad Kalim t . 38 Dipertentangkan dengan aliran Bagdad.
39 Lih. misalnya al-Sul m (1960) dan al-Hujwir (1976). 40 Lih. J. Chabbi (1977).
Turki dan Asia Tengah 387
ortodoks untuk yang pertama, dan heterodoks untuk yang kedua. Dalam kenyataan kedua wali ini berasal dari suatu silsilah yang sama, yang diawali oleh Yusuf Hamadani (wafat 1141). Kedua makam mereka adalah yang paling populer di Asia Tengah dan sama-sama dikunjungi oleh anggota kedua tarekat itu, walaupun kedua pendiri bertolak belakang dari sudut doktrin. Sebenarnya situasinya lebih rumit lagi, karena tarekat Yasawiyah, yang konon membaur dalam tarekat Naqsybandiyah pada abad ke-16, sebenarnya melanjutkan eksistensinya dalam kerangka tarekat tersebut. Mungkin lebih tepat memakai istilah asimilasi. Fuad Köprülü bahkan mengatakan—dan hal itu, meski agak berlebih-lebihan dari sudut teori, harus dibenarkan dari sudut realitas sosial—bahwa tarekat
Naqsybandiyah tak lebih daripada suatu cabang tarekat Yasawiyah 41 . Di negara-negara tempat Naqsybandiyah berkembang, terutama di India dan di
Turki, ciri campur aduk dari tarekat ini nampak dengan jelas 42 . Itulah bukti lain dari ketahanan kepercayaan-kepercayaan lokal dan pra-Islam terhadap
kehancuran total, di mana dalam kenyataannya tarekat Yasawiyah dirasuki unsur-unsur animis dan syamanis.
Mari kita kembali pada peran pokok yang dimainkan oleh sufisme dalam pengislaman Asia Tengah—jalan termudah mencapai status wali: dapat dicatat di sini perihal berbagai tokoh sufi yang membuat raja-raja kafir memeluk Islam, mengubah keputusan mereka, atau mempunyai pengaruh istimewa atas nasib sebuah negara melalui raja-rajanya. Di antaranya terdapat Saif al-Din al-B kharz (wafat 1261), yang dimakamkan di Bukhara dan yang konon membawa Berke, salah seorang kepala (kh n) dari Golden Hord (Suku Mas, yaitu suku Mongol terkemuka pada waktu itu) masuk Islam (1257-1267). Saif al-Din, yang dikenal sebagai anggota
tarekat Kubrawiyah, mungkin juga anggota tarekat Yasawiyah 43 . Maka, sekarang kita harus membahas syekh-syekh dari tarekat Yasawiyah ini
yang memainkan peran penting. Setelah Berke, Golden Hord dikuasai kembali oleh beberapa kepala (kh n) non-muslim sampai zaman kekuasaan Ozbeg Khan (1312-1342); yang terakhir ini konon dibawa masuk Islam
41 Köprülü (1919, hlm. 92-93, 142). Sudah barang tentu terdapat perbedaan antara Naqsyabandiyah Asia Tengah dan tarekat-tarekat bernama sama yang berkembang
kemudian di kalangan orang Turki Usmani, di India dan di dunia Arab. 42 Lihat Th. Zarcone (1991, hlm. 137-200) dan (1993b, hlm. 19-20).
43 Keanggotaannya pada tarekat Yasawiyah menimbulkan persoalan dan hanya disebutkan dalam satu sumber, yaitu Jav hir ül-Ebr r, manuskrip Chagatay dari
akhir abad-16 (Universitas Istanbul TY, no. 3893), yang dikutip oleh F. Köprülü (1919, hlm. 29-30, 60). Mengenai Berke masuk Islam, lih. W Barthold (1945, hlm. 137) dan I. Vasary (1990, hlm. 230-252). Mengenai Sayf al-D n B kharz , lih. ‘Abd al-Husayn Zar nk ūb (1978, hlm. 108-112).
Thierry Zarcone
pada tahun 1321 oleh seorang syekh Yasaw yang tersohor bernama Sayyid At . Diduga bahwa syekh ini juga mengislamkan beberapa kepala (kh n)
suku Uzbek yang lain 44 . Makam Sayyid At , di Bakirgan, di daerah Khwarizm, adalah tempat ziarah yang penting. Diceritakan juga bahwa
pada tahun 1360, seorang Mahmud Yasav (?) berhasil mengembalikan ke jalan yang benar satu pemimpin (kh n) Uzbek yang berakhlak kurang baik,
yaitu Aziz Khan (atau Syekh) 45 . Pada tahun 1397-98, Timur Lenk sendiri, sesudah mengunjungi makam Ahmad Yasav , memerintahkan supaya
sebuah kubah yang megah dan dua menara dibangun di tempat makam itu, di atas kuburan sang wali dan anggota keluarganya; dia juga menambahkan berbagai gedung pada kompleks itu 46 . Timur Lenk pasti menyadari bahwa
tindakan ini akan mengharumkan namanya di mata penduduk daerah steppa yang dikuasainya itu. Dalam hal ini cukuplah dicatat sambil lalu pengaruh yang sangat besar dari tarekat Naqsybandiyah terhadap dinasti-dinasti Timuriyah (keturunan Timur Lenk) dan dinasti-dinasti Uzbek (Syai- baniyah) di kota-kota besar kawasan Transoxania (Samarkand, Bukhara, Khiwa, Kokand). Tokoh sufi yang terutama berpengaruh di daerah itu adalah Amir Kulal (wafat 1405) di Bukhara, yang mendapat dukungan
langsung dari Timur Lenk—konon mungkin muridnya 47 —serta Ubaidullah Akhrar (wafat 1404) di Samarkand, yang merupakan guru spiritual dari
Abu Saí'd, seorang pangeran Timuriyah yang berpengaruh 48 . Pada zaman itu, perjuangan melawan kepercayaan-kepercayaan non-
muslim sedang marak-maraknya di kalangan para sufi Asia Tengah. Di Anatolia, seperti akan kita lihat di bawah ini, pada perjuangan di atas ditambah juga perjuangan melawan berbagai aliran Syiah dan juga agama Nasrani. Namun janganlah dikira bahwa perjuangan itu selalu bersifat fisik, bahwa Islam selalu dipaksakan atau bahwa kepercayaan-kepercayaan bukan Islam ditindas dan dibuang begitu saja secara total. Harus juga dicatat bahwa dakwah para syekh tidak hanya dialamatkan kepada penguasa tetapi juga kepada khalayak ramai dan bahkan kepada pemuka agama-agama lainnya. Perdebatan dan pertukaran pendapat dengan pendukung agama lain agaknya sangat piawai. Islam ragam Turkik ini berhasil mengembangkan sinkretismenya yang khas melalui gesekan-
44 Barthold (1945, hlm. 139); F. Köprülü (1945, hlm. 281); Devin de Weese (1987).
45 Barthold (1945, hlm. 139). 46 F. Köprülü (1945, hlm. 64-68); L. Iu. Man’kovskaia (1985, hlm. 109-127);
Naim-Bek Nurmuhammedoglu (1991). 47 H. Algar (1990b, hlm. 124).
48 Th. Zarcone (1994a).
Turki dan Asia Tengah 389
gesekan dengan kepercayaan-kepercayaan lainnya. Seperti ditulis oleh Marijan Molé, cerita Ala’ al-Dawlah Simmani (wafat 1336), pengikut tarekat Kubrawiyah di atas, yang berlangsung di dunia Persia pada zaman kekuasaan Mongol (periode dinasti Il-Khan), memberikan gambaran dari apa yang mungkin berlangsung juga pada zaman yang sama di dunia Turki,
yang dikuasai pula oleh pemerintah Mongol 49 . Di istana Khan Arghun, sambil aktif berdakwah sebagai sufi, Ala’ al-Dawlah Simmani bergaul
dengan pengikut dari berbagai kepercayaan, terutama penganut syama- nisme, yang diikuti oleh mayoritas masyarakat Mongol, serta penganut agama Buddha, di antaranya raja sendiri dan sebagian besar dari pejabat
istana 50 . Dia mengadakan pertukaran pendapat yang paling dalam dengan para petapa Buddha yang disebut bakhsyi, dan bahkan menarik kesimpulan
bahwa jalan Sang Buddha dan jalan yang dianjurkan oleh para sufi Islam sangat dekat satu sama lainnya. Mengomentari salah satu teks yang membahas hal itu, M. Molé menulis: “Kita melihat seorang petapa Buddha, yang mungkin berasal dari India, sedang membantu seorang mistikus Islam untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialaminya di jalan batinnya
(suluk)” 51 . Simmani sama sekali tidak menyangkal baik nilai-nilai maupun efisiensi dari tapa yang diterapkan oleh para bakhsyi di atas, sebaliknya dia
mengaku bahwa mereka telah mencapai kepiawaian intelektual yang tinggi. Namun dia tetap yakin bahwa hanya jalan sufisme dan jalan Islam mampu membawa orang lebih jauh lagi.
Apabila kita menilik situasi di penghujung lain dari dunia Turkik, yaitu di barat, di Anatolia khususnya, kita melihat bahwa posisi aliran sufi, dalam banyak hal, tidak berbeda dari posisinya di Asia Tengah. Apalagi, penyusupan suku-suku Turkmen dan suku-suku Turkik lainnya ke Anatolia menciptakan suatu suasana religius di Asia Minor yang mirip dengan yang ada di seberang Amu Daria. Kecenderungan heterodoks, yang berasal dari suku Turkmen—dan kemudian disebut Alawi saja—juga merasuki sufisme
ortodoks Arab yang berasal dari Irak atau Suriah 52 . Pada saat berhadapan dengan tradisi-tradisi religius baru—Syiah dan Nasrani—Islam tetap
berfungsi sebagai satu kekuatan sinkretis. Contoh yang paling baik dari fenomena ini, yang telah diteliti oleh berbagai sarjana, adalah tarekat Bektasyi dan gerakan-gerakan serupa yang telah muncul baik sebelumnya (Bedreddiniyah) atau sesudahnya (Baba’iyah dan lain-lain). Seorang
49 Molé (1961, hlm. 76-82). 50 Mengenai suasana keagamaan pada periode itu, lih. M. Murtazav (1957). 51 Molé (1961, hlm. 81). 52 Mengenai keadaan tarekat-tarekat dalam Kekaisaran Turki Usmani, lihat Th.
Zarcone (1993a, hlm. 61-84).
Thierry Zarcone
peneliti Turki, Ahmed Yashar Ocak, telah menulis sebuah buku khusus untuk menganalisa bekas-bekas berbagai kepercayaan pra-Islam, Timur Jauh dan Yahudi/ Nasrani, dalam teks-teks pendiri gerakan-gerakan itu. Pada kenyataannya, kebanyakan kepercayaan yang nampak dalam wiracerita yang ditulis tentang wali-wali yang bersangkutan masih juga
sedikit banyak membekas pada praktik ziarah kepada mereka 53 . Namun untuk sementara kita akan membicarakan kasus yang lain, yaitu Baraq
Baba (atau Buraq) (wafat 1307), seorang wali yang amat berbeda dari wali- wali yang dimaksud dalam kajian Ahmed Yashar Ocak. Dia tidak terkait dengan gerakan-gerakan sufi tersebut di atas, tetapi merupakan suatu tipe perantara antara wali Asia Tengah dan wali Anatolia. Tokoh ini memiliki segala ciri khas dari darwis/syaman. Berbeda dengan sufi-sufi heterodoks dari Anatolia, Islam sebagaimana diamalkannya tidak menyelubungi praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan pra-Islam. Riwayat wali yang lain daripada yang lain ini mempunyai latar belakang yang kompleks dan mencakup baik kekaisaran Byzantium maupun kekaisaran Mongol Il-Khan dari Iran. Dia terlahir sebagai orang muslim, namun dia dipungut oleh orang Nasrani yang mendidiknya dalam agama mereka. Kemudian dia memeluk Islam ragam heterodoks yang dipraktikkan oleh bangsa Turkmen dari Anatolia, dan agaknya menjadi anggota tarekat Rufa’iyah, sambil tetap dipengaruhi secara mendalam oleh kepercayaan syamanis Mongol dan
tradisi sufi Asia Tengah 54 . Baraq Baba sangat dimuliakan oleh para penguasa Mongol Iran, terutama oleh Uljay ū (wafat 1312). Dia diajak
bermukim di istananya dan kemudian menyertai utusan-utusan Mongol ke berbagai negeri tetangga. Bahkan dia sempat mengegerkan kota Damaskus ketika, pada kesempatan sebuah misi diplomatik, dia dan murid-muridnya nampak dalam busana syaman yang lengkap, “Mereka mencukur habis janggutnya, berkumis tebal dan memakai topi laken bertanduk dua. Kalungnya terbuat dari tulang kerbau yang dipoles bubur berwarna dan
dari beberapa batang bengkok dan lonceng” 55 . Dia meninggal di daerah Jilan dan kemudian suatu makam dibangunkan oleh Uljayt ū di Sultaniye,
dekat Qazwin di Azerbaijan 56 . Karya-karya sastra hasil tangan wali ini
53 A.Y. Ocak (1983). Lihat juga I. Mélikoff (1987, hlm. 83-94). 54 Lih. Abdülbaki Gölpïnarlï (1936, hlm. 36-49); Th. Zarcone (1992d, hlm. 4);
A.Y. Ocak (1992a, hlm. 69-75) dan (1992c, hlm. 61-62). 55 F. Köprülü (1929, hlm. 17). Mengenai nama “Baraq Baba” di Asia Tengah, lih.
R. Dankoff (1971). 56 A. Gölpïnarlï (1936, hlm. 46-47).
Turki dan Asia Tengah 391
serta jenis komentar yang ditimbulkannya membenarkan dugaan kita tentang kompleksitas dan berbagai kontradiksi dari sifat religiusnya 57 .
Dampak sinkretis dari Islam Turkik ragam heterodoks ini terutama terlihat waktu terjalin hubungan antara bangsa pengembala dan pengikut- pengikut Syiah Ismailiyah, Syiah Dua Belas dan Nasrani—yaitu selama ratusan tahun untuk kelompok terakhir ini. Banyak unsur dari tradisi-tradisi religius tersebut dintegrasikan dalam adat dan upacara-upacara Islam ragam Turkik di atas, dan hingga kini unsur-unsur itu dapat dengan mudah diketahui asalnya. Berbagai santo Nasrani juga dimasukkan ke dalam kelompok wali-wali Bektasyi disamping wali-wali suku-suku Turkmen (Kizilbasy, Alawi, Yuruk dan lain-lain). Seperti di daerah-daerah lain di dunia Turkik, sufisme mendorong sinkretisme dengan dua cara: pertama melalui pertukaran pendapat antara para cendekiawan dari kelompok religius yang berbeda; kedua, di pedesaan, dengan melahirkan sejenis sintesis yang menjembatani perbedaan antartradisi dengan menekankan persamaan-persamaan yang ada. Adopsi berbagai kepercayaan Syiah pada zaman Seljuk, hal itu dipermudah oleh rasa hormat terhadap Ali yang memang lumrah di kalangan sufi. Bukankah ada hadis yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad telah mewariskan kunci esoterisme Islam kepada
menantunya, Ali 58 ? Itulah sebabnya kebanyakan aliran sufi, baik Sunni maupun Syiah, memandang Imam Ali sebagai awal dari silsilah mistis
mereka 59 . Tradisi futuvva sendiri, yang banyak diresapi pengaruh sufi, juga mengandung berbagai kepercayaan Syiah 60 . Claude Cahen, ketika mem-
bahas Anatolia pada zaman Seljuk, bahkan mengatakan bahwa “aliran Sunni diSyiahkan dari dalam” 61 ; harus dicatat bahwa fenomena tersebut
sudah biasa dalam Islam ragam Turkik, yang senantiasa mengadopsi dan mengasimilasikan kepercayaan-kepercayaan luar tanpa kehilangan ciri-ciri Sunni dan Hanafi yang dianutnya. Di lain pihak, propaganda yang dilancarkan pada abad ke-15 oleh dinasti Safawiyah dari Iran, memper- mudah masuknya sejumlah besar kepercayaan dan upacara-upacara Syiah, baik dalam tarekat-tarekat ortodoks (Khalwatiyah, Bairamiyah, Rufa‘iyah, Qadiriyah) dan heterodoks maupun di kalangan suku-suku pengembara. Di antara upacara tersebut termasuk perayaan tragedi historis Karbala pada
57 Hilmi Ziya (1340 H; Gölpïnarlï (1936, hlm. 198-207); A. Bodrogligeti (1974, hlm. 83-128); Haydar Ali Diriöz (1951, hlm. 167-170).
58 M. Yashar Kandemir (1992, hlm. 376). 59 Kecuali Naqsybandiyah, misalnya, yang berpangkal pada Abu Bakr. 60 Lih. A. Gölpïnarlï (1949-50, hlm. 57-63).
61 C. Cahen (1970, hlm. 118-119).
Thierry Zarcone
bulan Muharram bersamaan dengan perayaan Asyuranya 62 . Tarekat Bektasyiyah jelas dirasuki pengaruh Syiah, dan agaknya itulah sebabnya
sering kemudian disebut “cripto-Syiah” (yaitu samar-samar Syiah), seperti pula halnya dengan tarekat Khalwatiyah, walaupun anggota tarekat ini mengaku sebagai pendukung yang teguh dari aliran Sunni. Membaca tulisan pada batu nisan makam wali-wali Bektasyi yang ditemukan di Anatolia, kita kerap mendapat kesan bahwa wali yang bersangkutan adalah orang Syiah: tertulis misalnya muhibb-i Murteza (pencinta Murtazha Ali), muhibb-i can-feda-yi Kerbela (pencinta syuhada-syuhada Karbala), sadat-i
sulale-yi Kazimiyye 63 (sayyid dari keluarga Mus K zim imam ke-7) . Di Anatolia hubungan antara agama Islam dan Nasrani berlangsung
berabad-abad lamanya, mulai dari zaman munculnya negara Seljuk pada abad ke-12, sampai tahun 1923, ketika diadakan pemindahan penduduk secara massal, dengan akibat Anatolia dikosongkan dari penduduk Nasrani. Berbagai kisah tentang hubungan, pertukaran pendapat dan konfrontasi
antarkelompok terdapat dalam riwayat hidup wali-wali Islam di Anatolia 64 . Pendeta-pendeta Nasrani sering dianggap sebagai ahli tenung yang sakti
dan amat disegani, dan karena itu banyak orang Islam mengunjungi mereka khusus untuk mencari pengobatan atau untuk mengusir setan-setan 65 .
Namun doktrin spiritual para syekh tetap dianggap lebih ampuh. Melihat kenyataan bahwa Islam mengaku sebagai suatu agama yang merumuskan kembali tradisi Al Kitab dan Perjanjian Baru, asimilasi dalam Islam dari beberapa komponen Nasrani boleh dikatakan sudah setengah jadi. Apalagi sejak Ibn ‘Arab (abad ke-13), gerakan sufi menaruh hormat yang tinggi terhadap Yesus Kristus, hingga ada musafir-musafir Barat yang mengang-
gap sejumlah sufi sebagai “crypto-Nasrani” (orang Nasrani terselubung) 66 . Wiracerita Haji Bektasy, pendiri tarekat Bektasyiyah, mengandung banyak
bukti tentang hubungan yang akrab antara para sufi anggota tarekatnya dan masyarakat Nasrani setempat; semangat gh z untuk mengislamkan dengan paksa sama sekali tidak ada. Diceritakan kasus pendeta Nasrani yang secara diam-diam menjadi anggota tarekat; di bawah gerejanya konon terdapat suatu ruang khusus di mana dia menyembunyikan suatu mihrab
serta pakaian-pakaian sufi 67 . Harus dicatat juga bahwa tutup kepala sufi
62 Lih. I. Mélikoff (1966) dan (1975). 63 Lih. N. Vatin (1990, hlm. 48-51); N. Vatin & Th. Zarcone (1995). 64 Lih. M. Balivet (1987) dan (1988, hlm. 262-263); I. Beldiceanu-Steinherr (1991,
hlm. 46-58).
65 Demikianlah keadaannya sekarang di Istanbul, di mana masih ada satu kelompok kecil orang Yunani beragama Nasrani Ortodoks.
66 Lih. M. Balivet (1990, hlm. 103-107). 67 A. Gölpïnarlï (ed., 1958, hlm. 56).
Turki dan Asia Tengah 393
(taj/tac) yang dipakai oleh pendeta itu bukanlah topi Bektasyi yang dipakai oleh anggota tarekat ini sampai permulaan abad ke-20 (Huseyin tac, edhem tac ) tetapi suatu topi lebih kuno, elifi-tac, yang jelas berciri Asia Tengah
dan kemungkinan berasal dari tradisi syaman-Buddha lama 68 . Ketika pemerintah Turki Usmani berusaha memperketat ortodoksi agama, ditemu-
kan wali-wali Islam heterodoks yang tidak jelas apakah mereka sufi heterodoks atau biarawan Nasrani 69 . Terdapat juga banyak tanda bahwa
orang Nasrani telah menjadi pendukung dari tarekat Bektasyi tanpa harus meninggalkan agamanya. Pada akhir abad ke-19 dan ke-20 di Thracia Timur, yang sejak lama dihuni oleh kaum Nasrani dan Alawi dalam jumlah besar, ditemukan juga orang Nasrani Armenia dan Yunani yang secara diam-diam menganut kepercayaan-kepercayaan Bektasyi. Beberapa tahun yang lalu, seorang pakar folklore Turki mengumpulkan puisi-puisi yang
ditulis dengan pola Bektasyi oleh orang-orang itu 70 . Lebih jauh lagi, dapat dikatakan bahwa tujuan tersembunyi dari wiracerita Haji Bektasy adalah
mempermudah orang non-Islam pindah agama secara halus dan dengan sengaja—dan dengan demikian memeluk suatu agama universal, sebagai- mana diwakili oleh Haji Bektasyi itu sendiri. Wiracerita itu mengisahkan bahwa, dengan satu atau dua perkecualian, orang Nasrani yang berurusan dengan sufi-sufi jadi memeluk Islam; suku-suku “Tatar” (Mongol) beragama Nasrani, aliran Nestorian, konon telah juga memeluk agama Islam berkat jasa murid sang wali tersebut. Diceritakan juga dalam wiracerita Haji Bektasy itu bagaimana salah seorang muridnya berhasil menyusup di antara orang Mongol non-muslim di Anatolia untuk
menghancurkan berhala-berhala pujaan mereka 71 . Semua kejadian-kejadian ini, walau diceritakan dengan nada menggurui, merupakan bukti dari
kesungguhan penulis—yang pasti juga seorang sufi—dalam menekankan unsur persamaan antaragama daripada perbedaannya. Tujuannya adalah menghasilkan suatu sintesis adiluhung dari semua agama, di mana wali- wali dan santo-santo dipadankan satu sama lain. Tempat ziarah yang disebut “kurang jelas” oleh F.W. Hasluck di atas, adalah ilustrasi yang baik
68 Hal itu mengingatkan orang misalnya kepada tudung kepala para lama (pendeta Buddhis) di Tibet, terutama yang dipakai oleh Tsong-Kha-pa, pendiri Lamaisme.
Mengenai elif -t c, lih. Gölpïnarlï (1936, hlm. 40-42).
69 Demikianlah kasus Sarï Saltuk, yang di kalangan orang Kristen Balkan dipanggil Santo Nicolas. Karena alasan politik, wiraceritanya yang disusun jauh setelah ia
meninggal berusaha keras untuk menampilkan darwis ini sebagai seorang muslim sempurna. Lihat Th. Zarcone (1990a, hlm. 629-638) dan (1992d, hlm. 1-11).
70 Lih. Idem, hlm. 11. 71 A. Gölpïnarlï (ed., 1958, hlm. 23-24, 38-45, 66-67); Beldiceanu-Steinherr (1991,
hlm. 47-49).
Thierry Zarcone
dari fenomena ini, dan ternyata banyak wali memiliki identitas rangkap sebagai wali dan santo. Misalnya Sari Saltuk adalah Santo Nikolas dari orang-orang Nasrani, sedangkan Akyazili merangkap Santo Athanasios, yang dimakamkan dekat Varna di Bulgaria. Proses identifikasi tidak hanya dialami di Anatolia, tetapi juga di seluruh Asia Tengah. Dapat disebut misalnya kasus orang suci agama Manuisme yang diangkat sebagai wali yasav dengan nama Khv j Rushen ’i, yang dimakamkan di kota Kashan,
dekat Ilaq di Ferghana 72 ; contoh-contoh lain adalah kasus-kasus dari dewa “pra-islam” yang diubah menjadi wali sufi di Kaukasus dan Turk-
menistan 73 .
Tipologi Para Wali