Bekerja untuk P īr
Bekerja untuk P īr
Ketika laki-laki dan perempuan mengunjungi p r, mereka dipisahkan satu sama lain sesuai dengan tradisi Islam. Kaum laki-laki menanti di luar rumah p r dan menemuinya pada saat dia keluar. Kaum perempuan berada dalam rumah yang, karena ditinggali sang p r, merupakan pusat simbolis dari penghormatan kepadanya. Namun, kaum perempuan tidak diper- kenankan bertemu dengan p r sendiri, meskipun mereka dapat melihatnya sekilas. Apa yang dideskripsikan di bawah ini berdasarkan pengalaman saya ketika menanti di luar rumah p r, bersama-sama dengan murid laki- laki.
Pada hari yang paling sepi pun selalu ada ratusan pengunjung ke Atroshi. Selain p r dan keluarganya, ada juga murid-murid serta berbagai tamu, dan semuanya itu merupakan pemukim sementara, sejenis komunitas moral yang hidup di bawah naungan p r. Kebanyakan murid hanya mengunjungi tempat p r sekali-sekali, meskipun diperkirakan mereka mestinya datang paling sedikit setiap tiga bulan. Bahkan apabila perayaan tahunannya pun tidak dapat mereka hadiri, maka hubungan spiritualnya dengan p r konon merosot. Sesungguhnya tempat p r dibuat sedemikian rupa sehingga berfungsi secara teratur baik ketika hampir kosong, seperti pada hari-hari Id, maupun ketika dibanjiri ratusan ribu orang, seperti terjadi pada waktu perayaan tahunan atau haul (urus).
Dalam pengelolaan sehari-hari tempat p r, patut digarisbawahi bahwa para murid bekerja sepenuhnya untuk p r dan di bawah kontrolnya. Terdapat sejenis ideologi “kerja sukarela” dengan struktur-struktur rutin
328 Samuel Landell-Mills
yang memungkinkan para pemula untuk diterima tanpa harus mengganggu organisasi dan tujuan kerja yang sudah ada. Untuk para murid, suatu cara untuk memperbarui hubungan kepatuhannya terhadap p r adalah melakukan khidmat (khedmot), atau pelayanan kepadanya. Dalam beberapa hal, khedmot dapat berarti sumbangan uang atau materi; namun pada umumnya kata ini dipergunakan untuk pengertian kerja fisik atau adminis- tratif yang dilakukan untuk sang p r. Tidak setiap pengunjung ke Atroshi diwajibkan bekerja. Ada banyak orang yang tanda pengabdiannya kepada pr hanya berupa melakukan perjalanan enam jam dari Dhakka, memakan hidangan yang disediakan oleh p r—yang dianggap sebagai penyalur berkahnya—dan memohon diri untuk pulang, sebagaimana dikatakan oleh salah seorang murid, “Saya datang, saya makan, saya pulang”. Bagai- manapun juga perjalanan dari Dhakka yang jauh itu, dengan segala kesulitannya, merupakan sejenis khedmot pula. Murid-murid lain, terutama yang menetap lama di tempat p r, agaknya merasa bahwa jika hanya memakan makanan berlimpah yang ada di Atroshi tanpa kerja pasti akan mengurangi berkah yang mereka dapatkan dari p r. Semakin jauh para murid ditarik masuk ke dalam tradisi tarekat, semakin sadar mereka bahwa tidak mungkin melunasi hutang kepada p r, karena apa yang dia berikan kepada mereka tidak mungkin dibalas.
Hal pokok yang dikemukakan berulang kali oleh p r dan murid- murid -nya ialah bahwa untuk mendapatkan berkah, orang harus bekerja. Kerja akan membuktikan ketulusan seseorang dan akan merebut perhatian pr sedemikian rupa, sehingga dia akan memberikan berkah kepada orang yang berbakti kepadanya. Karena p r dianggap mengetahui semua per- buatan murid-nya, diasumsikan bahwa pekerjaan apa pun yang dilakukan untuknya pasti diketahuinya pula. Di Atroshi pekerjaan dilakukan dengan harmonis dan efisien; setiap orang betul-betul ingin menyelesaikan bagian yang menjadi tugasnya. Tidak ada seorang pun yang wajib tinggal di Atroshi, tetapi banyak di antara penghuni sementara yang tidak ingin pergi, entah karena setia pada p r atau karena mereka mengalami masalah yang lebih besar di luar.
Populasi tempat p r (darbah) bersifat sementara, terdiri dari orang yang datang dan pergi. Siapa pun juga tidak bisa membangun tempat tinggalnya di situ, karena tidak ada satu sudut pun dari tempat itu yang berada di luar hak milik p r, dan tidak ada seorang pun yang tidak dapat diusir begitu saja dari “tempat suci” itu. Atroshi adalah suatu pusat keagamaan dengan hierarki yang sangat khas, yang mengungguli berbagai hierarki lainnya yang umum berlaku di masyarakat luas. Presiden pun diharapkan tunduk di hadapan p r dan diajak mengambil bagian dalam
P r Atroshi di Bangladesh 329
pementasan kewalian di atas. Tokoh-tokoh yang kurang penting lebur begitu saja.
Meski sudah sangat tua, p r tetap mengambil bagian secara ringan dalam pengelolaan situs, walaupun sistem kerja yang ada sesungguhnya cukup mapan dan dapat berjalan tanpa intervensi apa pun darinya. Setiap malam p r mendiskusikan dengan staf dapur menu untuk hari berikutnya. Dia juga memeriksa setiap pekerjaan bangunan yang sedang dilakukan. Para insinyur yang bekerja pada berbagai projek yang ada di Atroshi setiap kali harus menyerahkan rencana kerjanya untuk mendapatkan persetujuan, dan mereka harus mengadakan perubahan sesuai dengan kemauan p r. Azan pun tidak boleh dikumandangkan tanpa persetujuan p r, dan dia secara tak terduga mengangkat ulama (mullah) yang berbeda, untuk berbagai tugas pada hari-hari yang berbeda. Salat pun tidak pernah dimulai sebelum kehadiran p r di tengah pengikutnya, yang sejak dini sudah berkumpul dan menantinya.
Para murid diharapkan mengikuti tata cara tertentu dan melanjutkan tugas yang dipercayakan kepada mereka tanpa menceritakan kesulitan yang mereka alami serta manfaat pribadi yang mereka peroleh dari hubungan guru-murid. Ide yang mendasari hal itu adalah bahwa di antara orang-orang yang terlihat berlalu-lalang sehari-hari di sekitar Atroshi terdapat berbagai taraf pencapaian rohani. Dan orang sering berkata bahwa siapa tahu orang- orang tua yang sibuk memecahkan bata misalnya sudah sangat maju rohaninya. Seorang murid bisa menebak taraf pencerahan spiritual murid yang lain, tetapi tidak mungkin tahu dengan pasti. Hal ini adalah semata- mata urusan antara p r dan murid. Berkat kemampuannya, p r dapat mengetahui kondisi setiap orang yang mendatanginya, dan kemudian taraf kemajuan spiritual yang dicapai setiap murid, karena dialah yang telah memberikan taraf itu. Kemauan p r sendiri tidak dapat ditebak, meskipun sering disebut adanya sejenis permainan kucing-kucingan (khela, Ar. h la, Ind. kilah) antara p r dan murid-nya. Ada perbedaan yang mencolok antara pr yang dipandang sebagai sosok orang tua yang tenang, sebagaimana terlihat oleh setiap orang, dan p r dalam impian murid-murid-nya.
Pr menerima murid-nya tiga atau empat kali sehari menurut suatu pola harian yang teratur: pagi hari di serambi depan rumahnya, lewat tengah hari di ruang tamunya, sore hari (secara lebih terbatas) ketika dia mengadakan pemeriksaan keliling, dan pada malam hari di ruang luar kamar tidurnya.
Oleh karena jumlah orang yang ingin menemuinya sangat besar, akses pada p r diatur dan dibatasi oleh beberapa murid seniornya. Pada umumnya merekalah yang menjelaskan kepada p r keluhan para pengun- jung. Banyak orang datang menghadap hanya untuk menyentuh kaki p r.
330 Samuel Landell-Mills
Mereka diperkenankan melakukan hal itu sebentar, sebelum didorong keluar oleh para pembantunya. Istilah yang dipakai untuk itu adalah khotombushi , yakni “diberikan kepada” atau “diterima oleh” murid. Saya kira hal itu dilihat sebagai ungkapan fisik khas yang terkait pada taraf keakraban ideal yang diciptakan oleh kepatuhan murid terhadap p r. “Bayangkan saja Anda sedang memegang kaki itu”, saran seorang murid berhati baik kepada saya. P r dapat saja mendatangi seorang murid sebagai kawan dalam mimpi dan bercakap-cakap dengannya, tetapi dalam khayalan seorang murid ia seharusnya ada dalam keadaan siaga mengabdi, seraya menanti-nanti “debu kaki” (choronduli) sang guru. Pengabdian batin yang menggebu-gebu sangat dianjurkan, tetapi seharusnya tidak sampai kelihatan bertentangan dengan sopan santun Islam.
Dalam rutinitas keseharian, p r kadang bersikap aneh dan tak terduga; hal itu menandakan betapa eksklusif wibawanya, meskipun bersifat rutin. Misalnya ada cara tertentu untuk mendekatinya, namun jawabannya tak dapat diduga. Dua orang dengan “keluhan” yang sama bisa jadi mendapat nasehat yang bertolak belakang. Titik pentingnya adalah bahwa yang harus disakralkan pemohon bukanlah hal atau tindakan yang dinasehatkan, tetapi sumbernya, dan dengan demikian gambaran yang ada dalam diri pemohon terhadap sumber nasehat itulah yang berperan sebagai sarana bagi tercapainya permohonan. Seperti dikatakan oleh seorang murid “Apabila Anda berpikir bahwa dia adalah Tuhan, maka dia menjadi Tuhan. Apabila Anda melihat dia sebagai seorang penjahat, hal itupun menjadi kenyataan.”
Kepribadian yang diatas manusia biasa sang p r telah dikembangkan selama empat puluh tahun menaati suatu rutinitas khusus, dan sebelum itu dia sempat mengamati dan menirukan cara hidup gurunya sendiri. Cara dia menampilkan diri sebagai seorang p r dimaksudkan agar berdampak dalam jangka panjang. Hal itu dilakukan sedemikian rupa, sehingga semakin akrab si murid dengan sosok p r dan dengan cara dia bersikap dan berbicara, semakin kelakuan biasa-biasa saja dianggap sebagai tirai yang menutupi kekuatan spiritual yang besar. Menurut pengakuan mereka sendiri, lama-kelamaan para murid menyadari bahwa p r sedang bermain- main dengan mereka; dia membuka diri dan mengungkapkan kesaktiannya hanya sedikit demi sedikit; pada akhirnya mereka takluk kepadanya, sehingga keputusan-keputusan penting yang menyangkut kehidupan mereka sepenuhnya diserahkan kepadanya karena takut bersikap inde- penden. Dalam pandangan mereka proses menuju sifat penyerahan diri itu bukanlah sekadar suatu alat untuk berserah dan percaya kepada Tuhan, tetapi juga untuk mencapai ihsan, yaitu kesadaran akan hakekat Tuhan yang membuat iman dan penyerahan diri mempunyai makna. Di Atroshi
P r Atroshi di Bangladesh 331
definisi populer dari kata ihsan ialah: karena tidak dapat melihat Tuhan, kamu harus membayangkan bahwa Dia melihatmu.
Sang p r dianggap berkuasa penuh di Atroshi, sebagaimana dia dianggap berkuasa atas kehidupan pribadi murid-nya. Untuk itu Atroshi menjadi sejenis tempat dilakukannya latihan ketaatan ritual, yang secara fisik lebih nyata, yang tidak dapat dilaksanakan murid-murid dalam kehidupan sehari-harinya di tempat lain, atau yang tidak dapat diungkapkan secara terbuka di depan umum. Salah satu contoh yang sederhana adalah zikir yaitu pengucapan nama Allah secara berulang-ulang. Di Atroshi zikir itu dilakukan secara kolektif dan dengan suara lantang, padahal menurut ajaran tarekat tersebut semestinya “ditutup dalam-dalam”, yakni dilakukan dengan diam, dengan menggunakan nafas. Murid-murid p r Atroshi dikenal sebagai para “Zaker”, yaitu mereka yang “ingat”. Ini suatu tanda betapa penting acara zikir itu. Zikir adalah pelajaran resmi pertama yang diberikan kepada murid-murid dan mereka diminta bangun di tengah malam untuk melakukannya. Ada imbangan visual setengah rahasia bagi pengucapan nama Tuhan itu, yaitu sambil membayangkan wajah sang p r.
Dengan demikian sudah jelas betapa pribadi sang p r merupakan pusat tempatnya. Kedamaian tempat itu dilihat sebagai limpahan dari “pencapaian rohani” sang p r. Tata ruang tempatnya dapat dilihat sebagai kerangka berlapis-lapis di sekitar pribadi p r.
Pribadi p r sendiri dihormati, namun badannya menunjukkan suatu hierarki tersendiri, dengan kaki dan pakaiannya yang dapat disentuh oleh murid , sedangkan mukanya tidak pernah. Lebih dari itu, kehadiran p r secara paling khas dirasakan melalui pandangan matanya, dan kedekatan maksimal yang dapat dicapai oleh kebanyakan murid adalah di tempat- tempat di mana mata mereka dapat menatap matanya. Tatapan p r adalah aspek p r yang paling mengesankan. Beberapa murid—yang sangat setia— bahkan takut menghadap p r dan mengkritik murid lain yang berlaku lebih tenang jika berhadapan dengan p r, dengan mengatakan bahwa mereka jelas tidak mengerti implikasi dari pengalamannya itu.