Wali Pelindung Bukhara dan “Nabi Muhammad Kedua” dari Asia Tengah
Wali Pelindung Bukhara dan “Nabi Muhammad Kedua” dari Asia Tengah
Kompleks makam Bah ’ al-D n Naqsyband, yang terletak di sekitar 10 km dari Bukhara, di distrik Kagan tak ayal adalah salah satu tempat keramat yang paling besar di Asia Tengah, dan bahkan salah satu yang paling diagungkan di seluruh dunia Islam. Desa Bavaddin tempat kompleks itu berada, kini mengambil nama dari makam itu, walaupun pernah dikenal juga dengan dua nama lama lainnya. Yang pertama—Qasr-i Hind ūv n (benteng orang-orang India)—menandakan kehadiran orang-orang Buddhis dan mungkin mengacu pada kehadiran suatu biara Buddhis di masa lalu, walaupun seorang ahli sejarah Uzbek berpendapat bahwa kompleks makam
Thierry Zarcone
itu menempati lokasi suatu situs yang lebih kuno lagi 1 . Setelah wafatnya Bah ’ al-D n pada tahun 1389, desa itu juga dinamakan Qasr-i Ar f n
(Benteng Orang Arif), karena kearifan sang wali 2 . Wali yang dimakamkan di situ adalah pendiri suatu tarekat yang
anggotanya tersebar dari kawasan Balkan sampai ke Tiongkok dan Indonesia, selain juga di Timur Tengah, Turki dan India. Lahir pada tahun 1318, Bah ’ al-D n Naqsyband terkait dengan tarekat yang disebut “Tarekat Para Guru” (tar qat-i khv jag n) yang didirikan oleh Y ūsuf Hamad n (wafat 1141). Kedua murid yang paling terkemuka dari guru sufi terakhir ini adalah Ahmad Yasav (wafat 1167), yang mendirikan suatu tarekat sufi lainnya, yaitu tarekat Yasaviyah, yang populer di kalangan penutur bahasa Turkik, serta ‘Abd al-Kh liq Ghijduv n (wafat 1220), yang merupakan perintis pertama dari tarekat Naqsybandiyah sebagai
pemberi ilham kepada Bah ’ al-D n Naqsyband 3 . Dari ajaran guru ‘Abd al-Kh liq Ghijduv n , Bah ’ al-D n memin-
jam dan mengembangkan berbagai unsur yang merupakan ciri khas tasawuf Naqsyband . Yang pertama ialah praktik sejenis zikir diam atau “zikir tersembunyi” (dhikr-i khafi). Berbeda dengan lazimnya doa-doa wirid di kalangan Islam sufi, zikir ini tidak ucapkan, melainkan dibacakan dalam
hati 4 . Praktik ini menandakan adanya kecenderungan untuk kembali ke doa individual, suatu kebiasaan yang belum lumrah pada waktu itu di kalangan
sufi, yang masih terus berzikir secara kolektif pada kesempatan pertemuan- pertemuan tertentu. Namun hal itu tidak berarti bahwa anggota Naqsy- bandiyah tidak melakukan zikir diam secara kolektif. Justru sebaliknya. Ketika para syekh Naqsybandiyah mengatakan (ternyata kerap kali) bahwa praktik mistis tarekat mereka mulai ketika praktik tarekat-tarekat lainnya berakhir, maksud mereka ialah menekankan keunggulan teknik mistis di atas. Memang tak dapat disangkal bahwa, dilihat dari segi itu, tarekat Naqsybandiyah mengamalkan suatu bentuk sufisme yang paling mendalam.
Ciri khas kedua tarekat itu, yang menunjukkan pengaruh langsung dari Bah ’ al-D n, adalah aturan “Sebelas Sabda Suci” (atau prinsip suci)
1 Menurut W. Barthold, sebagaimana dikutip oleh O.A. Sukhareva (1960, hlm. 35). Lihat uraian panjang mengenai topik ini oleh V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 153-
154). 2 A.S. Nev y (1979, hlm 235). Lihat juga M. Molé (1959, hlm. 55).
3 Mengenai sejarah tarekat ini dan sufisme di Bukhara, lihat H. Algar (1990a, hlm. 3-44); H. Algar, “Naqshband” dalam Encyclopédie de l'Islam, edisi ke-2, jil. VII,
hlm. 933-935; H. Algar & K. A. Nizami, “Nakshbandiyah”, dalam Encyclopédie de l'Islam , edisi ke-2, jil. VII, hlm. 935-940; H. Carrère d’Encausse (1966, hlm. 65- 67).
4 Kajian terbaik tentang zikir ini adalah karya H. Algar (1974, hlm. 39-46).
Makam Bah ’ al-D n Naqsyband di Bukhara (Uzbekistan) 447
yang mendasari kehidupan spiritual, sosial, dan politik dari tarekat. Delapan prinsip pertama ditetapkan oleh ‘Abd al-Kh liq Ghijduv ni, sedangkan tiga yang terakhir ditentukan oleh Bah ’ al-D n sendiri. Dua di antaranya sangat terkenal, yaitu prinsip yang menekankan kesadaran akan pernafasan (hush dar dam) dan, lebih lagi, prinsip yang mengingatkan kita bahwa pencarian mistis dapat dilakukan di tengah masyarakat tanpa
memutuskan hubungan dengan dunia (khalvat dar anjuman) 5 . Prinsip terakhir ini adalah landasan dari kekuasaan “duniawi” yang dimiliki tarekat
ini; dan prinsip itulah juga yang mendukung kebangkitannya kembali dalam Republik Uzbekistan yang berdiri belakangan ini. “Kehadiran di dunia” kaum sufi itu juga menjelaskan mengapa tarekatnya selama berabad-abad berhasil memegang peran historis yang penting di Turkestan, di bawah dinasti-dinasti Timuriyah (Timur Lenk), Syaibaniyah, dan Asytrakhaniyah.
Lama-kelamaan Bah ’ al-D n Naqsyband menjadi wali utama dan pelindung kota Bukhara. Seperti disaksikan oleh musafir dan orientalis Hungaria Arminius Vambery yang terkenal, penduduk Bukhara betul-betul percaya bahwa dengan satu kali mengucap “Bah ’ al-D n bala gardan” (Bah ’ al-D n menjauhkan kemalangan), mereka dapat terlindungi dari
segala jenis petaka 6 . Kepercayaan ini dikecam dengan pedas oleh para pemikir reformis agama abad ke-19 dan ke-20, yang menganggap peran
tradisi di sekitar Bah ’ al-D n sebagai salah satu sebab dari kemacetan politik dan sosial yang dialami oleh Kerajaan Bukhara. Banyak orang juga percaya bahwa serangan Rusia tahun 1864 akan dapat dipukul mundur
berkat bantuan sang wali 7 . Para emir Bukhara, yang juga merangkap sebagai pelindung makam, memakai Bah ’al-D n sebagai landasan
legitimitasi politis dan religius. Banyak di antaranya berziarah ke makam secara berkala 8 .
Masyarakat Bukhara dan kaum muslim dari seluruh Asia Tengah mengagungkan sang wali secara tak terhingga, seperti akan terlihat di bawah ini, dan banyak di antaranya datang dari jauh untuk menciumi makamnya. Maka tidak mengherankan bahwa dengan menyamar sebagai sufi Naqsyband , Arminius Vambery dapat memasuki Bukhara pada akhir abad ke-19. Pada seorang petugas Uzbek dari Khiva (di barat daya Uzbekistan) yang menanyakan alasan perjalanannya, dia membalas dengan cara berikut, “Saya menyiratkan dengan itu bahwa saya adalah anggota
5 Lihat M. P rs (1977). 6 A. Vambery (1987, hlm. 175). 7 Lih. H. Algar (1990a, hlm. 11-12); H. Carrère d’Encausse (1966, hlm 171-172). 8 Lih. V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 151).
Thierry Zarcone
satu tarekat sufi yang melaksanakan tugas guru-nya (p r); tugas itu harus dilaksanakan, kendatipun dengan risiko menemui ajalnya. Penjelasan itu diterima, tetapi dia menanyakan nama tarekat saya, dan ketika saya sebut nama Nakchibend , sang duta itu, sebagai orang yang cerdas, menduga— seperti telah saya tebak sebelumnya—bahwa pastilah kota Bukhara
merupakan tujuan perjalanan saya” 9 . Vambery juga menambahkan bahwa Bah ’ al-D n diagungkan sebagai Nabi Muhammad kedua dan bahwa
peziarah berbondong-bondong ke Bukhara dari segala penjuru, termasuk dari pelosok-pelosok terpencil Tiongkok 10 .
Beratus-ratus tahun lamanya, makam Bah ’ al-D n menjadi obor kaum sufi di seluruh kawasan Turkik dan Persia, sampai ke Turki dan India. Kompleks makamnya itu dapat juga dianggap sebagai tempat
keramat tarekat lainnya, yaitu tarekat para qalandar 11 . Beberapa musafir mencatat bahwa di Bukhara berkeliaran sufi-sufi pengelana itu yang tidak
begitu mengindahkan ajaran agama Islam. Shah Mashrab (1657-1711), salah satu wakil utama dari tarekat tersebut, bahkan telah mengagungkan makam Bah ’ al-D n dalam syairnya:
Bukhara dapat disebut musim semi Musim seminya dapat disebut musim dingin, Seandainya tidak ada Bah ’ al-D n di Bukhara,
ia dapat disebut juga negeri orang kafir 12 .
Dengan keliru, A. Vambary mengira bahwa para qalandar dari Bukhara adalah anggota-anggota tarekat Naqsyband . Katanya, “Kita melihat arak- arakan darwis Nakichbendi (...) Saya tidak pernah akan melupakan adegan itu, ketika orang-orang liar penuh gairah, dengan topi yang runcing itu, tongkat-tongkat yang panjang, rambut panjang terurai, mulai berputar-putar menari, seperti orang kerasukan, sambil meneriakkan suatu lagu yang setiap baitnya dimulai dengan isyarat ketua mereka yang berjenggot kelabu
itu...” 13 . Hubungan antara kerajaan Bukhara dan kesultanan Turki Usmani
berlangsung secara terus menerus sampai zaman Soviet. Yang diangkat sebagai duta resmi ataupun penasihat dari emir Bukhara dan sultan Turki Usmani hampir selalu syekh tarekat Naqsyband . Selain itu, ketika berada
9 A. Vambery (1987, hlm. 114-115). 10 Idem, hlm. 175-176. 11 Lih. Sukhareva (1960, hlm. 34). Persatuan Naqsybandiyah-Qalandariyah dapat
dijelaskan; lihat Th. Zarcone (1991, Bab IX, hlm. 184-194). 12 Masyrab (1992, hlm. 132-134); Näsäfiy (1993, hlm. 40).
13 A. Vambery (1987, hlm 157). Mengenai kehadiran qalandar dari Turkistan Cina di Bukhara, lihat Tursun (ed., 1985, hlm. 588-89).
Makam Bah ’ al-D n Naqsyband di Bukhara (Uzbekistan) 449
di Istanbul, para anggota Naqsyband bersuku Uzbek memanfaatkan jaringan pondok yang dikelola oleh darwis-darwis dari Asia Tengah: yang
paling terkenal di antaranya adalah “Bukhara tekkesi” (pondok Bukhara) 14 . Sejarah bangunan-bangunan kompleks makam Bah ’ al-D n
merupakan bukti nyata dari kesinambungan dukungan para emir Bukhara. Sumbangan mereka dalam pembangunan kompleks sangat besar. Mereka- lah yang membangun pondok (kh naq h), masjid-masjid serta banyak
gedung lainnya yang mengelilingi makam asli 15 . Apabila datang dari luar, jalan yang harus ditempuh untuk mencapai makam melalui tiga pintu. Pintu
pertama, kalau datang dari desa, disebut darv zakhana (dari bahasa Persia darv za , pintu) dan dibangun, dilihat dari gaya arsitekturnya, pada abad ke-16, pada masa emir Abdull h Kh n (yang berkuasa antara tahun 1557 dan 1598). Pintu kedua, darv za-yi dil var (yaitu “pintu keberanian”, abad ke-16), dan pintu ketiga, b b-i-sal m (“pintu keselamatan”) memisahkan dua halaman. Setelah melalui pintu terakhir ini kita mencapai suatu halaman besar yang di ujungnya terdapat makam Bah ’ al-D n. Makam ini berupa sebuah jirat yang sangat besar di depannya berdiri sebatang tugu tegak dengan epitaf beraksara Arab. Di tengah halaman ini, yang disebut ziy rat havli (“halaman ziarah”) terdapat sebuah air mancur (saqakh na) berbentuk anjungan (abad ke-19) tempat peziarah melepaskan dahaga dan
sebuah kolam 16 . Bangunan yang paling megah dari kompleks makam itu adalah
kh naq h (pondok darwis), yang disebut juga kh naq h ‘Abd al-Aziz Khan karena konon dibangun pada masa pemerintahan emir Syaibaniyah tersebut (wafat 1550). Emir itu, seperti beberapa penguasa lain dari dinastinya,
sangat akrab dengan syekh Naqsyband dari Bukhara dan Samarkand 17 . Emir N dir Muhammad Kh n kemudian memperindah lagi arsitektur
kh naq h itu pada abad ke-17. Tampaknya, di gedung itulah para Naqsyband “berzikir secara diam” setiap hari Selasa selama empat jam 18 ,
sedangkan hari Rabu dikhususkan untuk kunjungan peziarah.
14 Lihat Th. Zarcone (1991, hlm. 137-200). 15 Saya tidak berhasil memperoleh artikel H. Sitnjakovskij (1990) yang memuat
sebuah denah kompleks suci itu.
16 Lih. P. Zahidov (1993); Näsäfiy (1993, hlm. 40-41); dan menurut pengamatan saya sendiri (bulan Maret 1993). Air pancuran itu mempunyai khasiat menyem-
buhkan; lih. V.A. Gordlevskij (1934, hlm. 149).
17 Lih. H. Algar (1990b, hlm. 127). Sudah biasa dianggap bahwa k naq h itu dibangun tahun 1544, tetapi ‘Abd al-Az z Kh n kiranya meninggal tahun 1550.
18 Tempat latihan ini dilakukan disebut zikirkh ne (rumah zikir); apakah itu nama lain dari Kh naq h atau hanya salah satu ruang bangunan itu tidak jelas. Lih.
Gordlevskij (1934, hlm. 150).
Thierry Zarcone
Sebuah gedung pemakaman dibangun di atas kuburan Bah ’ al-D n pada waktu pemerintahan emir-emir Syaibaniyah, yaitu emir ‘Ubaydull h Kh n (berkuasa antara 1533 dan 1539) dan putranya ‘Abd al-Az z Kh n. Sayangnya, kita tidak memiliki informasi tentang keadaan kuburan sang wali sebelum pemerintahan ‘Ubaydull h Kh n, dan satu tulisan abad ke-15
tentang ziarah di Bukhara bahkan tidak menyebutnya sama sekali 19 . Pada abad-abad berikutnya muncul bangunan-bangunan lain: sebuah masjid dan
sebuah menara pada abad ke-18, dibangun oleh ibu ‘Abd al-Fayz Kh n (1711-1749), masjid Hakim Kusybeg , yang dibangun di bawah peme- rintahan Nashr All h Kh n (1826-1860), dan masjid Muzhaffar Kh n yang dibangun oleh Emir Muzhaffar pada akhir abad ke-19. Di depan masjid Hakim Q ūsybeg masih ada sebuah madrasah kecil yang pernah berfungsi sebagai penginapan para peziarah 20 . Pada bulan Maret 1993 saya disambut
di situ oleh Abdullah Mukhtar Kh n. Pada waktu itu ia masih bertugas sebagai imam masjid “kompleks Naqsyband”, namun kini, sejak Juni 1993, dia adalah mufti Direktorat Spiritual Uzbekistan dan Kazakhstan. Suatu detil lain yang menunjukkan betapa tinggi citra kompleks makam ini di mata masyarakat Bukhara pada umumnya dan di mata emir-emir Bukhara pada khususnya adalah suatu kompleks kuburan di halaman kedua tempat beberapa emir berikut anggota keluarganya dimakamkan: Shayb n Kh n (berkuasa 1501-1510), ‘Abd All h Kh n II (berkuasa 1557-1598), Im m Qul Kh n (berkuasa 1611-1642), Subhan Qul Kh n (berkuasa 1682-1702)
dan lain-lain 21 . Pada awal abad ke-20, emir Bukhara yang terakhir, yaitu Sa' d ‘Al m Kh n (berkuasa antara 1910 dan 1918) juga meneruskan tradisi
itu dengan menyumbangkan kepada makam wali pelindung kerajaannya sejumlah gedung, masjid, kamar tamu, hammam (tempat mandi) dan
sebagainya 22 . Sebelum tradisi ziarah ke makam wali diserang secara langsung oleh
pemerintahan Soviet, kompleks makam Bah ’ al-D n sudah berkali-kali dijadikan sasaran kecaman berbagai kelompok. Dari awal, Islam traditional ortodoks mengecam keseluruhan praktik ini, dan argumentasi kritiknya diutarakan lagi oleh gerakan reformis Asia Tengah abad ke-19 dan juga oleh Islam resmi zaman Soviet. Namun yang pertama dapat dikutip di sini adalah pendapat A. Vambery yang mengecam—seperti umumnya musafir Eropa di negeri-negeri Islam—apa yang disebutnya sebagai “ekses dari gerakan mistik Timur”. Di mata orientalis Hungaria itu, Bah ’ al-D n
19 Yaitu Kit b-i Mullaz da, yang dikutip oleh P. Zahidov (1993, hlm. 6). 20 P. Z hidov (1993). 21 Lih. V.A. Gordlevskiy (1934, hlm. 149); P. Zahidov (1993, hlm. 8). 22 J. Castagné (1951, hlm. 98).
Makam Bah ’ al-D n Naqsyband di Bukhara (Uzbekistan) 451
1. Khânagâ
2. Menara 3. Masjid Hâkim Qûsybegî 4. Masjid Muzaffar Khân 5. Kolam 6. Makam Bahâ’ al-Dîn 7. Sumur 8. Kamar khalwat 9. Pekuburan
Denah Kompleks makam Bahâ’ al-Dîn Naqsyband
Thierry Zarcone
Naqsyband adalah “sumber utama dari semua keanehan-keanehan yang membedakan Islam Timur dari Islam Barat” 23 . Di lain pihak, kritik-kritik
yang dilancarkan oleh para reformis jad d, nadanya juga sangat tajam, walaupun kecaman yang dilontarkan hanya dialamatkan kepada praktik ziarah sendiri serta praktik sampingan dan sama sekali tidak menyangkut wali dan apalagi doktrin mistisnya. Shadr al-D n ‘Ain terutama mengecam kebiasaan mengemis para sufi pengelana dari Bukhara (yang dimaksud di sini pasti para qalandar) yang memeras uang peziarah “demi cinta mereka terhadap Allah, Nabi Muhammad, Bah ’ al-D n, atau wali-wali lainnya” dan yang kemudian menghabiskan waktu mereka di kedai-kedai sambil
merokok ganja 24 . ‘Abd al-Rauf Fitrat mengecam pemujaan peziarah terhadap tiang kayu bendera makam Bah ’ al-D n 25 dan tulisannya
mengulang pokok keberatan dari Islam ortodoks terhadap “pemujaan wali”: “Tidak ada seorang pun di Bukhara yang tidak mengujarkan kalimat: Y Awl , Y Bah ’ al-D n. Tidak ada satu pun di antara mereka yang taat pada syariat Islam. Kami ikut mencintai Bah ’ al-D n, kami ikut meng- hormatinya, kami bahkan ikut juga berziarah, namun jangan dikira bahwa cinta, rasa hormat dan ziarah yang kami lakukan bertentangan dengan
syariat (shar’i) dan bahwa kami ikut “memuja” Bah ’ al-D n” 26 . Kritik yang dilontarkan oleh tokoh Tatar Mehmed Zahir Bigiyeff tidak berbeda
nadanya, sedangkan tokoh Soviet V.A. Gordlevskij menuding kerakusan para pelayan makam, yang katanya nampak asyik melucuti kekayaan peziarah; dia juga mengecam eksploitasi kaum tani daerah Bukhara oleh emir-emir yang memanfaatkan Bah ’ al-D n untuk membenarkan perbuatan
mereka yang tercela itu 27 .