Pelaksanaan Ziarah

Pelaksanaan Ziarah

Terlepas dari ketenaran namanya, wali atau “syekh kami”, adalah tokoh yang dekat dan akrab yang di Sudan tidak dihormati sesuai aturan-aturan yang kaku. Pada umumnya makamnya dikelola oleh seorang fak , yang paling sering merupakan keturunan wali itu sendiri atau pengikutnya. Fak itu tinggal di makam dan merawat kuburan wali dengan dana dari sumbangan pengunjung dan bantuan dari komunitas yang bertanggung jawab atas makam itu. Apabila yang dimakamkan adalah seorang sufi yang besar, seperti Shar f Y ūsuf al-Hind , pendiri Hindiyah di Burr al-Lam b, maka khalifah tarekat itu dapat ikut memilih huw r (murid) yang akan bertugas merawat dan memperbaiki makam, membukakan pintu makam bagi pengunjung, dan menerima berbagai pemberian, makanan, pakaian,

35 Trimingham (1949, hlm. 143). Ali Salih Karrar (1992, hlm. 143) juga menemukan dalam sumber-sumber Khatimiyah disebutnya suatu tipe tempat ziarah

khas tarekat itu yang dinamakan baniyah “gedung kecil”, biasanya terbuat dari tembok tanah, dengan atau tanpa atap, dan berbentuk persegi panjang.

36 Humoudi (1977, hlm. 113); lih. R.B. Serjeant (1962, hlm. 42).

Sudan Timur Laut 141

hewan ternak, ataupun uang. Kalau demikian, maka penjaga makam (kh dim atau h ris al-qubbah) hadir hampir setiap saat, karena jumlah pengunjung banyak. Namun pada makam yang lebih kecil, bisa saja tidak ada penjaga sama sekali atau hanya ada sewaktu-waktu.

Makam para wali Sudan pada umumnya sangat ramai, baik karena banyaknya kunjungan perorangan atau karena adanya perayaan tahunan. Acara ziarah yang dilakukan pengunjung perorangan selalu bersifat bebas dan sangat sederhana, dan ini bahkan juga berlaku pada kunjungan ke makam wali-wali besar seperti S d Hasan. makamnya, yang terletak di kaki Jebel Kassala, di daerah perbatasan dengan Eritrea, menarik banyak peziarah, dan namanya selalu disebut di semua tempat di Sudan serta dalam setiap kondisi yang sulit. Hampir tidak pernah ada ritus yang tetap ataupun pemandu ritus yang khusus bertugas dalam kunjungan-kunjungan perorangan itu. Namun pada umumnya wali sufi dihormati menurut ritus- ritus yang berlaku di lingkungan tarekatnya—misalnya cara membaca al- Fatihah , pembacaan ayat-ayat tertentu dari al-Qur’an dan acara meditasi (mur qab t) tersendiri—meskipun banyak pengunjung, terutama para pengunjung makam S d Hasan, tidak terkait dengan tarekatnya. Khusus untuk tarekat Khatmiyah, pendirinya, Muhammad Uthm n al-M rghan , telah menetapkan sendiri aturan-aturan yang harus ditaati bagi para peng- ikutnya pada kesempatan kunjungan ke makam wali, dan mereka juga dianjurkan agar sering berziarah ke makam para wali.

Di Sudan, ziarah baik dilakukan secara perorangan atau bersama keluarga kecil, terdiri atas dua jenis, yang kedua-duanya dilangsungkan pada malam Jumat atau hari Jumat sepanjang tahun, menurut kebutuhan dan kesibukan masing masing pengunjung itu.

Jenis kunjungan yang pertama bertujuan menghormati wali pelin- dung, memperkuat hubungan spiritual dengan sang wali dan mendapatkan perlindungannya. Masyarakat yakin bahwa apabila wali lama tidak diperhatikan, dia dapat memperlihatkan rasa tidak senangnya dalam impian, atau bahkan mengancam; oleh karenanya sikap tidak peduli akan amat berbahaya. Maka, sebagai contoh, sepanjang tahun orang-orang melakukan ziarah ke makam S d Hasan pada hari Jumat secara bergiliran, laki-laki pada pagi hari dan perempuan setelah tengah hari. Ritus-ritus yang diadakan pada kesempatan ini (dan pada kesempatan lain untuk wali-wali

yang lain) telah dipaparkan terutama oleh J.S. Trimingham 37 : segera setelah melihat makam, peziarah memohon berkah sang wali dengan

membaca surat al-Fatihah sambil menadahkan tangannya, kemudian tangannya diusapkan ke wajahnya (al-tabarruk). Sebelum memasuki

37 (1949, hlm. 144).

142 Nicole Grandin

makam, dia membuka sepatunya dan membaca al-Fatihah sekali lagi. Dia selalu membawa pemberian (zuw rah) untuk sang wali, biarpun amat sederhana, umumnya terdiri atas makanan, lilin, dupa, uang, dan benda lainnya, dengan maksud dikonsumsi atau digunakan terutama oleh fak yang merawat makam itu (kh dim), oleh orang-orang miskin, atau oleh anak-anak. Bila tidak digunakan pemberian itu hendaknya dibakar agar “manfaat” pemberian itu dapat dialihkan dari si pemberi kepada sang wali. Bila peziarah datang makam tertutup dan tidak ada penjaga, maka pemberian itu kadang-kadang ditaruh di luar makam. Jenis kunjungan yang kedua menyangkut orang-orang yang hendak menyampaikan permohonan kepada wali. Dalam hal ini, seusai membaca al-Fatihah , peziarah menghadap ke makam dalam posisi berdiri atau duduk dan menyampaikan permohonannya kepada wali. Kerap sekali pada waktu itu peziarah mengucapkan kaul (nazar, nadhr) bahwa apabila permohonan- nya dikabulkan, dia berjanji akan kembali untuk membaca ayat-ayat al- Qur’an bagi sang wali, menyembelih hewan kurban, mengecat makam dengan kapur putih, atau memberikan uang untuk fakir miskin. Apabila yang diajukan adalah sebuah permohonan penting, sang pemohon sering didampingi oleh beberapa teman atau sekelompok kenalannya. Apabila permohonannya terkabul dan dia tidak membayar nazarnya pada wali, akibat yang diterimanya dapat amat dahsyat. J.S. Trimingham menulis bahwa kendati banyak orang tidak ragu-ragu melakukan sumpah palsu atas nama al-Qur’an, sikap mereka akan berbeda sekali apabila harus bersumpah di hadapan makam seorang wali. Tampaknya sikap itu beralasan, karena di antara riwayat wali yang dikumpulkan oleh Sh. E. Abdel Salam, tema sumpah palsu di depan wali besar, seperti Hasan wad Has ūna (wafat 1664), wali terbesar dari daerah Gez ra, dan hukuman berat yang akhirnya diterima oleh yang bersumpah palsu itu, merupakan ajaran

yang menjadi contoh bagi masyarakat 38 . Dan sudah merupakan rahasia umum bahwa sumpah yang diucapkan di hadapan wali S d Hasan al-

M rghan konon mengikat orang yang bersumpah untuk selamanya.… Kunjungan kolektif ke makam wali sering diadakan pada ke- sempatan upacara pribadi keluarga, kelahiran, khitanan, pernikahan.

38 “Sekali waktu, dua orang laki-laki bertengkar memperebutkan seekor keledai betina dan mereka sepakat untuk bersumpah di hadapan qubba Syekh Hasan wad

Has ūna. Salah seorangnya mengucapkan sumpah dan mengambil hewan itu. Yang lain merasa amat kecewa karena tahu pasti bahwa lawannya telah berdusta. Belum jauh laki-laki pertama berjalan, keledai betina yang dibawanya jatuh dan mati” (Sh.E. Abdel Salam 1983, hlm. 236).

Sudan Timur Laut 143

Makam keramat di sebuah desa di Nil Biru (foto Christian Delmet).

Makam keramat Sidi Hasan (Sayyid Muhamad al-Hasan al-Mirghan ) di Kersala, Sudan (foto Christian Delmet).

144 Nicole Grandin

Oleh karena peristiwa-peristiwa itu dianggap sebagai tahapan- tahapan yang menentukan dalam kehidupan seseorang, maka yang bersangkutan merasa membutuhkan restu dari wali pelindungnya. Di Burr al-Lam b, arak-arakan (sairah) penganten laki-laki melewati makam salah

seorang wali yang dikubur di situ 39 dan para peserta arak-arakan, terutama kaum perempuan, masuk ke makam dan memungut sedikit pasir untuk

memperoleh berkahnya. Kunjungan-kunjungan lainnya, baik perorangan maupun kolektif, acap memiliki tujuan khusus dan dialamatkan kepada seorang wali yang menguasai bidang tertentu. Misalnya makam Syekh Khôgal di Halfayat al-Muluk terkenal manjur untuk menghilangkan rasa sakit pada bayi-bayi yang giginya baru tumbuh. Di Ab ū Har z, kedelapan belas makam wali-wali ‘Arakiy n dan terutama makam Syar f Y ūsuf Abū Syara terkenal manjur untuk mengatasi masalah kesuburan, maka para

perempuan 40 harus bermalam tujuh kali pada malam Jumat di dalam dan di luar makam. Mereka biasanya diantar oleh suami serta kerabatnya dan

malam itu dilewatkan dengan acara minum (minuman produksi lokal, bisa termasuk arak) dan bernyanyi. Setelah malam ketujuh, sang khal fah memberikan mereka sehelai kertas yang bertuliskan ayat-ayat al-Qur’an. Apabila para perempuan itu menjadi hamil, mereka harus membawa bayinya berkunjung ke khalifah pada waktu sang bayi berumur empat bulan. Khalifah mencukur gundul si bayi, kemudian dibayar oleh sang ibu dengan satu waqiyah (ukuran timbangan yang sama dengan 1.32 oz, yaitu sekitar 4 gram) emas untuk bayi laki-laki dan setengahnya untuk bayi perempuan. Kunjungan-kunjungan seperti itu sangat populer dan J.S. Trimingham menceritakan bahwa truk-truk penuh perempuan berdatangan setiap malam Jumat dari Wad Madan dan desa-desa sekitarnya untuk tujuan itu.

Pada semua kesempatan, masyarakat Sudan beranggapan bahwa melakukan kontak fisik secara langsung dengan makam membawa berkah. Kadang-kadang, seusai berdoa, pengunjung meletakkan tangannya di atas

39 H.A. Barclay (1964, hlm. 183). 40 Trimingham (1949, hlm. 145). Ab ū Har z adalah salah satu situs strategis di

daerah kekuasaan dinasti Funj, di perbatasan antara Butana dan Sennar, tempat berkuasanya para ‘Arakiy n, yaitu suatu sub-suku dari suku peternak unta Ruf ’a, yang oleh H. A. MacMichael (1922, hlm. 223) dikaitkan den`gan suatu grup imigran Arab Juhayna dari Arabia Selatan. Menurut para informan dari N. McHugh (1986, hlm. 136), para ‘Arakiy n dari daerah Nil Biru mengaku sebagai keturunan langsung Nabi Muhammad. Para ‘Arakiy n konon pertama-tama menjadi pengikut tarekat Sh dhiliyah, kemudian mereka beralih ke tarekat Q diriyah mengikuti jejak salah seorang syekh mereka yang memahami besarnya keuntungan yang dapat ditarik dari pengaruh yang makin besar dari tarekat ini di daerah itu.

Sudan Timur Laut 145

batu nisan atau menciumnya. Sering juga, supaya kunjungannya tetap diingat oleh sang wali, pengunjung meninggalkan sepotong kain miliknya di dekat kuburan, yang diikat pada pintu atau pada sebuah tongkat yang ditancapkan dalam tembok. Menurut beberapa penulis, banyak pengunjung terutama perempuan, juga menggosok badannya dengan pasir yang diambil di makam; bahkan ada yang mengambil pasir itu untuk dibawa pulang, agar memperoleh berkahnya.

Demikianlah tata cara memohon pertolongan kepada wali yang sudah meninggal. Apabila memohon pertolongan kepada wali yang masih hidup, ada pula tata caranya, seperti yang dipaparkan oleh Sh. E. Abdel

Salam 41 mengenai kunjungan kepada Syekh al-Jayl ibn Syekh Abd al- Mahm ūd al-Hayf n yang tinggal di T bat, di daerah Gez rah, pada tahun

1981. Syekh itu duduk sendiri dalam sebuah ruangan. Sang pengunjung, setelah mengunjungi makam syekh-syekh pendahulu sang wali, menunggu gilirannya sesuai dengan urutan tibanya. Pada saat dipanggil, si pengun- jung mendekati sang syekh, tanpa alas kaki, dengan menundukkan kepala kemudian berlutut di hadapan sang wali untuk mencium tangan kanannya. Dia menunggu dengan diam sampai sang syekh menanyakan tujuan kedatangannya. Maka dengan suara pelahan, dan mata tertuju ke bawah, dijelaskannya maksud kunjungannya. Setelah mendengarkan penjelasan si pengunjung, sang syekh dapat saja mengajukan pertanyaan atau tidak. Kemudian dia menadahkan tangannya dan membaca al Fatihah, hal itu menandakan bahwa sang syekh siap untuk menjadi perantara antara pengunjung dan Allah agar permohonannya terkabul. Kemudian si pengunjung menaruh sejumlah uang (tidak ada ketentuan mengenai jumlah) yang disebut ziy rah di bawah kursi sang wali, lalu keluar dari ruangan itu. Keberhasilan yang berulang-ulang dari upaya perantaraan seperti itu bagi sang wali merupakan langkah awal yang menentukan dalam proses mencapai status wali yang pasti dan tetap, asal saja barakahnya tetap ada setelah dia meninggal.

Selain kunjungan perorangan kepada syekh yang masih hidup dan kepada makam-makam wali, sebuah perayaan tahunan yang besar dan yang diselenggarakan sesuai ritus tertentu juga diadakan di makam-makam wali yang paling dihormati. Kini pers lokal Sudan sering memuat pengumuman yang mengajak para pengikut (mur d n) seseorang sufi untuk merayakan maulidnya (ulang tahun kelahirannya, Ar. maulid) ataupun haulnya (ulang tahun kematiannya, Ar. hauliah) di makamnya pada tanggal tertentu. Perayaan-perayaan itu merupakan pesta rakyat yang disponsori oleh tarekat wali yang bersangkutan dan juga dikaitkan dengan hal-hal lain di luar

41 (1983, hlm. 71).

146 Nicole Grandin

urusan keagamaan (pembukaan sebuah pasar, urusan bisnis, penyelesaian perkara, bermacam-macam pertemuan). Banyak sekali yang hadir, datang- nya dari semua pelosok wilayah itu, dan bahkan dari tempat yang lebih jauh lagi apabila pesta itu berkaitan dengan wali yang sangat terkenal, seperti S d Hasan. Kerap kali meraka datang dalam arak-arakan yang beraneka ragam, lengkap dengan panji-panji tarekat dan berbagai macam pemberian. Pada saat kedatangannya, para peziarah melakukan beberapa ritus tradisional secara perorangan: mereka melakukan tawaf sekeliling makam, berdoa, membaca sejumlah ayat, menyerahkan pemberiannya dan menyembelih hewan kurban (ayam, dsb.). Kemudian tiba saatnya meng- adakan acara-acara kolektif di bawah pimpinan khalifah yang bertanggung jawab atas upacara religius, yaitu berdoa bersama, membacakan m

42 ūlid yang ditetapkan oleh tarekat wali , membacakan manakib wali, kadang-

kadang juga bagian-bagian dari karya-karya sufi klasik seperti Diw n oleh Ibn Far d yang bukunya dapat dibeli dengan murah di mana-mana, menyanyikan syair-syair tentang kebesaran Allah, Nabi Muhammad, dan wali-walinya (mad h) yang dinyanyikan oleh kelompok penyanyi keliling

(m dh n) yang mencari nafkah dari kegiatan itu 43 . Untuk tarekat yang memiliki asosiasi pemuda (syab b) seperti Khatimiyah atau Hindiyah,

kadang-kadang diadakan arak-arakan. Kemudian para laki-laki berkumpul untuk acara zikir yang menutup seluruh acara religius itu. Ritus-ritus yang dilakukan sedikit berbeda dari satu tarekat ke tarekat lain dan juga berbeda menurut jenis acara religiusnya, apakah maulid (m ūlid) atau haul (hôliyah), namun, dengan perkecualian tarekat reformis Ahmadiyah-Idr siyah yang

lebih keras aturan-aturannya 44 , semua tarekat Sudan menghalalkan nyanyian, musik (kendang, t r), dan tari-tarian laki-laki (‘arda). Seusai

zikir terakhir, perayaan beralih menjadi profan/ duniawi dan tidak jarang terlihat kelompok kecil laki-laki yang diam-diam minum arak.

42 Maw lid (teks-teks Maulid) yang paling sering dibaca di Sudan pada kesempatan itu adalah: al-Barzanj (Q diriyah, Samm niyah), Y ūsuf al-Hind (Samm niyah,

Hindiyah), M ūlid al-Nab karangan pendiri Khatmiyah, Muhammad ‘Uthm n al- M rghani, yang bacaannya berlangsung selama kira-kira dua jam (Khatmiyah), Muhammad ibn al-Mukht r al-Shinqit (Tij niyah), Ism ’ l al-Wal (Ism ’ liyah).

43 Kebanyakan kelompok m dh n Sudan, menurut Hayder Ibrahim (1979, hlm. 164) berasal dari golongan Shaiqiya di Nubia Utara. Tetapi di masa lalu mereka

mengadakan pertunjukan sampai di Khartum dan di Gez ra. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, akibat populernya radio transistor, kegiatan m dh n mulai surut.

44 Tarekat Ahmadiyah-Idr siyah, yang aktif di daerah utara (Donqola) dan di Omdurm n, mengaku sebagai pewaris ajaran reformis Ahmad Ibn Idr s (1760-

1837) dan menentang penggunaan musik serta luapan emosi yang berlebihan pada acara haul (hôliyah) dari wali-wali yang dihormati oleh tarekat itu.

Sudan Timur Laut 147

Banyak wali Sudan, termasuk yang paling terkenal, seperti telah dilihat di atas, terkait dengan suku-suku Badui (kaum pengembara) atau suku-suku pedesaan. Maka sekarang pun pada saat diadakan perayaan, para penduduk kota yang kehilangan akarnya itu masih berkumpul di sekeliling makam wali menurut kelompok asal mereka. Di Sudan tidak ada makam yang mewah di daerah perkotaan: bahkan makam S d Hasan di Kassala ataupun makam Syekh Khôgal , di pinggiran utara Khartum, sama seder- hananya dengan makam pedesaan. Acara doa dan praktik ritual yang serba sederhana menunjukkan ciri-ciri pedesaan ini, bahkan juga untuk wali-wali besar tarekat seperti M rghan . Juga tidak ada ziarah besar yang terkenal sampai di luar wilayah Sudan dan mampu menarik orang-orang Islam dari berbagai kelompok budaya yang berbeda, seperti yang terlihat pada ziarah

Syekh Husein di Bale, Ethiopia 45 . Namun, meskipun terbagi antara budaya Arab dan budaya Afrika, tanah Sudan yang penuh ambiguitas budaya dan

dihuni berbagai macam suku yang mendukung semangat agama kerakyatan itu, ternyata telah sejak abad ke-16 memiliki banyak tokoh agama yang karismatik, baik yang berasal dari keluarga-keluarga besar yang mengaku keturunan Syarif, maupun yang muncul dari kalangan rakyat jelata, dan yang menjadi wali melalui suatu proses pengakuan khas Afrika. Mungkin saja kekhasan dualitas budaya ini, yang “menghasilkan” para wali dan sekaligus dilangsungkan oleh mereka, begitu kuat mewarnai para wali ini

sehingga mereka mempunyai sifat yang sangat khas Sudan.

45 Lihat tulisan “Afrika Timur” oleh J.-C. Penrad di bawah ini.