Hubungan Anggota Masyarakat dengan Para Wali
Hubungan Anggota Masyarakat dengan Para Wali
Praktik ziarah ke makam wali amat beragam bentuknya: dapat merupakan kegiatan individual atau kolektif; dapat merupakan kegiatan informal atau kegiatan yang diselenggarakan bukan saja dalam kerangka pertemuan ritual
pengikut-pengikut wali atau anggota-anggota tarekat (hadr t) 17 , tetapi juga dalam kerangka pertemuan mingguan kaum perempuan yang dipimpin oleh
seorang perempuan, biar anggota atau bukan dari satu tarekat dalam satu zawiyah, satu makam, atau sebuah rumah biasa. Praktik ziarah terutama dilakukan pada malam Jumat atau pada hari Jumat, dan mencapai puncaknya pada kesempatan ziarah tahunan ke makam para wali untuk memperingati hari lahir atau hari wafat wali, yaitu upacara yang dalam
bahasa Prancis dikenal dengan nama “moussem” 18 . Beberapa di antara upacara-upacara tersebut diselenggarakan oleh pejabat pemerintah, teru-
tama di Maroko, di mana upacara itu sepenuhnya menjadi pesta rakyat nasional dan sekaligus atraksi pariwisata (Reysoo 1990, Valensi 1992). Dalam semua kesempatan, moussem-moussem itu dihadiri oleh lebih dari seribu peziarah, baik laki-laki maupun perempuan yang mengikuti ritus hadra (pertemuan sufi), acara kurban, acara makan, pertunjukan, pasar malam, dan sebagainya. Bagi kebanyakan perempuan, moussem adalah saat terbaik untuk melepas ketegangan dan menikmati kebebasan (Andézian 1993; Reysoo 1990).
17 Hadr t (tunggal: hadra): hadirat Allah. Tarekat-tarekat menggunakan istilah itu untuk menyebut acara ritual mereka yang terdiri atas doa-doa, permohonan, lagu-
lagu pujian dan tarian sakral. 18 Moussem secara harafiah berarti musim; digunakan untuk menyebut perayaan
yang diselenggarakan secara berkala. Jenis ziarah ke makam wali ini juga disebut wa’da (“nazar”, yakni ziarah yang dilakukan untuk berterima kasih kepada seorang wali atas anugerahnya) atau zerda (“hidangan makan”, maksudnya hidangan kurban untuk menghormati seorang wali), ataupun rekeb (“kafilah”, maksudnya arak- arakan berkuda oleh karena dulu kuda dipakai untuk menghadiri acara-acara itu).
Kawasan Magribi 165
Apapun bentuk praktik ziarah, dasarnya adalah prinsip proses pertukaran antara peziarah dan wali: permohonan (thalab)—penyerahan (‘at )—pemberian (zy ra), pertukaran kata, jadi pertukaran material dan spiritual. Ziarah merupakan suatu rentetan ritus dan unsurnya yang paling pokok adalah acara bersuci, berdoa, menyerahkan pemberian dan kurban. Suatu rentetan pertukaran lain, yang berlangsung di antara sesama pengunjung (bertukar kata/kalimat, nasehat, saling membantu, berbagi makanan), membuat ziarah menjadi semakin efisien.
Kondisi suci, baik secara kejiwaan maupun dalam pengertian lahiriah, merupakan persyaratan mutlak. Kesucian batiniah, yang disebut dengan istilah “niyah”, (niat) ditunjukkan oleh kesungguhan pemohon dan kesediaannya untuk tunduk pada tokoh yang dimintai bantuan dan berkah. Bentuk konkret dari sikap itu adalah sikap fisik yang menunjukkan kerendahan hati, yaitu menyilangkan tangan dan menundukkan kepala di depan makam sang wali atau wakilnya sambil mengucapkan kalimat tasl m 19 , dan sepenuhnya berserah diri di hadapannya. Kesucian lahiriah
diperoleh dengan berwudu, walaupun cara yang ideal adalah dengan mandi lengkap di hammam (mandi uap). Ruang ziarah selalu bersih dan juga dibersihkan dari roh jahat dengan membakar dupa dan memercikkan minyak wangi.
Permohonan yang dialamatkan kepada para wali dapat diungkapkan dalam bentuk aneka doa, mulai dari meditasi atau pembicaraan sederhana dengan sang wali sampai acara-acara zikir secara kolektif sampai juga dengan mengucapkan semua ungkapan doa memohon pertolongan (do‘a, thalab ). Acara-acara zikir, yang dianggap paling bermanfaat, terutama terdiri atas pengulangan kalimat-kalimat yang dipetik dari al-Qur’an (hizb atau bagian al-Qur’an) atau dari khazanah syair dan lagu dari suatu tarekat di mana madh (atau pujian kepada Nabi dan wali-wali) memegang peran yang besar. Semua acara ritual diawali dengan pembacaan surat al- Fatihah . Sebagai doa suci awalan, al-Fatihah adalah bacaan yang mengawali semua bagian ritus dan semua upacara ritual di Magribi, sehingga semua tahap ziarah dan upacara itu berada dibawah perlindungan Tuhan. Demikian pula, pengungkapan syahadat, sebagai kalimat keyakinan iman, merupakan salah satu doa yang paling sering terdengar. Doa zikir sendiri terdiri atas pengulangan berirama dari berbagai nama “Allah”, dan yang paling sering terbatas pada pengulangan kata “Allah” itu sendiri yang diucapkan sedemikian rupa sehingga huruf-huruf yang membentuk kata itu makin menghilang sehingga dari nama “Allah” hanya tertinggal desah nafas yang tersengal-sengal, sementara badan orang-orang yang berzikir itu
19 Tasl m harafiah berarti “kepasrahan”.
Sossie Andézian
bergoyang seperti dalam keadaan trans. Bagian akhir dari zikir ini dianggap saat yang paling baik untuk berkomunikasi dengan makhluk-makhluk gaib. Zikir dapat dilakukan secara perorangan, di rumah pribadi (banyak orang muslim berzikir setelah salat wajib) atau di makam seorang wali, atau dapat dipraktikkan secara kolektif dalam rangka kegiatan hadr t dan moussem . Bentuk dan isi zikir dapat beraneka ragam menurut ajaran wali atau tarekat yang dianut. Di zawiyah yang terkena pengaruh gerakan reformis, zikir terbatas pada posisi duduk. Di zawiyah yang lain, zikir diiringi oleh berbagai instrumen musik dan disertai tanda-tanda fisik trans seperti napas tersengal-sengal, ratap tangis, teriakan, pingsan, dan tarian. Ungkapan fisik seperti ini, yang dapat terlihat baik di antara laki-laki maupun perempuan, nampak lebih spontan, atau kurang terkontrol di lingkungan perempuan, yang lebih mengutamakan emosi daripada bentuk lain apa pun dalam pengungkapan perasaan religius terhadap Allah, nabi- nabi dan wali-wali. Di samping acara doa, terdapat sejumlah gerakan tubuh yang dianggap memperkuat efisiensi simbolis dari ziarah: mengelilingi makam wali, meraba kain penutup makam dan benda-benda lain yang berada dalam makam, menyalakan lilin, membakar dupa. Acara bermalam satu atau beberapa malam di makam, merupakan ritus yang dianggap mampu mempermudah hubungan dengan wali-wali (disebut “istikharah”), yang menampakkan diri dalam impian untuk menuntun dan memberi petunjuk kepada para pemohon.
Bila datang berkunjung kepada syekh yang masih hidup, para tamu disambut oleh anggota keluarga syekh atau oleh pelayan yang memberikan makan dan minum serta menanyakan tujuan kunjungannya. Ketika seorang syekh menerima tamu, ia mengajukan berbagai pertanyaan kepada tamunya dan lama mendengarkan mereka sebelum menanggapi serta menjelaskan kesukaran yang dihadapi atau permohonan dan permintaan yang diajukan, yaitu berupa nasehat, bantuan, permohonan supaya sukses, kesembuhan, permohonan untuk mengusir setan, atau sekedar untuk mendapat berkah. Kemudian syekh menawarkan cara mengatasi semua masalah, yang dapat berupa doa, jimat, perawatan, anjuran untuk makan bahan makanan mineral tertentu, bantuan administratif, bantuan untuk menyelesaikan konflik, anjuran untuk melakukan acara kurban... atau anjuran untuk mengunjungi dokter. Acara kemudian ditutup dengan doa-doa dan pember- katan dari sang syekh. Sebagai balasannya si tamu menyerahkan pemberian berupa lilin, wewangian, kain, makanan, dan terutama uang. Pemberian itu tidak sekedar merupakan imbalan untuk biaya pembayaran konsultasi, tetapi suatu pemberian simbolis, disebut “zy ra”, yang jumlah ataupun jenisnya diserahkan kepada tamu yang datang berkunjung. Menyiapkan hidangan makan untuk kaum fakir miskin amat diharapkan. Pada waktu
Kawasan Magribi 167
moussem 20 , acara makan bersama (pada umumnya dengan couscous sebagai hidangan utama), adalah acara wajib. Santapan yang disebut
berkah itu pada umumnya terbuat dari daging hewan kurban. Daging itu, menurut Dermenghem (Idem), dalam pengertian mistis diresapi oleh kebajikan wali, tempat suci dan semua yang berkaitan dengan acara itu. Santapan bersama adalah cara membagi berkah wali di antara para pengunjung.
Acara ziarah tidak hanya itu. Ketika permohonan pengunjung sudah terpenuhi, suatu ziarah baru, yang acap disebut wa‘da (nazar) itu, dilakukan untuk mengucapkan terima kasih kepada wali atau syekh untuk bantuan yang diterima melalui perantaraannya. Dengan demikian setiap ziarah memulai atau melanjutkan hubungan antara wali dan pengunjung, dan hubungan itu akan dipelihara melalui kunjungan selanjutnya. Sementara orang boleh berpikir bahwa kondisi kehidupan modern (pekerjaan yang digaji, pengaruh birokrasi dalam kehidupan sehari-hari, beban kehidupan keluarga yang lebih berat) merupakan penghalang untuk kelanjutan hubungan seperti itu, namun pengamatan di lapangan menun- jukkan bahwa kondisi tersebut, yang rupanya merupakan kendala bagi kelanjutan hubungan dengan wali, justru menimbulkan kebutuhan baru untuk berkonsultasi dengan wali-wali di saat timbul berbagai kesulitan. Tetapi kini konsultasi dilakukan dengan jadwal yang kurang teratur, dan harga yang dibayar, karena mengikuti hukum pasar berdasarkan penawaran dan permintaan, cenderung makin tinggi, seakan-akan ketidakteraturan dalam praktik ziarah meningkatkan harga simboliknya (misalnya dalam hal pekerja yang bermukim di luar negeri, yang menyumbangkan uang dalam jumlah amat besar ketika datang berkunjung ke negerinya). Dapat ditambahkan pula bahwa jika manfaat yang diperoleh dari ziarah ditentukan oleh besarnya sumbangan yang diberikan, dapat dimengerti mengapa pengunjung yang hanya sesekali berziarah cenderung “membayar” lebih mahal berkah yang mereka harapkan.
Sesungguhnya, di balik hubungan dengan para wali, yang diupaya- kan adalah usaha untuk menggapai Allah. Para syekh yang masih hidup dihargai bukan karena kelebihan pribadi yang mereka miliki, melainkan karena fungsi mereka. Mereka tidak lain hanyalah perantara antara manusia dan Tuhan. Ritus sindiran terhadap pemuka-pemuka agama yang dilakukan oleh para perempuan menyatakan dengan jelas arti simbolis wewenang yang dipegang tokoh-tokoh itu dalam acara-acara yang diselenggarakan kaum perempuan.
20 Couscous (Ar. kuskus ū) ialah masakan khas Magribi yang terbuat terutama dari
tepung gandum, daging, dan sayur-mayur (catatan penerjemah).
Sossie Andézian