Wali-Wali Sudan

Wali-Wali Sudan

Apapun halnya berbagai pendapat itu, Islam yang dipraktikkan rakyat beserta penyembahan wali di Sudan sekarang ini, seperti halnya pada zaman dinasti Funj dan pada masa Thabaq t ditulis oleh Wad Dlayf

All h 16 , tetap berada di bawah pengaruh dominan Islam sufi serta syekhnya

pendek, dan, menurut penelitian yang dilakukan oleh Sharafedin Abdel Salam (Idem, hlm. 22) di daerah lembah Sungai Nil Biru, cerita-cerita itu terutama membicarakan karomah yang dilakukan oleh sang wali untuk mengatasi berbagai situasi krisis. Wali tampil sebagai perantara yang dibutuhkan karena kesaktian yang diberikan Allah kepadanya, bukan karena kearifan atau pengetahuan luar biasa yang dimilikinya.

15 (1977, hlm. 112). 16 Yaitu Dayf All h (1971); lih. cat. 5 di atas.

130 Nicole Grandin

yang tak terhitung banyaknya dengan kelompok pengikut-pengikutnya. Pada dasarnya, dari kalangan tarekat sufi inilah muncul wali-wali, baik yang masih hidup maupun yang telah mati, baik di tingkat lokal maupun di lingkungan yang lebih luas, yang dihormati baik oleh penduduk desa maupun oleh suku penggembala. Lingkungan inilah pula yang sering kali menyusun ritus penghormatan wali dan menetapkan tempat-tempat suci. Masing-masing tarekat memiliki hierarkinya sendiri bagi para wali, makam-makam, pusat kegiatan umat, serta ritus-ritusnya tersendiri.

Seperti halnya di kawasan lain, di Sudan wali yang telah meninggal dibedakan dari wali yang hidup. Kelompok pertama, seperti terlihat pada berbagai tulisan mengenai riwayat hidup wali-wali dalam Thabaq t Wad Dlayf All h , telah mulai dihormati sejak masih hidup, tetapi kepercayaan masyarakat akan berkahnya barulah betul-betul mantap setelah mereka wafat. Wali-wali itu dianggap tertidur di makam-makam mereka, dan memperlihatkan diri dalam impian atau melalui fenomena kesurupan. Mereka juga merestui atau sebaliknya mengutuk kelakukan manusia dan kadang-kadang konon hadir melalui karomah-karomah, yang merupakan perwujudan dari keistimewaan yang dikaruniai Allah kepada mereka. Mereka memiliki empat fungsi utama: mendatangkan hujan, menyem- buhkan penyakit, melindungi dan menjaga kesejahteraan para pengikutnya (menghukum orang yang berbuat sewenang-wenang, menengahi konflik- konflik dan memiliki pengaruh politik), dan juga merupakan perantara antara manusia dengan Tuhan. Ketika para pengunjung, baik laki-laki maupun perempuan, berbicara tentang wali yang dikunjungi makamnya, dengan akrab mereka menyebut istilah “syekh kami”, seakan-akan wali itu adalah orang yang masih hidup, dan mereka mengandalkan bantuannya baik untuk masalah-masalah pribadi dan sehari-hari maupun untuk perkara- perkara besar. Dalam kepustakaan, wali yang sudah meninggal biasa juga disebut sh lih tetapi kadang-kadang syekh atau bahkan fak , yaitu istilah- istilah yang lebih acap dipakai untuk wali yang masih hidup, walaupun perbedaannya tidak begitu jelas dalam bahasa sehari-hari. Sebaliknya para wali jarang disebut wal atau sh lih semasa hidupnya, dan istilah bahasa Arab dialek Sudan fak lebih umum dipakai, seperti juga istilah syekh. Sebelum diakui dan dihormati sebagai seorang wali, seorang tokoh agama yang saleh harus dibuktikan tetap memperoleh anugerah Allah setelah kematiannya. Fak (fak ra untuk bentuk feminin) adalah suatu istilah yang sangat umum di Sudan, dan berlaku baik untuk seorang sufi maupun seorang ulama, baik untuk guru mengaji maupun berbagai macam dukun dan pembuat jimat. Istilah fak yang merupakan bentuk dialek Sudan dari ahli fikih (Ar. faq h), mengambil bentuk jamak fuqar ’, yaitu bentuk jamak

Sudan Timur Laut 131

Peta Sudan, dengan lokasi tempat-tempat yang disebutkan

132 Nicole Grandin

biasa dari faq r atau “darwis”, yang berarti pengikut tarekat sufi, dan hal ini menandakan bertumpuknya berbagai fungsi yang berbeda itu pada satu orang saja, suatu hal yang biasa dijumpai di seluruh Sudan selama periode utama islamisasi. Penggunaan istilah fak untuk menyebut wali yang masih hidup menunjukkan bahwa proses seorang wali diakui oleh masyarakat bersifat permanen dan sangat terbuka, yang terlihat dari masuknya pada setiap saat tokoh-tokoh dari berbagai lapisan sosial dan latar belakang berdasarkan kriteria yang amat beragam. Hendaknya dicatat juga bahwa tokoh-tokoh itu tidak memiliki status kewalian yang sama, sedangkan status tersebut tidak hanya ditentukan oleh status sosio-religius mereka di “dunia yang fana ini”. Hal tersebut jelas pada berbagai biografi dalam Thabaq t Wad Dlayf Allah dan manakib-manakib yang terbit kemudian. Salah satu tokoh penting adalah Idr s b. al-Arb b (1605-1651) yang disebut dalam Thabaq t sebagai khalifah pertama dari tarekat Q diriyah di Sudan, dan merupakan salah seorang wali yang makamnya (di ‘Aylaf ūn, suatu pusat ajaran agama di tenggara Khartum) hingga kini menjadi tujuan ziarah yang penting. Menurut Idris b. al-Arb b “ada tiga tingkat kewalian: utama, menengah, dan bawah. Tingkat bawah berarti sang wali dapat terbang, berjalan di atas air dan berbicara tentang hal-hal yang gaib; tingkat menengah berarti sang wali diberi kuasa oleh Allah untuk menciptakan sesuatu (al-darajah al-kauniyah)—apabila dia berkata: ‘jadilah’, maka hal yang disebut itu pun terjadi; dan tingkat utama adalah tingkat kutub

(quthb)”. 17 Sebagaimana halnya di daerah lainnya dalam dunia Islam, di wilayah

lembah Sungai Nil ada keluarga yang bersifat keluarga wali, yang berkahnya diwariskan secara turun-menurun. Termasuk keluarga-keluarga yang tinggi derajatnya itu adalah keluarga tokoh-tokoh yang pernah men- dirikan atau memperkenalkan tarekat-tarekat besar di Sudan (Q diriyah, Sy dziliyah, Majdz ūbiyah, Samm niyah, M rgh niyah, Isma’ liyah, dan Hindiyah) serta para khalifah yakni keturunan atau pewaris spiritualnya.

17 Idem , hlm. 205. Yang juga disebut sebagai kutub adalah seseorang bernama T j al-D n al-Bah r (wafat sekitar 1550), yang konon datang dari Bagdad. Idr s b. al-

Arb b berasal dari suku Mahas, suatu suku Nubia dari daerah Wadi Halfa-Donqola yang memainkan peran penting dalam proses islamisasi Sudan, terutama pada masa dinasti Funj. Dia termasuk angkatan pertama, pada awal abad ke-17, dari mereka yang mengajarkan ajaran sufi dan ilmu agama di kawasan Gez ra. Kini dia adalah salah seorang wali yang paling tersohor di seluruh Sudan. Wad Dayf All h yang menulis suatu uraian biografis panjang mengenai tokoh ini dalam Thabaq t (hlm. 49-65) menyebut juga umurnya yang sangat panjang. Dia konon lahir di ‘Aylaf ūn pada tahun 913 H, dan meninggal pada tahun 1059 H, yaitu pada umur 147 tahun (hlm. 50).

Sudan Timur Laut 133

Namun keluarga-keluarga wali itu tidak semua mencapai taraf kesucian yang sama dan tidak memperoleh penghormatan yang sama dari masyarakat. Di kalangan M rghan misalnya, wali yang syafaatnya paling dicari orang di Sudan Utara adalah Sayyid Muhammad al-Hasan (wafat 1869), yaitu putra kelahiran Sudan dari pendiri tarekat Khatmiyah. Pada tingkat yang sifatnya lebih lokal, di Sinkat, di pesisir Lautan Merah, tempat ia dimakamkan, Shar fa Myriam al-M rgh n (wafat 1952) sering diminta pertolongannya, sebagai cucu pendiri tarekat Mirgh niyah dan khalifah- nya, walaupun dia seorang perempuan. Anggota tarekat M rghan lainnya, meski juga dianggap memiliki berkah keluarga mereka, lebih sedikit atau jarang diminta pertolongannya.

Amat sulit menyusun suatu tipologi umum dari wali-wali Sudan, karena mereka sangat berbeda satu sama lain, baik dari sudut asal-usulnya, status religius, maupun pola hidup mereka. Juga amat sulit mengetahui peristiwa-peristiwa kehidupan atau sifat-sifat kepribadian mereka, yang menjadi dasar pengangkatan sebagai wali atau yang menentukan tingkat popularitas mereka, karena dalam hal ini pun para wali itu sangat berbeda satu sama lain. Beberapa wali, baik beraliran sufi maupun tidak, dianggap (pada umumnya setelah wafat) sebagai “kutub zamannya”, atau sebagai anggota darajah al-kauniyah (yaitu derajat orang yang mampu mencipta). Beberapa di antaranya adalah zahid (petapa) muslim yang menyepi dari kehidupan duniawi dan hidup sebagai orang saleh, sedangkan wali lainnya yang kadang-kadang buta huruf, melakoni ekstase mistis, atau seperti

halnya Muhammad al-Ham m 18 , hidup di luar norma-norma yang berlaku. Lain halnya tokoh-tokoh sufi seperti Syekh Khogal ‘Abd al-Rahm n

(wafat 1742), yang merupakan seorang perintis utama tarekat Sh dhiliyah di Sudan dan dimakamkan di Half yat al-Mul 19 ūk , ataupun Sayyid

Muhammad al-Hasan al-M rghan pada abad ke-19, yang merupakan ulama yang sesungguhnya, hidup dan mengajar di tengah masyarakat dan juga memainkan peran sosial dan politik. Ada pula sejumlah besar tokoh agama tingkat lokal atau tingkat suku (guru pengajian, khatib istimewa, dan lain- lain) yang mencapai status wali karena memiliki kemampuan meramal yang tinggi atau karena dianggap oleh lingkungannya memperoleh “wahyu” (khususnya melihat Nabi Muhammad dalam impian). Kelompok terakhir ini, yang umumnya disebut fak , termasuk dalam kategori “bawah”

18 Idem, hlm. 319. 19 Halfay t al-Mul ūk, yang terletak di pinggiran Khartum Utara, berkembang

sebagai pusat pengajaran agama pada masa dinasti Funj. Qubbat Khôgal yang daerah sekitarnya merupakan tempat tinggal keturunan syekh, masih menarik banyak pengunjung.

134 Nicole Grandin

dalam tingkat kewalian menurut definisi yang diberikan oleh Idr s b. al- Arb b. Sesungguhnya proses pengangkatan wali begitu dalam mengakar pada mentalitas masyarakat Sudan sehingga wali-wali baru terus bermun- culan. Di Omdurm n, suatu kota yang didirikan pada akhir abad ke-19 oleh Mahd Muhammad Ahmad (wafat 1885) dan yang sejak waktu itu menjadi pusat kehidupan beragama di Sudan, jumlah makam wali terus bertambah. Baik sang Mahd sendiri, meskipun dia merupakan tokoh eskatolgis (ia meramal hari kiamat akan terjadi pada akhir abad 13 H/19 M) yang beraliran reformis dan sesungguhnya menentang ziarah kubur, maupun Sayyid Abd al-Rahm n al-Mahd (1885-1959), putra dan sekaligus pewarisnya sebagai pemimpin gerakannya (dan yang dianggap oleh sementara orang sebagai al-Nabi-Isa, yaitu juru selamat yang lain), keduanya merupakan tokoh yang memperoleh penghormatan masyarakat: keramat mereka disebut-sebut, dan Sayyid Abd al-Rahm n waktu hidup, yaitu pada masa penjajahan Inggris, didatangi rumahnya di Pulau Ab oleh peziarah-peziarah dan sementara orang Inggris tidak bisa berbuat apa- apa…

Bagaimanapun juga, sejak zaman dinasti Funj, para wali Sudan pada umumnya adalah tokoh religius (baik ulama maupun sufi) yang dianggap memperoleh ilham, atau mereka adalah fak -fak yang memperoleh predikat wali berdasarkan berkah yang lebih bersifat kesaktian magis. Jarang ada wali dari kalangan elite masyarakat atau yang terkait dengan pemerintahan. Satu perkecualian adalah Adl n b. Sub h , gubernur distrik Khashm al- Bahr dan tangan kanan Muhammed Ab ū Likaylik, yang mulai tahun 1747-

48 bersahabat dengan Sultan Funj Bad IV. Dia adalah seorang wali yang makamnya konon dapat menyembuhkan kaki pengkor 20 . Kekuasan duniawi

yang dimiliki oleh banyak wali pada umumnya berdasarkan perannya sebagai tokoh agama, yaitu sebagai perantara antara rakyat, penguasa, dan Allah. Itulah pola klasik di seantero dunia Islam, dan hal itu telah memungkinkan banyak syekh Sudan yang terkenal saleh itu (terutama keluarga M rgh n ) untuk mengumpulkan kekayaan berupa tanah atau benda-benda lainnya. Mereka kadang-kadang dikritik oleh pengikutnya karena kekayaannya, bahkan setelah kematiannya, namun hal itu tidak membuat mereka kurang dihormati (meskipun seorang wali yang terkenal loba ditakuti…).

Di Sudan, para wali pada umumnya diakui berperilaku seperti “manusia biasa”: misalnya dalam berbagai cerita (qishshah, jamak qishash) tentang wali yang dikumpulkan oleh Sharafeddin Abdel Salam, salah satu tema yang umum adalah persaingan antarwali. Salah satu kisah itu

20 N. McHugh (1986, hlm. 182).

Sudan Timur Laut 135

menceritakan ujian yang dihadapi dua orang wali untuk menunjukkan siapa yang paling sakti. Komentar-komentar dan seruan-seruan para pendengar,

kata penulis tersebut 21 , menunjukkan kemenangan salah satu pihak dan keyakinan di antara pengikutnya bahwa wali pemimpin mereka memiliki

status yang lebih tinggi dari lawannya dalam hierarki para wali. Pembacaan cerita jenis ini merupakan ritus informal yang digelarkan sebagai hiburan semalam suntuk atau pada pertemuan sosial, dan di samping itu menunjukkan dengan nyata apa yang diharapkan masyarakat dari wali-wali

mereka. Menurut Hayder Ibrahim 22 , di lingkungan pedesaan Shaiqiya di Nubia di Sudah Utara, seorang syekh dinilai bukan berdasarkan kesucian

yang konon dicapainya, tetapi berdasarkan efisiensinya: dia harus memberikan jasa-jasa yang nyata dan berfaedah (f yda) kepada masya- rakatnya. Wali idaman adalah wali yang doanya (da’wah) atau permo- honannya (thalab min All h) selalu disambut dengan baik oleh Allah (da’wah mustaj bah). Dia harus hidup secara sangat sederhana dan penuh ketakwaan, serta menolak pemberian-pemberian dan tanda-tanda kehor- matan yang mengaitkannya dengan dunia yang fana ini. Jika tidak, dikhawatirkan dia akan meminta terlalu banyak untuk jasa-jasa yang diberikannya atau akan memihak orang-orang kuat melawan masyarakat kecil. Kini para syekh yang masih dalam proses pengakuan sebagai wali dapat merupakan orang-orang yang berpengaruh dalam dunia birokrasi atau kehidupan politik modern; dengan demikian mereka dapat membantu sesama rakyat dengan bantuan Allah. Tetapi mereka akan tetap diakui sebagai wali hanya bila berkah mereka bertahan setelah kematian.

Bagaimanapun juga, sang wali, baik yang sudah meninggal maupun yang masih hidup, selalu merupakan tokoh yang akrab dengan masyarakat Sudan, yaitu tokoh yang memiliki hubungan yang dekat dan bermanfaat bagi masyarakat, apa pun posisi yang ditempatinya dalam jajaran kewalian atau status yang ditempatinya dalam masyarakat semasa hidupnya. Salah satu contoh adalah cara polos dan sederhana yang digunakan masyarakat, mulai dari anggota masyarakat yang paling biasa sampai ke tokoh yang terpenting, bila menyebut nama S d Hasan (Sayyid Muhammad al-Hasan

21 Sh.E. Abdel Salam (1983, hlm. 147-148) berdasarkan berbagai cerita menjelaskan bagaimana seorang wali dapat memperlihatkan kesaktiannya, misalnya

dengan menyerang wali lain. Serangan itu pada umumnya merupakan serangan spiritual (gh riyah, jamak gh riyy t), yang di Sudan dianggap sebagai padanan dari serangan antarsuku (gh ra). Satu-satunya perbedaan adalah bahwa yang dipertaruhkan adalah kekuasaan spiritual dan bukan secara langsung kekuasaan politik atau ekonomi. Serangan itu berlangsung secara damai dan berbentuk lomba ilmu agama atau lomba ketenaran dalam berbagai bidang.

22 (1979, hlm. 153).

136 Nicole Grandin

al-M rgh n ) pada setiap saat. Ia salah seorang wali yang paling besar dan paling populer di Sudan, yang reputasi dan pengaruhnya jauh lebih luas daripada tarekatnya, yaitu tarekat Khatmiyah.