Kompleks Keramat
Kompleks Keramat
Kompleks keramat Sunan Gunung Jati mencakupi kedua bukit tersebut di atas, yaitu Bukit Sembung dan Bukit Gunung Jati, yang hanya berjarak beberapa ratus meter. Bukit Gunung Jati bisa dipastikan sudah keramat pada zaman pra-Islam. Orang setempat masih mengenang bahwa api besar- besaran kadang-kadang dinyalakan di puncaknya, yang dianggap dan dikeramatkan sebagai puser alam. Kepercayaan-kepercayaan kuno sedikit demi sedikit telah diintegrasikan dalam kerangka Islam, namun bukit ini tetap mempunyai ciri sakral. Sebuah gua kecil (kahf dalam bahasa Arab) yang ada di atasnya rupanya melahirkan pengeramatan seorang tokoh yang diduga mitis bernama Datuk Al-Kahfi. Tokoh ini, menurut kisah rakyat, berasal dari Bagdad dan menjadi penyebar agama Islam yang pertama di Cirebon, kemudian putrinya dinikahkannya dengan Sunan Gunung Jati. Namun menurut Sajarah Banten, satu babad Jawa tentang sejarah daerah itu, Sunan Gunung Jati-lah yang mengislamkan bukit tersebut dan mendirikan di kakinya sebuah kompleks makam—yang masih dapat dilihat hingga kini—agar kesembilan Wali Songo dimakamkan di situ setelah wafat. Dengan demikian Bukit Gunung Jati tetap berfungsi sebagai pusar alam (dalam hal ini Pulau Jawa), walaupun sebagai pusar suatu wilayah yang telah diislamkan.
Sebuah tangga yang panjang dan berliku-liku memanjat lereng bukit, yang penuh dengan ratusan kuburan. Di kaki bukit terdapat beberapa mata air keramat yang dipakai oleh para peziarah untuk minum dan bersiraman. Meskipun namanya dapat menimbulkan kerancuan, makam Sunan Gunung Jati tidak berada di Bukit Gunung Jati itu, tetapi di atas Bukit Sembung yang bersebelahan. Makam itu dapat dicapai—seperti lazimnya di kompleks makam yang besar-besar di Jawa—melalui serentetan teras dan halaman bertembok. Setiap halaman itu berisi kuburan yang di sana-sini
Makam Sunan Gunung Jati 363
Makam Syeikh Dalem Arif
Muhammad di depan sebuah candi Siwa di Leles, Jawa Barat.
Makam Syeikh Maulana Ishak, di bawah naungan pohon beringin,
di Kraksaan, Jawa Timur.
364 Claude Guillot dan Henri Chambert-Loir
disela oleh bangunan-bangunan kecil dari kayu, oleh karena banyak orang minta dikubur dekat makam seorang wali dengan mengharapkan perlin- dungannya di alam baka.
Untuk mencapai teras terakhir, yang tertutup sebuah atap, para peziarah harus melalui sebuah pintu, tempat mereka disambut oleh para juru kunci. Jumlah juru kunci itu amat besar: 123 orang, yang harus diangkat dengan persetujuan kedua kraton utama Cirebon, yaitu Kasepuhan dan Kanoman, meskipun dalam praktik, seperti di tempat sejenis lainnya, jabatannya diwariskan secara turun-temurun. Kelompoknya dikepalai oleh seorang jeneng yang dibantu oleh dua wakil atau bekel, yaitu bekel tua dan bekel muda , yang memimpin 120 prajurit. Para prajurit tersebut bertugas secara bergilir dalam regu 15 orang selama dua minggu berturut-turut, yaitu selama 14 hari setiap empat bulan. Ketiga pemimpin di atas bertang- gung jawab atas pengelolaan keuangan situs, baik pendapatannya (berupa barang atau uang, yang dapat mencapai nilai yang sangat tinggi) maupun pengeluarannya (perawatan dan gaji). Semua juru kunci mengaku ketu- runan dari seorang bernama Patih Keling, yaitu menteri seorang raja India Selatan yang konon diislamkan oleh Sunan Gunung Jati sendiri. Tugas para juru kunci beraneka ragam. Mereka harus merawat kompleks dan sekaligus memberikan tuntunan dan informasi kepada peziarah, sehingga peran mereka mirip peran para pendeta atau pedanda karena di samping meman- jatkan doa untuk pengunjung, mereka juga memberikan nasihat dan menyediakan berbagai barang keramat (tanah dari bukit itu, air suci, sisa beras dan lain-lain) yang dibawa pulang oleh peziarah sebagai tanda nyata dari berkah sang wali.
Teras ini, yang berada di bagian tengah lereng bukit, tertutup oleh sebuah tembok besar, yang dihiasi dengan berbagai piring dan mangkok porselin. Itulah batas kawasan yang terbuka untuk umum. Hanya keturunan sang wali yang boleh menaiki teras-teras terakhir dan masuk ke dalam cungkup makam. Para peziarah biasa, yang beribu-ribu jumlahnya, harus merasa puas dengan berdoa di depan gerbang kayu yang menutup jalan ke puncak bukit. Di kaki pintu gerbang itulah mereka menaruh bunga-bunga dan membakar kemenyan, dua ritus utama yang memang lazim pada acara ziarah di makam-makam di Jawa. Di depan gerbang itu juga—yang hanya dibuka pada waktu hari raya besar Islam—mereka membentangkan tikar untuk bersembahyang. Di dekatnya terdapat beberapa tempayan besar berisi air suci yang diambil para peziarah untuk diminum—satu ritus pokok lain ketika berziarah ke makam seorang wali. Seperti di Bukit Gunung Jati di atas, di kaki Bukit Sembung ini juga terdapat beberapa sumur berisi air suci.
Makam Sunan Gunung Jati 365
Pada jarak sekitar 15 meter dari gerbang tadi, terlihat suatu pintu kayu yang diukir dengan gaya Tionghoa. Pintu itu membuka jalan ke makam istri legendaris Sunan Gunung Jati bernama Ong Tien, yang lebih dikenal dengan julukan Putri Cina. Makamnya juga tertutup untuk umum. Di depan pintu berkerumun peziarah keturunan Tionghoa, yang keba- nyakan tidak beragama Islam. Ritus-ritus pun bernada Tionghoa: makanan dipersembahkan seperti di klenteng; kemenyan dibakar, batangnya ter- tancap dalam sebuah tempayan tembaga berisi pasir; uang receh bercampur bunga dilempar-lemparkan, dan sebagainya.
Sebagaimana lazimnya di kebanyakan tempat ziarah di Jawa, perbedaan agama tidak terasa menimbulkan masalah apa pun. Sering terdengar di Jawa bahwa para wali tidak begitu mempedulikan perbedaan- perbedaan kepercayaan. Namun ada juga sejumlah situs di mana berlaku ortodoksi yang lebih ketat; sinkretisme populer dikutuk dan luapan religius yang tak terkendali berusaha dikontrol.