P īr, Pengikut, dan Tempatnya

P īr, Pengikut, dan Tempatnya

Pr adalah istilah Parsi yang berarti “orang tua”. Seperti dapat diduga istilah itu digunakan di Bangladesh dalam konteks yang berbeda-beda dan dalam arti yang melampaui konsep dasar laki-laki dan usia tua. Oleh karena tradisi Islam tidak mengenal tata upacara pentahbisan serta tidak memiliki kelas imam maupun ordo kebiaraaan, apalagi gelar p r bisa diberikan, diambil alih dan dimanipulasi oleh siapa pun yang menyatakan diri sebagai pr , maka tidak mengherankan apabila istilah itu penuh dengan ketidak- jelasan. Lebih lagi, tidak ada kesepakatan yang sebenarnya mengenai tempat sufisme dalam Islam, meskipun semua p r yang telah saya temui mengaku mempunyai ikatan, betapa pun lemahnya, dengan sufisme. Akibatnya, model p r dan pengikutnya sangatlah bervariasi pula.

Kepribadian seorang p r ditegaskan oleh afiliasinya kepada salah satu tarekat sufi besar yang terdapat di anak benua India yaitu Chistiyah, Q diriyah, dan Naqsbandiyah-Mujjaddidiyah. Afiliasi seperti itu sifatnya tidak jelas dan biasanya hanya sekedar sebutan saja. Boleh dikatakan, di Bangladesh nyaris tidak ada organisasi sufi yang mendekati tarekat-tarekat

Tradisi Ziarah Sufi di Bangladesh 315

besar Afrika Utara dengan struktur mapan yang mirip serikat kerja. Di Bangladesh kelangsungan tradisi ini bergantung pada upaya “p r-pengu- saha” yang bekerja secara perorangan. Di beberapa daerah, misalnya di Chittagong dan Sylhet di Bangladesh Timur, yang menonjol adalah p r berstatus Sayyid, yaitu keturunan Nabi Muhammad. Namun di Bangladesh modern, menghidupkan kenangan akan “kasta” Islam seperti itu semakin terasa janggal. P r yang lebih berhasil justru berusaha menghindari ingatan yang jelas-jelas kolot dan feodal akan dikotomi kuno antara kaum Syarif

dan orang awam 7 . Tidak ada bidang kegiatan sosial khusus yang dipilih oleh pria

Bangladesh yang menjadi p r. P r dilayani oleh kelompok sosial yang amat beragam, sesuai dengan kelas serta hubungan sosial dan lokal mereka. Faktor lain adalah gaya khas dari masing-masing p r. Misalnya, p r Mujibur Rahman Chisti sering bepergian dalam maupun ke luar negeri; dia memiliki banyak pengikut kaya di kalangan imigran Asia Selatan di Bangladesh dan lancar berbahasa Urdu dan Hindu walaupun tidak bisa berbahasa Inggris. Dia pun didatangi Benazir Bhutto dalam kunjungan kenegaraannya ke Bangladesh pada tahun 1989. Bila berada di Dhakka, p r ini tinggal di sebuah pondok (darbah) yang dia miliki di Muhammadpur. Di situ dia didatangi oleh kaum elite menengah dia berusaha membuat mereka takjub dengan gaya internasionalnya dan terutama paspornya yang penuh cap itu. Singkatnya, citra yang diraihnya dari kunjungannya ke Amerika dan Eropa telah sesuai dengan citra kemuliaannya sebagai orang yang ilmu atau pengetahuannya melampaui batas ilmu dan pengetahuan orang biasa.

Seorang p r lain dengan kepribadian yang jauh lebih sederhana, yang juga mempunyai banyak koneksi dalam kelompok bhadrolok samaj (kelompok elit terdidik, “polite society”), adalah p r dari Narinda. Keluar- ganya memiliki pondok (darbah) yang luas dengan makamnya di kota Dhakka Lama. Contoh lain dari p r yang serupa adalah P r Shantinagar dan P r Poribagh. Mereka adalah pewaris dari p r terkenal yang dikubur di kompleks makam yang sama. Ketiga tempat tinggal (darbah) dan makam (darg h) p r di atas kini sudah menjadi usaha bisnis yang cukup besar. Di antara ketiga p r tersebut satu-satunya yang mempunyai penerus yang memenuhi syarat untuk dihormati sebagai p r yang sesungguhnya dan berhasil dalam posisi tersebut adalah p r dari Narinda. Selain peziarah kelas menengah yang datang berbondong-bondong ke tempatnya untuk berkunjung serta berdoa, selalu ada juga fakir miskin dan kaum duafa

7 Orang Islam kelahiran rendah dulu disebut “ajlaf”, sedangkan orang yang dianggap bangsawan disebut “asyraf”, yakni “para syarif”.

Samuel Landell-Mills

dalam jumlah besar yang menanti di luar. Meskipun orang-orang itu pun turut berdoa di makam, sasaran mereka yang sesungguhnya adalah meminta sedekah kepada pengunjung yang kaya, karena pada dasarnya kelompok elitelah yang langsung dilayani oleh p r. P r Atroshi juga mempunyai banyak pengikut di antara orang kaya baru dari zaman Presiden Ershad, namun patut dicatat bahwa meskipun banyak peziarah berasal dari kalangan elite, para pembantu (qadem) dari p r yang amat sukses itu biasanya diambil dari kalangan yang kurang mampu.

Sebaliknya, Nazimuddin dari Rayer Bazar adalah seorang p r tidak terkenal yang terutama melayani kaum papa yang tinggal di daerah kumuh di wilayah termiskin Dhan Mundi. Tempatnya mirip tempat (darbah) dari rekannya yang lebih kaya, yaitu terdiri dari salah satu ruang dalam sebuah rumah bertingkat satu. Tembok ruang itu berisi lukisan hiperrealis berwarna menyala yang mengambarkan lorong-lorong beratap lengkung di kota Mekkah. Suasana bernada budaya fakiri (sufi pedesaan yang terkait dengan tradisi Tantris), seperti terlihat pada batang dupa dan sisa lilin yang ditemukan di situ. Tidak nampak nuansa kemewahan dan kebersihan (menandakan kekayaan dan disiplin) seperti yang dapat ditemukan di tempat p r yang lebih kaya.

Kini, tidak ada lagi rasa kewajiban untuk berziarah atau berguru, namun masih banyak orang yang melakukannya atas prakarsa sendiri dan bukan sebagai anggota dari kelompok pengikut. Dengan demikian, terbukalah kesempatan bergabung dalam komunitas rekaan pengikut, yang terkait dengan gurunya melalui silsilah fiktif. Popularitas p r-p r kontemporer mencerminkan bentuk-bentuk sosial baru yang sedang ber- kembang. Akan tetapi, meskipun dapat dikatakan bahwa p r-p r tertentu telah berhasil di suatu kalangan sosio-ekonomis, namun sesungguhnya banyak pilihan ditawarkan dalam bidang keagamaan, sehingga pada akhirnya individulah yang memilih p r ini atau itu. Setelah menentukan pilihan, sang pengikut dapat bergabung dan masuk ke dalam keseluruhan sejarah pengabdian kepada p r, yang berfungsi menghapuskan pengalaman kemandirian dalam menentukan pilihan yang telah dibuatnya. Hal ini penting karena setiap hubungan antara pengikut dan p r, entah p r yang hidup atau yang sudah wafat, agar benar-benar memberi manfaat bagi pengikutnya, harus diilhami oleh hal-hal yang berada di luar keduniawian. Retorika kepatuhan yang ada harus diikuti dengan baik. Karena itu, dibutuhkan semacam keseimbangan antara situasi “modern”, ketika ikatan kelompok kurang kuat, dan orientasi keagamaan kian tergantung pada kesadaran pribadi, dan tatanan tradisional (feodal, patriarkal dan menyeluruh) yang masih terasa gemanya dalam tempat tinggal (darbah)

Tradisi Ziarah Sufi di Bangladesh 317

dan makam (mazar) seorang p r. Bahkan orang-orang yang bermaksud memanfaatkan pengaruh seorang p r hidup yang sukses untuk kepentingan bisnis mengetahui benar, setidaknya secara formal, cara menghargai “budaya istana” di tempat-tempat itu, yang berfungsi sebagai benteng pertahanan kesakralan di sekitar mereka.

Seperti ditekankan oleh Ewing (1980) dalam penelitiannya tentang pr di Pakistan, praktik-praktik yang dilakukan p r di Asia Selatan muncul di tengah konteks “krisis multi-interpretasi” yang timbul dari serentetan fenomena seperti pembentukan negara-negara nasional, migrasi penduduk, perang, pemerintahan militer, landreform, urbanisasi dan pertumbuhan penduduk yang pesat. Di Bangladesh, p r-p r kontemporer yang berhasil biasanya muncul sebagai tokoh penting melalui perjuangan mereka men- dirikan, mengamankan, dan memelihara suatu kerangka institusional yang berdasarkan satu sistim hierarki (terutama berkaitan dengan pengetahuan dan ketidaktahuan) seperti terlihat pada status khas mereka sendiri, dan yang berfungsi sebagai acuan orientasi untuk pengikut-pengikutnya. Hubungan-hubungan sejenis itulah yang membimbing orang untuk meng- akui kesucian seorang wali. Kesucian tersebut pada umumnya dipusatkan pada suatu tempat tertentu, entah makam wali yang sudah wafat atau rumah p r yang masih hidup. Bila terletak di tengah kota besar, makam atau rumah itu pada umumnya dibangun sedemikian rupa sehingga keseharian di sekitarnya terasa lain, dan terciptalah suatu tempat ber- suasana kesucian yang terasa. Dana yang besar terserap dalam makam- makam yang besar pula, dan pratek ziarah yang berkembang di sekitar p r baru, seperti di Atroshi dan Sayedabad, mendatangkan dana yang dipakai untuk perluasan kompleks makam itu.

Makam-makam dan lingkungan sekitarnya terdiri dari bangunan- bangunan yang mewujudkan dan sekaligus memudahkan proses interaksi sosial yang membuat kesucian sang p r secara terus-menerus dinego- siasikan. Akibatnya, di Bangladesh p r hidup maupun p r mati hampir selalu dikaitkan dengan suatu tempat. Kompleks-kompleks makam yang berdiri sejak beberapa abad mempunyai andil yang besar dalam pem- bentukan tata ruang di sekitarnya. Atroshi, yang akan diperikan di bawah ini, telah mengubah secara total lingkungan pedesaan di sekitarnya dalam rentang waktu beberapa tahun saja dan bahkan akan berkembang lagi menjadi suatu pusat industri baru.

Di Bangladesh tidak ada ziarah ke makam selain makam p r. Meskipun orang Benggali Hindu berziarah ke leluhurnya sampai generasi ke-7, di kalangan Islam tradisi tersebut tidak ada. Sesungguhnya orang Benggali Islam tidak banyak menekankan faktor keturunan, kecuali—dan kadang-kadang saja—untuk mengaku sebagai keturunan Sayyid. Akan

Samuel Landell-Mills

tetapi dalam hal itu pun ziarah hanya berkembang untuk mereka yang leluhurnya dianggap sudah menjadi wali yang dekat dengan Allah. Sebe- narnya di Bangladesh kuburan kerap merupakan tempat yang tak ter- pelihara dan diliputi suasana tidak menyenangkan. Meskipun demikian orang tetap memperlihatkan sikap penuh hormat dan ketenangan ketika berada di kuburan serta gerak badannya selalu terkontrol seperti semestinya.

“Kelompok rohaniwan” yang menangani makam dan rumah p r dapat diklasifikasi sebagai berikut: p r, kerabat dekat p r, pembantu (qadem) atau pemelihara, murid dekat, dan ulama (mullah) kalau ada. P r yang bertempat tinggal di makam pada umumnya adalah keturunan dari p r pendiri pertama. Namun sebuah tempat tinggal p r (darbah) dapat juga dibangun di mana saja oleh p r terpilih atau oleh siapa pun yang menyatakan diri sebagai p r (bisa saja ada beberapa pengganti p r pertama [khalifa]) meskipun pada umumnya hanya ada satu pewaris spiritual utama).

Ada kalanya tidak ada p r hidup yang tinggal di kompleks makam. Dalam hal itu makam dijaga oleh para pembantu (qadem). Kadang-kadang kedudukan itu diwariskan. Murid-murid terdekat sering membentuk suatu lingkaran dalam di sekitar p r, yang berfungsi melindunginya dari massa. Acap kali dikira bahwa murid-murid itu mendapat pelajaran tertentu dalam sufisme, tetapi saya belum pernah dapat membuktikan hal itu. “Lingkaran dalam” itu memiliki status khasnya hanya karena lamanya melayani p r dan karena merupakan orang yang dikenal dan dipercaya, sehingga diberi tanggung jawab. Sering muncul konflik di antara murid terdekat dan kerabat p r tentang siapa yang mestinya berhak atas warisan p r. Hal ini menggarisbawahi kenyataan bahwa di Bangladesh keberhasilan sebagai orang suci adalah soal pencapaian pribadi. Pewarisan nominal memang dihormati, tetapi setiap p r harus memperlihatkan berkah Tuhan dalam penampilannya sendiri yang menyakinkan. Tempat yang dijadikan situs makam sendiri dipilih sembarangan, tanpa ada ciri fisik tertentu yang menentukan. Sebaliknya, tempat itu mengambil nilai khasnya hanya setelah sang p r turun tangan. Kesucian tempat seperti itu berdasarkan atas fungsinya sebagai perpanjangan dari atau tubuh suci. Berkah yang meliputi tubuh orang suci diturunkan kepada makanan dan minuman yang dibagikannya kepada murid-nya. Makanan atau minuman

itu disebut sebagai tabarok 8 , yaitu “penuh berkah”. Banyak p r meniup air

8 Dari kata Arab tabarruk yang berarti mengambil berkah. Dalam hal makanan dan minuman, kata ini berarti bahwa orang mengharapkan berkah dengan makanan atau

minuman yang diberikan sang wali (catatan penerjemah).

Tradisi Ziarah Sufi di Bangladesh 319

Peta Bangladesh dengan lokasi tempat-tempat yang disebutkan

Samuel Landell-Mills

atau secara langsung meniup penghadapnya untuk memberikan berkah penyembuhan atau hal-hal lain yang tidak dapat disebut secara khusus. Berkah itu juga menerangi seluruh tempat (darbah) yang mengambil nama pr . Bagi p r yang sudah wafat, kekuatan spiritualnya terpusat pada makam dan menebar dari situ. Baik tempat tinggal p r maupun makamnya adalah ruang yang dibangun di sekitar pusat suci suatu tempat di mana kehadiran seorang wali, entah p r hidup atau p r mati, paling intens dirasakan dan di mana kesucian p r itu—yang acap kali dipertanyakan—diterima sepenuhnya. Walaupun fungsinya agak mirip fungsi sentral sebuah penampakan (darshan) di pura-pura Hindu atau di asrama guru-guru Hindu—di mana konon tercapai hubungan saling melihat antara dewa dan pemujanya—namun makam itu tak syak adalah sebuah simbol Islam. Biasanya ditemukan elemen-elemen seperti: air suci, lilin, batu nisan, kain bordir, logam berharga atau mengkilat. Kendatipun pusat makam itu “miskin”, masih ditemukan ciri-ciri lahiriah yang ditiru dari makam yang lebih kaya. Misalnya di Chittagong ada ratusan makam, tetapi hanya beberapa yang besar. Di semua tempat itu ditemukan aturan-aturan tingkah laku yang dicetuskan oleh bentuk penataannya yang, oleh karena terpusat pada benda-benda kematian dan tanda-tanda kehormatan, langsung dipahami sebagai penunjuk kesucian. Peziarah membungkuk, menyembah, berdoa dan berbicara kepada makam. Mereka menyumbangkan tenaga, uang, ternak, makanan matang atau mentah, dan berbagi makanan yang dipersembahkan kepada wali-wali. Gema yang jelas dari kebiasaan Hindu untuk makan makanan sesajen (prasad) diperkecil oleh pemahaman yang terang dari para peziarah bahwa mereka sedang menghormati orang suci Islam dan dengan demikian memperkuat identitas Islam mereka.

Kebanyakan orang mengunjungi makam dan tempat tinggal p r karena alasan praktis (kesulitan profesi dan ekonomi, kemandulan, ujian, cekcok keluarga, masalah seksual, pengaruh jin, ketakutan, dan sebagai-

nya) 9 dan fungsionalisasi itulah yang memperkuat atau memperlemah kewalian dari p r yang bersangkutan. Sesungguhnya sebuah makam adalah

tempat memadukan untuk sementara beraneka segi dari identitas p r, yang kadang-kadang bertentangan satu sama lain. Wali-wali Bangladesh sangat beragam cirinya, sehingga kadang-kadang hanya dengan menggunakan simbol makamlah dapat mereka dipersatukan dalam kategori p r. Syah Jahlal misalnya sangat dihormati karena bakatnya berkhotbah dan berperang (M.E. Haq 1975, hlm. 147), Lallon Syah dihormati karena mutu musiknya, sedangkan p r hidup dari Sayedabad dihormati karena kemam-

9 Untuk penggambaran berbagai praktik yang dilakukan di suatu makam yang ramai diziarahi, lihat Suraiya & Hasina (1991).

Tradisi Ziarah Sufi di Bangladesh 321

puannya memberikan kesuburan. Penghormatan yang diberikan kepada masing-masing p r meneguhkan kembali dan bahkan kadang kala mempe- ngaruhi penghormatan kepada p r yang lain. Dengan demikian, tradisi itu selalu dapat ditantang lagi, diperbarui dan diubah. Misalnya, pernyataan dari P r Sayedabad bahwa dia tidak menerima pengikut menunjukkan bahwa dia bersikap “ortodoks” yang menolak hubungan p r-murid. Dengan sendirinya sikap itu agaknya memperkuat pengaruh wacana ortodoks tentang p r; wacana itu mengambarkan p r tanpa kesaktian yang berarti; p r hidup dan p r mati sama-sama tampil sebagai orang saleh yang, meski disukai Tuhan, tidak memiliki kekuatan gaib yang istimewa.

Di Bangladesh seperti di tempat-tempat lainnya di dunia Islam, tradisi ziarah ke makam wali terkait erat dengan ruang dan wilayah. Seperti dikatakan oleh Marc Gaborieau dalam tulisannya tentang sufi-sufi di Himalaya, makam menandai tempat yang merupakan sejenis titik masuk ke dalam apa yang dianggap wilayah agama Islam. Hal itu terutama berlaku untuk makam-makam wali yang tertua di Benggala, yaitu yang sekarang namanya diwarnai konotasi identitas regional yang jelas. Makam-makam yang paling terkenal di Bangladesh, yaitu makam Syah Jahlal dari Sylhet, Baizid Bustami (Ab ū Yaz d al-Busth m ) dari Chittagong, Khan Jahan Ali dari Bagerhat dan Syah Ali Bagdadi dari Mirpur di Dhakka, semuanya mengenangkan tokoh-tokoh pendatang yang dianggap berperan dalam islamisasi suatu daerah. Terdapat beberapa kompleks makam yang dikenal secara nasional, meskipun yang terbesar di antaranya (di Sylhet dan Chittagong) terkait pada daerah yang bersangkutan, tetapi jumlah makam yang bersifat lokal jauh lebih besar. Berbeda dengan kompleks makam terkenal dari India, Bangladesh tidak memiliki makam yang pengun- jungnya datang dari seberang perbatasan, meskipun kini ada p r-p r tertentu yang mencoba menjadikan Bangladesh suatu Dar ul-Islam. P r dari Atroshi, yang tradisi ziarahnya akan diperikan di bawah ini, memiliki dan mencoba menarik “calon” pengikut skala nasional.

Usaha-usaha yang selama ini dilakukan oleh para politikus untuk memanfaatkan karisma p r untuk mempengaruhi orang banyak lebih terfokuskan pada p r hidup yang baru daripada usaha untuk mengontrol yang lebih kuno. Misalnya Ayub Khan menjagokan p r dari Sharshina di Barisal, sedangkan Ershad sudah diketahui umum berasosiasi dengan p r dari Atroshi. Dengan meluasnya pengaruh media, pendidikan dan gerakan fundamentalis, kini makam-makam dijadikan sasaran reformasi fundamen- talis, dan berbagai praktik yang dianggap menyimpang di sekitar makam (seperti membaurnya laki-laki dan perempuan, menyanyi, menari, menghisap ganja) telah dikurangi. Kini praktik ziarah ke p r dan makam sendiri diserang oleh organisasi seperti Jamaah Tabligh dan partai Jamaah

Samuel Landell-Mills

Islam (yang bersekutu dengan partai penguasa pada saat tulisan ini digarap), yang menganggap aliran sufi tradisional sebagai suatu bentuk syirik. Sekolah-sekolah teologi Islam telah dibangun di sekitar banyak makam dengan niat untuk mengubah praktik-praktik yang menyimpang itu melalui tekanan sosial dari kelompok yang dengan saleh menolak praktik tersebut.

Berbeda dengan para pendahulunya, pemerintah yang ditangan Bangladesh Nationalist Party tidak terkait dengan p r dan perdana menteri hanya melakukan kunjungan ke makam almarhum suaminya. Hal itu disebabkan karena etos partai itu lebih bersifat “Islam ortodoks”, karena terkait dengan konsep “nasionalisme Bangladesh” yang anti India (Hindu), daripada konsep “nasionalisme Benggali” yang bersifat antarumat.

Namun pemerintah tetap tidak berhasil mengontrol makam-makam, meskipun telah beberapa kali berusaha menerobos ke dalam pengelolaan dana besar yang mengalir ke kompleks-kompleks makam. Banyak di antara makam terpenting, termasuk kompleks Atroshi dan Maishbandar, meng- hindari pendaftaran sebagai wakaf agar tetap berada di luar pengelolaan negara. Tempat kediaman p r (darbah) masih dapat menghindari ceng- keraman Departemen Agama karena merupakan tempat keturunan langsung dari p r pendiri dan dengan demikian masuk dalam kategori rumah tangga, berbeda dengan kompleks makam (darg h) yang hanya dihuni oleh para juru kunci (qadem). Pengaruh terbesar dari pemerintah terhadap kelompok sufi Bangladesh berbentuk dukungan atas seseorang pr , seperti di Atroshi dan Sayedabad (yang telah diberi sebidang tanah yang luas di kota Dhakka sendiri oleh mantan Presiden Ershad). Kedua p r tempat tersebut, setidak-tidaknya kelihatan begitu, mempunyai suatu pengertian tentang Islam yang dapat diterima—meskipun tidak disukai— oleh kekuatan-kekuatan fundamentalis yang makin kuat.