Warisan Kuno

Warisan Kuno

Di Iran, Islam diperkaya dengan tradisi agama Zarathustra yang mem- punyai suatu konsep pemerintahan oleh kaum pendeta dan suatu hierarki spritual, yang modelnya adalah suatu kahyangan yang dihuni sejumlah malaikat dan malaikat agung. Di dunia, raja-raja dianggap memiliki tugas suci yang menyinari. Lambang keagungannya, yang disebut farr dalam bahasa Persia, tetap dikenal dalam ikonografi keagamaan dalam bentuk nurkalang (lingkaran cahaya). “Energi ini”, tulis Henry Corbin, “ada sejak saat penciptaan dunia dan akan terus ada sampai ‘tindakan terakhir’ yang diumumkan dan diramalkan dengan istilah Frashkart, yaitu Transfigurasi (perubahan wujud) yang konon dilakukan pada akhir Aiôn oleh para Saoshyant atau Penyelamat yang berasal dari keturunan Zarathustra. (…) Energi ini adalah energi cahaya sakral (...) yang menjamin bahwa makhluk- makhluk cahaya itu akan memenangkan pertarungan melawan kekuatan perusak dan kekuatan maut yang dimasukkan dalam dunia ciptaan Ahuramazda oleh Kekuatan-Kekuatan iblis dari dunia Kegelapan. Oleh karena itu, Energi ini pada galibnya terkait dengan harapan-harapan

tentang akhirat…” 3 Warisan kuno ini nampak dengan jelas dalam karya-karya tulis, baik

profan maupun sufi, dan dalam tradisi mistis yang bertahan sampai kini, yang menempati posisi tengah antara filsafat, teologi, dan sufisme.

Suhraward (1155-1191) yang juga dipanggil Syekh al-Isyr q 4 (Syekh ol- ešr q), misalnya, yang banyak mempengaruhi para filsuf zaman Safawi,

menyusun suatu teori metafisik cahaya yang langsung mengacu kepada kepercayaan-kepercayaan pra-Islam. Modelnya lebih bersifat “illumi-

3 H. Corbin (1979, hlm. 39). 4 Yaitu “guru filsafat illuminasi” (catatan penerjemah).

Iran 219

nationist” (yang menyinarkan) atau “ešr qi” daripada profetis (yang meramalkan). Dengan itu ia menggambarkan jiwa yang disucikan, yang “bercahaya karena Nur Tuhan” dan mengacu pada al-Qur’an 2:257, “Allah Pelindung (wali) orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya”. Kemudian Suhraward melanjutkan sebagai berikut,

Setelah Cahaya-Cahaya Ilahi meyinari (makhluk-makhluk suci); dan setelah Sang Sakinah (ketenangan batin) yang suci bermukim dalam jiwa mereka, barulah jiwa-jiwa mereka terangkat dan memiliki kemampuan untuk mempengaruhi raga dan jiwa orang lain, karena jiwa adalah ibarat sepotong besi yang menjadi merah membara karena bertemu api. (…selanjutnya diberikan deskripsi keagungan spiritual dari penguasa yang diberkati kekuatan ilahi.) Kemudian, cahaya yang diterima oleh penguasa yang demikian, setepatnya adalah juga Cahaya yang pernah diterima oleh para

penguasa Persia kuno 5 ….

Pengaruh-pengaruh sastra itu agaknya hanya menyangkut sekelompok elit kecil, namun dapat diduga bahwa budaya rakyat sesungguhnya lebih mempertahankan kepercayaan-kepercayaan serupa, yang memberikan warna yang lebih “lokal” kepada Islam di Iran sebagai ciri khasnya. Para pakar sepaham untuk melihat dalam peringatan terbunuhnya Imam Husain ( syur ) suatu jenis kelanjutan praktik religius pra-Islam dari tokoh Siy vasy, seorang pangeran yang dihukum secara tidak adil dan yang

mengorbankan diri demi tercapainya keadilan yang diidamkan itu 6 . Sekarang masih terdapat beberapa pusat ziarah aliran Zarathustra di

Iran, yang pada umumnya terkait dengan gejala-gejala alamiah yang positif, seperti misalnya mata air Cakcaku di gurun, tidak jauh dari Kerman. Ada pusat ziarah lainnya, yang kendati dikunjungi juga oleh orang Islam, diduga berasal dari kultus Dewi Anahita, seperti tempat keramat P r-e B nu (Yazd) atau tempat keramat Bibi Syahrb nu dekat Kota Teheran, yang oleh orang-orang Syiah dianggap sebagai makam putri kaisar dinasti Sasaniyah yang terakhir, yang juga merupakan istri Imam Husain. Sudah pasti terdapat kesinambungan antara kedua tradisi ziarah itu.

Warisan Syiah

Aliran Syiah “asal”, sejauh dapat direkonstruksi berdasarkan tradisi-tradisi yang dikumpulkan, telah menjadikan Dua Belas Imam sebagai sebuah

5 Shih bodd n Yah y Shaykh al-Eshr q Sohravardi, diterjemahkan dan diberi pengantar oleh H. Corbin (1976, hlm. 110 dst.).

6 Y. Richard (1991, hlm. 132 dst.).

220 Yann Richard

dewan suci langgeng yang bertugas memperluas dan menguniversalkan ajaran Nabi Muhammad. “Kekuatan sakral” yang konon dimiliki oleh para Imam mencakup pengetahuan tentang nama teragung Tuhan (Ar. al-ism al- a‘zam ) serta semua ciri-ciri kenabian sejak Nabi Ibrahim: jubah Nabi Adam, cap Nabi Sulaiman, jubah Nabi Yusuf, bahtera Nabi Nuh, sahifah dan lauh Nabi Musa, cincin Nabi Muhammad, dan sebagainya. Mereka dapat menghidupkan kembali orang yang telah mati, menyembuhkan orang

buta, dan sebagainya 7 . Baik sebagai kekuasaan ataupun karisma, sifat kewalian para Imam

disebut dengan suatu nama yang taksa, yaitu vel yat/val yat. Lafal pertama menekankan arti kewenangan, sedangkan yang kedua mengandung arti kasih sayang Tuhan, yang dalam aliran Islam Syiah dikonotasikan dengan misi para Imam yang meneruskan fungsi kenabian Nabi Muhammad. Kata “wali” mengandung kedua arti tersebut, dan ‘Ali bin Abi Th lib, yaitu Imam pertama, disebut sebagai “wali” Allah dalam azannya kaum Syiah: dia adalah pilihan, kawan dan orang dekat Allah, tetapi juga pemimpin yang telah dipilih oleh Allah untuk menuntun umat-Nya.

Tidak perlu dibicarakan di sini asal-usul aliran Syiah, apakah berasal dari Iran atau tidak: kaum maw li 8 (mav li) berbangsa Persia, klien yang

bergantung pada orang-orang muslim pertama, memang kemungkinan besar memeluk aliran Syiah untuk menghindari diskriminasi yang menimpa mereka. Ideologi Syiah yang sarat akan mistik dan semangat pem- berontakan itu diimbuhi hasrat mereka untuk membangun suatu aliran Islam yang lebih canggih daripada aliran Sunni yang kaku.

Walaupun memang kemungkinan besar berbagai tema mistik kuno, yang diperdalam oleh teosof seperti Suhraward , terbawa dalam aliran Syiah, namun tuntutan identitas Persia itu tampaknya bukanlah unsur pokok aliran Syiah: pertalian Imam-Imam dengan dunia Arab lebih penting daripada hubungan mereka dengan Persia kuno yang kadang-kadang

bersifat legendaris 9 . Meskipun demikian, sejarah telah lama mengaitkan Syiah dengan identitas Persia pada masa modern, terutama sejak masa

Sy h Isma’il (dari dinasti Shafawiyah) yang memaksakan aliran agama itu pada kerajaannya pada tahun 1502. Di Persia aliran Syiah ternyata mendapati tanah yang subur dan berkembang dengan pesat sehingga Iran

7 M.A. Amir-Moezzi (1992, hlm. 228 dst.). 8 Pada awal penyebaran agama Islam, orang mawl (jamak maw l , Parsi mav li)

adalah orang Persia yang baru masuk Islam dan berada di bawah wewenang orang muslim pertama (hubungan patron-klien).

9 Imam Husain konon telah menikahi putri maharaja Sasaniyah terakhir Yazdegerd III, dan dengan demikian memulai garis keturunan ke-9 Imam yang terakhir...

Iran 221

yang 85% dari penduduknya beraliran Syiah kini merupakan pusat Islam Syiah. Keterpaduan antara budaya nasional Persia dan Islam Syiah ini memberikan kepada Iran suatu warna khas yang membedakan negara ini dari bangsa-bangsa lainnya di Timur Tengah yang semuanya dikuasai oleh kaum Sunni. Identifikasi antara aliran Syiah dan negara Iran memperkuat akar tradisi kewalian setempat dalam budaya rakyat maupun dalam budaya para cendekia. Disebabkan berbagai peristiwa politik Iran kerap kali terputus hubungan dengan negara-negara lain, sedangkan sejumlah makam Imam-Imam berada di negeri Arab di bawah kekuasaan Sunni. Maka dua ziarah menjadi terpenting di Iran, yaitu ziarah Imam Reza di Masyhad dan

ziarah adik perempuannya F tema [F timah] Ma’sh 10 ūmah di Qom .