K awasan geografis Magribi yang dimaksudkan di sini mencakup tiga

K awasan geografis Magribi yang dimaksudkan di sini mencakup tiga

negara, yaitu Aljazair, Maroko, dan Tunisia. Ketiga negara tersebut, meskipun masing-masing memiliki kekhasan, dalam hal agama dapat dikatakan membentuk suatu kesatuan kultural yang homogen. Di ketiga negara itu, tradisi berziarah ke makam wali memiliki asal-usul historis serta ciri-ciri pokok yang sama, apa pun bentuk spesifik ziarah yang muncul di masing-masing negara sebagai akibat dari situasi sosiologis dan politis setempat.

Tradisi kewalian di Magribi terkait erat dengan aliran sufi yang mulai berkembang pada akhir Abad Pertengahan. Ritus dan upacara peng- hormatan wali merupakan suatu fenomena multibentuk dan multimakna yang memainkan peran yang penting dalam kehidupan politik, religius, dan sosial di kawasan itu sampai awal abad ke-20. Terdapat berbagai kategori wali laki-laki dan perempuan, mulai dari wali pelindung kota yang amat dihormati sehingga makamnya benar-benar menjadi sebuah monumen historis, sampai ke wali setempat tanpa nama yang makamnya amat seder- hana dan hanya terdiri atas seonggok batu. E. Dermenghem (1982) membedakan “wali kalangan terdidik” dari “wali rakyat”, atau dengan kata lain “wali yang ditokohkan dalam manakib” dari “wali dalam cerita rakyat”. Namun diketahui pula bahwa rakyat kecil pun menjadikan wali kalangan terdidik sebagai wali mereka, yang diziarahi pula dan dianggap sebagai sumber berbagai kar m t. Nama para wali laki-laki didahului oleh gelar S d (sering juga gelar Mo ūl y di Maroko) dan nama wali perempuan

didahului oleh gelar berbahasa Berber Lalla 2 .

1 Waktu artikel ini ditulis, S. Andézian adalah peniliti di SHADYC/CNRS, Marseille, sekarang telah menjadi peneliti senior di CNRS, Paris.

2 S d : guruku; mo ūl y: tuanku; lalla: nyonya.

Sossie Andézian

Harus segera digarisbawahi bahwa penggunaan ungkapan Prancis “culte des saints”, secara harafiah “kultus wali”, yang sesungguhnya meru- pakan konsep Nasrani, sulit dipakai di dunia Islam. Konsep “kunjungan”

(ziarah) 3 tampaknya lebih cocok untuk menyebut hubungan yang ada antara anggota masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, dengan

sejumlah tokoh, baik yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, yang konon dikaruniai suatu kekuatan gaib (barakah) 4 dan dikategorikan

oleh masyarakatnya sebagai awliy ’, mur bit 5 ūn (mr bt n) , syurafah (chorfa), shalih n (s lih n), asy d, atau syuy

6 ūkh (chyoūkh, plural dari syekh) ... yaitu istilah yang mengandung makna simbolis yang berbeda-

beda, namun sering kurang dibedakan sehingga diterjemahkan ke dalam kata yang sama dalam bahasa Prancis, yaitu “saint” (santo atau santa). Konsep ziarah menyangkut kunjungan individual atau kolektif ke makam wali atau kepada wakil-wakilnya yang masih hidup, yang dilakukan oleh mereka yang mencari berkah dengan tujuan memohon sesuatu atau mengucapkan terima kasih atas telah terkabulnya suatu permohonan.

Berbagai praktik ziarah, yang dijalankan baik oleh laki-laki maupun perempuan, penduduk kota maupun penduduk desa, kalangan terdidik maupun buta huruf, mencakup kegiatan-kegiatan beragam mulai dari yang bersifat informal sampai yang sepenuhnya terorganisir. Para wali memiliki peziarah setia atau “klien” yang terikat oleh suatu janji kesetiaan pribadi. Namun para wali dengan rela hati juga menerima siapa saja yang meminta

3 Ziarah, secara harafiah berarti “kunjungan”. Istilah ini mengacu baik pada kunjungan ke makam wali maupun pada pemberian untuk para wali; juga

digunakan untuk menyebut kunjungan pemimpin tarekat kepada para pengikutnya. 4 Dalam kepercayaan rakyat Magribi, berkah (barakah) adalah kekuatan

bermanfaat yang berasal dari kekuasaan supranatural, yang memberikan kebaikan berlimpah-limpah pada semua bidang kehidupan. Berkah konon terutama terpusat dalam diri Nabi Muhammad dan wali-wali yang mampu menyampaikannya kepada orang-orang yang memohon berkah itu. Para pemimpin tarekat juga dianggap memiliki kekuatan supranatural ini, yang menjadi sumber dari semua karomah yang mereka lakukan.

5 Dalam tulisan ini kalau dikutip dua kata Arab, yang kedua dalam kurung, maksudnya kata Arab klasik disusul versi dialeknya.

6 Awliy ’ (tunggal w li): istilah yang dipakai dalam al-Qur’an untuk orang-orang suci; mr bt (mr bet, mr bta): istilah yang lazim dipakai di kawasan Magribi untuk

menyebut para wali dan anggota keluarga keturunan wali dan kemudian artinya meluas, sehingga juga digunakan untuk menyebut semua tempat dan benda keramat; syurafah (cher f, cher fa): wali keturunan Nabi; sal h n (s leh, s leha): secara harafiah laki-laki atau perempuan yang berbuat saleh; asy d (siyyid, siyyida ): majikan laki-laki dan perempuan; Chyo ūk (cheykh, syekh): guru, orang- orang tua, pemimpin tarekat.

Kawasan Magribi 151

mereka menjadi perantara Allah. Ziarah dapat dilakukan oleh seseorang hanya dengan tujuan mengungkapkan kesetiaannya kepada sang wali, dalam kerangka suatu hubungan yang berkelanjutan. Begitu pula halnya dengan peristiwa-peristiwa penting dalam kehidupan pribadi seseorang atau keluarganya, semua ini dapat dipercayakan kepada seorang wali pelindung tertentu. Upacara-upacara agama adalah kesempatan yang baik untuk melakukan kunjungan untuk memperingati sang wali; dalam hal ini, ziarah menyerupai fungsi ritus ziarah kepada leluhur. Akhirnya, ziarah dapat pula berupa kegiatan yang bersifat hiburan. Maka, ziarah ke wali sekaligus merupakan kegiatan penghormatan, upaya permohonan, dan hiburan.

Patut ditekankan kompleksitas dari situasi yang khas Magribi, yang terbentuk melalui suatu proses historis selama hampir delapan abad. Berkaitan dengan hal ini, perlu kiranya dibahas berbagai tahap perkem- bangan fenomena ziarah di Magribi, mulai dari kemunculannya pada abad ke-11 sampai ke periode kemerosotannya pada masa kemerdekaan. Perkembangan ini melalui semua tahap pembentukan penghormatan wali dalam kerangka tarekat, dalam proses penyebaran dan pengajaran agama Islam, dalam bidang politik, tanpa melupakan periode-periode ketika ziarah ke makam wali surut menjadi perilaku yang bersifat pribadi. Sekarang ini orang suka menyebut “pemulihan”, “kemunculan kembali”, dan “reakti- vasi” dari tradisi ziarah ke makam wali yang kini terjadi di negara-negara Magribi seperti halnya di dunia Islam pada umumnya. Namun ini lebih patut disebut “penampakan kembali” dari suatu fenomena yang lama terselubung, yang dilakukan secara diam-diam, dengan ketertutupan yang berbeda dari satu negara ke negara lain, tergantung kepada besarnya tekanan dari kaum reformis (pembaharu) politik dan religius.

Bagaimana menanggapi munculnya kembali di permukaan kehi- dupan sosial berbagai kepercayaan dan praktik yang telah dikecam oleh syariat sebagai “bidah”, yaitu tambahan kepada ajaran asli? Apa arti sesungguhnya dari kepercayaan dan praktik itu? Bagaimana menempat- kannya dalam kerangka kehidupan sosial? Pertanyaan-pertanyaan ini yang akan berusaha kami jawab di bawah ini, setelah dilakukan suatu pembahasan historis dari tahap-tahap utama pembentukan Islam Magribi ini.