Segi Sosial dan Politik Kehidupan Makam (Darg āh)

Segi Sosial dan Politik Kehidupan Makam (Darg āh)

Dalam Islam secara teori semua manusia dianggap setara kecuali dalam hal takwa. Akan tetapi, acara qaww l dengan caranya sendiri adalah sebuah pementasan perbedaan sosial, di mana para peserta ditempatkan berda- sarkan status sosialnya. Tempat paling terhormat, yang menjadi fokus seluruh upacara, adalah makam wali atau pengganti makam itu yang dalam hal ini berupa gadd (“singgasana”) yang diturunkan kepada penerus wali

dalam bentuk sajadah 71 . Para qaww l berada di hadapan makam atau

70 Lihat Matringe (1993b). 71 Itulah sebabnya penerusnya juga disebut gaddi-nisy n atau “dialah yang

menduduki gadd ”.

294 Denis Matringe

gadd , dan ruang antara keduanya dibiarkan kosong. Selama upacara, para pemain musik mengalamatkan nyanyian mereka kepada sang wali. Mereka sering mengulurkan kedua tangan untuk memohon perhatiannya atau untuk memuja-mujanya. Semua peserta lainnya duduk di sebelah kanan dan kiri dari ruang yang memisahkan para pemain musik dari kehadiran simbolis

sang wali 72 . Di dekat makam atau gadd , di sebelah kanan para pemain musik terdapat peserta dari status spiritual tinggi, terutama para p r dan

keluarga mereka, dikelilingi oleh peserta dengan status sosial tinggi. Beberapa di antaranya dapat ditempatkan berhadapan dengan p r. Orang- orang yang tidak memiliki status spiritual maupun sosial yang tinggi duduk

di sebelah kanan dan kiri pemain musik, atau di belakang para pembesar 73 . Pada umumnya kompleks makam diliputi suasana hierarkis. Para

wakil (khalifa) dari satu atau beberapa p r mengontrol sumber penda- patannya di seluruh daerah otoritasnya (wilayah). Sumber pendapatan ini terdiri dari pemberian berupa uang, barang, atau tanah. Sumbangan dalam bentuk uang diberikan langsung kepada p r atau khalifah-nya pada waktu menghadap mereka atau ketika mereka berkunjung ke desa-desa wilayah mereka; sumbangan dapat juga berupa sejumlah uang (nazar) yang ditaruh dalam kotak-kotak khusus yang terdapat di berbagai tempat dalam kompleks makam, yakni naz ar na. Pemberian-pemberian di atas mem- perkuat kedudukan p r, terutama kalau berasal dari anggota lapisan masyarakat teratas. Sebaliknya, pada masa kini seperti juga pada masa lalu, status sosial pemberi diperkokoh pula dengan martabat religius yang didapatkan dari hubungan dengan kompleks makam terkenal. Untuk mengelola kompleks makam, para p r juga mempekerjakan berbagai pembantu (khuddam, jamak dari Arab kh dim) profesional (akuntan, qaww l , juru masak, tukang bangunan, penyapu, penjaga, dan lain-lain)

yang terikat oleh semacam hak turun menurun untuk melayani 74 .

72 Kecuali bila upacaranya diselenggarakan oleh seorang p r di tempat lain daripada makam seorang wali, misalnya di ruang qaww l yang terdapat di sebuah kompleks

sufi. Kalau demikian, p r duduk di depan gadd , dan nyanyian dan cerita qaww l dialamatkan kepadanya.

73 Untuk satu analisis ringkas dan umum tentang kasta dan stratifikasi sosial di kalangan orang muslim di Asia Selatan, lihat I. Ahmad (1978). Khususnya tentang

Punjab, lihat Eglar (1960, hlm. 28-49); S. Ahmad (1977).

74 Untuk contoh yang baik tentang keragaman kegiatan dan sumber pendapatan khuddam ini, lihat Currie (1989, hlm. 141-184). Keramat-keramat di mana tidak

terdapat suatu “dinasti spiritual” dikelola dengan cara yang berbeda. Pada umumnya, satu atau beberapa tenaga juru (mutawalli) diangkat pada taraf desa atau kampung setempat untuk mengelola sumbangan sedekah, merawat tempat, dan mengatur upacara-upacara. Mereka dapat meminta bantuan tenaga buruh untuk

Pakistan 295

Seperti di istana-istana Islam di India dulu, hubungan antara anggota elite spiritual, pengikut dan pembantu profesional yang turun temurun di atas diatur dengan kode tata krama formal. Di ujung hierarki lokal cukup banyak p r yang memakai gelar Syah (raja), dan acara mereka menerima pengunjung disebut darb r (audiensi istana kerajaan), yang di situ pengunjung akan merasa diberkahi apabila tersentuh pandangan Guru.

Tatanan ala kerajaan ini berasal dari zaman kesultanan Delhi dan kemaharajaan Mogul. Pada waktu itu, p r di kompleks makam menempati satu kedudukan spiritual yang serupa dengan raja di istananya, didampingi petinggi-petingginya. Kalaupun “kerajaannya terlepas dari dunia yang fana ini”, wibawa p r terhadap murid-muridnya sedemikian tinggi sehingga harus diperhitungkan oleh penguasa. Sebagai balasan kepada p r yang berjasa dalam memberikan legitimasi kepada raja/sultan dan menyebarkan ajaran Islam di antara penduduk Hindu, para penguasa memberi sum- bangan yang sangat besar kepada lembaga sufi, terutama yang berkembang

di sekitar makam wali besar 75 . Berkat kekayaannya, lembaga sufi itu kian populer dan memiliki semakin banyak fasilitas, dan makin banyak orang

awam tertarik untuk bergabung, sementara raja sendiri makin besar perhatiannya.

Jadi, sejak berabad-abad para p r memang memainkan peran kunci dalam masyarakat daerah lembah Indus. Mereka hampir selalu meng- anggap kompleks makam sebagai warisan pribadi, dan oleh karena itu baik mereka sendiri maupun keturunan mereka pada akhirnya berhasil menghimpun tanah pertanian dan kekayaan yang luar biasa besarnya. Di samping itu, mereka memiliki jaringan pendukung yang sangat kuat dan terus saja dipergiat oleh berbagai acara keagamaan, perkawinan, kegiatan sosial, perdagangan, dan lain-lain. Ikatan itu terjalin dengan kelompok kerabat patrilinear mereka (bar dar )—yang kadang-kadang menguasai beberapa kampung kota, seperti di Pak Pathan—juga dengan murid-murid

menjalankan berbagai pekerjaan tertentu, seperti menyapu atau menembok. Keramat Nurpur, misalnya, sampai saat diambil alih oleh Auqaf Department pada tahun 1961, dikelola oleh empat mutawalli yang diangkat secara lokal di antara keluarga-keluarga dari empat murid yang paling disayangi oleh p r. Sejak Auqaf Department mencabut kontrol atas pengelolaan dari kelompok mutawalli, dipekerjakan dua orang mu'azz n, tiga orang mull (!), seorang sekretaris (k tib), seorang penjaga dan dua orang penjaga malam (cauk d r), ditambah dengan seorang pegawai serba bisa (naukar).

75 Tentang hubungannya antara sultan dan syekh, lihat A. Ahmad (1962) dan Digby (1986), (1990).

296 Denis Matringe

mereka yang setia, sesuai dengan sistem p r -mur d 76 . Karena alasan- alasan itulah kompleks-kompleks makam menjadi taruhan penting dalam

pertarungan politik. Pak Pathan adalah contoh yang jelas memperlihatkan hubungan timbal-balik antara agama dan politik dalam perkembangan suatu keramat.

B b Far d memang menganjurkan kepada muridnya agar menghindari segala jenis kerja sama dengan raja dan bangsawan 77 , namun, pada waktu

penggantinya (diwan) yang kedua, yaitu cucunya ‘Al ’ al-D n Mauj-i Dary (wafat 1334), keramat itu mulai disponsori oleh sultan-sultan dinasti Tu luq, yang membuat jumlah peziarah meningkat secara drastis. Satu babad sejarah lokal mengisahkan kunjungan gubernur Punjab dengan putra dan keponakannya, yang bakal menjadi sultan, Muh ammad bin-Tu luq (berkuasa 1325-1351) dan Firoz Tu luq (berkuasa 1351-1388). Mereka diberi masing-masing satu sorban oleh penerus p r (diwan), yang juga

meramalkan bahwa kedua anak muda itu bakal menjadi sultan 78 . Beberapa waktu kemudian, seorang diwan lain, Mu‘izz al-D n (wafat 1338) diangkat

sebagai gubernur jendral daerah Punjab, sedangkan adiknya dijadikan Syekh al-Islam kesultanan 79 . Pada umumnya, tidak ada penguasa yang

lewat daerah ini tanpa singgah di makam wali untuk berziarah. Demikian- lah, misalnya, Timur (Timur Lenk atau Tamerlan, wafat 1405), yang tengah menjarah seluruh India berziarah ke situ, dan Maharaja Mogul Akbar (berkuasa 1556-1605) juga, untuk memulai tahun ke-16 kekua- saannya. Satu perkecualian yang pantas dicatat dari kerja sama antara p r dan raja memungkinkan kita untuk mengukur betapa pentingnya peran politik, dan bahkan militer tempat-tempat keramat pada waktu kerajaan- kerajaan Islam. Pada tahun 1810, Ranjit Singh, yang tengah menaklukkan Punjab, menyita tanah pertanian yang penghasilannya selama itu diserahkan kepada keramat. Dia hanya menyisakan untuk penerus wali (diwan) pensiun tahunan sebesar seribu rupee, serta seperempat dari

penghasilan empat desa kecil 80 . Sikap Ranjit Singh—yang pada umumnya cukup menghargai institusi sufi lainnya—harus dicari latar belakang

historisnya pada satu konflik lama yang pernah meletus antara kaum Sikh

76 Tentang sifat dan peran bar dar dalam masyarakat Punjabi, lihat Eglar (1960, hlm. 75-80).

77 Lihat Nizami (1956, hlm. 101). 78 Tentang perkembangan kompleks makam B b Far d dan sumber-sumber

sejarahnya, lihat Eaton (1984). Upacara yang disebut dastar-band (ketika seorang penerus wali memasang suatu sorban di atas kepala salah seorang pengikut) ditujukan untuk menghormati secara khusus orang yang bersangkutan.

79 Syekh al-Islam adalah gelar pejabat agama yang tertinggi. 80 Tentang nilai uang rupee pada waktu itu, lihat catatan 23.

Pakistan 297

dan kaum ketua keramat (sajj da-nisy n). Sebenarnya, sekitar tahun 1766, penerus ‘Abd al-Subh  n—yang baru menyerbu Raja Bikaner dengan tentara Jat-nya yang setia untuk memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke seberang Satlej—berhasil memukul mundur satu serangan Sikh atas Pak

Pathan, dan bahkan mengejar mereka dengan empat ribu tentara berkuda 81 . Di bawah pemerintahan Inggris, para ketua (sajj da-nisy n) keramat B b

Far d dijadikan pemilik penuh tanah pertaniannya; status mereka juga diakui di daerah itu. Pada umumnya para p r dari Punjab selalu setia kepada penguasa Inggris. Mereka mendukung secara aktif partai “Unionist” Jat pro-Inggris yang mempertahankan kepentingan mereka sebagai tuan tanah. Sikap mereka baru berubah pada tahun 1946, men- jelang pemilihan umum pada tingkat propinsi, ketika duta-duta dari Liga Muslimin (Muslim League) menyakinkan mereka bahwa pembentukan satu negara Islam adalah satu satunya cara untuk menjamin bertahannya

kemakmuran di India pasca-kemerdekaan 82 . Baik di Sindh maupun di Punjab, selama seluruh periode yang

berlangsung antara kesultanan Delhi dan penaklukkan oleh Inggris pada tahun 1843, para p r memegang peran sosial yang pokok sebagai penengah dalam masalah antarkelompok (Sindhi dan Baluchi, pemukim dan pengembara). Mereka juga merupakan pendukung yang berharga untuk pemimpin-pemimpin setempat, yang selalu sangat kuat di kawasan pinggir

itu 83 . Selama sembilan abad, para p r mengumpulkan kekayaan yang sede- mikian besar sehingga James McMurdo memperkirakan pada tahun 1834

bahwa pendapatan mereka mencapai sepertiga dari pendapatan pemerintah daerah 84 . Seperti juga di Punjab, para p r dari Sindh menyesuaikan diri

dengan dominasi Inggris dengan cara melebur dalam sistem kontrol politik yang diterapkan dalam propinsi. Namun beberapa insiden serius muncul akibat aksi antikolonial dari para pengikut P r Pagaro, yang tetap meneruskan perlawanan mereka kendatipun gurunya yang dipuja-puja itu sudah digantung di Bombay pada tahun 1943. Anaknya disekolahkan ke

81 Lihat Eaton (1984, hlm. 19). 82 Tentang ketua darg h (sajj da-nisy n) dari Penjab pada zaman Inggris, lihat

Gillmartin (1979), (1988); Talbot (1988).

83 Seperti halnya di seluruh Penjab, beberapa p r juga merangkap panglima perang. Misalnya, pada tahun 1520, seorang p r bernama Makhdum Bilawal, dibantu oleh

khalifah- nya, memimpin perlawanan terhadap kaum Ar ūn dari Syah Beg. Tetapi Syah Beg menang dan p r itu, waktu tertangkap, digiling tubuhnya di penggilingan minyak. Lihat Ansari (1992, hlm. 30).

84 McMurdo (1834, hlm. 241). Burton (1851, hlm. 205-208) sangat kritis terhadap kaum p r di Sindh.

298 Denis Matringe

Inggris oleh penguasa kolonial dengan harapan akan mengatasi keadaan tersebut 85 .

Kekayaan yang dihimpun oleh p r tidak dapat disangkal adanya, namun statusnya kurang jelas, karena berasal dari pemberian yang dipersembahkan kepada keramat yang mereka kelola. Pemberian itu berupa sejenis hak guna usaha yang diserahkan oleh pemilik kepada institusi agama. Sistem serupa dikenal di seluruh dunia Islam dengan nama wakaf (Ar. waqf, jamak auq f). Sejak zaman kerajaan Islam di India, beberapa penguasa berusaha mencoba mencopot kontrol atas wakaf dari tangan para ketua keramat, untuk membatasi pengaruh mereka. Maharaja Akbar, misalnya, telah mengangkat seorang penanggung jawab makam (muta- walli ) untuk mengelola hasil besar dari desa-desa yang disumbangkan

sebagai wakaf kepada keramat Mu‘ n al-D n Cisyti di Ajmer 86 . Orang- orang Inggris pun terpaksa turun tangan dalam masalah hukum wakaf.

Seusai berbagai percobaan dan perdebatan panjang, akhirnya keluarlah Charitable and Religious Trusts Act (Peraturan Sedekah dan Wakaf Keagamaan) pada tahun 1920. Pengadilan sipil diberi kekuasaan untuk mengawasi institusi agama, baik Islam maupun Hindu. Peraturan itu disusul Musalman Waqf Act (Peraturan Wakaf Islam) pada tahun 1923. Peraturan tersebut mewajibkan para penanggung jawab makam untuk memperlihatkan kepada pengadilan daftar tanah yang dijadikan wakaf, berikut pendapatan dan pengeluarannya. Mereka juga diminta menye- rahkan buku akuntansinya setiap tahun. Pengadilan sipil diberi tanggung jawab atas pemeriksaan buku akuntansi itu serta hak menggugat pelanggar

kalau perlu 87 . Sampai dengan kudeta Ayub Khan pada tahun 1958, peraturan tahun

1923 tetap berlaku 88 . Ayub Khan menjustifikasi kudetanya dengan dalih bahwa dia ingin membangun landasan baru untuk otoritas negara dalam

masyarakat Pakistan dengan menghapuskan sisa feodalisme politik dan agama. Untuk tujuan itu, ditetapkan berbagai kebijakan baru yang diha- rapkan akan dapat merangsang pembangunan industri dan melahirkan elite- elite pemerintahan yang baru. Kebijakan antifeodal itu dibuktikan kesung- guhannya dengan penerapan apa yang disebut Basic Democraties pada

85 Tentang hubungan antara para p r di Sindh dan pemerintah kolonial, lihat Ansari (1992). Tentang peristiwa P r Pagaro, lihat Lambrick (1972).

86 Lihat Currie (1989, hlm. 164). 87 Tentang perkembangan wakaf di India di bawah kekuasaan Inggris, lihat

Kozlowski (1989). Tentang satu perkara yang menyangkut para ketua darg h Pak Patan, lihat Eaton (1982b).

88 Tentang sejarah Pakistan sampai tahun 1990, lihat Noman (1990). Tentang sejarah pengelolaan wakaf di negara tersebut, lihat Ewing (1983).

Pakistan 299

tataran politik. Dalam bidang agama, pada tahun 1959 dan 1961 dikeluarkan peraturan-peraturan yang disebut West Pakistan Waqf Properties Ordinances (Peraturan-peraturan Kekayaan Wakaf Pakistan Barat). Peraturan tersebut menentukan bahwa pemerintah berwenang mengambil alih pengelolaan keramat-keramat dan institusi religius lainnya. Dengan tujuan itu dibentuklah Auqaf Department di bawah Kementerian

Urusan Agama 89 . Di mata Ayub Khan, yang sesungguhnya dimaksud bukanlah mengakhiri praktik-praktik sufisme tradisional, tetapi merasio-

nalkannya, dan membuat orang melihat keramat-keramat lebih sebagai monumen yang mengenang wali-wali besar masa lalu daripada tempat terjadinya hubungan antara p r dan murid-murid. Dalam propaganda resmi zaman itu, para wali tidak lagi dianggap berperan mengislamkan sejumlah suku saja, tetapi malah bangsa Pakistan itu sendiri 90 . Demikian juga,

pemerintah Ayub Khan, melalui Auqaf Department, berusaha menjadikan haul-haul bukan lagi perayaan lokal, tetapi perayaan nasional. Untuk mengarahkan fungsi keramat-keramat ke arah yang dihendaki, Auqaf Department menambahkan berbagai bangunan, seperti sekolah negara, poliklinik atau rumah sakit, serta menanggung perawatan gedung-gedung.

Kebijaksanaan Ayub Khan di atas dilanjutkan dan bahkan dikem- bangkan oleh Bhutto. “Sosialisme Islam” adalah panjinya dan wacananya adalah reformasi dan egalitarisme. Dia berusaha mengatasi peran dari hierarki perantara-perantara lokal dengan menggunakan konsep komunitas nasional egaliter. Berbeda dengan Ayub Khan yang mengusahakan rasionalisasi Islam, Butto mengutamakan kontak langsung dengan rakyat dan ingin dianggap turut serta dalam pesta rakyat. Maka dia menghimbau para pejabat agar menghadiri acara-acara pokok pada waktu haul wali-wali besar, dan dengan demikian mengambil alih peran para ketua keramat.

Zia-ul-Haq mengikuti politik islamisasi, dan dalam hal itu memper- gunakan berbagai instrumen politik yang diwarisinya dari pendahulu- pendahulunya. Kita telah melihat di atas, dengan kasus Nurpur, bagaimana ia melakukan perombakan atas landasan religius keramat-keramat. Ia juga

89 Tindakan ini disusul pengajuan gugatan ke pengadilan dalam jumlah yang besar sampai belakangan ini, karena para p r—demi menjaga posisi mereka yang

menguntungkan itu—bersikeras bahwa sedekah disumbangkan kepada mereka secara pribadi. Setahu saya, hanya satu perkara dimenangkan oleh penggugatnya, yaitu P r Golra Syarif pada tahun 1962 (lihat artikel berikut). Tentang undang- undang Pakistan dalam hal wakaf, lihat Janjua (1984).

90 K. Ewing (1983) telah menunjukkan dengan baik bagaimana, dalam usaha itu, Ayub Khan telah meminjam gagasan-gagasan Iqbal, yang menganggap bahwa

gerakan sufi yang sesungguhnya terkait pada tindakan yang dibutuhkan untuk mendirikan suatu umat Islam yang baru.

300 Denis Matringe

membangun masjid-masjid yang terlampau besar di dekat keramat-keramat tertentu dan mengusahakan pemurnian dari unsur-unsur perayaan yang dianggap kurang “sesuai dengan Islam”. Dalam hal para wali, ia mene- kankan ketakwaannya serta ketaatannya pada syariat. Pada bulan September 1980 dia menyelenggarakan suatu konferensi p r seluruh Pakistan yang dihadiri oleh lebih dari seratus orang p r. Di mata Zia, para imam desa adalah penerus yang sesungguhnya dari wali-wali zaman dahulu dalam bidang pendidikan agama dan penguatan iman, dan dia minta para ketua keramat agar membantu menegakkan hukum syariat dan menye-

barkan nilai-nilai Islami serta turut memperkuat persatuan bangsa 91 . Para cendekiawan progresif dan regionalis yang menentang kediktatoran Islamis

dari Zia membalas dengan kutipan-kutipan dari wali-wali yang juga menjadi penyair besar dari Sindh dan Punjab. Mereka menunjukkan peran wali-wali itu sebagai pendukung kepentingan rakyat dan penentang tangguh segala jenis kezaliman.

Dalam rentang waktu antara kesultanan Delhi dan pemerintah- pemerintah masa kini, tidak ada satu penguasa pun yang tidak berusaha mendapatkan dukungan dari tempat-tempat keramat atau kontrol atasnya. Situasi yang demikian akan berlangsung selama kekuatan-kekuatan feodal agraris dari Pakistan belum terbongkar. Feodalitas itu lahir pada waktu kerajaan Islam dan telah diperkuat oleh Inggris ketika hak atas hasil tanah diubah menjadi hak milik. Keramat adalah institusi berpola kerajaan yang berakar seperti tumor jinak di tengah satu masyarakat Pakistan yang tengah mencari jalan ke modernitas dan demokrasi, namun paradoks itu hanya nampak di luar.

Melihat betapa besar peran fenomena kewalian dari kawasan lembah Indus, baik dari sudut lama perkembangannya dalam sejarah maupun dari sudut keterkaitannya dengan kehidupan sosial dan politik, wajarlah bila fenomena tersebut menarik perhatian pengamat-pengamat Eropa, dan kemudian, atas prakarsa mereka, juga menarik perhatian sarjana-sarjana

dari anak benua India 92 . Wali-wali memang telah memberikan warna yang

91 Pakistan Times, 23 September 1980. Sikap yang sangat politik dari semua pemimpin Pakistan, dari Ayub Khan sampai Zia-ul-Haq, berbeda dengan sikap

Mallik Ghulam Muhammad, gubernur jendral Pakistan dari Oktober 1951 sampai Agustus 1955. Yang terakhir ini adalah pengikut seorang wali, yang sering didoakannya agar menjaga kesehatan dan kejantanannya, tetapi yang makamnya terletak di kawasan arkeologis Thatta. Ternyata pengikut-pengikut wali itu terus memperluas area makamnya, sehingga Dinas Purbakala mengajukan surat protes resmi. Namun, mengingat bahwa gubernur sendiri adalah pengikut wali yang disengketakan itu, surat protes itu tidak pernah diindahkan.

92 Lihat tulisan M. Gaborieau dalam buku ini.

Pakistan 301

khas pada Islam India. Warna khas itu, yang sebagian berasal dari Hinduisme (misalnya tempat-tempat pemujaan, kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik tertentu) pada gilirannya telah membuka ruang komunikasi antara kedua tradisi agama yang bertolak belakang satu sama lainnya. Di keramat-keramat besar di Pakistan, masih diingat kunjungan-

kunjungan yang biasa dilakukan oleh orang Hindu pada zaman dulu 93 . Bentuk khas pemujaan rakyat ini juga memungkinkan sejumlah

penduduk yang sangat besar terintegrasi ke dalam dunia Islam tanpa pemisahan brutal dengan identitas mereka sebagai putra-putri dunia India. Dunia Islam yang “baru” sedikit demi sedikit menimbuni landasan lama, tanpa menghapuskannya. Hal itu nampak dengan sangat nyata pada berbagai teks sastra dari daerah-daerah lembah Indus, seperti puisi Khw ja Gul m Far d di bawah ini, yang membaurkan referensi kepada Arabia dan

kepada Punjab 94 :

93 Pengeramatan wali-wali sejak lama telah menimbulkan polemik di India; lihat Hardy (1987), serta kajian-kajian rinci oleh M. Gaborieau (1989a; tulisan di atas).

Di Pakistan, terdapat dua aliran—yang satu sama lainnya bertentangan—yang menentang pengeramatan para wali dan hubungan antara p r dan murid. Yang pertama adalah aliran “fundamentalis” yang dipelopori Maulana Maududi. Mereka menuduh baik sistem p r -mur d maupun gerakan sufi pada umumnya, karena sama-sama membuat murid-murid “tunduk” dan kehilangan sikap kritis (lihat Maududi 1972, hlm. 112 dst.). Aliran kedua, yang meneruskan gagasan-gagasan filsafah Iqbal, bersifat “modernis” walaupun dalilnya tidak begitu berbeda dengan yang diajukan oleh kaum “fundamentalis”. Mereka menentang segi pengeramatan wali-wali yang memperbudak pengikutnya secara spiritual; mereka juga tidak dapat menyetujui konsep syafaat (Rahman 1968, hlm. 187, dan 1980, hlm. 31). Kelompok ulama fundamentalis yang disebut Ahl-i-hadis (kurang lebih 20% dari ulama Pakistan) juga kira-kira sependapat. Namun dua kelompok lain yang mencakupi mayoritas ulama menyetujui tradisi kewalian. Yang terbesar, yaitu kelompok Deobandi (kira-kira 50% dari ulama Pakistan), menerima para p r sebagai panutan, tetapi bukan sebagai “perantara” atau wasilah. Yang kedua, kelompok Barelvi (kira-kira 30% dari ulama Pakistan), menerima semua segi dari pengeramatan wali serta dari hubungan p r -mur d , termasuk fungsinya sebagai wasilah, fenomena karomah, haul, qaww l , dll.

94 Khwaja Ghulam Farid (tth., hlm. 87, bait 5-6), dikutip dalam Shackle (1978, hlm. 167). Khwaja Ghulam Farid (wafat 1901) adalah Guru sebuah silsilah Cisyti yang

besar, yang terpusat di Mithan Kot, di kerajaan Bahawalpur. Dia juga penyair yang paling penting di daerah barat daya Punjab. Oleh karena dia sangat termasyur dan juga hidup belum lama berselang, hampir semua karyanya terpelihara sampai sekarang, baik puisinya maupun kumpulan ucapannya (malf ūz t) berupa buku mahatebal dalam bahasa Persia. Di situ dia berbicara panjang lebar tentang cintanya kepada musik dan puisi, serta tentang pergelaran qaww l yang diselenggarakannya (suatu terjemahan singkat dari naskah aslinya—setebal 1.109

302 Denis Matringe

Unta yang bagus dan orang Badui yang istimewa itu laksana matahari dan bulan, tempat meleburnya segala keindahan, segala cahaya bermukim di lubuk hatiku. Awan bergerombol, guruh bergemuruh

Rasa sejuk meluas hingga mencapai pohon phog dan lana 95 . Setiap pohon asam tamarin memperlihatkan keindahannya. Kaum tasawuf membaca tanda-tandanya.

Sebagai penutup harus dicatat juga bahwa tradisi kewalian dan sistem ikatan p r dengan muridnya tidak hanya turut melestarikan sikap hierarkis dan kepasrahan warisan Abad Pertengahan, namun juga merupakan benteng perlawanan yang efektif di Pakistan terhadap kaum fundamentalis Islam, dikaitkan dengan tokoh ulama yang sangat dicemoohkan dalam semua tradisi sufi dalam bahasa-bahasa setempat. Lihat, misalnya, sajak

Bullhe Š h 96 :

Mulla itu membosankan! Mulla begitu mau mengajariku.

Setelah alif tidak ada apa-apa lagi bagiku 97 .

Tetapi dia terus berteriak, “b”, “b”, Mulla itu betul-betul membosankan.

halaman berbaris rapat—terdapat dalam Khwaja Ghulam Farid 1990). Pada haul wali ini, yang jatuh pada tanggal 5 atau 7 Rabiulakhir, sering diadakan pergelaran musik bernada tasawuf yang bermutu sangat tinggi. Pathana Khan, seorang penyanyi dari kasta pembuat gerabah yang juga sering bergaul dengan para qalandar , justru adalah orang yang paling banyak mempopulerkan ke seluruh Pakistan puisi indah karangan Khwaja Ghulam Farid. Penyanyi itu telah menarik perhatian dari radio dan televisi nasional ketika menyanyi seperti biasanya di sekitar makam wali.

95 Phog (Calligonum polygonoides) dan lana (Anabasis multiflora) adalah dua tumbuhan dari selatan Punjab, di daerah tempat Khwaja Ghulam Farid pernah

hidup. 96 Bullhe Š h, hlm. 241.

97 Dalam gerakan sufi, alif, yaitu huruf pertama alfabet Arab, adalah simbol dari Allah.

Pakistan 303