Organisasi Ziarah

Organisasi Ziarah

Pada umumnya, seperti yang telah kami lihat di atas, organisasi ziarah menjadi tanggung jawab suatu tarekat atau salah satu cabangnya. Tarekat Q diriyah dalam hal ini adalah yang paling longgar organisasinya. Sebaliknya tarekat Tijaniyah tersentralisasi secara ketat baik di sekitar makam pendirinya yang berasal dari Marroko maupun di sekitar berbagai pusat lainnya, yang kebanyakan terletak di Senegal. Masing-masing pusat terkait dengan cabang tertentu: cabang golongan Sy di Tivavouane (didirikan tahun 1802 oleh Al Haj Malik Sy); cabang golongan Nyass di Kaolak (didirikan tahun 1910 oleh Ibrahim Nyass); cabang golongan Tukulor di Madina Gounass (didirikan oleh Muhammadu Saydu Ba). Tarekat Muridiyah itu sendiri, yang sampai akhir-akhir ini terkonsentrasi di Senegal dan bersuku Wolof itu, memiliki suatu struktur yang sangat terpusat. Khalifahnya (serigne) mengontrol suatu jaringan dara pedesaan (wilayah pertanian sekitar pesantren) yang sangat luas, yang telah mengatur sebagian besar dari proses penyebaran kacang tanah di Senegal, di samping suatu jaringan daira perkotaan (wilayah di sekitar masjid di kota).

Dilihat dari sudut ruang, ziarah terpusat di sekitar suatu tempat yang diagungkan, yang merupakan makam pendiri utama atau pendiri cabang setempat. Di sekitarnya muncul kota suci, masjid pusat, istana khalifah, dan pusat ziarah. Tempat itu merupakan pusat suatu sistem pemungutan

16 G. Nicolas (1975).

Guy Nicolas

dana yang dipakai untuk perawatan tempat, pembiayaan kader-kader tarekat, serta biaya amal. Fungsi lainnya adalah sebagai pusat ber- kumpulnya para anggota tarekat, serta tempat mencari perlindungan, sejenis negara dalam negara. Tarekat Q diriyah, yang lebih menekankan aspek zuhud (zuhd, petapaan) daripada tarekat lainnya, hanya memiliki pusat-pusat lokal, selain makam wali Abd al-Q dir al-J l n , yang terletak di Bagdad. Pusat-pusatnya yang tersohor terdapat di Mauritania (di Nimzat, Sadi Bou dan Boutlimit), di Say dan Agades (tempat Malam Djibril) di Niger, di pegunungan Fouta Djalon, dan di Sokoto di Nigeria (makam Usman dan Fodyo, penganjur jihad pada abad ke-19 serta pendiri “khalifah” Sokoto). Tarekat Tijaniyah lebih tersentralisasi: selain Fes (Marokko), tempat makam pendirinya (Ahmad al-Tijani), ‘Ain Mahdi dan Tamasin (Aljazair), kebanyakan cabang-cabang tarekat itu di Afrika Barat berada di “pinggir”, yaitu di Senegal. Cabang Omariyahnya, yang pusat pokoknya ada di Saint Louis, tidak memiliki makam pendirinya, karena El Haj Omar Tall menghilang tanpa bekas. Sebaliknya, kota Tivavouane dekat Dakar, merupakan suatu tempat suci yang setiap tahun dikunjungi oleh ribuan peziarah yang datang dari berbagai negara. Kota Kaolack, di daerah Saloun, adalah pusat dari cabang Nyassiyah, yang lebih sedikit pengi- kutnya di Senegal tetapi amat berpengaruh di seluruh kawasan Afrika Barat, terutama di Nigeria, khususnya di Kano. Madina Gounass, di Senegal bagian timur, adalah satu pusat perantauan suku Tukulor dan Peul, serta pusat aliran Islam yang sangat puritan dan fundamentalis. Cabang Hammaliyah sendiri mempunyai pusat ziarah di makam Syekh Hama Oullah di Montluçon, Prancis, tempat syekh itu meninggal dalam pembuangan. Menyangkut tarekat Muridiyah, pusatnya adalah kota suci Touba, yang dalamnya terdapat makam Amadou Bamba, masjid yang terbesar di Afrika, suatu perpustakaan raksasa, serta istana khalifah atau serigne -nya. Kota suci ini, yang merupakan suatu negara dalam negara, memiliki hukum tersendiri, berdasarkan penerapan ketat dari hukum syariat, dan lama angkatan kepolisian Senegal dilarang memasukinya.

Dari sudut duniawi, momentum pokok dari tradisi kewalian, baik di Tivavouane, Kaolack, Madina Gounass, maupun Touba, adalah ziarah besar tahunan di makam sang wali. Ziarah itu dinamakan gamou atau mawlud di Tivavouane dan Kaolack, magal di Touba, daka di Madina Gounass (istilah hajj dipakai hanya untuk ziarah ke Mekkah). Ziarah besar itu dapat mengumpulkan hingga ratusan ribu pengunjung, baik pengikut tarekat maupun bukan. Acara terdiri atas kunjungan (ziy rah) ke sang khalifah, lengkap dengan sumbangan yang dipersembahkan kepada tarekat dan kegiatan amalnya, dan kunjungan ke makam wali. Di luar Senegal yang ada hanyalah ziarah setempat atau sewaktu-waktu.

Afrika Barat 195

Pengelolaan ritus ziarah, seperti juga pengelolaan kota suci dan tarekat yang terkait dengannya, diurus oleh kelompok agamawan yang untuk sebagian besar identik dengan kader-kader tarekat yang bersang- kutan. Kelompok itu terdiri dari beberapa jenis pelayan ritus ziarah. Yang tertinggi adalah khalifah, yang dipilih oleh suatu dewan terbatas yang terbentuk dari keturunan pendiri. Pribadi pemuka agama ini sangat dihormati. Ketetapan-ketetapannya (ndigel dalam bahasa Wolof) sering diikuti secara buta oleh pengikutnya, kendati menyalahi hukum negara. Dia dikelelingi oleh anggota lain dari dinasti suci itu, yakni para “marabout besar” yang masing-masing merupakan pembimbing pribadi dari sejumlah besar muridnya (disebut talibé atau murid), di samping sejumlah kelompok pengikut lokal. Di bawah kelompok ini terdapat pelayan agama biasa. Mereka mengemban tugas setengah pendeta dan membimbing baiat serta mengurus hubungan dengan wali, termasuk dalam hal berkahnya. Dalam tarekat Muridiyah ditambahkan kelompok personalia lainnya, yang memainkan peran yang mirip peran bruder pembantu di biara Nasrani, yaitu para Baye Fall. Karena pada awalnya mereka adalah murid dari seorang guru yang menganjurkan kerja sebagai pengganti salat, mereka tidak menjalankan salat dan tidak begitu aktif menjalankan agama. Akan tetapi, mereka bertanggungjawab atas perawatan kompleks makam, atas tugas kepolisian yang ketat dalam kota dan selama ziarah, serta mengem- ban beberapa tugas lainnya. Dalam tempat suci yang lebih kecil, wakil keluarga pendiri atau imam setempatlah yang mengatur hubungan antara umat dan makam keramat. Hendaknya dicatat di sini bahwa pada periode pasca Perang Dunia II, ciri khas dari tarekat Muridiyah di Senegal yang mengagungkan dan mengutamakan pekerjaan fisik, memunculkan jaringan produksi kacang tanah yang luas, yang berkembang atas dasar komunitas- komunitas pertanian kecil yang terdiri dari marabout-marabout biasa dan murid-muridnya. Mereka mengembangkan komoditas pertanian itu demi guru dan tarekat mereka. Dengan demikian, para “marabout kacang

tanah” 17 telah menjadi kekuatan ekonomi yang memonopoli sebagian besar dari kekayaan negara Senegal ini. Situasi yang demikian, yang banyak

dikritik, kini dijadikan sasaran reformasi yang menginginkan pendiri kembali hanya berkonsentrasi pada ajaran sufi. Akan tetapi, seperti dikatakan oleh beberapa pengamat, penyimpangan sesaat dan setempat ini tidak mewakili seluruh sistem tarekat Afrika Barat.

Setiap jaringan yang sedemikian terpusat pada makam seorang wali berikut ziarahnya dalam beberapa hal memenuhi fungsi seperti suatu “gereja”. Masing-masing memiliki kelompok rohaniwan, umat yang taat

17 J. Copans (1950).

Guy Nicolas

pada wibawa marabout-nya, pengikut-pengikut kurang taat yang puas dengan hanya menghadiri ritus-ritus khasnya atau yang cukup dengan mengharapkan berkah sang wali dan kaum kerabatnya, serta umat biasa yang hanya mengharapkan keuntungan-keuntungan dari orang-orang itu. Kadang kala jaringan-jaringan tersebut mendapatkan kebanyakan anggotanya dalam suatu suku, misalnya orang Peul atau Tukulor untuk beberapa cabang tertentu dari tarekat Tijaniyah dan orang Wolof untuk tarekat Muridiyah. Ada kalanya juga suatu kategori atau suatu komunitas terkumpul dalam tarekat tertentu, misalnya anggota kasta tertinggi dalam tarekat Nyassiyah, sebagai pewaris “jihad” tahun 1804 di Sokoto. Sebenarnya selalu ada hubungan sangkut paut antara berbagai fungsi petugas agama, termasuk di antaranya yang menyangkut ritus ziarah ke makam wali itu sendiri. Akan tetapi ritus ziarah ke makam wali itulah yang menghidupi seluruh sistem, apalagi mengingat perannya agar tarekat- tarekat berakar di kalangan rakyat jelata. Jajaran hierarki tarekat-tarekat memang diperkuat citranya oleh tradisi kewalian, dan hal itu cenderung menimbulkan penyimpangan-penyimpangan berjenis “patronage” (hubu- ngan patron-klien), sehingga tarekat merupakan kekuatan politik yang harus diperhitungkan oleh pemerintah. Meskipun zaman kini tidaklah mendorong munculnya jihad dari tarekat-tarekat seperti pada zaman pra- kolonial, para pewaris wali-wali selalu dapat mendukung partai-partai politik tertentu, mempengaruhi pemilih-pemilih, memberikan dukungan kepada calon ini atau itu, mendukung atau bahkan mengatur gerakan lokal untuk menentang kebijaksaan pemerintah yang dianggap merugikan massa rakyat. Dalam kaitan dengan proses-proses tersebut, pimpinan tarekat tertentu dapat bersikap sebagai kekuatan tandingan atau sebagai kekuatan “feodal” yang menghadapi pemerintah sebagai mitra setara. Mereka berbuat demikian dengan mengandalkan kepercayaan umat dan terutama rasa hormat dari umat itu terhadap keputusan sang wali. Di samping itu, anggota-anggota tertentu dari dinasti wali dapat bersikap sebagai “marabout presiden” (semacam dukun presiden), terutama dengan menawarkan perlindungan supranaturalnya kepada penguasa dengan imbalan-imbalan material tertentu. Akan tetapi, proses-proses serupa hanya menentukan di Senegal. Hal seperti itu tidak berlaku lagi di Nigeria Utara sejak kudeta 1966. Di samping itu, pemimpin tarekat di mana-mana harus memperhitungkan kehadiran kelompok reformis yang tidak hanya menentang “tradisi kewalian”, tetapi juga menghadapinya secara agresif dan keras. Sebaliknya, jaringan tradisi itu merupakan benteng yang kuat terhadap aliran-aliran fundamentalis, apalagi mengingat bahwa mereka terancam langsung olehnya. Berkenaan dengan hal ini, ancaman reformis mendorong pimpinan tarekat untuk kembali ke sumber ortodoksi Islam dan

Afrika Barat 197

ortodoksi aliran sufi (yang cenderung diabaikan pada zaman kolonial), kadang-kadang sampai mengadopsi sikap yang mirip fundamentalis. Pecahan-pecahan yang timbul di kalangan tarekat cenderung membatasi pengaruh politiknya, namun akarnya yang kuat dalam tradisi ziarah memungkinkan mereka untuk menahan penantang-penantangnya.

Apa pun penyimpangan yang terjadi, pusat-pusat tarekat merupakan pusat kegiatan religius kerakyatan yang sangat aktif. Apalagi mereka mengontrol sebagian besar dari kegiatan penyembuhan yang luas, termasuk teknik pencegahan penyakit dan teknik kontrol dari hal-hal yang tak terduga, yang semuanya terkait dengan kekuatan supranatural yang terpancar dari para wali dan selalu siap dipakai. Peranan hal-hal seperti itu dalam pikiran rakyat sangat penting. Tentunya para wali bukanlah satu- satunya golongan yang memenuhi fungsi-fungsi tersebut, namun mereka merupakan bantuan terakhir untuk siapa saja dalam menghadapi kemalangan atau mencoba melawan nasib. Namun, tradisi kewalian itu kini sebagian terancam oleh dibukanya tarekat-tarekat bagi pengikut baru dari Barat atau yang berasal dari diaspora bekas budak Afrika di Amerika dan Karibia, demikian juga oleh gerakan pemurnian yang muncul dalam kepemimpinan beberapa tarekat, yang lebih menekankan dimensi mistis daripada dimensi (permohonan bantuan) yang baru disebut di atas. Kasus- kasus ziarah di luar kerangka tarekat amat langka dan umumnya didasari hubungan antara wali dan pengikutnya yang lebih samar dan tidak begitu teratur, dengan kunjungan-kunjungan spontan ke makam disertai persembahan kurban, yang diadakan sesuai dengan kebutuhan pengikutnya.