Lapisan-Lapisan Kewalian
Lapisan-Lapisan Kewalian
Bagi mereka yang percaya, para wali boleh dikatakan tidak memiliki akar sejarah yang jelas. Wali adalah tokoh-tokoh yang “ada dalam ketidak- hadiran”, mereka masih hidup, masih aktif di dunia fana ini. Karena mereka lepas dari maut, mereka tidak terikat lagi pada waktu. Akan tetapi, lapisan demi lapisan telah membentuk masyarakat wali yang dimuliakan itu. Para wali memiliki riwayat, meskipun pengikutnya boleh dikatakan tidak tahu banyak dari riwayat hidup mereka. Ada suatu perkembangan fenomena wali, yang hingga kini belum diteliti secara baik, dan tampaknya pada setiap periode historis terdapat tipe wali yang berbeda.
Ziarah kubur Islam, jika tradisi lisan yang dijadikan referensi, dimulai sejak masa penaklukkan dan penguasaan Arab atas Mesir. Para syuhada yang gugur demi kebesaran Islam memang sudah lama dimuliakan, namun kuburan-kuburan pejuang Islam dari abad pertama
1 Waktu menyusun artikel ini, penulis mengajar di Universitas Paris IV, 75005, Paris. Kini telah menjadi Professor bahasa Arab di INALCO (Institut National des
Langues et Civilisations Orientales), Paris.
Catherine Mayeur-Jaouen
Hijriah ini tampaknya lebih merupakan pertanda legendaris masuknya satu desa Koptik secara massal ke dalam agama Islam, daripada bukti kehadiran
historis yang sesungguhnya dari wali-wali yang bersangkutan 2 . Bahkan terdapat makam yang dinyatakan sebagai makam sahabat-sahabat Nabi
Muhammad, walaupun sudah diketahui secara historis bahwa sahabat- sahabat yang dimaksud tidak pernah menginjak tanah Mesir. Sebaliknya diketahui dengan pasti bahwa ada makam zahid (petapa) muslim yang saleh yang diziarahi sejak dini. Yang paling terkenal di antara mereka adalah Dz ū l-Nūn al Mishr (wafat 858), yang lahir di Akhmim dan dimakamkan di Kairo. Mungkin tokoh-tokoh yang mengembara di gurun pasir itu dipengaruhi oleh tradisi pertapa Nasrani di Mesir pada abad-abad pertama tarikh Masehi.
Tampaknya kompleks-kompleks makam dibangun sejak abad ke-8 untuk menampung sisa tubuh atau benda keramat kepunyaan berbagai anggota-anggota keturunan Ali. Namun baru pada periode dinasti
F thimiyah (969-1171) perkembangan ziarah kepada anggota keluarga nabi, yang sebagian besar konon dimakamkan di Mesir dan khususnya di Kairo, mendapatkan momentumnya. Di bawah pengaruh dinasti penguasa yang beraliran Syiah, ziarah ke makam Sayyida Nafisa, seperti juga kepada
Husain dan Ibrahim b. ‘Abd Allah, berkembang di Kairo 3 . Ketika aliran-aliran sufi yang terorganisir mulai muncul pada abad
ke-13, pendiri tarekat-tarekat dan murid-murid utama mereka dengan sendirinya menjadi wali 4 . Sejak waktu itu, tarekat-tarekat menjadi
penyumbang tak terhenti dunia kewalian Islam: tarekat-tarekat itu, hingga kini, selama tujuh abad, terus menghasilkan wali-wali yang tersohor 5 .
Zaman Mameluk juga adalah masa jayanya wali pedesaan, yang merupakan pembela dan pejuang keadilan bagi rakyat jelata yang tertindas. Banyak di antaranya adalah zahid (petapa) dengan tingkah laku tercela (mal mati) atau yang bergaya kesurupan (majdz ūb). Mereka dijunjung
2 Maka di Bahnasa, tempat pertempuran ketika Mesir ditaklukkan oleh Arab, Syekh Mujahid dihormati; namanya menandakan kehadiran simbolis para pejuang Islam.
3 Lihat Yusuf Ragib (1976) dan (tth.). 4 Pada kenyataannya sulit mengetahui secara tepat kapan tarekat muncul. Menurut
tradisi, tarekat Rif ’iyah, Ahmadiyah, Q diriyah, Sy dziliyah, dan Burh miyah muncul antara abad ke-13 dan ke-14 di Mesir. Tetapi kemungkinan besar tarekat- tarekat tersebut bukanlah tarekat terorganisir yang dikenal mulai zaman Usmaniyah. Penelitian Denis Gril memberi kita akses pada sumber historis aliran sufi Mesir pada abad ke-13, dan memungkinkan kita untuk mengetahui apa arti “wali” pada waktu itu. Lihat D. Gril (1980) dan (1986).
5 Annemarie Schimmel (1969) memberi gambaran yang menarik tentang ziarah di Mesir pada akhir periode Mameluk.
Mesir 101
sebagai orang suci oleh rakyat, sedangkan para pengunjung Eropa pada abad ke-19 menganggap bahwa mereka hanyalah sekedar wali yang tidak
penting atau malah dipertanyakan kewaliannya 6 . Di antara wali-wali tersebut, tidak banyak yang merupakan tokoh
historis dengan asal-usul yang dapat ditelusuri. Sering kali wali-wali itu tak lebih dari suatu nama yang tertulis pada pintu masuk makamnya; tidak diketahui kapan mereka hidup dan siapa mereka sebenarnya. Jika kubah
kuburannya runtuh, hilanglah sisa terakhir dari keberadaan mereka 7 . Ada kalanya tempat-tempat biasa, sebuah pohon, sebuah gundukan
tanah atau sebuah mata air di tengah gurun, dianggap sebagai tempat berlindung seorang wali 8 . Sebuah sebutan yang amat luas, yang secara
singkat saja disebut dalam suatu angka, kerap menunjukkan suatu situs suci kuno pra-Islam, misalnya banyak makam dinamakan dengan panggilan
“Empat Puluh Tokoh” (Sidi al-Arba’ n) di Qalyub, di Tanta, dan di Kairo 9 ; begitu pula makam “Tujuh Anak Perempuan” (al-Sab’ah Ban t dalam
dialek Arab setempat) sering menandakan peninggalan Romawi; di Shuhada’ nama mereka menjadi “Tujuh Saudara Perempuan”, yaitu Sidi Syibl; di Aswan kompleks makam “Tujuh Puluh Tujuh Wali” (al-Sah’ah wa sab’ n ), yang terletak di atas bukit kecil, mendominasi kompleks pemakaman.
Di Mesir terdapat banyak peninggalan pra-Islam, dan bukan makam sebenarnya (kosong). Sebuah pepatah mengejek hal ini secara terang- terangan dengan mengatakan bahwa “di bawah kubah, terdapat seekor
kera” (taht al-qubbah ‘erd, taht al-qubbah qird) 10 .
6 Tentang salah seorang wali jenis itu di abad ke-19, lihat studi yang gemilang oleh ahli Mesir Serge Sauneron (1983). E. Amélineau (1888, hlm. LXXIV-LXXIX)
mencatat dengan tepat kesejajaran yang kentara antara wali-wali “yang dipertanyakan” itu dan wali petapa dari abad-abad awal gereja Nasrani Koptik.
7 I. Goldziher (1897) telah dengan tepat menekankan bahwa banyak makam wali tidak bernama. Dapatkah kita menyimpulkan seperti dia bahwa hal itu
membuktikan bahwa wali Islam adalah penerus dari kultus pra-Islam? 8 Suatu kesaksian yang menarik tentang pohon-pohon keramat di Roda dan
Matariyah, yang telah dicabut, lihat R. Kriss & H. Kriss-Heinrich (1960). Dalam buku itu juga terdapat suatu pemaparan yang baik tentang kasus khas ular suci Haridi, di Nazlat Haridi dekat Tahta, di Mesir Tengah.
9 Untuk Goldziher (1897, hlm. 239), hal itu merupakan penampilan kembali dari 40 syuhada dari Sebaste.
10 Pada tahun 1900, suatu perusahan yang membuka kawasan pertanian di muara Sungai Nil membangun suatu makam semu dan mengadakan peringatan maulid
seolah-olah untuk merayakan seorang wali sebagai sarana untuk menarik para
Catherine Mayeur-Jaouen