Para Peziarah
Para Peziarah
Siapa berziarah? Berziarah ke makam-makam keramat adalah suatu kebiasaan yang sangat umum di masyarakat, sehingga siapa pun dapat menjadi peziarah. Namun ternyata anggota-anggota kelas sosial tertentu lebih sering ditemukan daripada anggota kelas sosial yang lain. Di samping itu, harus membedakan peziarah individual dari peziarah berombongan— yang sering kali cukup besar.
Praktik ziarah berombongan berlipat ganda dalam beberapa dasawarsa terakhir ini, menyusul laju pembangunan dan perkembangan sarana transportasi. Menurut jumlah peserta dan tingkat ekonominya, mereka memakai bis, truk, atau minibus. Kebanyakan adalah orang-orang desa yang tidak biasa bepergian dan keluar dari pola hidup mereka sehari- hari, dan karena itu mereka tidak suka berpisah satu sama lain, agar tidak tersesat. Perjalanan diatur oleh seorang kyai atau para penduduk desa sendiri. Para anggota tarekat, di bawah pimpinan syekhnya, konon meru- pakan bagian yang cukup besar dari peziarah kolektif itu; mereka dikenali dari zikir khas tarekat mereka yang diucapkan di depan makam.
Tergantung jumlah uang yang tersedia, ziarah dapat dipusatkan pada suatu makam dan hanya memakan beberapa jam lamanya, atau paling banyak satu hari, tetapi dapat juga berlangsung selama beberapa hari, yang dipakai untuk mengunjungi beberapa makam keramat yang terpenting. Kebanyakan tur itu, yang walaupun relatif baru kini sudah sangat umum, tampaknya bertujuan utama mengunjungi makam-makam para Wali Songo, yang dapat ditambahi berbagai tempat singgah yang lain, seperti keramat Luar Batang di Jakarta, makam Sultan Hasanudin di Banten, atau bahkan makam Presiden Soekarno di Blitar. Dan kita tidak dapat ketahui dengan jelas apakah di mata para peziarah makam Soekarno itu dianggap kalah religius daripada makam para wali.
Tur di atas berlangsung dalam suasana yang amat meletihkan. Para peziarah makan di bis, tidur dengan sederhana saja di kawasan keramat atau di serambi luar masjid. Mereka cepat-cepat mengunjungi makam- makam. Baru mereka meletakkan sesajen, berdoa sebentar dengan pemandunya dan membeli beberapa oleh-oleh, maka sudah tiba waktunya harus pergi lagi. Tur-tur seperti itu telah menyebabkan makam-makam
352 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
yang jauh dari jalan raya, seperti makam Sunan Muria misalnya, menjadi bertambah populer.
Para peziarah perorangan juga mengunjungi situs-situs besar di atas, ditambah lagi situs-situs sedang yang hanya dikenal di tingkat daerah. (Situs-situs desa pada umumnya hanya dikunjungi oleh penduduk setempat.) Peziarah itu pada umumnya memilih datang pada waktu dan hari yang dianggap “baik”, mereka berdoa di makam untuk meminta nasihat dalam penyelesaian masalah pribadi atau untuk mengucapkan terima kasih atas terkabulnya permintaannya.
Satu kelompok pengunjung yang lain terdiri atas mereka yang ingin bersemadi di depan sebuah makam. Mereka ditemukan di semua jenis situs, termasuk yang terbesar, tetapi orang yang mau bersemadi dalam suasana sepi umumnya memilih situs yang terpencil. Mereka tidak segan berjalan kaki jauh-jauh untuk mencapai situs yang dianggap paling cocok dengan hatinya.
Laki-laki tampaknya merupakan mayoritas peziarah, mungkin karena harus bermalam di tempat yang jauh dan karena lebih mudah seorang laki- laki meninggalkan urusan rumah tangga daripada seorang perempuan.
Semua lapisan masyarakat terkena fenomena ziarah, namun sudah jelas bahwa mayoritasnya terdiri dari anggota masyarakat kelas bawah. Apabila elite tersangkut, umumnya diupayakan supaya ziarahnya dilak- sanakan secara diam-diam, mungkin untuk menghindari gunjingan “tidak rasional”. Pembesar-pembesar negara, menurut kesaksian para juru kunci, juga gemar menziarahi makam-makam tertentu. Di sana-sini dikenang kunjungan mantan Presiden Soekarno, atau menteri kabinet sekarang, bahkan anggota keluarga Presiden Soeharto. Tokoh-tokoh besar itu dapat juga diwakili oleh utusan yang menjalankan ziarah atas nama mereka. Hal itu tak lain daripada pengambilalihan oleh pembesar Republik dari kebiasaan lama kerajaan Jawa. Raja-raja pantang mengunjungi makam- makam keluarganya sendiri, dan setiap tahun, pada awal abad ke-19, mereka mengirim sesajen ke semua keramat besar di Jawa.
Para peziarah perorangan cenderung mengunjungi satu atau beberapa situs secara berkala, agar memelihara hubungan akrab dengan wali yang bersangkutan. Para santri juga mengunjungi secara berkala makam pendiri pesantren mereka, namun kunjungan-kunjungan itu, yang boleh dikatakan wajib, tidak bisa disamakan dengan ziarah, oleh karena lokasi makam tidak pernah jauh.
Hampir semua juru kunci mengatakan bahwa makam di bawah tanggung jawab mereka dikunjungi oleh peziarah dari berbagai unsur etnis, termasuk orang Tionghoa, di samping orang Sunda dan Jawa. Pengamatan di lapangan tidak membenarkan pernyataan ini. Anggota minoritas etnis di
Indonesia 353
Jawa, baik Tionghoa maupun Arab, tampaknya hanya mengunjungi situs- situs tertentu, dengan beberapa perkecualian. Peziarah keturunan Tionghoa pada umumnya ditemukan di Gunung Jati (Cirebon), di mana dimakam juga seorang “Putri Cina”, di Gunung Kawi (Malang), di Gedung Batu (Semarang) dan di Tanjung Kait (Jawa Barat). Keramat-keramat Tionghoa agaknya lebih acap diadopsi oleh masyarakat pribumi di Jawa daripada sebaliknya. Demikian pula untuk keramat-keramat masyarakat Arab.