Tradisi Ziarah ke Makam Wali di Magribi dalam Sejarah
Tradisi Ziarah ke Makam Wali di Magribi dalam Sejarah
Ritus ziarah ke wali-wali di kawasan Magribi dikenal dengan kata Prancis “maraboutisme”, yang mengacu pada dinasti Mur bit ūn (Almoravide dalam bahasa Prancis) yang didirikan di Marrakech pada tahun 1062 oleh sebuah kelompok suku Berber dari Gurun Sahara. Kaum Mur bit ūn yang
Sossie Andézian
pertama adalah para penghuni rib th t 7 yang menjalankan baik latihan- latihan mistik maupun latihan-latihan perang. Mereka mengenal ajaran al-
Junaid (disebut Jounayd), (wafat 910 di Bagdad), seorang tokoh mistik Islam yang terkemuka, melalui perantaraan seorang sufi Magribi. Daerah kekuasaan dinasti mereka terbentang dari kawasan Afrika Sahel sampai ke Spanyol, dan juga mencakup kawasan Magribi. Rib th t yang didirikan sepanjang perjalanan mereka sewaktu menaklukkan daerah-daerah baru mempunyai andil besar dalam pengislaman atau pengislaman kembali bangsa-bangsa yang dikalahkan oleh dinasti ini. Namun tidak lama kemudian sejumlah pemimpin rib th t yang menerapkan ajaran mazhab Maliki secara ketat terlibat konflik dengan penguasa Mur bit ūn yang kian longgar menerapkan puritanisme Islam. Pertentangan antara kedua kubu ini terungkapkan seputar ajaran al-Ghazali, yang dijadikan acuan utama oleh para pemimpin rib th t. Karya-karya al-Ghazali dibakar di depan umum oleh penguasa Mur bit ūn. Para penguasa ini kemudian tidak disukai lagi oleh rakyat dan digantikan oleh dinasti Berber lainnya, yaitu dinasti al- Muwahhid ūn (Almohade dalam bahasa Prancis), yang mengajarkan doktrin tauhid (keesaan Allah) dan memberlakukan ajaran itu di seluruh wilayah kekuasaannya, sambil juga menyebarkan ajaran sufi al-Ghazali. Walaupun bertentangan dalam berbagai hal, dinasti al-Mur bit ūn dan al-Muwahhidūn sesungguhnya memperjuangkan hal yang sama, yaitu persatuan kawasan Islam yang membentang dari Sahel sampai ke Spanyol. Di wilayah ini mereka mengupayakan kejayaan dan kemenangan bagi Islam Sunni mazhab Maliki serta aliran sufi, walaupun mereka juga tidak segan memerangi pemimpin gerakan sufi setiap kali dianggap mengancam kekuasaan politik mereka.
Istilah mur bit ūn tetap dipakai dalam bentuk tunggalnya mur bith (secara lokal diucapkan mour bet atau mr bet ialah asal istilah marabout dan maraboutisme dalam bahasa Prancis) sesudah kedua dinasti itu lenyap pada awal abad ke-13, ketika lembaga rib th t sudah ditinggalkan. Pada akhirnya istilah mur bith dipakai untuk menyebut semua tokoh yang pada abad-abad berikutnya dianggap sebagai wali di kawasan Magribi, yaitu pemimpin politik, pendiri tarekat-tarekat, leluhur-leluhur pemberi nama tempat, kepala suku, orang-orang saleh, zahid (petapa), dukun, dan juga dewa-dewa zaman kuno pra-Islam, gua-gua, sumber-sumber air, dan pohon-pohon suci....
Tulisan-tulisan pertama tentang para wali muncul pada abad ke-12 (lihat Farhat dan Triki 1986). Penulis-penulis pertama itu menekankan ciri khas dari mistisisme di kawasan Magribi, walaupun mereka mengaku
7 Rib th t (tunggal rib th): pondok yang diperkuat seperti benteng.
Kawasan Magribi 153
bahwa mungkin ada juga sumbernya dari Timur Tengah. Periode historis yang membentang antara akhir abad ke-12 dan awal abad ke-13 merupakan periode yang menentukan untuk aliran sufisme, baik di kawasan Barat maupun di kawasan Timur Tengah, meskipun di wilayah Barat sufisme tetap merupakan kegiatan yang bersifat pribadi dan individual, dan belum mengandung ciri khas lembaga yang terstruktur seperti yang mulai terjadi di wilayah Timur dengan didirikannya berbagai tarekat (lihat Miquel 1968). Wali-wali pada masa itu berasal dari semua daerah dan semua lapisan sosial. Ziarah pada wali mulai dikenal di Maroko dan menyebar dengan sangat pesat ke seluruh wilayah Magribi. Ciri wali adalah usahanya untuk menemukan thariq (yaitu jalan menuju Tuhan) dengan cara berguru pada guru spiritual atau berkelana di berbagai kota, desa, negara, dan bahkan benua. Inisiasi pada suatu tarekat, yang diawali oleh suatu upacara baiat sebagian terdiri atas pelajaran teoritis, dan lebih-lebih atas latihan- latihan spiritual seperti membaca teks-teks religius, mendengarkan, dan memainkan musik yang menimbulkan fenomena-fenomena ekstase, kesuru- pan, atau levitasi (terangkatnya tubuh seoloah-olah melayang), serta, dalam kadar yang semakin tinggi dari abad ke abad, dengan menggunakan tasbih mengulang-ulang pujian kepada Tuhan (zikir). Kendati ada beberapa wali yang mengasingkan diri dari kehidupan duniawi dan tinggal di daerah terpencil seperti gurun, gunung, hutan, dan gua, namun sebagian besar wali hidup berkeluarga dan memiliki kehidupan sosial yang biasa. Mereka bermukim di perumahan yang dibangun di sekitar suatu keramat, yaitu
suatu zawiyah 8 yang dikelola oleh anggota keluarga, sahabat, atau pengikutnya. Mereka biasa menerima pengunjung, murid dan pengikut
(fuqar ). Sifat wali, yang ketika itu belum bersifat keturunan, masih merupakan suatu kelebihan yang bersifat pribadi. Kelebihan ini lebih
banyak menyangkut h l 9 daripada pengetahuan atau kesalehan, dan h l itu memberikan kepada orang yang menerimanya kemampuan untuk menyatu
dengan Allah melalui latihan-latihan spiritual tertentu seperti sembahyang tahajud, berkhalwat, menjauhkan diri dari hal-hal yang lahiriah, puasa, dan hidup serba sangat kekurangan. H l dapat datang secara mendadak pada suatu momen khusus (melalui penampakan gaib atau paling acap melalui kontak/hubungan dengan seorang guru yang sudah terinisiasi) yang meng-
8 Z wiya (jamak z wiy t): tempat tinggal suatu kelompok yang mempunyai silsilah rohani yang sama, juga berguna sebagai tempat berdoa, berkumpul, mengajar dan
menginap, sesuai dengan besarnya keluarga yang bersangkutan. 9 H l ialah keadaan hati seorang penganut jalan sufi ketika dalam perhentian-
perhentian (maq m-maq m), (catatan penerjemah).
Sossie Andézian
akibatkan suatu perubahan menyeluruh dari kepribadian orang yang bersangkutan (touba, taubah) 10 . Sang wali mungkin telah mendapat
pendidikan agama yang sifatnya tradisionil, mengenai tasawuf maupun kitab agama, namun ada kalanya dia adalah seorang buta huruf atau bahkan seorang yang berperilaku luar biasa dan dicap gila. Kelebihan yang ada pada dirinya (manaqib) serta kekuatan gaibnya terlihat melalui perbuatan- perbuatan istimewa (keramat, kar m t). Sang wali juga dibantu oleh penampakan-penampakan baik pada waktu tidur maupun pada waktu sadar. Dia dapat mengetahui apa yang dipikirkan oleh orang lain dan apa yang terjadi di tempat yang jauh. Dia mampu meramal dan menafsir impian orang. Sebagai dukun penyembuh dia mampu menyembuhkan orang-orang yang sakit dengan doanya dan dengan menyentuh pasien. Sebagai perantara Allah, dia dianggap mampu memenuhi permohonan pengunjungnya, yang menyangkut baik kehidupan di dunia maupun di alam baka. Itulah syarat untuk dianggap sebagai wali atau “orang yang dekat dengan Allah” oleh masyarakat.
Gerakan sufi Magribi mulai membesar dengan munculnya Abu Madyan, yang disebut juga sebagai Penolong Utama (Gho ūt, Ghauts) atau kutub (Qotb, Quthb), yaitu taraf tertinggi dalam hierarki wali-wali. Abu Madyan Syu‘aib Ibn al-Husain (Abu Madyan Chou’ayb Ibn al-Hussayn) (wafat 1198), berasal dari daerah Sevilla di Spanyol, dan diajari sufisme di Maroko oleh Abu Ya’za al-Hazmiri (wafat 1177), Ali Ibn Herzihim (wafat
1163), dan al-Daqq q 11 , dan kemudian di Timur Tengah oleh murid-murid Junaid (Junayd) dan al-Ghazali; dia konon berjumpa dengan ‘Abd al-Q dir
10 To ūba, taubah: tobat, yang juga berarti tarian kesurupan ritual di daerah-daerah
tertentu.
11 Kedua orang yang pertama adalah pemimpin suatu aliran yang muncul pada abad ke-12 (C. Addas: 1989), walaupun mereka tidak mendirikan suatu mazhab dalam
artian formal, karena tidak menawarkan doktrin maupun tulisan-tulisan. Peran dan dampak kegiatan mereka mungkin disebabkan oleh kepribadian yang luar biasa dari kedua tokoh itu yang termasuk wali yang paling dihormati di Magribi hingga kini. Abu Ya’za, seorang zahid (pertapa) dan orang yang bisa kesurupan adalah salah seorang wali yang paling terkenal di zamannya. Meskipun dia tidak berbahasa Arab dengan baik, dia terkenal karena karomahnya, terutama oleh kemampuannya membaca pikiran dan perasaan orang serta menjinakkan binatang liar. Murid-murid Abu Ya’za sangat besar jumlahnya dan sebagian dari mereka menyebarkan ajarannya di Masyriq (bagian timur dunia Arab). Hal ini merupakan salah satu sebab mengapa dia menempati posisi utama dalam aliran sufi baik barat maupun timur. Ibn Herzihim, yang lebih luas pengetahuannya, disebut sebagai ahli fikih. Sedangkan Abu Abdallah al-Daqq q disebut “eksentrik” oleh para penulis manakibnya.
Kawasan Magribi 155
al-J l n (Sidi Abdulqader Jilani) di Mekkah. Dengan demikian dia men- dapatkan baik pengetahuan sufi-sufi terdidik dari Timur Tengah dan Andalusia maupun ilmu sufi-sufi buta huruf Maroko. Namun dari kelompok terakhir inilah ia mempelajari dan memperoleh rasa keimanan yang berkobar-kobar, rasa rendah hati, rasa cinta tanpa pamrih terhadap Allah, dan sikap yang merendahkan rasionalisme (Brunschvig 1947). Mengikuti tradisi al-Ghazali, yang berhasil memberikan tempat kepada aliran sufi yang mementingkan pengetahuan teks agama, Abu Madyan menyusun suatu sintesis dari berbagai ajaran yang diperolehnya untuk membentuk suatu aliran tasawuf yang cocok bagi penduduk setempat. Pada akhirnya dia menetap di Annaba (Bougie) di Aljazair, tempat dia membina banyak murid. Dia meninggal di Tlemcen (Aljazair Barat), di tengah perjalanan menuju Maroko untuk memenuhi panggilan Khalifah Ya’kub al-Mansur (Ya‘q ūb al-Mansyūr), yang merasa cemas mendengar berita tentang kebesaran Abu Madyan sebagai wali. Atas permintaannya sendiri dia dikuburkan di daerah itu, di Desa al-Eubbad, di mana makamnya masih ada hingga kini, dan menggeser kedudukan Sidi Daoudi (Sidi Daw ūd ) sebagai wali pelindung kota Tlemcen. Sebagai penulis, penyair dan ulama, Abu Madyan mendidik banyak murid, terutama Ibn Mas sy (wafat 1228) dan al-Sy dzil (wafat 1258) yang menyebarkan ajarannya ke seluruh Magribi.
Al-Sy dzil dikaitkan dengan gerakan sufi Magribi abad ke-13, yang tersebar luas dan menjadi besar karena menyentuh berbagai golongan masyarakat. Sidi Ab ū al-Hass n al-Sy dzil lahir di Maroko pada tahun 1197 dan diakui sebagai sufi di Tunisia, tempat ia menetap dan membina banyak sekali pengikut yang berdatangan dari segala penjuru Magribi. Namun kemudian dia terpaksa mengungsi ke Mesir, atas tekanan seorang ulama pemerintah Tunisia yang menuduhnya sebagai dalang beberapa kerusuhan. Sebagian pengikutnya mengikutinya ke Mesir dan di sana mereka mendapat pengikut baru, namun sebagian besar pengikut al- Sy dzil tetap tinggal di Tunisia untuk menyebarkan ajaran sang guru. Al- Sy dzil konon terutama berhasil karena, baik dalam doa-doanya maupun dalam ajaran-ajaran moralnya, dia menekankan semangat dan sikap tawakal pada Allah. Keberhasilannya juga disebabkan, kata orang, oleh kesukaannya pada bentuk luar kehidupan religius, keramat-keramat, acara- acara yang membangkitkan kegairahan fisik dan kobaran semangat kolektif, dan disebabkan juga oleh keistimewaan pribadi yang nyaris melampaui manusia biasa dari sang guru yang dijunjung tinggi.
Gerakan tasawuf Magribi, yang pada awalnya bertebaran tak teratur, mulai terorganisir. Para wali dan pengikutnya membentuk kelompok- kelompok yang kemudian menjadi tarekat-tarekat. Jaringan-jaringan para
Sossie Andézian
wali dan pengikutnya terjalin tidak hanya di antara kelompok-kelompok di kawasan Magribi, tetapi juga dengan kelompok-kelompok di kawasan Timur Tengah (Mesir) dan Andalusia. Para calon pengikut yakni “murid” (mur d n) bertemu di sebuah zawiyah atau berdampingan seorang Syekh pada kesempatan ziarah tahunan. Muncullah praktik-praktik ritual tertentu yang mengatur kehidupan kolektif para murid dan pengikut. Dengan berkembangnya zawiyah di seluruh negeri, ketegangan intern dan pere- butan pengaruh pun semakin banyak, aliran-aliran baru bermunculan pula, dan di sana-sini terbentuk gerakan oposisi terhadap pemerintah. Dalam beberapa kasus, wali menyerupai seorang Mahdi yang dipercaya masya- rakat sebagai juru selamat. Pada taraf itu muncullah masalah kebenaran pengalaman mistisnya dan karomah yang dilakukannya.
Kekuatan aliran sufisme tidaklah berkurang sepanjang abad ke-14, ketika muncul gerakan reformis/pembaharuan Sunni dan ketika mazhab Maliki menang mutlak. Di bawah pengaruh yang semakin besar dari karya- karya al-Ghazali, para ahli fikih, yang mendukung bentuk-bentuk kegiatan tirakat tertentu, menerima juga bentuk-bentuk moderat dari pengalaman mistis, walaupun mereka tetap menolak ritus-ritus yang menimbulkan keadaan-keadaan kesurupan. Al-Ghazali sesungguhnya mengatur dengan ketat praktik-praktik seperti ini, sedangkan Ibn ‘Arab , seorang ulama dan sekaligus sufi yang juga amat berpengaruh di kawasan Magribi, meskipun pada prinsipnya menolak praktik mistis itu, masih dapat menerimanya bagi orang-orang yang belum mencapai kesempurnaan. Walaupun kunjungan ke makam wali sebagai bentuk ibadah umat yang taat tidak dicela, ritus-ritus ziarah yang dilakukan di makam wali-wali yang dihormati dianggap tindakan terkutuk. Perdebatan tentang kar m t makin ramai pada waktu itu. Kendati kar m t diterima sebagai hal-hal yang disaksikan oleh para Sahabat Nabi Muhammad, namun hanya diterima keabsahannya berdasarkan mutu pribadi pelakunya. Suatu pertanyaan penting muncul ketika zawiyah mulai tersebar di mana-mana, ialah sejauh mana efek kar m t tetap bertahan setelah wali yang bersangkutan wafat, dan sejauh mana kesucian wali diwariskan secara turun-menurun dan juga apakah pembentukan “dinasti” wali-wali adalah sesuatu yang sah?
Kawasan Magribi 157
Sossie Andézian
Pada abad ke-14 dan ke-15, seluruh Magribi mengalami goncangan- goncangan yang mendalam: krisis di bidang pertanian, kemerosotan perdagangan, makin banyaknya kelompok penggembala. Kekacauan tatanan politik dalam negeri serta kemenangan bangsa Portugis mendukung pengerahan pengikut-pengikut tasawuf di sekitar tokoh Abu Abdallah Mohammed al-Jazuli, yang selain mengaku keturunan syarif, juga menya- takan dirinya sebagai pewaris spiritual Syaduli. Jazuli mendirikan tarekat Magribi yang pertama, yaitu tarekat Sadz ūlia-Jazūlia yang berkembang bersamaan dengan tarekat Q diria. Kedua tarekat ini kemudian pecah menjadi berbagai cabang yang juga disebut tarekat. Masing-masing dipimpin oleh pendirinya yang disebut “Syekh” sedangkan pengikut- pengikutnya disebut fuqar atau khou n (ikhw n), yang berada di bawah
wakil-wakil syekh, yaitu para muqaddim 12 ūn . Abad ke-15 dan ke-16, yang merupakan masa kemunculan kategori
wali yang baru, para syuraf ’ 13 , dianggap sebagai abad “revolusi mara- boutisme” (revolusi kewalian). Masa tersebut ditandai dengan menyebar-
nya wali-wali ke arah timur, yaitu para wali yang menurut tradisi berasal dari Maroko Selatan, dari pusat keagamaan Seguiet al-Hamra yang terkenal, yang telah menghasilkan banyak ulama, beberapa di antaranya adalah imigran dari Andalusia. Para tokoh itu, yang memiliki pengetahuan luas dalam berbagai bidang ilmu dan budaya, baik sebagai ahli hukum, maupun orang saleh, mulai mengislamkan kembali para penduduk di daerah pedesaan. Suku-suku memilih beberapa tokoh ini dan menggunakan nama mereka sebagai dasar nama suku masing-masing serta melengkapi tokoh-tokoh itu dengan silsilah syarif. Dengan demikian para wali ini ikut membina kembali dasar-dasar kehidupan masyarakat yang struktur organisasinya terlepas. Kewalian lama-kelamaan menjadi suatu hal yang bersifat keturunan (diturunkan dari ayah ke anak) dan sedikit demi sedikit terbentuklah keluarga keturunan wali atau keluarga mur bit ūn yang menetap di suatu wilayah, yang akhirnya memainkan peran penting dalam kehidupan politik setempat.
Pada abad ke-17 terjadilah suatu perpaduan antara tasawuf dan tingkat keilmuan agama tinggi di satu pihak dan praktik-praktik ekstase
12 Muqaddim ūn (tunggal moqaddem, feminin: moqaddma): pemimpin, penanggung
jawab, digunakan untuk pemimpin tarekat, juru kunci tempat keramat, penanggung jawab kelompok yang terkait dengan sebuah tarekat atau kelompok pengikut wali tertentu.
13 Mereka yang menamakan dirinya dengan sebutan itu atau yang disebut demikian. Di antara keenam dinasti yang berkuasa di Maroko, dinasti pertama, yaitu dinasti
Idriss, dan dinasti terakhir, yaitu dinasti Saadi dan dinasti Alaoui/Alawi, disebut sebagai dinasti Cherif (Syar f).
Kawasan Magribi 159
(hulul) di lain pihak. Al-Y ūs (Berque 1958) adalah contoh terbaik dari wali zaman itu. Sebagai orang terpelajar dan pendukung ortodoksi Islam dan sekaligus aliran sufi klasik (gurunya adalah Ibn ‘Arab ), al-Y ūs sangat dihormati oleh masyarakat pedesaan, yang datang mengunjungi makamnya dengan harapan memperoleh karomah. Dalam diri tokoh ini bertemulah kedua aliran utama tasawuf abad itu, yaitu aliran teologi tingkat tinggi dan aliran kewalian tradisional. Maka terjalinlah hubungan yang terus bertambah banyak antara pusat-pusat pendidikan agama di perkotaan dan zawiyah-zawiyah di pedesaan. Orang-orang yang mengembangkan ilmu hadis atau Sunnah dan riwayat hidup Nabi Muhammad (S ra) tidak menolak pengobaran gairah semangat religius, yang teknik-tekniknya kemudian mengalami proses ritualisasi dan kodifikasi yang semakin ketat dalam kerangka tarekat-tarekat yang selanjutnya terus berlipat ganda
jumlahnya. Maka praktik ekstase bukanlah monopoli kaum majedub 14 , dan wali-wali yang “serius” pun dapat pula mengalaminya (Prémare 1985).
Tema-tema sufi adalah bagian dari budaya zaman itu, baik di kalangan terdidik maupun di antara kaum yang buta huruf. Perpaduan antara ilmu agama yang rasional di satu pihak dan pengalaman ekstase di lain pihak adalah ciri khas dari tasawuf Magribi, yang memungkinkan terjadinya dalam satu tarekat pertemuan antara doktrin sufi yang paling klasik dan praktik-praktik fisik yang dicap “berlebih-lebihan”.
Tarekat-tarekat yang utama didirikan di antara abad ke-17 dan ke-20 adalah Nashiriyah, Sanusiyah, Tijaniyah, Derqawiyah, Thayyibiyah, Rahmaniyah.... Penerimaan anggota pada umumnya dilakukan melalui pembaiatan, dan setiap tarekat menyelenggarakan upacara dan ritusnya sendiri. Pada awalnya tarekat-tarekat tampil sebagai struktur keagamaan yang melampaui batas wilayah, tidak terkait dengan silsilah, tidak terbatas pada daerah setempat dan berbeda dari lingkungan kekerabatan para wali. Namun kebanyakan tarekat dengan cepat bertumpang-tindih dengan kelompok para wali, dan dengan demikian terbentuklah penerus garis ketu- runan spiritualnya. Para pendiri tarekat, beserta pewaris biologis ataupun spiritualnya, dihormati dengan ritus ziarah pula, sehingga daftar wali Magribi menjadi semakin panjang. Peranan mereka tidak terbatas pada bidang agama dan, tergantung situasi zaman, peran itu cenderung menjadi politis. Namun sulitlah mengidentifikasikan suatu sikap politik yang berlaku umum untuk semua tarekat pada semua zaman dan di semua daerah. Penelitian-penelitian tentang sejarah lokal menunjukkan keaneka- ragaman strategi yang amat besar, mulai dari upaya perlawanan terhadap
14 Majedub: dari jadaba yang berarti “menarik”. Seorang majedub adalah orang yang tertarik oleh cinta pada Allah; seorang yang “gila Allah”.
Sossie Andézian
pemerintah pusat sampai kesediaan bekerja sama, dan di antaranya berbagai usaha kompromi.
Sejak abad ke-20, tradisi ziarah berikut lembaga-lembaga yang terkait ditentang secara sistematis oleh kaum reformis dan nasionalis yang menganggap bahwa di dalamnya hanya ada “kekolotan”, “keterbela- kangan” dan “kemacetan sosial”. Sikap itu diambil alih dan diteruskan oleh pemerintah negara-negara yang baru merdeka, terutama di Aljazair dan Tunisia, sehingga sementara orang menganggap waktu itu bahwa tradisi kewalian telah lenyap dari negara-negara itu.