Tempat, Waktu, dan Bentuk Ziarah

Tempat, Waktu, dan Bentuk Ziarah

Selain untuk wali-wali Islam dari kategori pertama, serta untuk tokoh mitis dan sinkretis yang baru disebut di atas, ziarah di Pakistan, seperti di bagian lain Asia Selatan, berpusat pada kompleks makam keramat.

Arsitektur keramat-keramat wali sufi amat beragam. Ada yang bangunannya terbuat dari batu, sedangkan yang lainnya terbuat dari bata atau tanah tumbuk. Ada makam sederhana dari faq r yang diziarahi penduduk desa tempat tinggalnya, atau sebaliknya keramat megah yang dibangun di sekitar makam seorang p r yang berpengaruh, lengkap dengan lantai marmer, gapura besar, tembok bermosaik, masjid dengan menara menjulang tinggi, kh naq h, ruang makan (langar), sara‘i (pesanggrahan untuk darwis atau peziarah), madrasah, dan sebagainya. Konon di beberapa kompleks makam—sudah kami sebut dua di antaranya di atas—terdapat relik (benda sakral peninggalan seorang wali) yang menambah lagi reputasinya. Kompleks-kompleks makam di mana wali be-Syar‘ (di luar syariat) dimakamkan, kadang-kadang memiliki ciri-ciri tambahan, seperti di kompleks makam keramat Nurpur, bangunan kecil di mana terdapat api

Pakistan 287

yang konon dihidupkan oleh Barr m m dan terus menyala. Orang memakan abu apinya agar mendapatkan syafaat dari sang wali 60 . Di dekat

keramat sering dipancangkan satu tiang berbendera yang ujungnya kadang- kadang dihiasi dengan satu bentuk tangan yang disebut pañj-tan (“kelima orang”) di Punjab. Bentuk tangan itu melambangkan Muhammad, Fatima, ‘Ali, Hasan, dan Husain, yang merupakan sumber dari seluruh tradisi sufi. Pohon-pohon yang tumbuh di sekitar keramat dianggap sakral, dan orang yang kaulnya telah dipenuhi atau yang mengharapkan perhatian sang wali kerap menggantungkan potongan kain pada rantingnya.

Tidak jarang keramat wali hanya berupa makam kosong. Bahwa makam itu didirikan untuk mengingat sang wali sudah cukup untuk mem- berikan berkah, dan peziarah berdatangan menaruh dupa dan lampu-lampu gerabah kecil dalam ceruk dinding yang dibuat khusus untuk itu. Di utara daerah Pothohar dan di selatan daerah Haz ra ditemukan di dekat beberapa desa sebuah makam kosong atas nama Barr m m. Batu itu sering terletak di dekat suatu gundukan datar yang teduh, tempat sang wali konon pernah duduk di tengah kelananya.

Sebuah keramat tempat seorang wali dimakamkan merupakan bangunan suci yang tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan, seperti nampak pada dua contoh berikut. Pertama suatu anekdot dari sumber terpercaya. Pada waktu Perang Dunia II, pemerintahan Inggris ingin mem- perluas landasan pacu bandar udara Peshawar, tetapi terhalang oleh sebuah makam wali. Untunglah, wali itu muncul dalam impian seorang p r yang terkenal dan mengeluh tentang ketidaknyamanan lokasi makamnya. Maka landas pacu bandar udara dapat diperluas tanpa kendala.

Contoh yang kedua justru sebaliknya. Seperti akan kami tekankan pada bagian kedua dari artikel ini, rezim militer-Islamis dari diktator Zia- ul-Haq telah berusaha untuk mengontrol secara ketat makam-makam keramat Pakistan. Melalui Auqaf Department, rezim itu mencoba “membersihkan” tempat suci itu dari ciri-ciri dan kegiatan-kegiatan yang dianggap menyimpang dari ortodoksi Islam. Keramat Barr m m di Nurpur, yang terletak di tengah daerah pemerintah federal dekat kota Islamabad, di mata rezim itu termasuk dalam kategori yang harus

60 Annemarie Schimmel (1980, hlm. 134) mengira bahwa makam keramat Nurpur itu adalah tempat pemujaan api, yang kemudian dijadikan candi Buddha. Adanya

api langgeng di makam keramat Nurpur bukanlah sesuatu yang khas pada makam keramat itu. Pada makam Sadiq Nihang, tidak jauh dari kota Jhang, fakir-fakir memelihara api siang malam. Pada waktu perayaan haul, api tersebut dipakai untuk memasak roti gepeng besar yang kemudian dibagi-bagi di antara semua hadirin (lihat Titus 1955, hlm. 174).

288 Denis Matringe

“dibersihkan”. Tempat suci itu menempati lokasi yang indah tetapi sulit diawasi, di kaki perbukitan Margalla: di bawah kerindangan pohon-pohon besar, dekat sungai dan terutama bersebelahan dengan satu kawasan pasar. Dengan gang-gang sempitnya di pinggir lereng, dan toko-toko berwarna- warni, pasar itu menyajikan beraneka makanan dan benda-benda religius yang sesungguhnya lebih dekat pada agama Hindu tradisional daripada Islam. Baik pasar itu maupun tempat sucinya dikunjungi oleh qalandar yang paling heterodoks dari seluruh daerah. Bahkan, pada waktu perayaan haul, yang diramaikan oleh ribuan pengunjung, datang pula penari-penari waria, pelacur-pelacur, dan penjudi yang kerap mengeluarkan pisaunya. Oleh karena itu, pemerintah memutuskan untuk merombak secara total tempat keramat ini. Tahap pertama berjalan dengan lancar: tanah diratakan, sebagian besar kawasan pasar dibongkar, pohon-pohon dirobohkan, keramat dipindahkan dan didirikan di atas sebidang tanah datar tanpa lindungan pepohonan dan penuh lumpur karena dilalui kali kecil. Di samping itu para qalandar dijauhkan, tanggal haul diubah, dan segala kegiatan heterodoks dilarang. Semua penghinaan terang-terangan terhadap wali, pengrusakan terhadap keramatnya, serta perubahan sewenang-wenang dari tanggal haulnya (yakni “perkawinannya dengan Allah”) ini diceritakan oleh pengikut-pengikut Barr

m m kepada siapa saja yang mau mendengarnya. Sang wali kemudian konon membalas perbuatan pemerintah yang zalim ini dengan suatu malapetaka, yaitu ledakan gudang senjata Ojheri, di antara Islamabad dan Rawalpindi, pusat transit pusat senjata, meriam, dan rudal yang dikirim ke pejuang-pejuang Afghanistan. Ledakan ini disusul hujan rudal di atas kedua kota itu dengan jumlah korban yang meninggal mencapai 500 orang!

Makam keramat adalah pusat dari tradisi ziarah yang sesungguhnya. Ketika para pengunjung tiba, mereka mengucapkan salam kepada sang wali dengan penuh cinta dan takwa. Mereka sering terlihat mengelus-elus tembok makam, menciumi ambang pintu, dan bahkan bersujud di kaki makam dengan dahi menjentuh tanah, suatu jenis pemujaan yang hanya boleh dialamatkan kepada Allah dalam tradisi Islam ortodoks. Mereka keluar dari makam dengan berjalan mundur, supaya hanya wajahnya yang diperlihatkan kepada wali. Sebelum meninggalkan makam, mereka mendapat berbagai hidangan atau kue ritual (tabarruk, yang fungsinya sama dengan prasad, yakni sesajen yang dipersembahkan di candi-candi Hindu), yang biasa dibawa peziarah sebagai sajen atau tanda terima kasih untuk keramat tempat mereka mendapatan berkah dari wali, dan dibagikan oleh orang-orang yang berstatus spiritual tinggi. Menyapu makam atau gang yang menuju ke makam, serta menutup makam dengan sehelai kain yang ditulisi huruf sakral dianggap sebagai perbuatan yang membawa

Pakistan 289

pahala 61 . Peziarah acap minta supaya kepalanya dituangi hasil sapuan dari makam; ada juga yang memakan bunga yang ditaruh oleh pengunjung lain

di atas makam. Kain-kain yang telah tersentuh makam amat digemari sebagai unsur mas kawin seorang gadis.

Banyak makam dikunjungi oleh berbagai jenis zahid (pengelana spiritual, faqir, qalandar) dan oleh orang dari lapisan masyarakat bawah (disebut malang) yang menghabiskan waktunya di situ. Semua amat khusuk dalam pemujaannya terhadap wali-wali, dan tidak jarang terjadi bahwa ada yang mengaku berhasil membuka komunikasi dengan wali-wali

itu, walau bukan dalam suasana kesurupan 62 . Tentu saja perayaan haul adalah saat keramat-keramat wali paling

ramai, karena didatangi segala jenis pengunjung. Haul sering dijadikan kesempatan untuk ziarah, dan jumlah peserta bisa mencapai ratusan ribu orang, seperti di makam P k Patan. Mereka sering datang dari tempat yang sangat jauh, dan ada di antaranya yang membuat bagian terakhir dari ziarah

61 Salah satu jalan menuju makam Nausah Ganj Baxs di Sahipal melalui sebuah jembatan di atas satu saluran air. Dekat jembatan itu tinggal seorang fakir bernama

Sa‘i Nadir yang saya temani beberapa lama pada bulan Februari 1993. Dia hidup dari pemberian para pengunjung keramat, dan kegiatan satu-satunya adalah terus menyapu jembatan. Itu dia lakukan untuk membayar kaul pada wali (bandingkan vrata di kalangan yog Hindu). Berikut ini satu dari banyak anekdot yang telah diceritakannya kepada saya. Pada satu hari seorang ulama yang melihat bahwa dia terus menyapu jembatan, mengecamnya karena tidak pernah salat. Sa‘i Nadir menjawab, lebih baik sang ulama bertanya dulu apakah dia masih muslim. “Kini saya bertanya kepadamu apakah kamu muslim”, kata sang ulama. “Saya bukan muslim lagi”, sahut sang darwis. “Taraf yang telah saya capai berkat Hazrat P r Nausah Sahib Rahmatu’l-lah melampaui mazhab-mazhab (mazahib, dalam artian agama-agama dengan keberanekaannya) dan agama itu sendiri (din, yaitu sistem kepercayaan dan praktik).” Pendapat seperti itu lumrah di antara darwis yang benar-benar darwis (yang sangat langka). Tentang darvish Punjab, lihat Ewing (1984).

62 Inilah satu di antara banyak anekdot yang telah diceritakan kepada saya pada bulan Februari 1993 oleh salah seorang malang yang saya jumpai di makam

keramat Nurpur. Dia bertempat tinggal di Murree, daerah pegunungan kira-kira 50 kilometer di timur laut kota Rawalpindi. Putranya hilang, dan dia telah mendatangi pr -nya untuk meminta nasihat. P r itu menganjurkan dia mengunjungi makam Bullhe Š h di Qasur. Setelah mengikuti nasehat itu, malang kita, di kala bersembahyang di makam sang penyair, mendengar satu suara gaib yang menyuruhnya menuju Nurpur. Dia, kata suara itu, akan menjumpai anaknya di dekat Barri Imam. Katanya kepada saya, dia sedang menantikan kejadian itu.

290 Denis Matringe

mereka dengan berjalan di atas lutut 63 . Untuk upacara-upacara, para p r atau mutawalli (pengelola keramat, lihat di bawah), menyiapkan makanan

dalam jumlah yang sangat besar. Daerah sekitar keramat nampak seperti suatu pasar malam yang besar. Kerumunan manusia membanjiri toko-toko sementara, tempat menjual berbagai macam makanan, minuman, dan benda ritual (kalung bunga, selimut bertulisan ayat suci, gambar-gambar suci, buku-buku cerita orang suci, kumpulan musik ritual, dan lain-lain). Dalam keramat grup penyanyi pentas satu per satu, dan pertunjukan qaww l , yang akan dijelaskan di bawah ini, digelarkan hingga salat subuh (salat al- fajar ). Seperti juga dijelaskan di atas, perayaan haul kerap disertai acara yang luar biasa. Di keramat V ris Syah di Jandiala Sher Khan misalnya— satu contoh yang baru—diadakan perlombaan bacaan H r, mahakarya puisi wali itu.

Di Pakistan, di samping ikatan antara p r dan muridnya (p r -mur d ) dan persaudaraan melalui seorang p r, bentuk-bentuk tradisi ziarah di makam wali yang diulas di atas merupakan unsur pokok dari sufisme populer, yang berfungsi sebagai kerangka untuk menyalurkan cinta tak terbatas kepada Allah ('isyq).

Dalam kompleks makam, dua cara dipakai untuk mengungkapkan cinta itu: zikir dan qaww l , yang keduanya bertujuan menimbulkan perasaan “Kesatuan” (Tauhid). Zikir adalah pengulangan secara kolektif satu kalimat pendek seperti kalimat syahadat (yang secara harafiah berarti

“kesaksian”) oleh murid-murid yang duduk mengelilingi seorang guru 64 . Acara zikir di atas menuntut persiapan yang lama. Di kalangan

Q diri dan Cisyti Pakistan, sang guru mengajarkan kepada masing-masing murid bagaimana mengatur nafas dan gerak badannya agar dapat bertahan secara fisik selama seluruh acara zikir—yang dapat berlangsung selama beberapa jam—dan dapat mengontrol diri dengan baik, termasuk di saat saat puncak ekstase. Selama acara zikir sendiri, sang guru duduk dengan tegak, sedangkan murid-murid mengantar irama suaranya dengan berbagai

63 Bentuk-bentuk ziarah itu mengingatkan kita pada ziarah yang lain. Di satu pihak ziarah itu merupakan versi lokal atau regional dari acara hajj, rukun Islam yang

kelima, karena sedikit jumlah orang Pakistan yang dapat mengharap mengumpulkan kekayaan yang cukup untuk naik haji. Di lain pihak, kerumunan peziarah muslim yang dijumpai di jalan-jalan Pakistan, dengan bungkusan- bungkusan sajen (d l ), bendera-bendera, alat-alat musik dan nyanyi-nyanyian mirip arak-arakan peziarah Hindu yang kita jumpai di India.

64 Banyak buku berisi kajian tentang zikir. Lihat terutama Anawati dan Gardet (1976, hlm. 187-256), During (1988, hlm. 156-168), dan dalam konteks khas dunia

Iran, lihat During (1989, hlm. 241-151, tentang Q diri dari Kurdistan), dan 507- 510 tentang Ahl-i haqq dari Kurdistan).

Pakistan 291

gerak atau berputar di sekelilingnya laksana bintang-bintang di sekeliling bintang Kutub. Ada juga jenis zikir perorangan yang disebut wazifa. Kaum Suhrawardi dari Pakistan, sesuai dengan tradisi mereka, menjalankan zikir kolektif tak bersuara.

Acara qaww l adalah sejenis sama‘ atau seni suara mistis yang menekankan segi pesan, di mana puisi dipandang sebagai sarana utama

ekspresi mistis 65 . Di kalangan Cisyt dan Q diri, puisi dinyanyikan dengan iringan musik oleh para pemain musik, yang ahli dalam bidang “ucapan”

(qaul) dan merupakan satu kasta penyedia jasa. Bentuk kesenian merekalah yang disebut qaww l .

Para qaww l adalah penyanyi dan musikus yang berpendidikan kesenian klasik atau semi-klasik. Mereka membentuk kelompok-kelompok

patrilineal dan endogam 66 , lengkap dengan dewan tetuanya. Pendidikan mereka dalam hal puisi dan musik didapatkan dalam lingkungan keluarga.

Namun ada kalanya ajaran puisi para pemain musik diberikan oleh sang p r sendiri, terutama apabila dia mau meningkatkan mutu acara sama‘ yang

dipergelarkan di tempatnya 67 . Sejak muda, para qaww l laki-laki sudah mulai naik panggung untuk

menemani yang tua di pentas. Kini alat musik yang paling sering dimain- kan adalah harmonium dan thabla 68 . Para pemain musik sering terikat pada

tempat suci tertentu, entah sebagai pegawai seorang p r atau karena leluhur mereka telah memilih bermukim di dekat makam seorang darwis yang tak berketurunan. Secara sosial, mereka dinistakan oleh para sufi majikan mereka, namun jasanya juga amat dibutuhkan untuk salah satu praktik pokok sufi itu.

Di tempat suci yang dikelola oleh p r, acara qaww l merupakan konser mistis yang istimewa. Dalam acara itu, para hadirin mendapat suatu kesempatan dan suatu sarana untuk mendekati sang wali yang dipuja dan, melalui wali itu, untuk lebih dekat dengan Allah sendiri. Tujuan terakhir dari qaww l adalah menimbulkan keadaan kesurupan dan ekstase (vajd,

65 Seperti zikir, sama‘ dan keabsahannya telah banyak menjadi topik penulisan. Lihat During (1988).

66 Prinsip perkawinan yang mengharuskan orang mencari jodoh di dalam lingkungan sosialnya sendiri.

67 Buku dasar tentang qaww l di India adalah Qureshi (1986). 68 Tabla adalah tambur kecil dengan satu lapis kulit saja, yang di tengah-tengahnya

ditempeli suatu adonan khas. Badan tambur ini terbuat dari kayu, logam atau gerabah menurut jenis dan daerah. Tambur-tambur ini selalu dipakai dalam pasangan dua unit. Tambur “betina” (baya) memiliki suatu oktaf lebih rendah daripada tambur “jantan” (tabla). Tambur-tambur itu dipukul oleh pemusik dengan jari-jari terbentang.

292 Denis Matringe

Ar. wajd, secara harafiah berarti “pertemuan”), yang dengannya sang pengikut acara mengalami “ketiadaannya” dalam Tuhan (fan ). Jadi, para pemain musik harus memilih naskah dan pola interpretasi yang tepat agar tidak menimbulkan emosi yang tidak religius. Perempuan dan anak laki- laki acap tidak diperkenankan mendekati acara qaww l , atau mereka duduk jauh dari para lelaki dewasa. Namun, kalau wali dari keramat yang bersangkutan wafat tanpa keturunan, suasana pada umumnya lebih bernada pesta, karena tidak ada pihak yang berhak memaksakan suatu tata krama tertentu. Di keramat jenis itu, saya sendiri telah menyaksikan bagaimana lagu rakyat, gazal atau bahkan lagu film dapat disisipkan dalam repertoar penyanyi yang naik panggung, yang sudah tentu bukan semuanya qaww l yang sesungguhnya. Saya juga menyaksikan bagaimana acara berdoa, yang mestinya merupakan saat tanpa nyanyian, dilupakan atau diperpendek oleh hadirin.

Para qaww l pentas secara kolektif pada saat para sufi berkumpul di keramat-keramat, terutama pada malam Jumat, waktu untuk orang yang mati, dan pada kesempatan haul. Yang disebut pemain musik adalah nyanyian maupun adegan mistis yang menyertainya. Pembukaan qaww l pada umumnya dimainkan dengan harmonium, kemudian menyusul satu bagian yang dinyanyikan tanpa tambur dan tanpa tepuk tangan. Bagian ini baru dimulai ketika penyanyi utama menyanyi bait ulangan untuk pertama kalinya, yang kemudian diulang oleh kor. Penyanyi kor itu lalu juga mengulangi secara bergiliran, bagian pokok lainnya dari puisi yang sedang dinanyikan. Zikir mengambil peran yang penting dalam konteks itu.

Hubungan antara para pemain musik dan para hadirin sangat menentukan. Para penyanyi terus berusaha untuk mengiringi mereka yang mengalami berbagai kondisi spiritual sambil mengantar mereka ke ekstase. Mereka mengandalkan berbagai cara: irama nyanyian, intensitas nyanyian, pemasukan unsur puisi lain dengan tema serupa (gira), serta pengulangan berkali-kali (dohr ‘ ) dari sajak-sajak yang sangat eskpresif, agar muncul tarian yang kemudian akan menimbulkan situasi kesurupan.

Para qaww l juga bermain dengan tema dan bahasa yang berganti- ganti: Arab, Urdu, Persia, dan bahasa setempat 69 . Dalam tradisi, seusai

membaca ayat al-Qur’an, sama‘ dibuka dengan memuja kebesaraan Tuhan (hamd) sertai memuji Nabi-Nya (na') dalam bahasa Urdu, kadang-kadang dengan beberapa kalimat dalam bahasa Arab. Kemudian, dengan semangat yang khas, mereka mengalamatkan doa dalam bahasa Urdu, Persia, atau

69 Untuk contoh adegan qaww l , lihat Nusrat Fateh dan Ali Khan (1989). Untuk kajiannya, lihat Matringe (2000).

Pakistan 293

bahasa setempat kepada Ali, sumber dari semua tarekat, seperti telah kita lihat di atas.

Pujaan berikut pada umumnya dialamatkan kepada wali setempat (madh-i wali). Bahasa lokal pada umumnya menjadi dominan, dan seba- gian besar nyanyian mengantar timbulnya keadaan rohaniah tertentu (bhs. Ar. h l). Yang sering diangkat adalah teks-teks tentang pedihnya perpi- sahan (fir q dalam bahasa Arab dan Persia). Nyanyian-nyanyian terakhir mengagungkan kesatuan dengan Tuhan (wishal) dalam ekstase.

Rasa haru para hadirin juga ditunjukkan dengan pemberian sum- bangan (vel) kepada para pemain musik. Ada saja orang-orang yang berdiri dan menaruh uang dekat para pemain. Ada yang lain, entah karena senang atau untuk memperlihatkan statusnya, melepaskan uang kertas satu per satu di atas kepala penyanyi utama, atau yang melemparkan lembaran uang kertas ke arah kelompok pemain. Kadang-kadang juga, peredaran uang bersifat simbolis. Misalnya, pengikut p r mempersembahkan hadiah kepa- danya untuk mempererat hubungan spiritual dengan dia. P r menerima hadiah itu dan menjadikannya uang gaji untuk pemain musik.

Dengan demikian, makam adalah tempat di mana cinta umat ter- hadap Tuhan diungkapkan dengan intensitas tertinggi, ditengahi oleh rasa hormat terhadap p r dan pemujaan wali. Namun makam keramat juga merupakan suatu ajang pertemuan budaya. Di satu pihak, kegiatan agama yang berlangsung di situ mengingatkan akan kegiatan serupa di kalangan Hindu tradisional, dan hubungan p r -mur d jelas mengingatkan kepada hubungan guru dan cela (guru dan murid dalam lingkungan Hindu). Di lain pihak, beberapa segi acara qaww l juga mirip dengan nyanyian religius

Hindu (k rtan) 70 , musik dan puisi klasik India dan dunia Persia tercampur dengan legenda-legenda dari kawasan lembah Indus dan dengan lagu-lagu

kerja agraris dan sehari-hari.