Peran Para Syekh dalam Masyarakat Magribi Modern
Peran Para Syekh dalam Masyarakat Magribi Modern
Efisiensi simbolis para syekh tidak selalu terjamin; begitu pula wibawanya, yang terancam oleh ketidakstabilan posisinya yang setiap saat dapat dipertanyakan, hanya diakui dan dapat diperkuat melalui tindakan-tindakan nyata. Keterlibatan syekh dalam kehidupan masyarakat untuk menyele- saikan masalah-masalah administrasi yang dialami pengikutnya tidak mengikutsertakan mereka dalam lingkup kekuasaan karena keberadaan syekh secara sosial hanya diakui dalam lingkup kehidupan pribadi. Sumbangan yang diberikan kepada mereka oleh pengunjung sebagai imbalan jasanya merupakan sumber pendapatan untuk syekh dan
Kawasan Magribi 171
keluarganya, tetapi pendapatan itu diartikan sebagai sumbangan simbolis. Memang benar bahwa sebagian besar uang yang diberikan oleh pengun- jung digunakan untuk perawatan zawiyah sebagai tempat penginapan bagi para pengunjung. Kalaupun tidak disediakan penginapan, paling sedikit disajikan hidangan. Syekh-syekh tertentu bahkan konon “rugi”, karena pemberian pengunjung tidak cukup untuk menutup biaya penginapan dan makanan pengunjung itu. Sebaliknya, ada pengunjung yang mengeluh tentang keserakahan syekh yang menjual mahal “jasa” bermutu rendah meskipun telah menerima sejumlah besar sumbangan, atau syekh yang menggunakan uang sumbangan untuk menghidupi keluarga mereka. Situasi jenis itu merupakan sumber pertentangan antara syekh dan anggota keluarga besarnya.
Meskipun menerima bayaran, para syekh berada di luar lingkup kehidupan ekonomi. Akibat kegiatan mereka sebagai perantara “tersem- bunyi” itu mereka menikmati otonomi besar yang dimanfaatkan untuk berperan secara aktif dalam ruang yang tersedia di antara kehidupan pribadi dan kehidupan publik (kehidupan mereka dan klien mereka). Kegiatan itu itu tidak dianggap tindakan subversif karena para syekh sama sekali tidak tampil sebagai saingan pemerintah yang sah, bahkan sebalik- nya, mereka mempunyai andil dalam pengakuan para pengikutnya akan kekuasaan pemerintah dan mereka mendukung terselenggaranya dialog antara masyarakat sipil dan negara.
Pertanyaan yang timbul adalah apakah para syekh masih berfungsi di bidang agama yang lebih resmi? Sejak kemerdekaan, petugas agama adalah pegawai negeri yang berkomunikasi dengan masyarakat melalui teks tertulis (berbagai ketetapan, undang, artikel, dan buku) atau wacana lisan (khotbah di masjid atau di TV). Hubungan yang paling langsung antara petugas agama dan umat terjadi di masjid, pada waktu salat berjamaah, ketika orang-orang menjadi makmum dan seorang petugas agama menjadi imam atau ketika mereka mendengarkan khotbahnya. Apa yang disampaikan oleh para penuntun spiritual ini didengarkan dengan sungguh- sungguh oleh para hadirin yang merasa dekat dengan wali itu.
Jikalau tindakan dan ucapan petugas agama resmi memang efisien, maka kebutuhan apa yang mendorong umat untuk meminta bantuan jasa religius dari pihak lain? Para syekh juga bertindak dan berbicara atas nama Islam berdasarkan kitab-kitab yang sama (al-Qur’an, Hadis, riwayat hidup Nabi Muhammad), sambil menganjurkan agar akhlak Islam diamalkan. Mutu didaktis mereka berbeda-beda menurut tingkat pengetahuannya tentang agama, namun wacana mereka sama sekali tidak dogmatis. Dalam khotbahnya mereka selalu menggunakan dialek setempat, dan mereka mengambil contoh-contoh konkret sebanyak mungkin dari kehidupan lokal
Sossie Andézian
sehari-hari di negerinya. Tidak ada polemik, baik menyangkut politik maupun agama, melainkan anjuran akan pentingnya mengikuti Jalan Allah agar dapat membedakan yang baik dari yang buruk, “sesuatu yang amat sulit di dunia kita yang sangat kompleks ini”. Mereka lebih merupakan penuntun spiritual dan pembimbing jalan sufi daripada penegak hukum agama dan negara. Nada komunikasi tetap akrab, menyenangkan dan bersahabat. Satu-satunya tuntutan adalah kepercayaan antara kedua belah pihak. Para syekh memberikan sentuhan pribadi pada hubungan yang terjalin dengan klien yang datang secara langsung, baik yang sudah dikenal maupun yang belum. Hubungan itu adalah “hubungan kedekatan” walaupun dalam jajaran silsilah para syekh menempati posisi yang lebih tinggi daripada “saudaranya manusia biasa” karena mereka, dibandingkan dengan saudara-saudara mereka yang manusia biasa itu, adalah orang yang dianggap lebih dekat, atau sekurangnya tidak terlalu jauh, dari misteri kehidupan dan lebih bebas dari kekayaan duniawi (meskipun kenyataannya acap kali sama sekali bukan begitu). Maka penggunaan metafora kekerabatan dalam hubungan komunikasi seperti itu tampaknya paling cocok. Istilah syekh, yang berarti “guru” tetapi juga “yang tua” dalam pengertian orang bijak, dipakai untuk menyebut para pemandu spiritual ini tanpa melihat umurnya. Para syekh menyapa muridnya atau pemohon yang datang meminta bantuannya dengan sebutan “ould ” (walad , putraku) atau “bint ” (putriku). Di kalangan murid, mereka saling menyapa dengan sebutan “kho ūya” (akhūya, adik/kakak lelakiku) atau “okht ” (ukht , adik/kakak perempuanku). Kedekatan antara syekh dan para tamunya diungkapkan dengan berbagai tanda keramahan pada tamu. Tidak ada seorang tamu pun yang meninggalkan sebuah tempat ziarah sebelum paling sedikit makan sepotong roti sebagai tanda berkah. Di tempat-tempat ziarah selalu tersedia tempat bagi para pengunjung untuk beristirahat dari perjalanan mereka yang panjang atau menginap selama satu atau beberapa malam, dan alat-alat dapur untuk menyiapkan makanan. Suasananya amat berbeda dari situasi anonim ketika berhadapan dengan petugas Departemen Urusan Agama atau Kesehatan. Akhirnya kedekatan yang dirasakan itu pada hakikatnya adalah buah dari acuan bersama kepada suatu masa lalu yang sama, dari cara berpikir yang sama dalam menanggapi penyakit, hubungan antarmanusia dan dunia gaib. Hubungan cinta mereka dengan Allah dan para wali membuat para syekh dan tamu-tamu mereka menjadi anggota dari suatu keluarga besar.
Tujuan hakiki pekerjaan para syekh adalah mencari dan memperoleh tempat bagi manusia baru dalam suatu masyarakat yang juga baru, dengan cara memperpendek jarak yang ada antara dua macam etika, dua cara memandang dunia, dan dua cara hidup di dunia ini. Sebagai mediator
Kawasan Magribi 173
antara dunia lahir dan batin, antara kaum laki-laki dan perempuan, antara perorangan dan kelompok-kelompok masyarakat, antara bumi dan langit, para syekh juga, ketika terjadi perubahan politik yang penting, menjadi penghubung antara masa lalu dan masa kini. Di bidang agama, mereka mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dalam rangka pelembagaan kepercayaan dan praktik agama dengan mengaktualkan citra Tuhan yang abstrak dan jauh, yang dianut oleh kaum reformis. Mereka menyusun ruang ritual tarekatnya secara baru dan mendefinisikan peran para sufi secara baru pula dengan menetapkan tanggung jawab dan kewajiban baru mereka terhadap Tuhan dan manusia. Mereka melakukan pembagian baru antara ruang lingkup sakral dan profan dengan mengubah batasan antara kedua ruang lingkup itu. Akhirnya mereka berupaya memperoleh tempat yang sesuai dalam bidang kekuasaan politik dan religius. Maka para syekh sering diminta bantuannya tidak hanya sebagai penghubung antara Tuhan dan manusia, tetapi juga sebagai pelindung rakyat di hadapan pemegang kekuasaan politik, birokrasi dan sistem kesehatan. Fungsi perantara ini dapat terbatas pada pengalihan istilah-istilah teknis modern ke dalam bahasa konseptual mistis. Namun apabila kedudukan sosialnya memung- kinkan, fungsi syekh sebagai perantara ini dapat berupa tindakan-tindakan konkret seperti misalnya mendekati seorang pemegang jabatan adminis- tratif untuk menyelesaikan masalah tertentu. Dalam hal ini, kekuasaan syekh, yang dianggap timbul dari karismanya, dari berkahnya, dianggap sebagai suatu kekuasaan yang “bersih”, yang betapapun juga digunakan demi tujuan dan alasan yang baik (gagasan ini dipinjam dari Brown 1984).