D i Bangladesh ada sejenis wali yang dikenal sebagai “p r”. Pada
D i Bangladesh ada sejenis wali yang dikenal sebagai “p r”. Pada
dasarnya, p r berbeda dari orang yang statusnya didasari pada penguasaan atas kitab-kitab agama, yaitu ulama, karena p r dianggap terkait dengan tradisi sufi dan memiliki kekuatan supranatural. Kategori p r itu mencakup baik tokoh-tokoh bersejarah yang sudah dimakamkan maupun tokoh-tokoh yang masih hidup. Yang terakhir ini sangat bervariasi, mulai dari p r yang juga ulama, berjenggot rapi dan bersajadah, yang aktif dalam sistem pendidikan Islam dan jaringan-jaringan terkait, sampai orang- orang desa yang menjalankan ritus semacam yoga Tantris beraliran Hindu atau Buddha yang tak jelas asalnya. Akan tetapi, akhir-akhir ini p r yang paling populer dan paling berhasil adalah mereka yang berada di tengah- tengah, antara yang paling taat dan yang paling longgar ibadahnya.
Ada keterkaitan yang kompleks antara ziarah ke makam wali dan penghormatan pada wali yang masih hidup. Guru-guru sufi yang sesung- guhnya dianggap telah mampu menguasai naluri inderawinya sehingga bagi mereka tidak ada lagi perbedaan antara keadaan hidup dan mati. Maka bagi kelompok “p r” pun perbedaan itu juga telah hilang. Bentuk penghormatan kepada p r, baik yang bersifat lahiriah ataupun batiniah, tidak dibedakan antara p r yang masih hidup dan pendahulunya yang telah dimakamkan. Namun, bagi p r hidup, perwujudan nyata dari keakrabannya dengan Tuhan merupakan suatu gambaran mental yang memerlukan proses pembudayaan yang lama baik dari sang p r sendiri maupun dari para pengikutnya. Itulah yang menyebabkan kasus Atroshi, yang akan dibicarakan pada tulisan berikut, amat menarik: seorang p r hidup yang memperoleh statusnya sebagai wali bukan sebagai warisan turun-temurun, tetapi sebagai hasil kepiawaiannya memainkan peranan p r. Yang kita saksikan sedang terjadi adalah proses pembentukan suatu ritus ziarah,
1 Penulis adalah Professor pada Universitas Cambridge (Inggris).
Samuel Landell-Mills
sedangkan karisma p r yang bersangkutan jelas kelihatan sedang menjadi hal biasa saja.
Islam, Sufisme, dan P
īr di Benggala
Untuk memahami dengan baik tradisi pengabdian p r di Benggala 2 dan Asia Selatan secara keseluruhan, kita harus melihatnya dalam konteks
penyebaran agama Islam di anak benua itu. Sejarah islamisasi Benggala telah dikaji secara mendetil dan baru-baru ini ditelaah lagi oleh peneliti
lain 3 . Di Benggala pada awalnya Islam adalah agama para penguasa non
pribumi dan kelompok pendatang yang menyertai mereka, namun sejumlah besar kaum petani setempat juga memeluk agama Islam. Hingga kini, seperti diperlihatkan oleh John Thorp (1974) dalam monografi etnografis- nya tentang Daripalla, orang-orang Islam Benggala sering mengaitkan teknik membajak dan budidaya padi dengan masuknya Islam. Richard Eaton (1982a) menyatakan bahwa terjadinya gelombang besar perpindahan ke agama Islam di kalangan penduduk Benggala Timur bertepatan dengan berkembangnya budidaya padi di tepian sungai sejalan dengan meluasnya kawasan delta Sungai Gangga ke arah timur. Ralph Nicholas (1969) telah memerikan “ciri-ciri perbatasan” dari tata letak Benggala dan memper- lihatkan bagaimana hal itu membentuk berbagai aliran keagamaan populer baik Hindu Wisnawa maupun Islam sufi yang telah berkembang subur di daerah pedesaan Benggala.
Sejumlah orang “sufi-panteistis” termasuk dalam rombongan para mubalig yang mengislamkan penduduk setempat (M.E. Haq 1975; P. Hardy 1979) “di bawah perlindungan penguasa-penguasa Islam, meskipun belum tentu dengan dukungan ataupun izin mereka” (R. Ahmed 1988). Asim Roy bahkan menyiratkan bahwa:
agama Islam telah masuk ke kawasan itu melalui pribadi berbagai tokoh Muslim yang nyata-nyata berhasil mengambil dan memadukan peran-peran spesifik yang dituntut oleh keadaan perbatasan setempat. Tokoh-tokoh itu semuanya disebut p r, suatu istilah umum yang di Benggala memiliki makna jauh lebih luas daripada arti dan penggunaan yang lazim diterapkan pada istilah itu… Bagi masyarakat Islam Benggali, keseluruhan makna p r jauh lebih luas daripada sekedar makna pembimbing mistis, wali, dan orang suci. Label p r yang tidak dibatasi penggunaannya itu pada akhirnya mencakup
2 Dalam tulisan ini akan dibedakan Benggala sebagai kawasan sejarah dan budaya, dan Bangladesh sebagai negara kontemporer.
3 Lihat Akter Banu (1988); R. Ahmed (1988); Roy (1983). Menurut sensus tahun 1981, 86,6% dari penduduk Bangladesh beragama Islam.
Tradisi Ziarah Sufi di Bangladesh 311
beraneka ragam “obyek” ritus ziarah… termasuk pahlawan-pahlawan yang didewakan, para pendatang awal yang merintis pemukiman di kawasan delta Sungai Gangga, dewa-dewa Hindu dan Buddha yang dijadikan tokoh suci Islam serta berbagai dewa dan kepercayaan-kepercayaan animisme lainnnya
yang dijadikan berbentuk manusia 4 .
Roy menganggap proses “pirifikasi” berbagai unsur kepercayaan pra-Islam dan bahkan pra-“Arya” sebagai salah satu “kunci” bagi islamisasi masya- rakat Benggala.
Walaupun proses “pirifikasi” juga mencakup fenomena tokoh bukan manusia, proses itu terbentuk dengan suatu idiom antroposentris (menjadikan manusia sebagai pusat) yang khas, karena arketipe seorang pr , pada dasarnya, adalah seorang tokoh suci sufi. Kini tinggal sedikit sekali pemujaan fenomena alam, begitu pula tinggal sedikit dewa-dewa Hindu yang masih dipuja oleh orang-orang Islam 5 . Beraneka objek
pemujaan yang dimasukkan ke dalam kategori p r pada masa-masa berlang- sungnya proses menarik penduduk agar masuk Islam kini telah terlupakan atau terpinggirkan sehingga sama sekali tidak dikenali lagi. Tokoh-tokoh historis yang kini dihormati sebagai p r memiliki identitas Islam yang jelas, apapun sikap mereka terhadap ortodoksi selama masa hidupnya.
Seperti dicatat oleh A. Karim (1959, hlm. 138), lembaga-lembaga (astanah dan khankah, yakni makam keramat dan pondok) yang didirikan dan dikelola oleh para p r dan pengikutnya berkembang menjadi “urat nadi” dari masyarakat Benggali Islam dan tetap berperan hingga kini.
4 Roy (1983, hlm. 50-51). 5 Contoh yang paling baik dari p r yang bukan manusia adalah wali penguasa air
Khaja Kidir [Khwaja Khidlir]. Pemujaannya agaknya lebih sering disebut dalam kajian historis (M.E. Haq 1975; Roy 1983) yang menggambarkannya sebagai obyek penghormatan yang umum, daripada dalam laporan kontemporer (Gardner 1990, 1991), yang menyebutnya sebagai suatu praktik ziarah yang dilakukan oleh kaum perempuan jauh dari mata kaum laki-laki, dan terutama di kalangan golongan masyarakat yang termiskin. Th. Blanchet (1984) menggambarkan bagaimana sekelompok perempuan Islam masih menghormati Lokki (Laksmi) dalam kaitan dengan kelahiran dan rezeki rumah tangga. Di distrik Bogra masih ada keluarga muslim yang menghormati dewa Manasa dalam kaitan dengan gigitan ular. Pada umumnya disadari orang bahwa praktik tersebut dipandang “tidak Islami” oleh beberapa kelompok berpengaruh. Dalam sub-budaya kaum Baul tampak situasi tumpang tindih di antara pengikut agama Islam dan Hindu, meskipun terminologi yang dipakai untuk mendeskripsikan praktik yogi (kadang-kadang) dipinjam dari korpus Islam atau Waisnawa. Bagaimanapun, harus ditekankan di sini bahwa sejak awal islamisasi, unsur-unsur non-Islam telah terjalin dalam kehidupan muslim Benggali dengan cara yang terus berubah-rubah, dan tidak mencerminkan sebuah pola yang ada sebelum kedatangan Islam.
Samuel Landell-Mills
Mafizullah Kabir (1983) mengajukan pendapat bahwa para “sufi prajurit perang” yang hidup berkelana, orang-orang kuat seperti Syah Jahlal dari Sylhet dan Khan Jahan Ali dari Bagerhat mewujudkan rahmat ilahi dengan cara yang paling sesuai dengan lingkungan masyarakat “perbatasan” sampai dengan terbentuknya sebuah negara Benggala bersatu oleh Ilyas Syah pada tahun 1325. Setelah itu, p r yang paling tersohor adalah tokoh- tokoh sufi pemilik tanah yang membukakan lembaga-lembaga mereka kepada masyarakat luas sehingga menarik minat para penguasa berikutnya
untuk menjadi pengayomnya 6 . Sampai dengan abad ke-19, nyaris tidak ada hubungan yang berarti
antara umat Islam pribumi dan ulama-ulama Hanafi yang termasuk kaum pendatang, yang merupakan kelompok elit perkotaan yang melayani para jemaah itu. Yang sangat khas di Benggala ini ialah masuknya Islam ke lingkungan pedesaan, yang menjadikan “agama rakyat” di daerah itu sangat kuat dipengaruhi oleh penghormatan kepada p r. Selain itu, perilaku serta orientasi dari kelompok yang beralih memeluk Islam secara formal itu tidak banyak berbeda dari tetangganya yang tetap menjadi penganut Hindu. Sebagian terbesar penduduk tetap tinggal di pedesaan, dan bahkan sampai abad ke-19, hanya ada sekitar 3-4% penduduk yang bertempat tinggal di kota. Mereka yang mengaku keturunan non Benggali dan mengacu pada tradisi-tradisi kaum Mughal merupakan kelompok tersendiri (R. Ahmed 1988, hlm. 120). Kelompok itu bahkan memakai bahasa tersendiri. Elite para Syarif berbahasa Urdu, bukan berbahasa Benggali “Hindu” setempat. Meskipun demikian, antara Abad Pertengahan dan periode penguasa Mogul, kelompok yang disebut oleh Asim Roy (1983) sebagai “cultural mediators” (perantara kultural) memegang peranan yang amat penting.
“Kompromi-kompromi” (seperti menerjemahkan kitab-kitab agama dan menggunakan ungkapan setempat dalam segala kesempatan) oleh kelompok Syarif yang secara politis berkuasa dikecam dengan pedas oleh sejumlah ulama ortodoks. Ulama-ulama abad ke-16 itu berjuang demi mempertahankan “pola hidup Islami” mereka. Dengan demikian Islam di Benggala dulu harus menghadapi suatu situasi kultural yang sangat kompleks dan beragam. Masalah yang sesungguhnya dihadapi bukanlah apakah perlu menolak semua bentuk kompromi sinkretis, tetapi lebih-lebih menentukan kadar kompromi yang pantas diabsahkan (R. Ahmed 1988, hlm. 127). P r memainkan suatu peran yang secara vertikal mengin-
6 R. Eaton (1978) memberikan kesan bahwa tempat-tempat seperti itu, terutama yang terletak dekat makam tempat diadakan perayaan bernada esktatik, memainkan
peran yang sangat penting dalam proses islamisasi Bijapur, di dataran tinggi Dekkan, India Selatan, pada Abad Pertengahan.
Tradisi Ziarah Sufi di Bangladesh 313
tegrasikan masyarakat Muslim di Benggala, dan peran itu terus berlanjut hingga kini.
Sesuai perkembangan zaman, muncullah beraneka jenis p r, yang masing-masing melayani kelompok sosial tertentu. Yang menyatukan mereka adalah penggunaan nomenklatur sufi institusional serta sikap khas sufi dalam “penyerahan” diri. Kini, sebagai akibat dari berbagai fenomena sejarah dari landreform (undang-undang agraria) yang diterapkan Inggris, sikap Inggris yang mengutamakan kaum Hindu, peraturan-peraturan land reform berikutnya yang membatasi luasnya tanah milik, proses urbanisasi serta kuatnya pemerintah pusat yang menerapkan sistem sentralisasi, maka tidak ada lagi kelas bangsawan Muslim di daerah pedesaan Bangladesh. Artinya tidak terdapat suatu kelas p r yang dapat mengikat petani dengan cara seperti yang misalnya ditemukan oleh beberapa penulis mengenai Pakistan (lihat misalnya Barth 1959). Yang ada sekarang adalah p r yang berfungsi pada tataran nasional atau sebaliknya pada tataran lokal yang paling sempit. Namun, posisi mereka kini ditentang dengan cara yang lebih keras dari masa-masa sebelumnya, baik oleh kaum reformis fundamentalis maupun kaum modernis sekuler.
Pada tahun 1988 Akter Banu telah melakukan kajian statistis mengenai kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik Islam di Bang- ladesh. Akter melakukan penelitian itu dengan mengasumsikan sebelumnya adanya tiga kelompok berikut: Islam rakyat (tradisionalis), Islam ortodoks (reformis), dan Islam modernis. “Islam rakyat”, yang bercirikan keper- cayaan kepada takdir, peranan p r sebagai perantara ilahi dan kebersamaan dengan identitas orang Hindu, didukung oleh 48,2% penduduk di daerah pedesaan, dan hanya oleh 25,9% di daerah perkotaan. “Islam ortodoks”, yang berpangkal pada “gerakan pembaharuan puritan abad ke-19” dan mengutamakan kepatuhan kepada syariat islam, sikap yang tegas terhadap India dan penerimaan fungsi p r hanya sebagai contoh kesalehan dan pembimbing umat menuju Allah, didukung oleh 50,6% orang di daerah pedesaan dan 61,2% di daerah perkotaan. “Islam modernis”, yang berasal dari gerakan pembaharuan Islam Benggali yang menerapkan pendekatan rasionalis Barat terhadap Islam, hanya memperoleh 12,0% suara di daerah perkotaan dan tak lebih dari 1,2% di daerah pedesaan. Penelitian ini dapat dianggap menunjukkan bahwa, di tengah maraknya berbagai gerakan reformis, Islam rakyat traditionalis tetap kuat. “Islam rakyat” terlihat memiliki daya tarik bagi kelompok miskin yang amat besar jumlahnya di daerah perkotaan dan pedesaan. Secara stereotip, kaum muslim ortodoks biasanya diidentifikasikan dengan kaum menengah perkotaan dan kaum menengah atas pedesaan. Sikap “modernis” hanya ditemukan di kalangan kelas atas perkotaan. Karena itu, sang peneliti berkesimpulan—mungkin
Samuel Landell-Mills
dengan agak berlebihan—bahwa “kondisi sosial menentukan kepercayaan religius di Bangladesh” (Akter Banu 1988, hlm. 186).
Seperti diungkapkan oleh Turner (1974, hlm. 52) mengenai wilayah- wilayah lain dalam dunia Islam, konsepsi ke-Tuhanan yang dianut oleh berbagai kelompok muslim berbeda-beda menurut kelas sosialnya. Situasi Bangladesh—untuk mereka yang lebih suka mendekati Allah melalui perantaraan seorang p r—dapat diringkas dengan agak sederhana sebagai berikut: kaum miskin buta huruf tertarik pada sosok manusia yang berfungsi sebagai jembatan menuju Allah yang, meskipun bersifat mutlak, dapat juga “diajak”, dengan cara yang membuat kemahakuasaan Ilahi terjangkau, yaitu sebagai imbalan atas permohonan yang mereka diajukan kepada atasan sosial mereka sebagaimana telah biasa dilakukan dari generasi ke generasi. Kaum menengah yang kian miskin sebaliknya cende- rung menolak p r dan menerima kecaman dari kaum fundamentalis terhadap golongan lapisan atas yang kebarat-baratan, namun ada juga di antaranya yang menjadi pengikut p r mubalig dengan harapan men- dapatkan yang terbaik dari Tuhan yang tidak terbatas kemahakuasaanya: apakah itu balas dendam atau rahmat. Kelas atas kadang-kadang dapat pula berhubungan dengan p r untuk mewarnai kehidupan mereka yang kosmopolitan dan teralienasi itu dengan rasa kedekatan dengan sosok Tuhan yang Maha Akrab, karena bagi mereka Tuhan itulah yang telah mengangkat dan membebaskan mereka dari rawa-rawa kemiskinan maha luas tanpa dasar yang meliputi kehidupan sosial di sekeliling mereka.