Sinkretisme yang Mana?
Sinkretisme yang Mana?
Ragam-ragam agama—termasuk ragam Islam yang melandasi perkem- bangan tradisi ziarah ke makam wali di wilayah Turkik—yang dianut oleh bangsa-bangsa Turkik dan Mongol pada umumnya disebut sinkretis. Penggunaan istilah sinkretis itu, meskipun tepat, harus didefinisikan secara lebih rinci. Satu abad sebelum bangsa Qara-Khan memeluk Islam, bangsa Uigur di Mongolia sudah mengangkat agama Manuisme menjadi agama resmi mereka. Namun peralihan agama tersebut tidak membuat mereka meninggalkan kepercayaan-kepercayaan leluhur mereka. Louis Bazin menulis bahwa, “Agama dengan panggilan universal ini (Manuisme) sesungguhnya adalah suatu agama yang mengkombinasikan dalam suatu
10 Kaum Syiah Isma’iliyah mempercayai bahwa setelah Imam keenam, Ja‘far al- Sh diq, meninggal, hak keimaman menurun kepada cucunya Muhammad bin
Isma‘il bin Ja‘far. Walaupun Isma‘il meninggal lebih dahulu daripada Ja‘far, hak keimaman tetap berada pada jalurnya, bukan berpindah kepada adiknya, M ūs al- K zhim, sebagaimana dipercayai kaum Dua Belas (catatan penerjemah).
Turki dan Asia Tengah 379
konstruksi kompleks dan mempesonakan unsur-unsur dari tradisi-tradisi Buddha, Majusi, dan Nasrani aliran gnostik dengan tambahan-tambahan
baru berdasarkan wahyu yang diterima oleh Manu sendiri 11 . Setelah diusir dari Mongolia menuju Turkestan Timur, bangsa Uigur pada akhirnya
meninggalkan agama Manuisme dan memeluk agama Buddha. Sang Mani diintegrasikan ke agama itu sebagai salah satu Buddha-nya (Manu Burkhan). Kemiripan doktrin yang ada antara kedua agama itu, yaitu kepercayaan akan perpindahan atma dan terutama ciri “agama penyelamatan” yang nampak dengan jelas pada kedua system itu, mem- permudah pembauran itu. Namun kepercayaan-kepercayaan Turkik yang kuno tidak hilang semua. Dewa Langit Tengri tetap dipuja, sebagaimana
juga “tanah serta air suci” (ïduk yer-sub) 12 . Penggunaan nama Tengri dipertahankan di kalangan Mongol Buddha, dan bahkan ditemukan juga, di
samping Allah, di antara suku bangsa Islam Turkik, terutama suku-suku pengembara yang menempati daerah barat dan timur Sungai Sir Daria 13 . Di
Republik Turki sendiri, istilah Tanrï (padanan Tangri dalam bahasa Turki) masih dipakai sebagai sinonim untuk kata Allah 14 .
Di mata Louis Bazin, agama Manuisme Uigur sebenarnya, dan apa pun kecenderungan sinkretisnya, tetap setia kepada doktrin Manu. “Doktrin ini”, tulisnya, “bukanlah sinkretisme kombinatif, yang menggabungkan begitu saja, tanpa mengubahnya, berbagai ajaran religius yang ada sebelumnya, melainkan merupakan suatu penafsiran baru dari ajaran-ajaran itu ke dalam suatu “wahyu tertinggi” yang final, sejenis makrifat sempurna yang membentuk suatu sistem bulat, yang dirumuskan sebagai “penemuan
kembali Kebenaran hakiki” 15 . Sinkretisme pra-Islam ini adalah pertanda bakal munculnya sinkretisme bercorak Islam, dan terutama Islam mistis:
ragam Islam tersebut akan menghadapi kepercayaan-kepercayaan non- Islam seperti agama Manuisme menghadapi kepercayaan-kepercayaan Timur Jauh.
Harus ditekankan di sini bahwa sinkretisme tersebut tumbuh atas tradisi toleransi religius, yang sejak dini merupakan salah satu ciri khas dari bangsa-bangsa daerah steppa, termasuk bangsa-bangsa Turkik dan Mongol. Irène Mélikoff, yang mempelajari gerakan-gerakan religius
11 L. Bazin (1991, hlm. 24). Mengenai agama-agama universal di kalangan bangsa- bangsa Turki dan Mongol, lihat juga J.-P. Roux (1984, hlm. 31-39).
12 Idem, hlm. 33. 13 Penggunaan kata ini untuk menyebut Tuhan banyak ditemukan dalam puisi-puisi
seorang penyair Anatolia, Yunus Emre (abad ke-8). 14 Mengenai sejarah istilah ini, lihat J.-P. Roux (1956).
15 L. Bazin (1991, hlm. 36-37).
Thierry Zarcone
heterodoks dan tradisional di Asia Tengah dan Anatolia, juga mengarisbawahi ciri sinkretis dari sistem religius mereka. Tradisi ziarah ke wali, antara lain, adalah salah satu unsur pokok dari sistem itu. Mengenai Anatolia, dia mencatat bahwa “ciri utama dari aliran Bektasy-Alawi adalah sinkretisme khas bangsa-bangsa pengembara, yang ditemukan juga di antara bangsa-bangsa Asia Tengah yang masih mengagungkan tradisi
leluhur pra-Islam mereka” 16 . Sinkretisme tersebut terutama nampak pada waktu perayaan-perayaan besar bangsa-bangsa itu: perayaan Khidlir yang
berasal dari masa pra-Islam; perayaan Kagant, yang berasal dari tradisi Nasrani (Armenia), perayaan Asyura, yang berasal dari tradisi Syiah, dan perayaan Haftamol, yang berasal dari tradisi Iran 17 . Bila membandingkan
hasil risetnya sendiri dengan hasil kerja peneliti Soviet yang telah meneliti topik yang sama, Irène Mélikoff mencatat bahwa Vladimir Basilov, yang mempelajari kepercayaan-kepercayaan suku-suku Turkmen di Turk- menistan, telah mencapai kesimpulan yang sama. Bahkan Bioubina Oruzbayeva, seorang sarjana Kirghiz, mengatakan kepadanya bahwa “agama orang Kirghiz adalah agama sinkretis yang menggabungkan unsur-
unsur yang berasal dari berbagai tradisi” 18 . Michel Balivet, yang meneliti hubungan antara orang Nasrani dan orang Islam di Anatolia, juga
menemukan pada rakyat kecil Anatolia berbagai ciri yang mirip dengan apa yang dikatakan Louis Bazin tentang orang Uigur, yaitu “suatu kecen- derungan sinkretis yang secara gamblang memadukan unsur-unsur yang
sama sekali berbeda menjadi kesatuan unik yang baru” 19 . F.W. Hasluck, yang mendahuluinya dalam penilitian tentang topik itu, menemukan
berbagai tanda kelanggengan sinkretisme itu pada (bekas) tempat-tempat ziarah Nasrani (pada umumnya makam santo-santo), yang umumnya diambil alih oleh Islam di bawah pengaruh sufi-sufi (darwish) hetorodoks. Hal itu terjadi tanpa adanya tindakan kekerasan apa pun terhadap mereka; bahkan orang-orang Nasrani tetap diperkenankan mengunjungi tempat ziarah tersebut. “Tempat suci yang ambigu itu”, tulis Hasluk, “yang dikunjungi oleh penganut kedua agama, agaknya mengisyaratkan suatu tahap perkembangan tertentu, suatu tahap keseimbangan, dalam proses transisi historis dari agama Nasrani ke agama Islam aliran Bektasyiyah, atau bahkan sekali-kali, apabila situasi politik memungkinkannya, dari Islam Bektasyi ke agama Nasrani”. Transisi itu selalu berlangsung melalui
16 Dalam pengantarnya pada Mélikoff (1992, hlm. 3). Dan lihat terutama Mélikoff (1982, hlm. 379-395) serta E. Esin (1985, hlm. 7).
17 I. Mélikoff (1978, hlm. 273-280). 18 Mélikoff (1992, hlm. 3). 19 M. Balivet (1990, hlm. 109).
Turki dan Asia Tengah 381
identifikasi antara orang-orang suci dari kedua agama tersebut 20 . Fenomena Bektasyiyah-Alawiyah hanya menyangkut bagian barat dari dunia Turkik
(Anatolia dan Balkan); di bagian tengah dan timur dunia itu terdapat beberapa wali yang martabatnya hanya diakui secara lokal (misalnya
Maktum Quli di Turkmenistan 21 ); tetapi ada juga wali-wali, seperti misalnya wali sufi Ahmad Yasaw , yang tersohor dan dijunjung tinggi dari
Kashgar dan Bukhara sampai ke Khwarizm dan Anatolia. Ciri sinkretis dari wali terakhir ini, yang bercorak khas sufi Turkik, sudah dikenal dari
aneka tulisan tentang dia yang sudah terbit 22 . Kini, dia berfungsi sebagai penyambung kultural antara republik-republik berbahasa Turkik dari bekas
Uni Soviet (CIS) di satu pihak dan Republik Turki di lain pihak, bahkan tahun 1993 justru dinyatakan sebagai “tahun Ahmad Yasaw ” di negara-
negara tersebut 23 . Sebelum menjelaskan secara rinci bagaimana tradisi kewalian dapat
tumbuh dan berkembang di lingkungan tersebut, hendaknya pertama-tama kita berusaha memahami bagaimana sinkretisme itu berfungsi dalam kerangka Islam—suatu usaha yang mirip usaha Louis Bazin dalam telaah- nya tentang periode-periode pra-Islam. Menurut saya, konsep kewalian di dunia Turkik adalah hasil dari suatu perpaduan antara dua faktor, kecenderungan perang jihad di satu pihak, dengan semangat gh z -nya sebagai dasar (Ar. gh z adalah pahlawan agama dan kadang-kadang syahid); dan keanggotaan pada aliran sufi di lain pihak, yang peranannya dalam islamisasi Asia Tengah dan peralihan agama banyak raja jauh lebih besar daripada dakwah para ulama. Dalam bagian kedua dari tulisan ini akan kita lihat bahwa cukup banyak sufi penakluk menyertai gerak ekspansi Turki Usmani, terutama di Anatolia; peran serupa dimainkan juga oleh mereka di Turkistan Timur dan di Khwarizm. Mengenai para wali yang statusnya tidak didapatkan melalui perjuangan Islam, tak dapat disangkal bahwa pada umumnya citra mereka lebih rendah daripada ketua- ketua agama ataupun para sufi. Mereka ini biasanya adalah leluhur-leluhur suku bangsa asal (kecuali beberapa di antara mereka yang merangkap syekh sufi), tokoh-tokoh cendekiawan Islam yang termasyhur, atau raja- raja dan tokoh-tokoh politik yang utama. Wali-wali dari kelompok bukan- pejuang ini akan ditelaah secara lebih rinci dalam bagian kedua artikel ini.
20 Hasluck (1929, jilid II, hlm. 564-565, 569-570). 21 Sejumlah artikel mengenai wali itu telah dikumpulkan oleh Meredov &
Kichigulov (1960). 22 Kajian terpenting adalah karya F. Köprülü (1919).
23 Lihat Zarcone (1993c, hlm. 138).
Thierry Zarcone