Makam Historis yang Tersohor
Makam Historis yang Tersohor
Kategori pertama ini sebenarnya hampir tidak mengenai topik kita. Seperti diuraikan dengan tepat oleh D. Gladney (1987, 497-500), daerah pesisir tenggara Tiongkok, di mana praktik-praktik Islam justru paling langka kalau tidak paling terabaikan, memiliki sejumlah makam dan batu nisan Islam, yang kebanyakan berasal dari zaman ketika saudagar-saudagar dan
musafir-musafir Islam datang dari Timur Tengah melalui jalur laut 8 . Makam dan batu nisan itu dinyatakan secara resmi oleh rezim komunis
sebagai peninggalan sejarah dan direstorasi dengan biaya besar pada tahun 1980-an. Sebagai obyek wisata yang ditawarkan pada penanam modal asing beragama Islam, peninggalan-peninggalan tersebut adalah alat politik luar negeri RRC. Dengan demikian orang-orang keturunan Islam setempat ditambatkan pada suatu masa lalu yang untuk sebagian besar bersifat
buatan 9 . Contoh yang paling mencolok dari proses identifikasi “etnis” Islam
yang berdasarkan makam “historis” di atas didapatkan di kota Quanzhou (atau Ch’üan-chou). Kota itu, yang dinamakan Zaytun oleh para geograf Arab Abad Pertengahan dan oleh Marco Polo, sangat kaya atas pening-
galan Arab dan Persia dari zaman itu 10 . Di pinggiran kota, dua kilometer dari tembok keliling kota lama, di suatu bukit bernama Bukit Lingshan
(“Gunung Arwah”), terdapat dua makam yang berada di tengah sebuah
8 Tentang awal Islam di Tiongkok, lihat Leslie (1986). Untuk satu kajian lengkap dan ilmiah tentang prasasti Arab dan Parsi di Fujian (Fuchien), lihat Chen dan
Kalus (1991). 9 Beberapa di antara makam yang disebut historis itu, baik yang sudah direstorasi
maupun yang belum, adalah makam-makam Lingshan (yang akan dibicarakan di bawah) dan pusat-pusat ziarah besar dari Xinjiang (Sinkiang) yang direproduksi oleh Chen & Kalus (1991). Foto makam Lingshan juga dapat dilihat dalam Gladney (1991, hlm. 267).
10 Uraian historis mengenai Islam pada Zaman Pertengahan di kota Quanzhou dan monumen-monumen yang diketahui, lihat Chen & Kalus (1991, hlm. 15-63,80-84);
untuk terjemahan dari prasasti-prasasti makam dan batu-batu nisan, lihat Idem, hlm. 93-257.
Tiongkok 509
gedung yang pugar pada tahun 1962. Kedua makam itu, setidaknya pada awal abad ke-14, pernah menjadi tujuan ziarah dan dalam literatur lokal (non-Islam) dinyatakan sebagai kuburan dua orang sahabat Nabi
Muhammad bernama Sayyid dan Waqqas 11 . Atas dasar identifikasi tersebut, kedua makam itu, dahulu dan apa
lagi sekarang, merupakan unsur pokok dalam cara orang Islam di Tiongkok merekonstruksikan asal historis kelompok mereka sendiri. Demi kebutuhan strategis nasional dan internasionalnya, rezim komunis sejak awalnya mendefinisikan warga yang menyatakan dirinya Islam sebagai “minoritas etnis Hui” dan oleh karena itu mitos-mitos dasar identitas etnis tersebut dibenarkan oleh rezim itu. Bahkan makam-makam Lingshan di atas dicanangkan oleh pemerintah daerah sebagai tempat suci Islam yang ketiga di dunia (Gladney, 1987, 498). Tetapi pada taraf nasional, tradisi ziarah itu, seandainya memang ada, hanya bersifat pariwisata sebab tahun 1950-an pun tempat itu sudah lama tidak dikunjungi lagi oleh orang-orang muslim. Hal itu dibuktikan antara lain oleh renovasi yang diadakan berturut-turut, pada abad ke-18 dan 19, oleh pejabat militer setempat yang tergugah
melihat betapa rusaknya makam-makam itu 12 . Ada sekitar 16.000 anggota marga Ding (Ting) yang menghuni 13
desa dalam kotapraja Chendai (Ch’en-tai) di pinggiran selatan kota Quanzhou. Selama periode Republik Tiongkok (1912-1949), mereka hanya tahu bahwa mereka keturunan seorang leluhur dari Timur Tengah dan mereka tidak menjalankan rukun Islam dan tidak menganggap babi haram, namun kemudian kedua makam di atas dianggap sebagai makam leluhur mereka. Waktu agama Islam kembali diberi keleluasaan oleh pemerintah, tahun 1979, warga Ding itu diakui sebagai etnis “Hui”. Tahun berikutnya mereka memindahkan kuburan-kuburan keluarga mereka ke situs Lingshan yang telah dicap kuburan “Hui”: dengan demikian warga Ding itu secara nyata menerima kedua makam historis di atas sebagai makam leluhur
mereka menurut garis laki-laki 13 .
11 Chen & Kalus (1991, hlm. 18, cat. 11, dan hlm. 44, 216-223), D. Gladney (1987, hlm. 498) telah sedikit lalai dalam hal ini: teks yang mengidentifikasikan kedua
wali itu bukanlah Minshu karya He Qiaoyuan (Ho Ch’iao-yüan, bukan karya He Qiaiyun), melainkan Minshuchao, sebuah buku yang tidak diketahui pengarangnya yang terbit pada tahun 1629. Ejaan Waqq s tampaknya lebih tepat daripada Waggas.
12 Chen & Kalus (1991, hlm. 219-220). 13 Peristiwa warga Ding di atas diceritakan oleh D. Gladney pertama-tama dalam
Gladney (1987, hlm. 498-499) dan kemudian secara rinci dalam Gladney (1991, hlm. 261-273).
Françoise Aubin