T empat-tempat ziarah yang terbesar di Turki tak ayal adalah makam
T empat-tempat ziarah yang terbesar di Turki tak ayal adalah makam
Ab ū Ayyūb al-Ans r di Istanbul serta makam Mavl n Jal l al-D n R ūm di Konya. Namun, yang akan menjadi fokus perhatian saya dalam tulisan ini adalah makam Haji Bektash Wali (H cï Bekt sh Vel ) yang berada di Anatolia Tengah. Kompleks makam ini sesungguhnya tidak kurang penting dari kedua kompleks di atas, baik karena pengaruhnya maupun karena sejarahnya yang panjang, tetapi pilihan saya berdasarkan alasan yang lain: wali yang diziarahi di desa Haji Bektash ini adalah contoh yang khas dari Islam ragam Anatolia, dan jelas lebih khas daripada makam Abu Ayyub (Ab ū Eyyūb) dan Maulana (Mavl n ). Selain itu, makam Haji Bektash adalah tempat ziarah campuran: situs itu diziarahi baik oleh pengikut suatu tarekat sufi, yaitu tarekat Bektasyiyah (Bekt shiyah), yang mengambil namanya dari wali Bektash, maupun oleh suku-suku dan kelompok-kelompok beraliran Alawi, yang pada umumnya adalah keturunan dari suku bangsa pengembara Turkmen. Titik temu antara kedua jenis pengunjung adalah kecenderungan sinkretis agama mereka yang khas Turkik itu. Dalam kajian pendek ini, yang bukan bertujuan membahas tarekat Bektasyiyah maupun aliran Alawi pada khususnya, kami tidak akan memerikan secara mendetil upacara-upacara dari dua kelompok religius di atas, kecuali apabila terkait secara jelas dengan makam yang diteliti ataupun dengan ritus ziarah ke wali yang dimakamkan di situ.
Haji Bektash, Seorang Wali Heterodoks
Sejarah aliran Alawi dan tarekat Bektasyiyah amatlah rumit, dan untuk mengerti peran makam Haji Bektash dalam sejarah religius Turki
Thierry Zarcone
dibutuhkan pengantar historis singkat 1 . Kedua tradisi di atas, baik Bektasyi maupun Alawi, mengakui Haji Bektash sebagai wali pelindung mereka; di
samping itu mereka juga pewaris dari suatu tradisi kultural dan religius di mana lapis Islam tidak gampang menutupi dengan baik lapis bawah keagamaan animis dan syamanis yang lebih kuno. Perbedaan antara kedua kelompok di atas adalah bahwa pengikut Alawi masih terkait dengan dunia suku-suku dan berfungsi sebagai masyarakat tertutup, sedangkan pengikut Bektasyiyah sudah menerima sistem tarekat sejak abad ke-16 dengan di bawah pengaruh B lïm Sult n. Sebagian besar kepercayaan dan praktik religius yang berlaku di makam Haji Bektash Wali didasarkan atas wiracerita sang wali—berjudul Vil yet-n me—yang ditulis pada akhir abad ke-15. Pada bagian ketiga dari kajian ini dikemukakan berbagai segi dari praktik ziarah yang dilaksanakan di makamnya dan di tempat-tempat keramat yang berada di sekitarnya, dan hal itu akan kami lakukan dengan mengacu pada legenda-legenda yang terdapat dalam karya tersebut.
Ragam Islam yang diajarkan oleh Haji Bektash (wafat 1270), yang berasal dari Khorasan (daerah Timur Laut Iran), sering dicap heterodoks, karena interpretasinya yang longgar terhadap ajaran al-Qur’an. Kelima rukun Islam seperti kewajiban haji, puasa, dan salat lima kali sehari, tidak ditaati; sembahyang Jumat di masjid digantikan oleh kaum Alawi dengan berkumpul di “rumah pertemuan” (cem‘evi) yang dihadiri baik oleh laki- laki maupun perempuan. Itulah sebabnya, sampai abad ke-19, tidak pernah dibangun masjid yang sesungguhnya di sekitar makam sang wali. Doktrin
Alawi-Bektasyi pada dasarnya berkembang melalui medium puisi 2 ; itulah sebabnya, sampai abad ke-19, segala jenis doa serta juga ayat-ayat al-
Qur’an yang mengantar permohonan pertolongan kepada wali, pada umumnya dilengkapi dengan puisi-puisi oleh tokoh-tokoh besar kedua
golongan itu, seperti P r Sult n Abd l, Hat y , V r n B b , dan lain-lain 3 . Tampak dengan jelas bahwa penyembahan Haji Bektash memiliki ciri-ciri
sangat khas yang bertolak belakang dengan apa yang biasa ditemukan di dunia Islam.
Kompleks makam (türbe) wali itu dibangun pada tahun 1367-1368 (menurut prasasti pendirian) 4 atas perintah Sultan Gh z Mur d I (yang
1 Kami merujuk kepada karya-karya J.K. Birge (1965); S. Faroqhi (1981); dan terutama kumpulam artikel I. Mélikoff (1992).
2 Lihat antoloji teks-teks puitis Alawi-Bektasyi yang diterbitkan oleh A. Gölpïnarlï (1963a); teks-teks dikelompokkan berdasarkan tema, masing-masing tema mewakili
satu aspek dari dogma mereka. 3 Lih. Y. Ziya (1931, hlm. 57-80); J.K. Birge (1965, hlm. 166 dst.).
4 Lih. H.B. Kunter (1942, hlm. 423); S. Faroqhi (1976, hlm. 184).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 431
memerintah antara tahun 1362-1389) di desa Hacïbetktash, sekitar 10 kilometer dari jalan raya Ankara-Kayseri, ke arah Kapadosia, tempat sang
wali menghabiskan sebagian besar hidupnya 5 . Sebelum dinamai dengan nama sang wali, desa ini bernama H cïm Köyü atau Sulucakaraköyük 6 . Melihat bahwa Haji Bektash wafat tahun 1270 7 , dapat diduga bahwa
kompleks makam dibangun di atas sebuah kuburan sang wali yang lebih kuno. Pada abad ke-15 dan 16, Sultan Bey z d II (yang memerintah antara 1481-1512), seorang penggagum wali itu, menyumbangkan atap timah
hitam yang menutupi kubah 8 . Selain makam Haji Bektash, terdapat juga di tempat yang sama makam B lim Sult n (wafat 1516), seorang pendiri yang
penting dari tarekat Bektasyiyah. Makamnya dibangun pada tahun 1519. Menyusul pemberontakan dari suku-suku pengembara Turkmen yang menggoncangkan kesultanan pada awal abad ke-16, dan karena suku-suku itu terkait erat dengan kompleks makam, maka kompleks itu ditutup oleh
Sultan Selim I (memerintah 1512-1520) dan baru dibuka lagi tahun 1551 9 . Akhirnya beberapa tahun kemudian, pada tahun 1562, sebuah masjid
dibangun di halaman besar (Kirklar meydan) makam Haji Bektash Wali 10 . Keputusan membangun masjid itu harus dilihat sebagai suatu upaya untuk
membuat para peziarah menganut ragam Islam yang ortodoks. Kini, selain prasasti yang menandai pendiriannya, yang tinggal dari masjid tersebut hanyalah sisa puing-puingnya.
Seperti ditulis oleh H mid Zübeyir pada tahun 1926, “pondok (derg h) bukanlah sekadar tempat sembahyang, tetapi juga lembaga
ekonomi” 11 . Pondok menikmati hasil pajak dari beberapa desa yang dihuni oleh suku-suku bekas pengembara, walaupun dari awal sudah mendapatkan
hibah kekayaan yang cukup besar dari sang Sultan. Dari abad ke abad,
5 Menurut wiracerita sang wali; lih. A. Gölpïnarlï (ed., 1958, hlm. 91). 6 H. Zübeyir (1926, hlm. 365). 7 Wiracerita Haji Bektash Wali (abad ke-15) menyebutkan lebih jauh bahwa türbe
itu telah dibangun segera setelah kematian sang wali; lih. A. Gölpïnarlï (ed., 1958, hlm. 91-92); lihat juga S. Faroqhi (1976, hlm. 183-184).
8 Lih. A. Gölpïnarlï (ed., 1958, hlm. 92); I. Mélikoff (1980). 9 Pada masa itu, tepatnya tahun 1519, sebuah masjid dibangun di kampung ini,
walaupun tidak banyak dikunjungi orang; lih. H. Zübeyir (1926, hlm. 375).
10 Menurut sebuah inskripsi; lih. Idem, hlm. 376; C.H. Tarïm (1948, hlm. 115-116); S. Faroqhi (1976, hlm. 187-188).
11 H. Zübeyir (1926, hlm. 366-367) telah merekam kekayaan milik kompleks makam ini pada tahun 1925, ketika disita oleh pemerintahan Kemal; lihat juga H.
Zübeyir (1967, hlm. 22-23).
Thierry Zarcone
kompleks itu tumbuh menjadi salah satu lembaga religius yang terkaya dari seluruh Anatolia 12 .
Pada zaman yang lalu, kepemimpinan dan pengelolaan kompleks diatur—berdasarkan prinsip-prinsip yang belum diuraikan dengan rinci dan bukan tanpa perselisihan—terbagi antara dua kelompok, yaitu keturunan Haji Bektash Wali yang disebut celeb dan diakui sebagai pemimpin utama kaum Alawi di satu pihak, dan para pemimpin tarekat Bektasy , yang disebut dede dan merupakan pewaris spiritual (bukan keturunan) dari
B lïm Sult n, yang juga disebut p r-i s n (guru kedua) di lain pihak. Tidak diragukan bahwa kelompok celeb itulah yang sesungguhnya mengontrol kompleks makam. Pengelola wakaf (mutavall ) dipilih di antara anggota keluarganya. Namun kekuasaan para celeb tidak sekadar ekonomis; mereka juga mengajukan kepada Sultan, supaya disahkan, nama calon syekh untuk semua pondok (tekke) Bektasyi yang tersebar di kesultanan Turki Usmani 13 . Namun, setelah pertengahan abad ke-17, kekuasaan dari
kaum dede meningkat. Kedudukan para dede dan celeb bertahan sampai tahun 1925, ketika tarekat dilarang di seluruh Republik Turki, tetapi keberadaan mereka masih dapat ditelusuri hingga kini, terutama keluarga
celeb 14 . Korps tentara Janiseri mengangkat Haji Bektash Wali sebagai wali
pelindungnya pada abad ke-14; namun, ketika kekuasaan korps tersebut jatuh pada abad ke-19, tarekat Bektasyiyah juga ikut jatuh. Pada tahun 1826, tarekat itu dinyatakan terlarang, syekh-syekhnya dikejar-kejar, celeb -nya diasingkan, kekayaannya disita, dan makam-makam serta pondok-pondoknya diserahkan pengelolaannya kepada suatu tarekat sufi yang tidak diragukan ortodoksinya, yaitu tarekat Naqsybandiyah. Kom- pleks makam dan kuburan Haji Bektash tidak diusik, tetapi larangan tidak dihapuskan sampai jatuhnya kesultanan Turki Usmani. Hal itu tidak menghalangi kaum Bektasyi untuk mengambil alih kembali harta kekayaan mereka, termasuk kepemimpinan pondok (tekke) Haji Bektash, beberapa
puluh tahun saja setelah larangan dikenakan 15 . Namun, sejak zaman larangan itu, timbul beberapa perubahan yang berarti. Pertama-tama, untuk
12 S. Faroqhi (1976, hlm. 183-208). 13 Hal ini tidak selalu memperkuat kedudukan mereka, seperti dalam kasus suksesi
tekke Bektasyi Abu Ayyub di Istanbul, pada akhir abad ke-18, yang menunjukkan bahwa kekuasaan para celeb bukan tanpa soal; lih. S. Faroqhi (1976, hlm. 206- 207); lihat juga komentar F. de Jong (1984b, hlm. 154); dan N. Vatin & T. Zarcone (1995).
14 Lih. karya seorang celeb masa kini, A. Cel lettin Ulusoy (1986). 15 Mengenai sejarah tarekat ini setelah tahun 1826, lihat I. Mélikoff (1983) dan Th.
Zarcone (1993, hlm. 87-118).
Makam Haji Bektash Wali di Anatolia Tengah (Turki) 433
pertama kalinya dalam sejarah makam itu, sebuah masjid dibangun beberapa puluh meter jauhnya dari makam Haji Bektash Wali—masjid yang dibangun pada tahun 1562 tidak diperhitungkan, karena tampaknya lebih mirip suatu ruang pertemuan daripada sebuah masjid. Masjid baru itu
dikenal dengan nama Naqshibendi mescidi (masjid Naqsyiband ) 16 . Gugatan resmi terhadap tarekat Bektasyiyah tahun 1826 menekankan ciri
heterodoks tarekat itu; itulah sebabnya pengelolaan makam diserahkan kepada tarekat Naqsybandiyah yang segera membangun sebuah masjid, sebagai tanda pulihnya ortodoksi Islam di kawasan makam. Namun, kenyataannya berbeda dari yang diharapkan; praktik-praktik heterodoks
semula diteruskan, sedangkan masjid tetap sepi 17 . Selain kedua makam dan masjid, yang baru dibicarakan di atas, dan
yang dicapai melalui tiga gerbang dan tiga halaman tengah, kompleks makam Haji Bektash Wali juga terdiri dari beberapa gedung lainnya. Dimulai dari pintu masuk (çatal kapï) terdapat berturut-turut suatu pesanggrahan (mihm n evi) dan suatu tempat pembuatan roti (ekmek evi) yang dibongkar pada tahun 1927. Kemudian, setelah masuk melalui gerbang kedua (üçler kapï, “pintu tiga orang”), dapat kita lihat— disekeliling suatu “halaman pondok” (derg h avlusu) yang dilengkapi di tengahnya dengan sebuah kolam (havuz) dan satu air mancur (çeshme)— sebuah bangunan besar tempat dapur (ash evi), pesanggrahan lain, ruang pertemuan (meyd n evi) untuk upacara, dan akhirnya tempat tinggal para
dede b b 18 (kiler evi) . Setelah melalui gerbang yang terakhir (alïlar kapïsï , “pintu enam orang”), baru kita sampai kawasan makam, yaitu
makam Haji Bektash Wali dan makam Balim Sultan. Bersebelahan dengan makam yang pertama terdapat juga ruang upacara besar (kïrklar meydanï,
“ruang empat puluh orang”) 19 serta kamar khalwat (çilleh ne). Itulah bagian kompleks yang paling kuno, dan di situlah pula dilakukan upacara-
upacara pertama di masa lalu. Halaman ketiga (Hazret avlusu, halaman orang yang terhormat), hampir seluruhnya dipenuhi kuburan, yang hampir semuanya adalah makam dari anggota tarekat Bektasyiyah. Masih ada beberapa makam lain yang tersebar di sekitar kedua makam di atas, di
16 H. Zübeyir (1926, hlm. 374-375); F.W. Hasluck (1929, jil. II, hlm. 503); B. Noyan (1964, hlm. 29).
17 H. Zübeyir (1926, hlm. 375) menyebutkan bahwa tidak ada komunitas jemaat yang terikat pada masjid itu.
18 Para celeb tinggal di luar kompleks makam; lih. F.W. Hasluck (1929, jil. II, hlm. 504).
19 Mengenai peran angka-angka tertentu dalam tradisi mistis Alawi-Bektasyi, lihat
I. Mélikoff (1962).
Thierry Zarcone
antaranya makam-makam celeb dan dede b b 20 . Para celeb , sebagai keturunan Haji Bektash Wali, banyak dimakamkan dalam ruang Empat
Puluh Orang, sangat dekat dengan makam sang wali 21 . Di sekitar kompleks terdapat juga berbagai tempat keramat lainnya—batu besar, goa-goa, mata
air, dan sebagainya. Tempat-tempat keramat itu terkait dengan kompleks dan merupakan perhentian-perhentian yang harus dilalui oleh peziarah selama perjalanan ziarah mereka. Hal itu akan kami bicarakan pada bagian ketiga kajian ini.