Keramat-Keramat Sufi
Keramat-Keramat Sufi
Makam keramat adalah pusatnya seluruh kehidupan suatu menhuan. Untuk memahami peran yang dimainkan makam keramat dalam kelanjutan sistem sufi, lebih-lebih di Tiongkok dibandingkan dengan daerah lain, harus diingat bobot khusus sistem patriarki di lingkungan sekitarnya, yang diabsahkan oleh pemujaan leluhur dan terutama figur ayah. Harus juga diperhitungkan cara masing-masing tarekat untuk berakar dalam masyarakat Tionghoa. Pada waktu pertama tersebar, pada abad ke-18, tarekat dipandang asing dan aneh, baik oleh jemaat masjid biasa yang
memperjuangkan syariat saja 17 dan oleh pemerintah kekaisaran yang hanya menerima tradisi Islam yang sudah berabad-abad dikenal dan membaur
16 Tentang pemberontakan-pemberontakan dahsyat yang timbul dari persaingan antara dua cabang Naqsybandiyah, lihat Aubin (1990a, hlm. 533-538).
17 Itulah masjid-masjid dari sistem yang disebut gedim di Tiongkok modern (tentang istilah gedim itu, lihat catatan kaki 2 di atas).
Tiongkok 513
dalam masyarakat setempat, maupun oleh tarekat-tarekat yang sudah bercokol sebelumnya. Hal itu berlaku, siapa pun perintis tarekat baru tersebut, apakah seorang mubalig dari Asia Tengah atau Timur Tengah, apakah salah seorang muridnya berbangsa Tionghoa, yang kemudian dianggap oleh keturunan spiritualnya sebagai pendiri tarekat setempat, ataukah seorang muslim Tionghoa yang telah dibaiat dalam tarekat itu ketika berkunjung ke Asia Tengah atau Timur Tengah (pada umumnya di beberapa tempat secara berturut-turut).
Pendiri tarekat itu menentang semua lembaga yang ada sebelumnya di tengah masyarakat Islam Tionghoa; dia pergi dari satu desa ke desa lain, dikejar oleh saingan-saingannya dan oleh petugas setempat, sembari mencari dari kota yang satu ke kota yang lain pendengar yang dia ingin temukan di antara pengikut tarekat-tarekat yang sudah melembaga di bagian barat Tiongkok. Pada saat dia meninggal, sering karena dibunuh tentara kekaisaran, gerakannya belum berakar. Namun beberapa dasawarsa kemudian, bila orang berbondong-bondong untuk menjadi pengikutnya, tarekat itu semakin kukuh. Di tengah-tengah masyarakat Islam setempat, makam tempat terbaring jasad syekh terakhir—yaitu penerus pertama atau kedua dari pendiri tarekat, dilihat dari sudut jasanya—dianggap sebagai penampung karisma tertinggi. Oleh karena itu makam itu mengabsahkan syekh baru untuk memimpin menhuan yang berasal dari tarekat aslinya dan untuk mendidik murid-murid baru. Menurut adat Tionghoa, makam itu hanya dapat dihormati dan ditunggui oleh seorang keturunan almarhum dari garis laki-laki. Oleh karena itu, kepimpinan atas menhuan dengan cepat menjadi turun-menurun meskipun hal itu bertentangan dengan kemauan sang pendiri yang ingin melenyapkan dari tarekat yang mendahuluinya di negeri Tiongkok, suatu tradisi yang sedemikian menyimpang dari ajaran dasar sufi.
Kemudian sebuah bangunan religius didirikan di sekitar makam leluhur itu, terdiri atas sebuah “Bangsal Suluk” (daotang / tao-t’ang) dari syekh baru (yang disebut “Guru Agama” jiaozhu / chiao-chu atau “Ketua Suluk” daozhang/tao-chang), yaitu sebuah bangunan yang berfungsi sebagai tempat pengajaran dan kepemimpinan; kadang-kadang ditambah sebuah masjid, apabila “Bangsal Suluk” itu tidak berfungsi sebagai masjid; tempat penginapan untuk calon-calon pengikut tarekat; ruang untuk menampung peziarah dan sebagainnya. Gedung-gedung tersebut, seperti juga cungkup makam, pada umumnya bergaya khas Tionghoa, baik gaya tradisional di mana keindahan terpusat pada sebuah atap berat berujung lengkung, sedangkan tempat tinggal dibatasi oleh penyekat-penyekat dan kolom-kolom ringan; maupun gaya modern, di mana atap, tetap berbentuk
Françoise Aubin
lengkung, berada di atas sebuah tembok batu yang dilobangi jendela- jendela bundar (lih. Gambar 3).
Di suatu tempat, makam-makam makin banyak dari tahun ke tahun dengan meninggalnya keluarga dekat sang syekh, terutama para perempuan—saudara perempuannya, istrinya (hukum Tionghoa hanya mengakui satu istri saja) dan bahkan selir-selirnya—yang dianggap mendapatkan karisma sang syekh (sekurangnya untuk yang paling saleh dan berbudi baik). Laki-laki lebih muda—adik laki-laki, anak, keponakan, saudara sepupu syekh—yang telah menapaki karir agama, diangkat sebagai pembantu atau reyisi (je-i-ssu, Ar. ra’is) dan ditugaskan oleh syekh untuk memimpin satu kelompok pengikut menhuan yang bisa dekat atau jauh dari
pusat 18 . Setelah wafatnya, para pembantu itu apabila berstatus anak atau cucu, didirikan juga sebuah gongbei. Maka sebuah menhuan baru dibentuk
di sekitar makam baru ini, di bawah pimpinan anak pembantu tersebut, dan menhuan ini dapat berkerja sama, namun lebih sering bersaing, dengan menhuan pendiri di atas.
Bisa saja terjadi, akibat persaingan yang sedemikian rusuh sehingga menimbulkan pemberontakan anti-dinasti, bahwa syekh satu menhuan memindahkan “Bangsal Suluk”nya dan meninggal di tempat yang baru; ataupun bahwa dia dibuang oleh pemerintah dan dikubur jauh dari menhuan nya. Bagi para pewaris syekh yang telah dibaiat, kejadian- kejadian seperti ini merupakan kesempatan yang ideal untuk memisahkan diri, karena masing-masing mereka telah mewarisi sebuah gongbei yang dianggap mengesahkan pendirian suatu menhuan baru. Di pihak lain, para keturunan asli dari orang Tionghoa yang pertama mendirikan tarekat yang bersangkutan—yaitu tokoh yang telah meyalurkan karisma syekh asal atas dasar kebajikannya (dan bukan keturunan)—telah secara terus-menerus menempati kedudukan pembantu (ra’is), seperti juga anak cucu mereka yang dibaiat. Tambahan lagi, mereka juga telah memperkuat hubungan dengan pemegang karisma keturunan tadi melalui pernikahan. Maka
apabila ada kesempatan, mereka pun mendirikan menhuan 19 . Selain itu
18 Harus juga ditambahkan bahwa pada setiap generasi, hanya beberapa putra dan keponakan laki-laki dari syekh yang nyatanya “terpanggil” dan dibaiat, sehingga
dapat menjadi ra’is atau ahong biasa. Yang lain, yang lebih besar jumlahnya, mengelola kekayaan menhuan, dengan memimpin usaha-usaha dagangnya yang dijalankan oleh para pengikut dan murid menhuan, dan yang menjadi sumber penyebaran ajaran sufi di Tiongkok Tengah dan Pesisir, di mana aliran Islamnya lebih formalis dan klasik daripada di Tiongkok Barat.
19 Daftar menhuan berikut lokasinya masing-masing (yang kurang lengkap, sesuatu yang tidak mengherankan melihat kekacauan informasi tentang hal ini) lihat
Gladney (1987, hlm. 518-525) dan (1991, hlm. 385-392).
Tiongkok 515
pula, seorang keturunan syekh, yang tertarik oleh kekuasaan religius, dapat juga menculik jasad suci seorang kerabat di sekelilingnya. Maka kelompok yang kecurian tinggal mengelola gongbei kosong tanpa jasad, sedangkan si penculik sebaliknya memperkuat menhuan pimpinannya dengan jasad tersebut.
Pada abad ke-20 di Tiongkok bagian barat, dunia karisma sangat ramai, dan para pemimpin cabang tarekat berebutan keunggulan dengan menambah-nambahkan jumlah makam keramat di dekat “Bangsal Suluk” tempat mereka tinggal dan mengajar serta di cabang-cabang menhuan mereka yang tersebar di seluruh Tiongkok. Suatu contoh yang baik diberikan oleh perkembangan menhuan-menhuan yang berasal dari Jahriyah (cabang Naqsybandiyah yang aktif dan dikenal dengan cukup baik), terutama menhuan yang dipimpin oleh syekh yang paling mencolok pada periode sekitar tahun 1900, yaitu Ma Yuanzhang (Ma Yüanchang,
1853-1920) 20 . Dia adalah salah seorang syekh tarekat Jahriyah pada generasi ke-7; dia keturunan langsung dari pendirinya, Ma Mingxin (Ma
Ming-hsin, yang dihukum mati pada tahun 1781), dan konon juga pewaris spiritual atas dasar kebajikannya dari syekh ke-5, yaitu Ma Hualong (Ma Hua-lung, seorang pemberontak terkenal sejak tahun 1862 hingga 1871, ketika terjadi pembantaian oleh tentara kekaisaran). Pada dasawarsa terakhir abad ke-19, sambil berusaha memulihkan kekuatan Jahriyah yang hancur berantakan setelah penumpasan pemberontakan tahun 1871-1872 itu, Ma Yuanzhang menetap di Beishan (Pei-shan) atau “Gunung Utara”, di dekat Zhangjiachuan (Chang-chia-ch’uan, kini suatu kecamatan otonom “Hui” di propinsi Gansu Timur, dekat batasan selatan Ningxia), oleh karena para pengikut Jahriyah yang ikut pemberontakan Ma Hualong (syekh mereka yang ke-5) dan luput dari pembunuhan telah ditempatkan kembali di distrik itu oleh pemerintah.
Ketika komunitas itu sudah disatukan dan ditata kembali dengan baik, maka Ma Yuanzhang menyerahkan kepemimpinannya kepada adiknya Ma Yuanchao (Ma Yüan-ch’ao, wafat 1929) yang diangkatnya sebagai ra’is. Pada tahun 1920, ketika kakaknya meninggal, Ma Yuanchao segera menyatakan diri sebagai syekh dari generasi ke-8 di menhuan
20 Tentang kepribadian dan karya-karya Ma Yuanzhang, lihat Aubin (1990a, hlm. 538 dst.) (dengan mengacu pada bibliografi Tionghoa tentang hal ini); catatan
bibliografi dari syekh-syekh Jahriyah, lihat Idem, hlm. 524-528; tabel yang memberikan silsilah patrilineal mereka sebenarnya serta silsilah berdasarkan warisan “pilihan”, lihat Idem, hlm. 530-531; daftar cabang-cabang menhuan Shagou, Idem, hlm. 558; peta lokasi menhuan-menhuan Jahriyah, Idem, hlm. 568.
Françoise Aubin
Beishan 21 . Pengakuannya mempunyai karisma terdukung oleh makam (gongbei) yang dibangun menhuan tersebut untuk menyimpan kepala Ma
Hualong (sedangkan badan syekh ke-5 yang kepalanya dipenggal itu di lain pihak memberi karisma pada gongbei milik keturunan asli syekh itu). Kemudian, untuk melengkapi niatnya itu, dia membangun sebuah gongbei untuk jasad Ma Yuanzhang sendiri, yang dia curi dari makam keramatnya di utara, ketika anak dan pewarisnya tidak ada.
Sementara itu, setelah menyerahkan kekuasaan lokal kepada adiknya pada tahun-tahun terakhir abad ke-19, Ma Yuanzhang berpindah sedikit ke utara, ke sebuah daerah yang kini termasuk Ningsxia Selatan, tepatnya di Shagou (Sha-kou, 40 km dari Xiji / His-chi), di mana dia membangun “Bangsal Suluk”nya yang terakhir. Selama pendirinya masih hidup, menhuan Shagou tidak bersandar pada gongbei setempat, tetapi pada berbagai gongbei tersohor yang tersebar di tengah komunitas-komunitas Jahriyah yang terkait dengannya, misalnya di Pingliang (P’ing-liang, di batasan timur Gansu, yang kini memisahkan Ningxia dari Shaanxi /Shenhsi) yaitu makam syekh ke-2 dari tarekat itu; juga di bagian utara Ningxia, di Jinjibao (Chin-chi-pao, dekat kota Lingwu sekarang) yaitu gongbei dan “Bangsal Suluk” dari syekh ke-4; juga di dusun Honglefu (Hung-lo-fu) tempat syekh ke-5 pernah mengajar dan memimpin perlawanan terhadap tentara kekaisaran pada tahun 1870-1871; dan akhirnya di Lanzhou (Lan-chou, ibu kota Gansu), yaitu dua kuburan kosong sebagai peringatan atas dua orang yang dihukum mati: yang pertama Ma Mingxin di Gerbang Dongshao (Tung-shao-men) dan yang kedua putri angkatnya di Gerbang Jincheng (Chin-ch’eng-men).
Itulah pusat-pusat menhuan Shagou, yang terletak di daerah Tiongkok di mana aliran sufi paling berpengaruh. Namun menhuan itu memiliki ranting-ranting yang sangat jauh, di semua tempat yang pernah dilalui tarekat Jahriyah sepanjang sejarahnya yang kacau balau itu, yaitu di Sichuan (Shuch’uan); juga di Yunnan, tempat kakek dan ayah Ma Yuanzhang dibuang dan kemudian menjadi menjadi ra’is yang amat aktif pada waktu perlawanan bawah tanah dan penindasan pada akhir abad ke-18 sampai paruh pertama abad ke-19, dan di mana setelah wafat, mereka menjadi sumber rahmat dan perlindungan melalui gongbei mereka; juga di Guichou (Kueichou, di barat daya Tiongkok); juga di bagian barat jauh, di Xinjiang (Sinkiang), di sekitar ingatan akan janda Ma Mingxin dan putrinya, yang dibuang oleh pemerintah pada waktu penindasan: sebuah makam didirikan pada tahun 1930 di Ili (Xinjiang Utara) untuk sang janda,
21 Ketika diambil alih oleh Ma Yangchao, menhuan dari Beishan mengambil nama tempat lain, yaitu Xuanhuagang (Hsüan-hua-kang).
Tiongkok 517
yang bunuh diri pada tahun 1872 (di tarekat Jahriyah, bunuh diri adalah kejadian yang lumrah pada waktu penindasan, terutama di kalangan perempuan); sedangkan untuk putrinya yang wafat di daerah Turfan, sebuah makam dibangun pada tahun 1860-an oleh seorang ra’is bawahan Ma Hualong, dan makam itu direnovasi pada tahun 1910 oleh ra’is bawahan Ma Yuanzhang.
Ranting-ranting menhuan Shagou meluas ke timur sampai Manchuria, di mana terdapat makam yang disebut makam dari “Galangan Kapal Kirin” yang menampung jasad syekh ke-2, yang wafat di situ pada tahun 1817, ketika menuju pembuangannya. Ranting-ranting juga ada di Tiongkok tengah, di Henan (Honan), tepatnya di Kaifeng, di sekitar makam seorang syekh ke-6 yang tidak jelas identitasnya; dia meninggal sebagai budak pada tahun 1890 (jasadnya dihormati dalam sebuah gongbei milik syekh dari generasi ke-8 yang keturunan asli dari Ma Hualong, dan syekh itu juga memiliki gongbei selir Ma Hualong). Selain itu, menhuan Shagou juga memiliki cabang di Beijing, di Shandong, di Hebei (Hopei), yaitu di sekitar perusahaan-perusahan milik menhuan itu, di mana murid-muridnya menyebarkan ajarannya. Pada waktu Yuanzhang meninggal pada tahun 1920, putra keempatnya, yaitu Ma Zhenwu (Ma Chen-wu, 1895-1960) mengambil alih kekuasaan di Shagou. Namun dia tidak beruntung karena gongbei ayahnya beberapa waktu kemudian kehilangan jasad, setelah dicuri oleh pamannya, yang juga saingannya dalam hal pimpinan generasi ke-8.
Sejarah ini kelihatan amat rumit padahal hanya merupakan ringkasan dari situasi yang jauh lebih kompleks. Semestinya diuraikan pula menhuan-menhuan kecil yang memisahkan diri dari warisan Ma Yuanzhang pada tahun 1920, menhuan yang dikuasai oleh keturunan Ma Hualong, serta juga menhuan yang berafiliasi baik kepada cabang saingan dari tarekat Naqsybandiyah, yaitu cabang Khufiyah, maupun kepada tarekat Qadiriyah dan Kubrawiyah yang lebih kecil itu. Keempat tarekat itu meliputi seluruh aliran sufi di Tiongkok modern. Pada abad ke-20, pimpinan dan pusat kehidupan dari sufisme ragam rakyat ini menempati kawasan yang terletak di antara Ningxsia, Gansu, dan Qinghai (lihat Peta 2). Kawasan itu amat kecil dibandingkan dengan luasnya benua Tiongkok, membentang dari utara ke selatan sepanjang 350 km antara garis lintang 38 dan 35, dan sepanjang 500 km dari timur ke barat, di antara ujung timur Gansu di sebelah timur dan daerah berpenduduk Tibeto-Mongol di sebelah barat, yaitu sampai 50-60 km dari Danau Köke-n ūr (Qinghai/Ch’inghai dalam bahasa Tionghoa, yang lebih dikenal di Barat sebagai Danau Koukounor).
Françoise Aubin
Di sepanjang kawasan memanjang itu, yang selain sempit juga berbukit-bukit di sebelah barat sedangkan mirip gurun di sebelah utara, masyarakat Islamnya sangat beraneka, sehingga amat sulit diinven- tarisasikan. Komunitas-komunitas masjid yang bukan sufi (gedim) di satu pihak dengan imamnya (ahong) yang dapat menjadi anggota menhuan, tetapi dapat juga menjadi pengikut Ikhwan yang militan, dan komunitas- komunitas menhuan di lain pihak, bercampur-baur satu sama lainnya, baik dari sudut umatnya, atau tanah yang digarapnya, maupun wilayah yang dihuninya. Melihat situasi ini, kita tidak dapat mengetahui apakah tempat- tempat ziarah Islam di bagian barat Tiongkok telah mengambil alih tempat- tempat kultus pra-Islam. Kelihatannya letak makam (gongbei) dan “Bangsal Suluk” hanya ditentukan oleh penempatan geografis dari kelompok kerabat yang memegang pimpinan menhuan, atau oleh faktor kebetulan ketika kelompok itu melarikan diri untuk menghindari penin- dasan politik.
Pendeknya, tempat-tempat ziarah dan ibadah luar masjid yang dikenal dalam Islam ragam Tionghoa meliputi banyak ragam yang berkisar di sekitar konsep “jasad suci”. Bisa jadi, itu adalah sebuah makam sederhana tanpa bangunan khusus, atau makam dengan sebuah bangunan yang kecil atau besar; makam itu dapat berdiri sendiri atau berada di tengah kelompok makam atau bahkan di tengah suatu kuburan Islam umum; sementara jasad yang berbaring di situ atau yang mestinya berbaring di situ—atau bahkan yang diketahui tidak berbaring di situ, atau tidak lagi berbaring di situ oleh karena satu atau lain alasan (pencurian, banjir, kerusuhan militer dan sebagainya)—adalah entah seorang tokoh setengah legendaris bukan sufi dari Tiongkok atau terkadang Asia Tengah atau Timur Tengah, entah seorang kerabat (laki-laki atau perempuan) dari seorang syekh sufi, ataupun seorang murid atau pembantu syekh tersebut. Dengan atau tanpa jasad, makam itu selalu dapat merupakan sumber berkah buat komunitas, baik sufi maupun bukan.
Sebaliknya bagi seorang syekh sufi yang mengasuh sebuah cabang tarekat, tempat suci di mana dia hidup dan di mana ingatan mengenai dirinya kemudian disimpan senantiasa berupa sebuah kompleks bangunan yang kadang kala megah. Misalnya Linxia (Lin-hsia), yaitu Herzhou (Ho- chou) kuno yakni sebuah kota kecil di perbatasan antara Gansu dan Qinghai, di persimpangan jalan perdagangan dan kafilah antara dunia Tiongkok, Tibet (Amdo sangat dekat) dan Mongol. Paling sedikit sejak akhir abad ke-17, kota ini merupakan suatu pusat spiritual utama dari Islam di Tiongkok. Di situ secara berturut-turut telah berkembang—dan telah diberikan cap pengesahannya—semua aliran ortodoks atau sufi yang ada di Islam Tionghoa. Tarekat sufi modern pertama yang ditionghoakan, yaitu
Tiongkok 519
tarekat Qadiriyah, mempunyai tempat suci yang paling luas, yang dibangun di sekitar makam perintisnya di Tiongkok, Qi Jingyi (Ch’i Ching-i atau Hil l ad-D n menurut nama Islamnya, 1656-1719). Tempat keramat itu bernama Da-gongbei, “Gongbei Besar”, yang didirikan di pinggiran kota Hezhou pada tahun 1689. Sekarang kompleks gongbei ini menempati suatu areal seluas 2,7 ha dan mencakup sebuah masjid, sebuah madrasah, sebuah sekolah umum, kantor administrasi menhuan, penginapan untuk pegawai agama dan untuk pengunjung, sebuah kuburan dan, paling di belakang, dikitari oleh sebuah tembok rendah, makam keramatnya (Trippner, 1961, 159-160; Gladney, 1987, 507).
Praktik Ziarah