Tempat Ziarah Pra-Islam
Tempat Ziarah Pra-Islam
Pemanfaatan tempat-tempat ziarah yang lama, pra-Islam atau bukan, oleh agama-agama baru, bukanlah fenomena yang tidak dikenal. Pada intinya setiap agama selalu berusaha untuk menghilangkan bekas-bekas dari agama-agama yang telah mendahuluinya; namun upaya ini selalu diiringi juga oleh suatu upaya sampingan untuk mengambil alih sebagian dari sakralitas daerah yang baru ditaklukkan. Itulah sebabnya tempat ziarah baru sering menempati situs ziarah yang lama. Maka untuk mengerti dasar- dasar dari geografi religius, orang harus memandang ke belakang, sampai beberapa abad sebelum agama-agama samawi muncul untuk pertama kalinya. Situs-situs yang diangkat oleh agama-agama pra-Islam sebagai tempat persembahan dewa-dewa atau roh-roh alam di mana pun mengikuti suatu pola yang universal: tempat istimewa, menakjubkan atau angker; puncak gunung, mata air, sungai, danau, goa, tempat dengan pohon yang
128 F.W. Hasluck (1929, jil. I, hlm. 309-336). 129 Lih. Ab ū T hir Khv ja Samarqand , Samariyye, dalam I. Afsh r (ed., 1988, hlm.
198). 130 Lih. Bennigsen & Lemercier-Quelquejay (1986, hlm. 199); A.Y. Ocak (1983,
hlm. 19).
Turki dan Asia Tengah 409
sangat tua atau dengan batu-batu yang berbentuk aneh, dan lain-lain 131 . Geografi kesucian Turkik, yang berakar dalam dunia pra-Islam, mengikuti
juga dalam garis besarnya pola geografi universal ini. Pada tempat-tempat suci itu harus ditambahkan situs-situs tempat ziarah ke orang-orang suci dari agama-agama yang muncul antara zaman mundurnya kepercayaan- kepercayaan lokal dan zaman Islam. Pengambilalihan, atau dalam bahasa
seorang penulis Azeri 132 , asimilasi (assimilyasija) dari tempat ziarah lama dengan tempat ziarah baru, bagaimanapun juga meninggalkan berbagai
bekas identitas yang sesungguhnya dari tempat yang bersangkutan, apa lagi apabila situs ziarah lama itu diasimilasikan pada zaman yang relatif baru, seperti misalnya gereja-gereja atau kapel-kapel Nasrani di kawasan Balkan.
Di Turkistan Timur misalnya, dekat Kotcho, salah satu goa dari kompleks goa-rumah ibadah Buddha diambil alih oleh sufi-sufi heterodoks
dan kemudian diubah menjadi makam “tujuh qalandar” (Yiti qalandar) 133 . Di Tajikistan, dekat Dushanbe, suatu dewa Majusi kuno diubah menjadi
makam (mazar) Khv ja Ab-i garm 134 . Di Azerbaijan, menurut Alexandre Benningsen, penggunaan istilah ocak untuk menamakan sebuah makam,
sebagai pengganti istilah p r atau maz r, menunjukkan bahwa tempat itu adalah bekas tempat ziarah Majusi 135 . Di Samarkand sebuah biara Nasrani
telah diubah menjadi makam Khidlir 136 . Di Turkmenistan Islam telah mengasimilasikan tempat ziarah dewa-dewa Buddhis atau Majusi. Lihat
misalnya situs D v na-i Burkh di Kohna Urgensy, yaitu dewa pertanian kuno, atau situs Ashïq Ayd n di daerah Tashauz, yaitu pelindung
tradisional dari para musikus 137 . Di Daghestan, di pegunungan Kaukasus, dapat disebut juga makam Vel Kïz, dewi kesuburan kuno, yang terletak di
puncak Gunung Shalbuz Dagh 138 . Di Anatolia, Islam telah mengasimi- lasikan tempat ziarah Nasrani dalam jumlah yang sangat besar, terutama
melalui perantaraan sufisme aliran Bektasyiyah. F.W. Hasluck dan Evstratios Zengine memberikan suatu daftar yang hampir lengkap tentang
131 Lihat bagian-bagian buku F.W. Hasluck (1929, jil. I, hlm. 98-112, 175-225) tentang makam-makam yang dibangun di atas gunung, dekat mata air ataupun
berhubungan dengan pemujaan pepohonan dan bebatuan (juga gua-gua). 132 Ahädov (1991, hlm. 129).
133 Lih. E. Esin (1985, hlm. 19, 29). 134 Bennigsen & Lemercier-Quelquejay (1986, hlm. 210). 135 Idem, hlm. 189. 136 Lih. Muhammad ‘Abd al-Jal l Samarqand , Kandiyye dalam I. Afsh r (ed., 1988,
hlm. 34). 137 Bennigsen & Lemercier-Quelquejay (1986, hlm. 199).
138 Idem, hlm. 183-185.
Thierry Zarcone
gereja-gereja kuno, kapel-kapel, dan biara-biara yang telah diambil alih oleh sufi-sufi Turki 139 .