Perihal Ziarah dalam Kehidupan Beragama
Perihal Ziarah dalam Kehidupan Beragama
Dalam rangka agama Islam di Jawa kini, ziarah memainkan peran yang penting pada dua tataran: kunjungan makam-makam di satu pihak, dan peran ziarah itu dalam kehidupan spiritual di lain pihak.
2 Wali Songo adalah tokoh agama setengah legendaris yang dianggap sebagai penyebar agama Islam yang pertama di Jawa. Sebagaimana ditetapkan dalam
tradisi, jumlah mereka sembilan, dengan daftar sementara sebagai berikut: Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, Sunan Gunung Jati, dan Syekh Siti Jenar. Namun daftar ini dapat berubah-ubah dan tidak dibatasi pada sembilan orang saja: kadang-kadang dicantumkan juga Sunan Majagung, Sunan Sendang Duwur, Sunan Ngudung, Sunan Panggung, Sunan Geseng, Sunan Drajat, dan Sunan Tembayat.
336 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
Indonesia 337
Amat sulit mengetahui dengan tepat jumlah pengunjung makam- makam karena tidak ada data statistik apa pun, termasuk di situs-situs yang paling terkenal. Kalaupun tersedia buku tamu di pintu masuk, ternyata hanya sementara orang saja yang mendaftarkan diri, sedangkan penjumlahan yang dilakukan kemudian bahkan lebih kacau lagi. Jumlah total situs pun mustahil diketahui. Ada puluhan ribu makam keramat di Jawa, yang satu sama lainnya sangat berbeda jumlah pengunjungnya. Situs- situs yang paling terkenal, terutama makam-makam para Wali Songo, dikunjungi oleh peziarah yang datang dari seluruh Indonesia, baik secara perseorangan, berkeluarga atau berombongan 50–60 orang. Lalu lintas peziarah tiada hentinya, terutama pada bulan Rabiulawal, yaitu pada bulan kelahiran Nabi Muhammad saw. diperingati. Di Demak misalnya ribuan pengunjung datang setiap hari selama bulan itu. Di Gunung Jati (Cirebon) dan Gunung Kawi (Malang), jumlah peziarah melebihi 150.000 selama periode yang sama. Di tempat makam Sunan Muria, para pengunjung berdatangan sepanjang tahun dalam jumlah yang sedemikian besar sehingga waktu yang diberikan kepada masing-masing orang untuk berdoa–dikelompokkan dalam grup-grup sebesar sepuluh orang–dibatasi secara ketat hanya empat menit, dan diumumkan dengan bunyi bel.
Di lain sisi, peran praktik ziarah dalam kehidupan beragama dapat didekati pada dua tataran: individual (banyak orang Islam Jawa meng- anggap kunjungan pada makam-makam keramat sebagai suatu tindakan religius yang sama sekali berbeda, dan tidak kurang bermakna, daripada sembahyang berjamaah ke masjid) dan kolektif (selama upacara tahunan “bersih desa”, makam-makam cikal-bakal yang dikeramatkan memegang peranan utama).
Di Jawa pada dasarnya, seorang wali adalah seorang tokoh yang telah berhasil menghimpun dalam dirinya berbagai kesaktian, baik karena bakat lahiriah, maupun sebagai hasil suatu perjalanan batin tertentu. Kesaktian yang tadinya berada dalam dirinya itu kemudian bersemayam pula dalam makamnya. Itulah sebabnya, dengan beberapa perkecualian, ziarah hanya diadakan di satu-satunya tempat, yaitu di kuburannya. Ritus tidak dapat dilakukan di rumah, atau di tempat lain di mana kehadirannya akan dilambangkan dalam bentuk suatu bangunan. Orang harus mengun- jungi makamnya dan mengheningkan cipta di situ, yakni sebenarnya langsung “menghadap” sang tokoh itu sendiri. Gambar tokoh itu tentu saja
tidak ada 3 , dan benda peninggalan yang terkait dengan mereka sangat langka.
3 Namun di toko-toko yang ada di sekitar tempat ziarah yang besar, kini (baru sejak beberapa tahun tampaknya) dapat dibeli berbagai komik dan poster yang
338 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
Kuburan tokoh-tokoh itu disebut dengan istilah umum “keramat” (dari bahasa Arab kar mah jamak kar m t yaitu “keajaiban”) yang di Indonesia menunjuk baik tempat dan benda maupun manusia dan bukan hanya wali-wali Islam ataupun makam saja. Seorang individu yang memiliki kekuatan paranormal disebut keramat, seperti juga suatu perte- muan dengan dunia gaib. Dengan kata lain, terdapat kesinambungan antara makam-makam wali di satu pihak dan tempat-tempat keramat lainnya yang tidak berkaitan dengan sosok manusia.