S alah satu cerita klasik dari kesusastraan Islam Cina adalah kisah-kisah
S alah satu cerita klasik dari kesusastraan Islam Cina adalah kisah-kisah
ziarah haji ke Mekkah, yang ditulis oleh salah seorang penulis yang paling produktif, seorang syekh dari abad ke-19. Namun penulisan tentang ziarah-ziarah dalam negeri tampaknya tidak termasuk dalam tipe tulisan kesusastraan setempat. Maka dengan menyesal kami hanya dapat menya- jikan catatan-catatan dari seorang musafir asing dan lagi bukan muslim, meskipun dia adalah pakar tentang Cina dan bahasanya. Orang tersebut
adalah Rodney Gilbert 1 yang mengunjungi Ma Yuanzhang pada tahun 1918, ketika Sanggar Tarekat Guru itu tidak lagi bertempat di Shagou,
tetapi lebih ke selatan, dekat Zhangjiachuan (kemungkinan besar di lokasi pertama di Beichuan). Pada waktu itu sang Guru tua berumur 65 tahun (dan dia meninggal dua tahun kemudian karena gempa bumi, suatu kejadian yang sesuai dengan tradisi, meskipun secara kebetulan, bahwa sang Guru Jahriyah harus meninggal secara tak wajar). Reputasinya harum dan dia dianggap sebagai “nabi baru” serta tokoh yang “alim” lagi dermawan. R. Gilbert berkenalan secara kebetulan dengan putranya yang ketiga di Lanzhou, yang mengajaknya mengunjungi ayahnya kapan saja dia mau, karena orang suci itu, katanya, menerima tamu-tamu dari mana pun tanpa batasan apa pun.
Datang dari Lanzhou, sekitar 50 km sebelum tujuan, penduduknya kini muslim semua dan pemandangan yang selama itu nampak miskin dan menyedihkan menjadi lebih ceria. Pesanggrahan Zhangjiachuan penuh
1 Gilbert (1919) sudah disebut oleh Aubin (1990a, hlm. 552). Cerita itu diterbitkan dalam sebuah majalah berbahasa Inggris dari Shanghai, yang sulit didapatkan
sekarang. Tentang itu saya hanya dapat catatan-catatan yang telah saya buat dengan cepat di New York Public Library. Saya tidak diizinkan membuat fotokopi dari artikel karena mutu kertasnya yang kurang baik.
Françoise Aubin
peziarah yang hanya memperbincangkan tentang doktrin agama dan kelebihan sang Guru. Mereka berasal dari semua daerah di propinsi Gansu, tetapi ada juga yang datang dari sangat jauh, yaitu dari Nanking, Kwantung, Yunnan di kawasan barat daya, dari Guizhou di selatan, dan bahkan dari Andijan di Asia Tengah di daerah Russia itu. Ketika mendekati rumah orang tua tadi, yang terletak di suatu ketinggian, beberapa kilometer dari Zhangjiachuan, kerumunan peziarah kian besar dan datang dari kedua jurusan jalan. Mereka semua membawa bungkusan, yaitu hadiyah dan pemberian balasan. Dia juga berpapasan dengan keledai- keledai yang mengangkut air dari lembah, karena para peziarah harus berwudu sebelum mengikuti acara doa-doa orang suci itu.
Gedung-gedung penampung peziarah, yang berdiri di teras bertingkat-tingkat, luas, kukuh, dan dirawat dengan baik, tetapi dibangun tanpa pertimbangan keindahan. (Untuk mencapai tempat itu) orang harus masuk melalui sebuah pintu gerbang yang terbuat dari bata dengan daun pintu yang berat. Di kanan kiri gerbang itu terdapat panel-panel yang memuji-muji kebesaran taiye, tokoh besar di atas. Melalui suatu koridor kecil, orang mencapai halaman-halaman bersusunan rumit tempat keledai- keledai ditambatkan. Tidak ada pintu, penjaga, maupun pelayan. Para peziarah bergerak maju dengan semaunya. Terlihat kelompok-kelompok peziarah, 25 atau 30 orang, mendengarkan ajaran yang diberikan oleh ulama-ulama di halaman terbuka. Setelah menaiki tangga, menyeberangi halaman-halaman yang penuh sesak dan naik tangga lagi, R. Gilbert pada akhirnya berhadapan dengan sebuah masjid yang nampak seperti rumah pribadi (tampaknya itulah Sanggar Tarekat, yaitu gedung yang terlihat di belakang sebelah kanan pada Gambar 3 di atas). Peziarah-peziarah tidak memperhatikan masjid itu. Tiba-tiba, semua orang diam. Muncullah seorang tua dengan kepalanya tertutup songkok putih sampai ke alis mata. Dia berdiri dibantu dua ulama, dan para peziarah berlutut serta bersujud di hadapan “nabi baru” itu.
Setelah musafir kita berhasil memberikan—dengan bantuan seorang ulama—kartu namanya pada Ma Yuanzhang, dia disambut dengan sangat ramah oleh syekh tersebut di sebuah ruang yang penuh mebel-mebel Cina. Orang tua itu terutama tertarik pada politik internasional (peristiwa ini terjadi sekitar akhir Perang Dunia I), dan dalam hal itu dia sudah memiliki banyak informasi baru serta pandangan-pandangannya sendiri. Dia nampak sebagai orang terpelajar, sederhana, jujur, dan tanpa berpretensi sebagai orang setengah dewa, seperti dugaan orang. Dia tidak mau difoto dan mengingatkan bahwa gambar-gambar cetak dilarang oleh al-Qur’an. Sebelum pamit, R. Gilbert memberinya sebuah bungkusan anggur. Sekem- balinya di pesanggrahan tadi, R. Gilbert dikirimi berbagai hadiah
Kunjungan R. Gilbert ke Ma Yuanzhang, 1918 529
(bungkusan makanan dan lilin); dan semua pengeluarannya di pesang- grahan dibayar oleh sang syekh, karena selama berada di daerah pimpinan syekh tidak ada satu pengunjung pun yang diperkenankan membayar apa pun. Tidak ada polisi lokal, tapi yang menjabat sebagai penjaga keamanan adalah suatu badan sukarelawan, dan dua di antaranya ditugaskan Ma Yianzhang untuk mengantarkan tamunya sampai ke kota berikutnya.
Itulah satu-satunya kisah ziarah ke wali Islam Cina yang saya ketahui.