Para “Rohaniwan”
Para “Rohaniwan”
Dalam hal para “rohaniwan” yaitu pemimpin ritus ziarah, kaum Syiah amat berbeda dari kaum Sunni. Di kalangan orang Sunni, pemimpin ritus sering kali adalah peziarah sendiri. Pada kesempatan ziarah kolektif, peziarah yang paling dihormati atau yang dianggap paling luas pengetahuan agamanya yang memimpin upacara. Dengan sendirinya, di kalangan kaum sufi, syekh sendiri yang memimpin acara; misalnya, seusai zikir (dzikr) pada hari Jumat pagi oleh para Sy dili di Masjid Umayah, syekh mereka berziarah ke makam “sayyidn Yahy ” untuk memanjatkan doa kepada Allah dengan suara keras; pada setiap permohonan yang diucapkan, murid- murid syekh itu membalas dengan mengucapkan “amin” dengan suara yang keras pula.
Kadang-kadang, para peziarah umum meminta juru kunci setempat, yang disebut kh dim (atau mutawall di Irak), agar menjadi perantara dalam ritus ziarah. Walaupun orang itu tak lain daripada penjaga makam biasa, di mata para peziarah, dia tak terpisahkan dari makam; maka orang
yang berkaul lazim memberikan sesuatu pada penjaga makam 123 . Syekh- syekh buta yang acap berada di dekat makam merupakan pemandu yang
jasanya paling diminati dalam acara kaul; orang-orang membayar nazar
122 Idem, hlm. 759-760. 123 Terutama T. Canaan (1927, hlm. 134).
88 Eric Geoffroy
dengan meminta salah seorang syekh untuk membaca maulud, dan jasa itu dibalas dengan memberikan sejumlah uang 124 . Penjaga makam sering juga
mendapat uang kecil dengan memberikan sedikit berkah tempat yang bersangkutan; maka di makam Ibn ‘Arab , ketika minuman dibagikan oleh kh dim kepada peziarah-peziarah, terasa seolah-olah Syekh al-Akbar sendiri yang menjamu tamunya.
Di makam yang besar jabatan kh dim merupakan posisi yang amat penting dan sekaligus suatu penghormatan untuk orang yang diberi tugas itu. Oleh karenanya, kedudukan itu sering ditempati oleh seorang ulama atau syekh: Ibn Battuta menyatakan bahwa kh dim makam Ibr h m Ibn
Adham di Jabala adalah “orang yang sangat saleh” 125 , dan beberapa di antara kh dim yang menjadi pemandu upacara di kompleks makam Syekh
Arsl n di Damaskus adalah sufi-sufi yang cukup diakui dan dihormati sehingga dimakamkan di kuburan wali itu juga 126 ; penjaga makam yang
sekarang ini adalah seorang ulama dari aliran Sy dili, yang mengajar ilmu agama dan menjual buku-buku di sebuah kios di samping makam. Kh dim dari Makam al-Arba’ n di Gunung Q siy ūn, selain menjalankan fungsi sebagai penjaga makam, juga bertugas sebagai imam masjid kecil dekat makam; dia menjelaskan secara panjang lebar sejarah mitis tempat yang dijaganya ketika bertindak sebagai pemandu; bahkan dia menerbitkan brosur tentang makam tersebut dan tentang tempat-tempat ziarah yang ada
di Damaskus 127 . Kartu namanya, selain memuat berbagai sanjungan- sanjungan terhadap makam yang menjadi tanggung jawabnya, juga
menyebut pembunuhan Habil oleh Qabil, dan langsung disusul oleh nomor telepon dan informasi tentang perhentian bis di mana peziarah harus turun sebelum mendaki lereng Gunung Q siy ūn.
Martabat yang terkait dengan posisi juru kunci (kh dim) menjelas- kan mengapa tugas tersebut diwarisi secara turun-menurun dalam keluarga yang sama. Wajar apabila keturunan seorang wali tetap menjaga makam- nya; beberapa cabang dari keluarga “Jail n ”—seperti yang dikatakan orang di Bagdad—mengurusi makam syekh Q diriyah serta wakaf yang masih ada. Demikian pula, kompleks makam megah Sa’d al-D n al Jibaw yang amat besar, di Jiba, dijaga oleh salah satu syekh Suriah yang terkait
124 Praktik ini, yang sudah dibicarakan tentang Nabi Yahya, terbukti masih dilakukan di makam Kh lid Ibn al-Wal d, di Homs; lihat juga T. Canaan (1927,
hlm. 180). 125 Ibn Batt ūta (1968, hlm. 74).
126 Misalnya Mans ūr Hat b al-Saq fa (wafat 967 H/1559 M) yang merupakan pengikut aliran mistis Syekh Arsl n; lihat Na ğm al-d n al- azz (1945, jil. III, hlm.
210-215). 127 Lih. Muhammad Am n (tth.).
Timur Tengah 89
dengan tokoh tersebut baik sebagai keturunannya maupun melalui pembaiatannya. Sementara di lereng Gunung Sh lihiyah, Syekh R tib al- N bulus masih mengajar di masjid tempat leluhurnya yang terkenal itu dimakamkan.
Jika keluarga penjaga makam bukan keturunan dari wali yang bersangkutan, maka ia kerap kali adalah keturunan Nabi Muhammad sendiri. Para syarif atau “kaum bangsawan” (asyr f) merupakan elite agama atau elite sipil, dan di kota Al Qudus, keluarga Husayn , entah sebagai mufti atau wali kota, selalu memimpin arak-arakan ke makam Nabi Musa. Di Damaskus, kaum Hamzaw -lah yang memimpin upacara para syarif, dan pada kesempatan itu mereka memamerkan sehelai rambut Nabi Muhammad yang disimpan di kompleks makam al-Husayn, di masjid Umayah; upacara ini dilaksanakan dengan amat khusuk, pada tanggal-
tanggal tertentu dari penanggalan Islam 128 . Pada kesempatan itu pula, satu cabang dari Sa‘diyah Damaskus juga memperlihatkan sehelai rambut Nabi
Muhmmad, yang dihadiahkan oleh Sultan Usmaniyah ‘Abd al-Ham d: benda peninggalan (relik) itu diperlihatkan kepada masyarakat umum di
zawiyah “di hadapan pemuka-pemuka agama dan negara” 129 . Keluarga- keluarga tradisional sufi mempunyai pengaruh yang besar di masyarakat;
kita telah melihat di atas betapa penting peran keluarga as n di Ramallah, baik pada waktu penyelenggaraan mawsim Nabi Sh lih, maupun dalam hal pengelolaan tanah dan zawiyah yang konon merupakan warisan Ab ū Yaz d al-Busth m . Namun martabat ada tuntutannya, dan, seperti keluarga- keluarga besar lainnya, keluarga as n sampai saat ini masih memberikan makanan pada para peziarah; namun tingkah laku seperti ini tentu saja cenderung berkurang, melihat makin berkurangnya atau bahkan meng- hilangnya wakaf.
Di kalangan Syiah, dapat dikatakan memang ada kelompok “rohaniwan” atau imam yang bertugas di tempat-tempat ziarah. Berziarah ke imam betul-betul dilembagakan dan bahkan dianjurkan oleh para ulama (mullah). Mereka itu pun bahkan menyusun buku-buku kumpulan doa yang khusus untuk masing-masing makam, seperti juga untuk anggota-anggota keluarga Nabi yang dimakamkan di Damaskus. Imam-imam Syiah—yang pada umumnya berkebangsaan Iran—menuntun rombongan peziar h. Dalam masjid Umayah, kami sendiri telah menyaksikan bagaimana para peziarah itu mengulang-ulang zikir dengan tuntunan ulama (mullah) yang dilengkapi pengeras suara. Di makam-makam Irak, para “sayid” (atau sayyid , sebutan Syiah untuk keturunan Nabi Muhammad) mempunyai
128 Lihat M
ūn r Kayy l (tth., hlm. 109); tradisi ini masih dipertahankan sampai kini. F. De Jong (1986, hlm. 212).
90 Eric Geoffroy
wewenang penuh atas makam, yang bahkan melebihi wewenang negara; dengan kepala ditutup sorban yang khas (tarbusy), mereka mengawasi pintu masuk dan menjaga agar para peziarah berperilaku baik. Para pemandu kadang-kadang membagi-bagikan potongan kain hijau, disebut èlag di Irak, yang oleh para peziarah diikatkan di pergelangan tangan atau di pagar makam. Pada abad ke-19, pengelolaan dan perawatan makam Syiah Irak berada di bawah tanggung jawab seorang penjaga, kalidar, yang dibantu oleh sejumlah pelayan (kh dim). Jabatan ini, yang ditempati oleh orang yang ditunjuk penguasa, tidak terkait dengan otoritas agama dan oleh
karena itu dapat dipegang oleh orang Sunni 130 . Pada akhirnya perlu dicatat bahwa di dekat tempat-tempat ziarah penting di pegunungan kaum Alawi
di Suriah, bermukim seorang syekh yang mengurus makam dan mengatur kunjungan para peziarah.