SEPUTAR MAKAM KIYAI TELINGSING DI JAWA TENGAH
SEPUTAR MAKAM KIYAI TELINGSING DI JAWA TENGAH
Denys Lombard 1
K ota Kudus di bagian utara Propinsi Jawa Tengah—tidak jauh dari
Gunung Muria dan dekat Demak dan kota metropolitan Semarang— ternama karena pabrik rokok kretek 2 yang banyak jumlahnya serta
arsitektur bata masjid agungnya yang bergaya Majapahit 3 yang melam- bangkan secara visual peralihan dari agama Hindu ke Islam, sehingga
mengingatkan (dalam batas tertentu) nasib masjid agung Cordoba yang diubah menjadi katedral. Kota Kudus, yang mengambil namanya dari al- Quds, yaitu nama Yerusalem dalam bahasa Arab, sudah lama dikenal
sebagai kota suci 4 . Dekat masjid agungnya terdapat makam Sunan Kudus, salah seorang mubalig utama pada abad ke-16, yang membantu penguasa
Demak mendirikan kesultanan yang pertama dan yang mendakwahkan ajaran agama Islam di daerah sekitarnya. Makam keramat besar lainnya adalah makam Sunan Muria, yang terletak di puncak Gunung Muria, sekitar 20 kilometer dari Kudus.
Kompleks makam Kiyai Telingsing tidak seramai itu. Masjid kecil serta makam yang membentuk kompleks itu terletak jauh dari keramaian
1 Waktu menulis karangan ini, Prof. Denys Lombard adalah profesor di École des Hautes Études en Sciences Sociales (EHESS) dan direktur École française
d'Extrême-Orient (EFEO), Paris. Prof. D. Lombard meninggal pada awal tahun 1998.
2 Tentang industri rokok kretek, lihat L. Castles (1967). 3 Setahu kami, belum ada kajian arsitektural tentang masjid yang luar biasa ini,
yang nampak sebagai suatu bangunan bergaya campuran yang menggabungkan unsur-unsur arsitektur batu bata “ala Majapahit” (terutama pada menara yang terkenal serta berbagai candi bentar) dengan unsur-unsur yang jauh lebih modern (dari abad ke-19 dan ke-20) termasuk sebuah kubah. Tidak jelas apakah gedung ini berupa suatu bangunan Hindu yang dirubah atau sebuah masjid kuno yang dimodifikasi pada periode mutakhir.
4 Lihat M. Bonneff (1980).
Denys Lombard
pusat Kudus, dekat sebuah sungai yang kini mengalir di sebelah barat kota dan dulu mungkin sekali merupakan pusat lalu lintasnya. Kampung tempat kompleks itu disebut Kampung Sunggingan, yaitu “kampung tukang kayu” (dari kata sungging, juru ukir dan tukang kayu) karena menurut cerita lokal, Kiyai Telingsing adalah tukang kayu keturunan Tionghoa yang sesungguhnya bernama The Ling Sing. Dia hidup pada zaman Sunan Kudus dan, sebagai sahabatnya, dia konon membantunya menyiarkan agama Islam di daerah itu serta juga menyebarkan teknik-teknik perkayuan.
Tidak ada sumber sejarah satu pun tentang tokoh yang khas ini dan rujukan bibliografis pun sangat minim. Dia disebut sekilas oleh de Graaf dan Pigeaud dalam karya mereka tentang “kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa” 5 , dan kami hanya berhasil menelusurinya dalam buletin Piti (Persatuan Islam Tionghoa Indonesia) 6 . Melihat betapa peka masalah “Islam Tionghoa” di Nusantara 7 serta betapa rumit masalah di sekitar sejarah peralihan teknologi dari Tiongkok ke Jawa 8 , cukup berfaedah
kiranya kalau memperhatikan makam Kiyai dan tukang kayu dari utara itu. Untuk pergi dari Masjid Agung ke Kampung Sunggingan, jalan yang paling mudah adalah melalui Jalan Dr. Wahidin. Dekat No. 86 jalan itu terdapat suatu peninggalan yang aneh dan sama sekali tidak dikenal yang disebut masjid bubar, maksudnya “masjid runtuh”. Hanya tembok barat dan selatan yang masih tersisa pada gedung kecil dari bata dan bersegi panjang itu (lihat foto). Pada tembok barat dapat dilihat apa yang tidak syak lagi merupakan bekas sebuah mihrab: keadaan bagian dalamnya cukup baik, sedangkan dari luar jelas terlihat bagian tembok yang menjorok ke luar. Hiasan bangunan itu, terutama pola bersegi enam yang
juga terdapat di Sendang Duwur dan Mantingan 9 patut diteliti, namun tak dapat diragukan bahwa situs ini adalah sejenis mushola dari abad ke-16,
meskipun gayanya khas Majapahit.
5 Lihat H.J. de Graaf & G.Th. Pigeaud (1974, hlm. 97 dan cat. 98). 6 Lihat “Kyahi Telingsing awal Islam”, dalam A. Syamsudin (ed., 1972, hlm. 115-
118). 7 Lihat D. Lombard & Cl. Salmon (1985).
8 Lihat D. Lombard (1990, jil. II, bab berjudul: “Le legs chinois”, hlm. 213-282). Dalam buku terjemahan Indonesianya (2005, Bab II berjudul “Warisan Cina”, hlm.
243-337). 9 Kedua bangunan Islam ini (yang sayangnya telah dipugar secara berlebihan
hingga struktur asalnya terombak) adalah yang paling kuno di pesisir Jawa. Pola dekoratif bersegi enam, yang kadang-kadang seperti di sini dihiasi suluran berlekuk-lekuk, terdapat juga di Sendang Duwur dan di Mantingan, serta juga di makam-makam paling kuno dari para sunan Giri (dekat Surabaya). Tentang Sendang Duwur, lihat Uka Tjandrasasmita (1975).
Seputar Makam Kyai Telingsing 369
Selain pola-pola bersegi enam di atas, yang menurut kami adalah tanda pengaruh dari “utara”, tidak ada alasan untuk mengaitkan masjid bubar ini dengan Kiyai Telingsing, maka mari kita melanjutkan perjalanan sampai ke Masjid Kiyai Telingsing, dua ratus langkah ke selatan. Sayangnya masjid itu telah dipugar seluruhnya pada bulan Mei 1984 sehingga bangunan modern yang ada sekarang ini tidak mengandung
informasi tentang bentuk aslinya. Bedug dan tongtong 10 pun, yang dipasang sejajar untuk memanggil jemaah agar bersembahyang, sama sekali baru.
Makam Kiyai Telingsing terletak beberapa langkah dari masjid itu, di batas Kampung Sunggingan, dan sangat lain keadaannya. Dilihat dari luar, makam itu tampak seperti bangunan besar biasa berbentuk huruf T dan tertutup oleh atap dari genteng biasa. Namun ternyata bangunan itu sesungguhnya adalah sebuah cungkup 11 modern yang menutupi dan melin-
dungi beberapa unsur yang jauh lebih kuno. Tertulis di dalamnya bahwa keramat itu telah dipugar pada tanggal 29-4-1964, tetapi sulit diketahui apakah cungkupnya dibangun atau hanya diperbaiki pada waktu itu.
Seluruh bangunannya didirikan menurut sebuah poros utara-selatan. Bagian kuno merupakan suatu ruang inti berbentuk memanjang dan suatu serambi. Dalam ruang inti terdapat dua makam, yaitu makam Kiyai Telingsing dan makam salah seorang sahabatnya yang tampaknya tidak dikenang lagi namanya. Tidak ada makam dalam serambi, tetapi terdapat dua buah lagi di sisi kirinya dan sebuah lagi di sisi kanannya. Serambinya dikelilingi dua deretan tembok rendah (1,5 m) dari batu bata yang diselingi oleh pilar-pilar dari batu bata juga yang bagian atasnya secara kasar berbentuk limas. Kita teringat pilar-pilar serupa di Masjid Panjunan di
Cirebon 12 . Kedua tembok itu tak terputus di sebelah kiri (barat), tetapi di sebelah kanan (timur) disela oleh sebuah tempat wudu kecil, dengan
sebuah bak air yang airnya datang dari sebuah sumur di luar.
10 Bedug (sebagai gendang besar yang dipasangi kulit hewan [sapi atau kambing]) ada di mana-mana, sedangkan tongtong lebih jarang. Tongtong (kentongan) ialah
tabuh yang terbuat dari sepotong batang pohon yang diambil bagian tengahnya dan dipukul dengan sebuah palu kayu. Di sejumlah masjid di Pesisir, kita masih dapat melihat sejenis tongtong berupa ikan (yang kemungkinan besar berasal dari muyu atau “ikan kayu” yang ada di klenteng-klenteng Tionghoa).
11 Cungkub dalam bahasa Jawa setempat. 12 Tentang masjid yang sangat menarik ini, yang kemungkinan besar dibangun juga
pada pertengahan abad ke-16, lihat terutama: L.F. Brakel & H. Massarik (1982, hlm. 119-134).
Denys Lombard
Masjid Bubar di Kudus.
Makam Kiyayi Telingsing.
Seputar Makam Kyai Telingsing 371
Makam-makam telah dipugar tak lama berselang dan kini tertutup tegel putih. Pada batu nisan, yang biasanya diselubungi kain putih, tidak terlihat tulisan atau motif hiasan yang berarti. Dari sudut informasi, nol.
Namun kemiripan dengan tembok Masjid Panjunan di Cirebon sangat mencolok dan patut dipertimbangkan. Nama Sunggingan berasal dari sungging, yaitu tukang kayu, sedangkan nama Panjunan berasal dari jun yang dalam bahasa Jawa berarti sejenis guci besar. Dengan demikian ada dua kampung pertukangan, yang pertama di Kudus untuk tukang kayu
dan yang kedua di Cirebon untuk tukang gerabah 13 , di mana pada pertengahan abad ke-16 didirikan dua bangunan religius dengan gaya
arsitektur yang serupa. Suatu unsur lain harus diperhatikan, yang juga terkait dengan Tiongkok, yaitu kunci dari kayu di pintu serambi Telingsing yang sangat
khas dan jelas memperlihatkan pengaruh dari “utara” 14 . Kalau sampai di sini saja, Kiyai Telingsing tetap kabur sosoknya,
dan kami boleh dikecam karena membesar-besarkan beberapa petunjuk sepele.
Tetapi sang juru kunci, yang tergugah melihat seorang asing asyik menaruh minat pada sang walinya, tiba-tiba mencarikan satu naskah berupa dua halaman ketikan yang tertanggal 8 Rabiulakhir 1406 (20 Desember 1985) dan ditandatangani oleh Haji Zawawi Mufid, pengurus Yayasan
Pendidikan Islam Kyai Telingsing 15 . Di atas kertas bermutu bagus dan berkop surat yayasan itu (yang
didirikan di depan notaris pada tanggal 5 Februari 1974 dan beralamat di Sunggingan 156, Kudus) dikisahkan “riwayat hidup Mbah 16 Kyai
Telingsing”. Berikut ini adalah beberapa kutipan dari naskah itu 17 :
Jauh sebelum Kerajaan Islam Demak didirikan, suatu peristiwa menggem- parkan daerah Kudus.... Pada satu hari, ketika Kanjeng Sunan Sungging
13 Sebenarnya di kota Kudus sendiri terdapat kampung Panjunan (catatan penerjemah).
14 Kunci kayu itu langka di Jawa dan hanya ditemukan di tempat-tempat yang mengalami pengaruh besar dari Tiongkok. Misalnya kami telah melihat kunci
serupa di rumah-rumah petani peternak babi di daerah Cibinung (Jawa Barat), yang asal Tionghoanya diketahui dengan jelas.
15 Masjid Kiyai Telingsing, yang wakafnya menurut juru kunci pernah digugat pada tahun 1964, kini mengelola juga satu madrasah kecil yang mempunyai 25 murid.
16 Seperti Kiyai, Mbah adalah panggilan kehormatan untuk seorang “guru”. 17 Kutipan-kutipan di bawah ini diterjemahkan kembali dari bahasa Prancis
berhubung teks aslinya telah hilang (catatan penerjemah).
Denys Lombard
sedang main layang-layang 18 , dia tiba-tiba ingin menjelajah seluruh Nusan- tara. Maka dia memanjat benang layang-layangnya....
Ketika The Ling Sing sudah dewasa, pada suatu hari ayahnya berkata kepadanya,
• Jika kau ingin menjadi orang baik di dunia ini dan di akhirat, kamu harus ikut jejak saya.
• Apa yang ayah maksud? •
Kau harus pergi ke negeri Nusantara, karena saya pernah hidup di sana.
Maka berangkatlah The Ling Sing dan sampailah ke tempat tersebut. Lalu dia mulai berdakwah, tetapi itu bukan hal yang mudah karena agama Hindu masih bercokol di seluruh daerah Kudus.
Kerajaan Majapahit runtuh pada tahun Saka 1400 (yaitu tahun 1478 Masehi) 19 dan rajanya yang terakhir adalah Raja Brawijaya Kelima. Kemudian anaknya, Raden Patah, mengambil alih kekuasaan dan mendirikan Kerajaan Demak, yaitu kerajaan Islam yang pertama dan pusat penyebaran agama Islam…
Pada suatu hari semua wali 20 bermusyawarah, yaitu Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Demak, dan lain-lainnya... dan mengambil keputusan untuk mengangkat Jafar Shodiq sebagai Sunan Kudus. Maka Sunan Kudus mulai berdakwah di daerah Kudus dan segera bertemu dengan “kakaknya”, yaitu Ki Ageng The Ling Sing (atau Mbah Kiyai The Ling Sing) yang telah berdakwah lebih dulu di daerah itu. Dengan memakai berbagai taktik dan strategi yang berani, mereka bersama- sama berhasil mengislamkan seluruh daerah tersebut. Berita tentang sukses dakwah mereka terdengar oleh wali-wali lainnya yang segera datang ke Kudus. Maka Sunan Bonang memutuskan agar Sunan Kudus menjadi wakil resmi Demak di daerah itu…
Pada satu hari, ketika Sunan Kudus menjamu beberapa tamu dari Tiongkok, dia meminta The Ling Sing agar membuatkan mereka sebuah
18 Menarik juga bahwa layang-layang disebut di sini, karena merupakan barang yang asalnya khas Tionghoa (lihat D. Lombard 1990, hlm. 269; terjemahan
Indonesia, 2005, hlm. 317).
19 Yang dikutip di sini lagi-lagi versi tradisionalnya. Sesungguhnya Kerajaan Majapahit bertahan sampai awal abad ke-16. Pernyataan berikutnya juga bertujuan
memperkokoh legitimasi Demak, yaitu cerita yang menampilkan Raden Patah, penguasa Islam yang pertama di Demak, sebagai putra Raja Brawijaya Kelima, raja terakhir Kerajaan Majapahit. Raden Patah memang tokoh bersejarah tetapi Brawijaya diragukan historisitasnya.
20 Maksudnya Wali Songo yang dianggap telah memperkenalkan agama Islam di Jawa. Berbagai tradisi mengisahkan bahwa mereka lazim mengadakan
musyawarah, umumnya di masjid agung Demak, untuk mengambil keputusan secara mufakat.
Seputar Makam Kyai Telingsing 373
hadiah yang sesuai. The Ling Sing membuat sebuah kendi 21 , yang hiasannya terletak di bagian dalam. Ketika Sunan Kudus melihat kendi itu yang
tampak biasa saja, dia marah dan melemparkannya ke tanah. Kendi itu terbelah, dan barulah kelihatan kaligrafi yang ada di dalamnya, termasuk kalimat syahadat. Sunan Kudus mafhum. Walaupun pengetahuannya tentang agama dan tasawuf lebih tinggi, sudah jelas bahwa Kiyai The Ling Sing adalah gurunya dalam hal kewalian....
Teks di atas—yang betapapun barunya, adalah teks yang paling menarik yang kami temukan tentang Kiyai Telingsing—bukan hanya menceritakan bahwa Kiyai Telingsing adalah seorang keturunan Tionghoa semata-mata, tetapi juga bahwa dia adalah pendakwah agama Islam yang pertama. Dia digambarkan sebagai anak seorang bernama Sunan Sungging (apakah orang Jawa atau orang Tionghoa?) dengan seorang perempuan Tionghoa. Dia lahir di negeri Tiongkok dan disuruh oleh ayahnya datang ke daerah Kudus untuk menyebarkan agama Islam, sebelum para wali pertama mulai berdakwah dan sebelum kesultanan Demak didirikan. Sementara Sunan Kudus yang—patut diingat—dipandang sebagai salah seorang tokoh mitis utama dari sejarah penyebaran agama Islam di Jawa, dan tidak syak lagi merupakan tokoh kota Kudus yang paling tersohor, ternyata dalam cerita di atas tampaknya dia memandang Kiyai Telingsing sebagai “kakak” dan gurunya.
Kunjungan singkat pada makam Kiyai Telingsing ini memang tidak banyak menambah pengetahuan kita tentang praktik Islam di Jawa. Dari sudut agama, makam ini tidak banyak berbeda dari makam-makam keramat lain, dan kelihatan tidak akan menjadi tujuan sebuah ziarah besar seperti
misalnya keramat Sunan Muria 22 . Menurut juru kuncinya, ada juga sejumlah peziarah perorangan yang datang dari Surabaya, Bandung, atau
bahkan dari Sumatra, tetapi “belum ditetapkan hari ulang tahunnya”. Namun demikian, situs ini menarik untuk informasi tidak langsung
yang kita dapatkan tentang keikutsertaan orang Tionghoa dalam proses islamisasi pesisir utara Pulau Jawa, sebuah masalah yang tiada habis-
21 Kendi adalah tempat minum dari gerabah yang dipakai untuk minum secara bergilir. Kendi umum berbentuk lonjong dan bercerat khas, tampaknya mulai
tersebar pada zaman yang sama dengan agama Buddha. 22 Lihat C. Guillot & H. Chambert-loir (1993, hlm. 97-110).
Denys Lombard
habisnya menimbulkan kontroversi... Kisah menarik mengenai Kiyai Telingsing di atas, yang masih diceritakan pada tahun 1985, adalah juga contoh yang mempesonakan tentang kelanggengan ingatan kolektif satu
kelompok masyarakat 23 .
23 Kerajinan kayu telah hilang di daerah Kudus (bisa diamati bahwa tema itu pun lenyap dari versi baru cerita tentang Telingsing, yang diperkenalkan sebagai
pembuat kendi), namun kerajinan itu merupakan salah satu kegiatan pokok kota Jepara, yang terletak di pinggir laut, kira-kira 35 km ke sebelah barat laut. Sedangkan kota Kudus kini membanggakan kerajinan lain, yang juga berasal dari Tiongkok, yaitu kerajinan bordir.