Ziarah ke Makam-Makam Keramat

Ziarah ke Makam-Makam Keramat

Makam-makam membuka lebih banyak peluang buat pengunjung untuk memanipulasi kekuatan gaib. Yang dimaksud di sini bukan saja makam yang terkait dengan Bangsal Suluk para syekh ketua menhuan, yang citranya ditentukan oleh martabat syekh-syekh tersebut yang hidup dalam kefanaan. Lebih akrab buat para peziarah adalah makam (gongbei) kerabat- kerabat para wali, baik wali yang hidup maupun yang sudah mati, yang tersebar di pedesaan, serta makam kecil lokal, juga di pedesaan, dari wali- wali bukan sufi yang setengah anonim. Fungsi “kekasih” Allah yang telah mati itu ialah memenuhi permohonan-permohonan duniawi dari umatnya. Semua kesaksian mencatat kehadiran banyak perempuan di makam-makam pedesaan itu; mereka memohon kelahiran seorang anak laki-laki, entah untuk mereka sendiri atau untuk putrinya, atau memohon penyembuhan penyakit seorang anak. Apakah ini merupakan hasil pengaruh dari praktik- praktik yang umum di kuburan keramat di bagian lain dunia Islam? Belum tentu. Kalau diingat bahwa masyarakat Islam di Tiongkok Timur untuk sebagian besar bertumbuh oleh karena orang-orang muslimin mengambil gadis-gadis desa dari daerah sekitarnya sebagai istri atau selir menurut hukum Tionghoa, maka timbul pertanyaan, apakah perempuan yang berdoa di makam-makam itu—atau paling tidak sebagian di antara mereka—tidak melanjutkan praktik-praktik agama rakyat pra-Islam yang merupakan latar belakang pendidikan mereka sebagaimana diberikan oleh ibu atau neneknya.

Ketika sebuah keluarga mengangkat seorang wali yang dikubur di sebuah makam keramat sebagai leluhurnya dan menziarahinya sebagai- mana lazimnya leluhur, maka keluarga itu melanjutkan suatu perilaku yang lumrah di tengah masyarakat Tionghoa tradisional. Menyalakan batang- batang dupa yang ditancapkan di pasir, seperti dilakukan di tengah makam terbuka atau di depan pintu makam tertutup, juga mengingatkan suatu praktik pokok agama Tionghoa rakyat. Kesimpulannya, praktik ziarah makam seperti ini di bagian barat Tiongkok, di mana kepadatan penduduk muslim mendorong komunitas-komunitas Islam untuk hidup terpisah-pisah, sesungguhnya menunjukkan bahwa lingkungan budaya Tionghoa tetap membekas pada wujud luar praktik ziarahnya.

Tiongkok 523

Tanda lain dari integrasi masyarakat Islam pada masyarakat sekelilingnya nampak pula dalam perkembangan spiritual dan ekonomisnya pada tahun 1980-an, pada masa liberalisasi pasca-Mao. Pemugaran makam- makam keramat serta kebangkitan kembali dari praktik ziarah adalah salah satu tanda yang paling mencolok dari pembaharuan Islam pribumi Tionghoa, bertentangan dengan perkembangan fundamentalisme yang amat dipengaruhi oleh Saudi Arabia dan Timur Tengah. Pada saat meneliti gerakan sufi di Tiongkok barat laut, Dru Gladney (1987, hlm. 506 dst.) dibuat terkejut baik oleh perusakan-perusakan yang dilakukan oleh radika- lisme Mao, maupun oleh kecepatan situasi dipulihkan setelah 1979. Sejak akhir dasawarsa 1950-an berbagai gelombang pemurnian komunis telah mengakibatkan tindakan-tindakan menghancurkan seperti desakralisasi masjid-masjid dan pembongkaran atau perataan makam-makam kuno, atas dasar berbagai dalih yang semuanya patut dicela, seperti sisa takhayul Abad Pertengahan, pusat-pusat tirani feodal atau perlawanan anti-komunis, dan hambatan-hambatan terhadap pertanian modern. Yang luput dari pengrusakan itu hanyalah beberapa makam yang kebetulan berada di luar kawasan yang dilalui garda merah Revolusi Kebudayaan.

Pada tahun 1985, sedangkan pemerintah daerah bingung mengha- dapinya, gerakan pemugaran makam berlangsung dengan sangat lancar, dilakukan oleh petani-petani Islam, yang bekerja pada waktu malam kalau perlu, dengan memakai uang dan bahan pribadi. Praktik ziarah yang disaksikan D. Gladney itu agaknya mirip dengan praktik masa lalu, yaitu kunjungan berkala oleh anggota komunitas—entah komunitas sufi, keluarga atau desa—yang menganggap dirinya sebagai penjaga makam dan penampung rahmatnya. Para pengunjung berdoa, bernyanyi, dan membakar dupa di depan makam. Makam-makam lokal yang kecil itu hanya dijaga oleh penduduk desa sekitarnya, tetapi makam sufi dijaga dengan tekun oleh pengikut tarekat yang masih hidup dan oleh murid-murid yang sudah dibaiat, yang kadang-kadang bertugas sebagai imam masjid terdekat.

Sejak saat itu, gerakan pemugaran makam semakin pesat, didorong terutama oleh kepercayaan masyarakat terhadap kekuasaan para wali, diperkenankan oleh pemerintah pusat sesuai politik pro-Islamnya, didanai oleh laba usaha pertanian hasil pasaran bebas dan kegiatan-kegiatan

terkait 24 , dibantu oleh berbagai keuntungan yang dihasilkan oleh masjid- masjid dan lembaga-lembaga Islam lainnya dalam kegiatan perdagangan,

dan akhirnya didukung oleh berbagai subsidi, baik dari pemerintah Tionghoa maupun dari Timur Tengah.

24 Komune Rakyat dibubarkan pada tahun 1981 dan pasar bebas di kawasan pertanian disahkan pada tahun 1980-1982.

Françoise Aubin

Sebagai contoh, daftar tempat-tempat keramat yang dipugar oleh anggota Jahriyah (menurut Su Baogui & Sun Junping, 1993) sangat mengesankan, apalagi karena dilakukan di tengah suatu kawasan pedesaan yang secara resmi diakui sebagai salah satu yang termiskin di seluruh Tiongkok. Gedung-gedung yang dibangun oleh pemerintah komunis di atas tempat-tempat keramat pada awal tahun 1960-an, seperti juga jalan-jalan dan saluran-saluran air yang melaluinya, telah dipindahkan oleh pemerintah daerah pada tahun 1980-an atas permintaan kaum Jahriyah. Pada tahun 1991-1992 berturut-turut diadakan upacara pembukaan makam- makam (gongbei) baru, yang lebih megah dan lebih luas daripada sebelumnya, bahkan lengkap dengan Bangsal Suluk dan masjid tambahan jika sebelumnya tidak ada. Pada umumnya denah asli makam tersebut tidak dituruti, dengan dalih tidak dikenal lagi, dan seperti di mana-mana di Tiongkok Islam, suatu gaya arsitektural setengah Pakistan setengah Timur Tengah, dengan kubah-kubah dan pintu-pintu berlengkungan, meng- gantikan gaya Tionghoa monumental—termasuk yang bernuansa Islam— yang lazim sampai tahun 1950 (terkecuali-gongbei kecil berkubah yang dari dulu terdapat di propinsi Ningxia).

Upacara besar-besaran kembali dilakukan pada pertengahan tahun 1980-an (Gladney, 1987, hlm. 505; Aubin, 1989, hlm. 213, cat.15) dan terdengar berita tentang tawuran berdarah antara para pengikut menhuan- menhuan yang bermusuhan secara tradisional (Aubin, 1989, hlm. 231, cat.14). Statistik menunjukkan bahwa fundamentalisme nasionalis Islam Ikhwan berkembang dengan dukungan pemerintah, tetapi sebaliknya, bahwa kelompok-kelompok sufi juga bertahan dengan baik (Aubin, 1989, hlm. 213, n. 14). Kelompok Ikhwan, bagaimanapun juga, hanya menentang tempat ziarah yang memakai nama seorang wali sufi. Makam-makam tak bernama atau tidak sufi, atau tidak lagi bercirikan sufi, luput dari kecamannya. Itulah misalnya yang terjadi dengan bekas makam-makam Qadiriyah, yang kini dihormati oleh umat masjid setempat.

Menyangkut wali hidup, yaitu pemimpin menhuan yang mampu melakukan karomah, andaikan ada yang diziarahi sebagai wali, maka dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh karena saya tidak pernah mendengar apa-apa tentang mereka, baik untuk membenarkan atau menafikan fakta itu. Beberapa syekh meninggal selama aksi penindasan, seperti Ma Zhenwu, putra keempat dari Ma Yuanzhang, yang dituduh mau memisahkan daerahnya dari Tiongkok dan ia diadili secara spektakuler pada tahun 1958. Dia meninggal pada tahun 1960 dan direhabilitasi pada tahun 1984 (Aubin, 1989, hlm. 219). Syekh lain luput dari maut dan sepertinya tidak tersentuh. Pada waktu kegiatan agama diizinkan kembali, mereka pulang ke tempat keramat leluhurnya. Salah satu contoh adalah

Tiongkok 525

penerus pendiri tarekat Qadiriyah Tionghoa, penjaga “Gongbei Besar” di Linxia (Hezhou kuno) yang ditemui oleh Gladney (1987, hlm. 507-508). Untuk beberapa di antara mereka, wibawa sosial yang dulu terfokus pada mereka telah diberikan cap resmi, melalui peran politik yang diberikan kepada mereka pada awal rezim komunis dan pada waktu liberalisasi pasca-Mao. Contoh yang paling mencolok adalah Ma Teng’ai (1919-1991), seorang syekh Jahriyah dari generasi ke-8, saingan putra-putra Ma Yuanzhang, cicit Ma Hualong, yang menjabat wakil presiden propinsi Ningxia di antara tahun 1958 dan 1968, dan kemudian sesudah tahun 1980, dan oleh karena itu salah seorang pelaku utama dari hubungan-hubungan keuangan dan ekonomi dengan Timur Tengah (Aubin, 1989, hlm. 211, 217-219). Jelas kiranya seorang tokoh terkemuka seperti dia tidak mungkin dapat menjadi obyek pemujaan rakyat tanpa menarik perhatian.

Dru Gladney (1987) mempertanyakan fungsi ziarah kubur, yang disangkanya amat beragam itu, dan dia terutama melihatnya sebagai faktor identitas komunitas. Makam-makam keramat, katanya, adalah lambang “perbedaan” yang mengaitkan kaum Hui dengan leluhur-leluhur mereka yang datang di masa lalu dari dunia Islam, dan selanjutnya dengan Nabi Muhammad dan dunia Islam antarbangsa. Bagi makam-makam historis terkenal yang dibicarakan di atas, tidak diragukan lagi tafsiran ini memang tepat. Tafsiran itu juga membantu kita mengerti pola pikir yang berlaku umum pada masa ini: orang-orang Tionghoa Islam, yang sudah dari dahulu merasa lain dari kaum Tionghoa pemuja berhala, kemudian selama empat dasawarsa dicap sebagai “minoritas etnis Hui”, sekarang betul-betul merasa diri asing dari sudut asalnya. Maka mereka membanggakan diri sebagai keturunan Timur Tengah berdasarkan silsilah buatan dan mereka juga meggemari sebuah arsitektur Timur Tengah buatan sebagai tanda keasingan mereka.

Namun janganlah kita mengabaikan dimensi spiritual dari fenomena tersebut. Pada masa pra-komunis, bukanlah ikatan identitas dengan dunia Islam maupun dengan Nabi Muhammad yang dicari orang Islam Tionghoa dalam ziarah ke wali-walinya. Andaikan demikian, mengapa mereka justru menghormati pendiri-pendiri pribumi dari tarekat-tarekat mereka, bukan mubalig-mubalig yang datang lebih dini dari Asia Tengah dan Timur Tengah? Mengapa juga makam-makam kecil yang, berdasarkan batu nisan dalam bahasa Arab atau menurut tradisi historis jelas terkait dengan orang- orang Islam asing, justru dikaitkan mereka dengan wali-wali yang bernama Tionghoa (satu contoh diberikan oleh Gladney, 1987, hlm. 513)? Mengapa nama Nabi Muhammad tidak lebih penting dalam pikiran para pengikut

Françoise Aubin

berbagai menhuan, dan mengapa bagian dari silsilah-silsilah 25 yang dikenal luas di antara mereka hanyalah yang terakhir, yaitu bagian yang

menyangkut silsilah syekh-syekh Tionghoa. Mengapa dalam tarekat Jahriyah (di mana penobatan guru diberikan oleh pendiri dari Yaman abad ke-18 hanya untuk 7 generasi [Aubin, 1990-a, hlm. 555]), ketika pada awal abad ke-20 timbul masalah suksesi ke-8, tidak seorang pun menanyakan kembali ke Yaman untuk mencari pemecahannya?

Seperti telah dikatakan oleh seorang perempuan Islam tua kepada Dru Gladney (1987, hlm. 512), mengalamatkan permohonan kepada seorang wali untuk didengarkan oleh Allah, sama dengan masuk melalui “pintu belakang” (houmen), atau dalam dunia komunis, memanfaatkan koneksi untuk mendapatkan perlakuan istimewa. Sekarang pun seperti di masa lalu, para mukminin melihat wali-wali sebagai perantara dan sebagai sumber karomah. Sekarang pun seperti di masa lalu, kesetiaan dan semangat imannya memupuk kesinambungan fenomena karisma.

25 Dalam Islam Tionghoa, silsilah dalam arti genealogi spiritual yang mengesahkan kekuasaan orang yang sedang menjabat sebagai syekh tarekat, pada umumnya