Tokoh-Tokoh Historis
Tokoh-Tokoh Historis
Dalam dunia Islam, Indonesia menempati posisi geografis yang jauh dari pusat. Tambahan pula, seperti telah kita lihat di atas, negeri ini merangkul agama Islam agak belakangan. Oleh karena kenyataan historis tersebut, berbagai kategori wali yang didapatkan di Timur Tengah jelas tidak dapat ditemukan di Jawa, misalnya tokoh-tokoh tradisi Yahudi atau Nasrani yang disanjung juga oleh Islam, atau keluarga dan sahabat Nabi Muhammad, demikian pula para ulama besar Abad Pertengahan, ataupun para pendiri tarekat dan sebagainnya.
Wali-wali besar yang paling terkemuka tiada lain adalah para pendakwah penyebar agama Islam di Jawa. Mereka adalah kelompok Wali Songo yang disebut di atas. Diperkirakan bahwa mereka hampir semuanya berasal dari negeri-negeri asing, dan hal itu mungkin saja benar dari segi sejarah. Tulisan-tulisan populer menggambarkan mereka datang dari tanah suci Arab atau negeri-negeri tetangganya, dan silsilah mereka bersifat legendaris menempatkan mereka sebagai keturunan Nabi Muhammad. Ada juga tradisi yang mengatakan bahwa beberapa di antara mereka datang dari negeri-negeri lain seperti Campa—suatu kerajaan yang menempati wilayah modern Vietnam Selatan—atau bahkan Tiongkok, dua negara yang sangat berperan dalam proses islamisasi Pulau Jawa. Yang jelas, tulisan-tulisan tentang riwayat hidup para wali sering tidak konsisten satu sama lain, dan amat sulitlah memisahkan unsur-unsur historis dari unsur-unsur khayalan.
Dalam hal islamisasi, tipislah sesungguhnya garis pemisah antara tokoh-tokoh religius yang menonjol berkat pengetahuan dan ketakwaannya di satu pihak, dan tokoh-tokoh politik yang mengembangkan agama baru, kadang-kadang dengan kekerasan militer, sambil mendirikan kerajaan- kerajaan Islam di Jawa (Demak, Cirebon, Banten, dan lain-lain) di lain pihak. Namun tradisi yang ada, seperti juga dokumen-dokumen yang tersedia, lebih cenderung menekankan peran kelompok kedua daripada yang pertama. Dalam hal ini patut dicatat bahwa, berbeda dengan banyak negeri Islam lainnya, hampir tidak ada wali yang mati syahid di Jawa, mungkin karena salah satu ciri khas dari seorang wali Jawa ialah bahwa dia
bersifat mahasakti 4 . Harus ditambah juga bahwa para ulama Jawa agaknya menyebarkan ajarannya secara lisan dan hampir tidak meninggalkan
naskah-naskah. Tidak ada satu pun teks karangan para Wali Songo yang
4 Di pulau tetangga, yaitu Bali, di mana Islam adalah agama minoritas kecil, hampir semua wali adalah orang yang mati syahid.
Indonesia 343
sampai kepada kita. Abad ke-16 menghasilkan beberapa teks, tetapi harus menanti pertengahan abad ke-19 untuk menyaksikan munculnya penulis- penulis yang betul-betul tangguh di kalangan ulama Jawa.
Dalam kategori wali-wali historis terdapat juga berbagai mubalig lokal, yang pada umumnya hidup setelah periode Wali Songo di atas. Walaupun religiositas mereka nampak dengan jelas, mereka kerap mencapai ketenaran karena peranan politik mereka (misalnya Ki Ageng Gribig di Jatinom).
Di antara tokoh-tokoh religius termasuk juga sejumlah ulama zaman modern. Mereka tidak begitu dimuliakan oleh khalayak ramai, yang biasanya tidak mengenal mereka, melainkan pada umumnya oleh murid- murid dari pesantren yang didirikan mereka. Pesantren sering diwariskan secara turun-temurun di tengah suatu kelompok kerabat yang berstatus “guru” (kiai). Dalam lingkungan itulah berkembang apa yang boleh disebut sebagai sejenis pengeramatan para “leluhur pendiri”.
Anehnya, di Jawa tarekat-tarekat hampir tidak berperan dalam hal pendirian, pengelolaan dan praktik ziarah. Tentu saja ada syekh dari tarekat-tarekat tertentu yang makamnya dijadikan tempat ziarah, namun tampaknya tidak ada satu pun makam yang dikhususkan untuk para pengikut suatu tarekat tertentu. Sunan Gunung Jati misalnya, yang situs makamnya diperikan dalam sebuah artikel di bawah ini, konon pernah dibaiat dalam tarekat-tarekat Naqsybandiyah, Syattariyah, dan Syadziliyah ketika berada di Madinah, namun makamnya dikunjungi oleh ratusan ribu peziarah, lepas dari keanggotaan mereka pada salah satu tarekat di atas. Ciri itulah yang tampaknya paling umum: walaupun seorang syekh dimuliakan secara khusus oleh anggota suatu tarekat tertentu, makamnya dapat juga dikunjungi oleh peziarah-peziarah yang jauh lebih besar jumlahnya, yang sama sekali awam terhadap tarekat itu. Berikut ini beberapa contoh, baik di Jawa maupun di luar Jawa, dari wali-wali yang diketahui secara historis pernah menjadi anggota suatu tarekat.
Abdurrauf Singkel (dekat Barus, di pantai barat Sumatra), yang pernah dibaiat oleh Ahmad Qushasi, memperkenalkan tarekat Syattariyah di Sumatra mulai tahun 1661. Makamnya, dekat Banda Aceh, diziarahi oleh masyarakat dari seluruh kawasan itu. Demikian pula muridnya, Syekh Abdul Muhyi, yang menyebarkan tarekat Syattariyah di Jawa Barat pada paruh kedua abad ke-17. Makamnya di Pamijahan, Tasikmalaya, kini merupakan salah satu kuburan keramat yang terpenting di Jawa Barat. Seorang murid Abdurrauf yang lain, yakni Syekh Burhanuddin (wafat 1699), rupanya mempunyai ikatan yang tampak lebih dekat, sekurangnya di mata para peziarah, dengan tarekat Syattariyah, yang turut disebarkannya di Sumatra Barat. Hari ulang tahun kematiannya (haul), yang jatuh pada
344 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
hari Rabu pertama sesudah tanggal 10 bulan Safar, dirayakan dengan suatu ziarah besar di makamnya. Makam itu, di Ulakan (sekitar 50 km di barat daya kota Padang), didatangi oleh jumlah peziarah (180.000 pada tahun 1987) yang jauh lebih besar daripada jumlah pengikut Syattariyah di
seluruh propinsi tersebut 5 . Di daerah yang berjauhan letaknya, yaitu di Sulawesi Selatan,
makam Syekh Yusuf al-Makassari (1626-1699) di Lakiung, di pinggiran kota Makassar, dikunjungi juga oleh peziarah-peziarah yang kebanyakan tidak tahu-menahu baik tentang tarekat Naqsybandiyah—Syekh Yusuf dikenal sebagai pengikut pertama tarekat ini di Indonesia—maupun tentang Khalwatiyah, yang dia perkenalkan di Nusantara (tarekat terakhir sebenar- nya merupakan sintesis yang diadakan oleh Syekh Yusuf berdasarkan unsur-unsur dari tarekat Khalwatiyah, Naqsybandiyah, dan Syattariyah).
Namun di Jawa seperti di negeri-negeri Islam lainnya, beberapa syekh tarekat dipandang sebagai wali semasa hidupnya. Contohnya tidak banyak. Dapat disebut almarhum Kiayi Asnawi dari Caringin, Jawa Barat, syekh tarekat Q diriyah yang sangat dimuliakan oleh murid-muridnya di paruh pertama abad ke-20. Sekarang ini konon masih ada di Jawa beberapa syekh yang dianggap sebagai wali hidup oleh murid-muridnya. Kami pernah mendatangi tempat tinggal beberapa syekh itu namun tidak diperkenankan bertemu dengan mereka.
Makam tokoh-tokoh politik terkemuka juga dikeramatkan, walaupun bukti kesalehannya tidak selalu nyata. Dapat kita memaklumi mengapa kedua pendiri dinasti Islam Banten, yakni Maulana Hasanudin dan putranya Maulana Yusuf, dikeramatkan: yang pertama menyebarkan agama Islam di kerajaan itu dan mereka berdua merangkap sebagai tokoh-tokoh spiritual, seperti terlihat pada gelar mereka “maulana”. Tetapi lain halnya dengan tokoh seperti Panembahan Senopati atau cucunya Sultan Agung yang terutama menonjol sebagai penguasa tangguh, dan juga ternyata beragama Islam. Pada masa mutakhir, makam Presiden Soekarno dapat diduga sudah menjadi tempat keramat andaikan tidak dicegah secara ketat oleh pemerintah.
Sesungguhnya boleh dikatakan pemujaan raja-raja yang telah meninggal pernah lama ada di Pulau Jawa dan kini sering dicampur- adukkan di mata orang awam dengan pengeramatan para wali. Bahkan ada orang Jawa yang menyatakan bahwa seorang raja yang telah meninggal lebih sakti daripada seorang wali oleh karena wali itu selama hidupnya harus patuh pada raja, sedangkan raja tidak pernah patuh pada wali.
5 Lihat D. Lombard (1986, hlm. 150).
Indonesia 345
Dalam kategori para wali historis ini harus juga mencantumkan kelompok orang “paranormal”. Sifat mereka yang tidak rasional dipandang oleh masyarakat Jawa—seperti juga dalam berbagai kebudayaan lainnya— sebagai kemampuan “melihat” lebih dari sekadar kenyataan fisik dan sebagai bukti keakraban mereka dengan Allah.
Lebih jauh lagi dari jalur ortodoksi Islam, orang-orang yang memi- liki bakat-bakat tertentu patut ditambah pula pada kategori ini. Karena menguasai berbagai “ilmu” (kontrol atas diri, semadi, puasa, kunjungan ke tempat-tempat keramat, pemilikan atas benda-benda keramat, dll.) orang- orang itu dianggap memiliki kesaktian yang melekat pada mereka sampai ke liang kuburnya. Bukti nyata kesaktian tersebut adalah kemampuan mereka untuk melakukan hal-hal ajaib, untuk membantu orang-orang yang sedang mengalami kesulitan. Namun kesaktian itu dapat juga berwujud nyata, umpamanya sebagai karya arsitektur, seperti kedua kompleks pemakaman raja di Tegalwangi dan Imogiri, yang arsiteknya dikeramatkan, ataupun karya ukiran seperti di Kudus, pembuatan kereta kerajaan seperti di Cirebon (lihat artikel D. Lombard di bawah), dan pembuatan keris seperti di daerah Demak-Purwodadi. Patut dicatat bahwa di seluruh kawasan Nusantara menurut pandangan tradisional, semua hasil karya yang betul-betul istimewa dianggap memiliki wujud spiritual di samping wujud nyatanya.