Syafaat Wali dalam Praktik
Syafaat Wali dalam Praktik
Keharusan adanya serentetan wali yang menjadi pewaris kesaksian para Nabi tentu saja dimanfaatkan sebagai “tangga” atau sarana untuk menyampaikan kepada Al-Khalik (Sang Pencipta) permohonan-permo- honan umat-Nya. Kepercayaan alami bahwa permohonan manusia disam- paikan dengan lebih baik apabila memakai perantaraan rohaniwan yang tidak terbebani dosa-dosa umum, didapatkan dalam berbagai agama. Dalam hal ini, di samping berbagai perbedaan, Islam Syiah dapat disejajarkan dengan Katolik Nasrani yang memiliki berbagai orang saleh, santo, dan martir, yang semuanya menjadi alamat permohonan karena berbagai alasan dan yang memperjuangkan permohonan tersebut. Dibandingkan umat Sunni, Syiah Imamiyah lebih cenderung melaksanakan amalan-amalan tambahan dan bahkan acap lebih menyukainya daripada ibadah rumusan syariat yang kurang menyentuh pribadi orang. Peringatan-peringatan yang dilontarkan oleh kaum moralis dan formalis menunjukkan bahwa di situlah terdapat berbagai kemungkinan penyimpangan. Ziarah-ziarah lokal, yang meskipun “sekunder” sering dianggap sebagai padanan dari haji ke Mekkah, adalah tempat yang lebih banyak diliputi suasana kesedihan dan permohonan daripada keimanan. Contoh ziarah Ahvaz di makam ‘Ali bin Mahzi r, mirip contoh yang digambarkan oleh Ebr him Ŝokurz da untuk ziarah besar kepada Imam Reza di Masyhad. 19
18 Dav ni (1983, hlm. 290-294). 19 E. Syokurz da (1977).
226 Yann Richard
Dalam suatu sistem yang mempunyai struktur hierarkis seperti yang terdapat dalam masyarakat Iran tradisional, pesan selalu disalurkan melalui penggunaan berbagai tingkat bahasa yang halus, yang mencerminkan kode- kode tata krama kekaisaran Persia lama. Pesan yang dialamatkan kepada wali mencerminkan pula kedekatan dengan Allah yang menjadikan wali itu sebagai perantara terpilih. “Hubungan dengan wali-wali”, catat seorang antropolog Amerika yang mengkaji tradisi ziarah ke makam wali di Shiraz,
sering bersifat hangat, santai, tanpa diliputi masalah sehari-hari yang memperumit hubungan dengan orang biasa, termasuk anggota keluarga. Sesungguhnya hubungan seseorang dengan wali dapat lebih dekat daripada hubungan orang itu dengan orang tuanya, karena tidak terdapat di dalamnya kemungkinan pertentangan yang merupakan bagian dari hubungan dengan
keluarga sendiri 20 .
Pendapat ini tampaknya bertolak belakang dengan penemuan seorang peneliti Iran yang telah mengkaji bahasa permohonan-permohonan (‘ariza) tertulis yang dialamatkan kepada Imam Reza di Masyhad. Di makam itu seperti pula di makam Ahvaz yang dibicarakan di atas, permohonan, entah bersifat luhur ataupun biasa, selalu disampaikan dalam gaya bahasa yang formal, dan kerap diawali dengan suatu pesan bersyair yang penuh unsur-
unsur retorika 21 . Ritus-ritus yang dilakukan sebelum memasuki makam sangat ketat, demi berhasilnya tujuan ziarah: peziarah pertama-tama harus
berada dalam kondisi suci dari hadas, dia harus berpakaian baru atau bersih, bersikap serius dan resmi, menggunakan wangi-wangian (kecuali untuk makam Imam Hosain) dan mengucapkan berbagai puji-pujian terhadap kebesaran keluarga suci Nabi Muhammad (salav t); sesampai di makam, peziarah berhenti di ambang pintu untuk berdoa, lebih sering sambil membungkuk, menciumi ambang pintu atau pintu dan mengucapkan
kalimat untuk memohon izin masuk ke dalam 22 . Sebelum mengucapkan permohonan yang bersifat pribadi dan
rahasia, harus melakukan berbagai ritus wajib, terutama membaca teks yang khas untuk setiap wali yang bersangkutan (ziy rat-n ma). Teks itu entah ditulis di atas tembok atau dicetak dalam brosur-brosur yang disediakan buat pengunjung. Menyusul kemudian tawaf (jalan keliling), acara menciumi makam atau pagar keliling, serta doa-doa wajib yang diucapkan di kepala (b l sari) sang wali. Kita jauh dari acara spontan atau informal yang tergambar dalam deskripsi Betteridge di atas. Bahasanya
20 A.H. Betteridge (1985a, hlm. 197-198). 21 Syokurz da (1977, hlm. 101 dst., 105 dst.). 22 A. Anwar (1960, hlm. 143); deskripsi serupa terdapat dalam M.M. Rokni-Yazdi
(1983, hlm. 35 dst.).
Iran 227
mengikuti kode-kode. Harus berbeda dari rutinitas: peziarah meninggalkan rumahnya dan kebiasaan-kebiasaannya khusus untuk mengunjungi sang wali. Pengalaman itu dipresentasikan sebagai suatu pertemuan cinta. “Keinginan berkunjung”, demikianlah judul dalam bahasa Persia dari sebuah buku tentang ziarah ke makam-makam wali yang ditulis oleh seorang penulis setengah ulama setengah cendekiawan, Rokni-Yazdi. Itulah ziarah-ziarah suatu komunitas pengabdian perorangan, satu hubungan yang akrab yang menimbulkan jauh lebih banyak prakarsa daripada ibadah lain.
Ritus-ritus biasa dan wajib itu disusul doa-doa rahasia dan penyam- paian surat-surat (‘ariza) kepada sang wali. Surat itu disisipkan di sela-sela pagar, dan sekali-sekali disertai lembaran uang kertas. Situasi sangat berbeda dengan yang berlaku pada waktu acara doa secara umum. Berdoa itu dilakukan dengan suatu “jarak” yang menunjukkan kekhidmatan dan “keberserahan”. Di sini sebaliknya berlaku sejenis keangkuhan yang penuh perhitungan. Permohonan peziarah disertai acara tawar-menawar yang sungguh-sungguh. Ada sumpah atas nama Allah, para Rasul, serta semua wali dan malaikat. Bahkan tidak jarang pemohon mengancam, apabila permohonannya tidak dikabulkan, akan mengajukan protes langsung kepada Nabi Muhammad, Zahr (nama lain dari Fatimah, putri Nabi Muhammad), atau Imam Husain. Apabila tetap tidak terkabul, dia dapat mencari Abo’l-Fazl (atau Hazrat-e ‘Abb s, saudara seayah dari Imam Husain, yang dijunjung tinggi oleh orang Iran sebagai pelindung kaum miskin; dia dipanggil juga Qamar-e Bani H syem). Kadang-kadang disampaikan berbagai ultimatum, “Apabila permohonan saya tidak diper- timbangkan, dan tidak dikabulkan, saya akan meninggalkan agama, meninggalkan al-Qur’an, dan apabila saya meninggal dalam keadaan kafir, Andalah yang patut dikecam.” Betteridge menyebut di sini adegan tawar- menawar yang dilakukan tentang nazri, hadiah simbolis yang diberikan kepada wali sebagai balasan atas terkabulnya permohonan. Hadiah ini diberikan hanya setelah permohonan dikabulkan, dan dibagi-bagi dalam bentuk makanan. Itu bukanlah hadiah ataupun kurban pendahuluan, bukan uang panjar, tetapi lebih merupakan sejenis “ungkapan rasa syukur”, suatu “pembayaran”.
Ciri-ciri “manusiawi”, bahkan sangat manusiawi, dari surat permohonan itu (yang kepolosannya mengingatkan kita pada tanda-tanda terima kasih [ex-voto] dalam kapel-kapel Bunda Maria di negeri-negeri Katolik) menunjukkan bahwa orang sama sekali tidak kikuk untuk berbicara dengan wali-wali. Pertukaran hadiah (nazri) adalah sejenis dengan pertukaran timbal balik yang lazim dilakukan antara sesama kenalan: kita memberikan sesuatu untuk membuat wali berhutang budi
228 Yann Richard
kepada kita, baru kita mengajukan permohonan; dan setelah permohonan dikabulkan kita memberikan hadiah. Berkebalikan dengan karakter Islam yang baku dan asing (karena berbahasa Arab) dan dengan bahasa yang penuh stereotip dari ulama tradisional, yang khotbah-khotbahnya sering berkisar di seputar segi segi moral yang sekunder atau cerita-cerita yang mengandung ajaran, bahasa yang dipakai untuk “berbicara” kepada para wali menunjukkan suatu keakraban yang spontan. Sesungguhnya yang ada di sini adalah dua cara melaksanakan ajaran agama yang saling me- lengkapi, yang pertama institusional dan ketat, yang kedua terbuka dan amat informal. Kaum ulama juga memakai makam-makam dan tradisi ziarah ke makam wali untuk menjalankan fungsi mereka. Karena mereka merupakan mata pertama dari rantai perantaraan wali—dengan menuntun dan kadangkala merumuskan doa pengikut wali—maka mereka se- sungguhnya tidak berkepentingan agar tidak meremehkan pola pendekatan pengunjungnya.
Syafaat Wali Sebagai Konsep
Dalam bukunya, Rokni-Yazdi berusaha membenarkan permintaan bantuan kepada wali sebagai perantara:
Sangat normal bagi seseorang, untuk memenuhi kebutuhan tertentu, meminta bantuan kepada orang lain. Orang yang sedang butuh mem- perlakukan orang yang dihadapi dan didekati (yakni wali) sebagai wasilah (perantara, vasila) atau alat (dengan mengacu kepada al-Qur’an, 5:35, “Hai orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan carilah sarana untuk mendekatkan diri kepada-Nya!”)....
Ayatollah Motahhari (orang dekat ayatollah Khomeini, dibunuh pada tahun 1979) membedakan beberapa tipe wasilah: yang diharamkan oleh al-
Qur’an 23 adalah satu cara untuk menekan dengan berbagai cara (uang, pengaruh, kekuasaan) untuk mendapatkan apa yang sesungguhnya kita
tidak berhak dari sudut agama 24 . Hal itu sebenarnya sama dengan meng- anggap bahwa di hadapan kekuasaan mutlak Allah ada perampas-perampas
potensial yang menentang keesaan-Nya. Itu sama dengan anggapan bahwa kita dapat mendekati Allah melalui berbagai jalan, dan bahwa kita bisa menyenangkan Imam ini atau itu dengan cara yang lain dari menyenangkan Allah.... Sebaliknya, dua tipe wasilah adalah halal dan baik, yaitu wasilah
23 “Jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang ada pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikit pun; dan (begitu pula) tidak diterima
syafaat dan tebusan daripadanya, dan tidaklah mereka akan ditolong” (2:48). 24 M. Motahhari (1978, hlm. 289 dst.).
Iran 229
(perantaraan), yang berupa bimbingan (rahbari) dan perbuatan (‘amal), serta wasilah yang berupa pengampunan (maqferat) atau karunia (fa żl).
Wasilah perbuatan adalah wasilah Imam yang menjadi panutan untuk pengikutnya dan penerusnya: dia adalah pembawa panji-panji kebajikan dan berkahnya itu hanya menyebar ke pengikut-pengikutnya, seperti tertulis dalam al-Qur’an (2:26), “Dengan perumpamaan itu banyak orang yang disesatkan Allah, dan dengan perumpamaan itu (pula) banyak orang yang diberi-Nya petunjuk. Dan yang disesatkan Allah dengan perumpamaan itu hanyalah orang-orang yang fasik”. Perantaraan ini disebut “wasilah perbuatan” karena, tulis Motahhari, “faktor utama yang di sini menjadi sebab keselamatan atau kutukan adalah perbuatan orang yang taat atau sebaliknya perbuatan orang yang fasik”.
Wasilah pengampunan mengandaikan adanya keibaan tak terbatas dari Allah. Hal itu mirip dengan penyucian yang menyelamatkan yang hanya dianugerahkan oleh-Nya kepada mereka yang siap menerimanya. Oleh karena manusia pada dasarnya bersifat baik, si pendosa dapat pada setiap saat kembali pada jalan lurus asalnya. Orang yang lebih dekat dengan Allah dapat menikmati dengan lebih baik berkah-Nya, dan dari Allah dia mendapat juga berkah yang berupa nama-nama baik serta sifat- sifat kesempurnaan-Nya. Yang menerima berkah itu kemudian menjadi perantaranya. Yang menjadi asal dan awal dari semua perantaraan itu tak lain adalah Allah, sedangkan si perantara tak lebih dari perantara biasa. Dalam keadaan dosa sebaliknya si pendosa berusaha memanipulasi perantaraan itu demi kepentingannya; dia memperkenalkan diri sebagai sumber perantaraan dan dia tidak mendapat hasil apa-apa. Oleh karena itu, tulis Motahhari, kita harus hati-hati supaya kita minta tolong kepada mereka yang dijadikan oleh Allah sendiri sebagai perantara (wasilah, vasila ) yang sebenar-benarnya.
Apa yang dikatakan oleh ‘Ali Syari’ati (ideolog revolusi Islam, wafat 1977) tidak jauh berbeda, meskipun dengan nada polemik. Menurut dia, aliran Syiah “Shafawiyah” yang berkompromi dengan kekuasaan politik mempergunakan syafaat seperti cara seorang murid bodoh yang menggunakan koneksi-koneksinya untuk mempengaruhi si penguji. Contoh suatu syafaat yang sempurna pernah ada, yaitu syafaat Nabi Muhammad untuk putrinya Fatimah: ketika Fatimah meminta kepada Nabi bantuan material, Muhammad mengajarkannya mengucapkan puji-syukur.... Jawa- ban yang mengherankan itulah yang mengajarkan kepada Fatimah bagai- mana menemukan jati dirinya yang sesungguhnya!Syari‘ati bahkan menjadikan peristiwa ini sebagai judul sebuah ceramah, “Fatimah menjadi Fatimah”. Menjadi diri sendiri di sini harus dipahami dengan kemauan yang sungguh-sungguh untuk tidak menggantungkan diri pada orang lain
230 Yann Richard
dalam mengatasi kesulitan dengan begitu saja, tetapi sebaliknya meng- andalkan kekuatan diri sendiri: dengan memenuhi hakikat spiritual jati diri itu, kita tidak mencapai “keselamatan yang nista” dan tak wajar, melainkan
“martabat keselamatan” serta kemampuan untuk mencapainya 25 . Pada kesempatan lain Syari‘ati mengisahkan cerita Nabi Nuh
sebagaimana didapatkan dalam al-Qur’an. 26 Nabi Nuh adalah perantara yang “ideal” karena, selain perannya sebagai Nabi, dia juga diberi tugas
oleh Allah untuk menyelamatkan dalam bahteranya satu pasangan dari masing-masing makhluk hidup, dengan keluarganya sebagai contoh dari jenis manusia yang terselamatkan. Nabi Nuh, yang berumur sembilan abad, saleh dan dekat dengan Allah itu, menjadi perantara ketika dia memohon pengampunan atas putranya yang hampir tenggelam karena mencari keselamatan di luar bahtera. Dalam cerita ini, kata Syari‘ati:
Doa Nabi Nuh dilakukan atas dasar prinsip Ilahi dan bukan atas dasar harapan yang menyesatkan atau rasa kasih sayang hampa dan sembarangan seperti kerap kita alami di sini... misalnya ketika mengucapkan, “Atas nama Ali-Akbar putra Husain, biarkanlah orang lemah yang tak berbahaya ini masuk dalam bahtera keselamatan bersama mereka yang dianggap pantas hidup.” Bukanlah demikian! Allah sendiri telah menjanjikan kepada Nuh bahwa ketika banjir besar mulai dan air bah menghanyutkan semuanya, Dia akan menyelamatkan keluarganya. (....) Di sini Allah memberikan pengajaran tentang arti yang sesungguhnya dari ikatan keluarga, etnis, keturunan, dan Dia menjelaskan kepada Nuh hakekat syafaat agar dia mengerti. (...) Yang penting di sini bukanlah hubungan darah tetapi amal. (...) Perbuatan yang jelek ditakdirkan hancur, dan demikianlah sunnatullah, suatu hukum yang tidak berubah: Allah pun tidak merusaknya, bagaimana syafaat dapat merusaknya?
Aliran Syiah Shafawiyah, kata Syari‘ati lagi, menjadikan tanah Karbal suatu tanah berkhasiat, seperti obat khasiat yang dipakai untuk menyem- buhkan orang sakit. Berdasarkan aliran Syiah yang sesungguhnya— menurut ideolog Iran ini—yakni aliran Syiah Ali, acuan pada tanah Karbala di mana Husain mati syahid itu memiliki artian yang lebih universal, yaitu tanah itu melambangkan suatu aliran pemikiran, yang mengingatkan umat pada apa yang dilupakan sejarah dan apa yang mau
25 ‘Ali Syari‘ati (1981, hlm. 141, 145). Lihat juga M.K. Hermancen (1983, hlm. 87 dst.).
26 ‘Ali Syari‘ati (1980, hlm. 224-231). Tentang Nabi Nuh lihat B. Heller (1974); untuk cerita ini, lihat al-Qur’an 11:42 dst.; dalam “Kejadian” dalam Alkitab ketiga
putra Nabi Nuh diselamatkan dalam bahtera dengan istrinya masing-masing.
Iran 231
dilupakan oleh “mereka yang ingin menghilangkan” sejarah, supaya kita sendiri turut melupakannya.
Tanah yang mengandung kenangan ini menyejukkan pikiran dan menghidupkan jantung kita. Dia membangkitkan kembali keteguhan dan menghidupkan kita kembali. Dia adalah gerak dan detak jantung yang memanaskan kembali orang yang telah mati, dia pendeknya memulihkan kepada manusia harkatnya sebagai manusia, harkat keselamatan. Dan tanah itulah yang memberi syafaat: itu bukanlah intervensi yang bertujuan menipu pada saat ujian, tetapi suatu ajaran, suatu teknik pengajaran, suatu kurikulum dan kesadaran, suatu visi, yaitu pendeknya dia menandakan kesiapan kita untuk menghadapi ujian....