Ritus-Ritus Berkala Menurut Kalender Umum

Ritus-Ritus Berkala Menurut Kalender Umum

Makam dapat dikunjungi sepanjang hari, pada umumnya pada sore hari, tetapi ritus-ritus utama diadakan pada malam hari, tepatnya pada malam hari yang mendahului suatu hari besar. Siklus 24 jam dihitung dari maghrib yang satu ke maghrib berikutnya, sehingga ziarah Jumat-Kliwon sebagai contoh tidak dilakukan pada Jumat malam, melainkan pada Kamis malam. Para peziarah yang bermukim beberapa hari di suatu situs tidak tidur pada malam hari: mereka berdoa dan bersemadi sepanjang malam, dan baru istirahat pada waktu siang hari. Demikian pula kerumunan besar pada umumnya terjadi pada malam hari.

Hari-hari tertentu dianggap lebih baik daripada hari-hari lainnya, antara lain hari Jumat dan terutama Jumat-Kliwon (di Jawa Tengah) atau

6 Di Jawa, bulan-bulan Islam diberi nama-nama berikut: 1. Muharram, Sura, 2. Safar, Sapar, 3. Rabiulawal, Mulud, 4. Rabiulakhir, Bakdamulud, 5. Jumadilawal,

6. Jumadilakhir, 7. Rajab, Rejeb, 8. Sya‘ban, Ruwah, Sadran, 9. Ramadhan, Pasa,

10. Syawal, 11. Dzulkaidah, Sela, 12. Dzulhijah, Besar, Haji. 7 Nama ketujuh hari dipinjam dari bahasa Arab, kejuali nama hari pertama yang

berasal dari bahasa Portugis: Minggu/Ahad, Senen, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu. Nama kelima hari minggu Jawa adalah: Pahing, Pon, Wage, Kliwon, Legi/Manis.

354 C. Guillot dan H. Chambert-Loir

Jumat-Legi (di Jawa Timur), dan kemudian hari Selasa, terutama Selasa- Kliwon dan Selasa-Legi. Di luar aturan umum ini, banyak hari-hari lainnya juga diutamakan menurut masing-masing situs, sehingga tidak mungkin menyusun daftar lengkapnya. Yang penting, ialah bahwa hampir selalu dan di mana pun ada satu hari yang dianggap lebih patut daripada yang lain. Makam Sunan Kalijaga di Kadilangu misalnya hanya terbuka untuk kunjungan pada hari Jumat-Pon, Jumat-Kliwon dan Jumat-Pahing. Peziarah berduyun-duyun ke makam Sunan Muria pada hari Rebo-Kliwon, Kamis- Legi dan Jumat-Pahing. Di luar kombinasi hari tersebut, makam-makam paling banyak dikunjungi, karena alasan yang mudah dimengerti, pada hari Jumat dan hari Minggu.

Bulan-bulan favorit untuk ziarah adalah bulan Mulud, Ruwah, dan Surah. Pada tanggal 12 bulan Mulud (Rabiulawal) dirayakan sekaligus lahirnya (maulid) dan meninggalnya Nabi Muhammad. Banyak keramat mengadakan perayaan khusus pada kesempatan itu. Di Cirebon umpa- manya diadakan perayaan “Panjang Jimat”, yaitu pemajangan benda-benda pusaka dari kesultanan. Pada waktu itu kerumunan di makam Sunan Jati mencapai ratusan ribu orang. Bulan Ruwah (Sya‘ban) adalah bulan untuk arwah-arwah orang mati; bulan ini mendahulukan bulan puasa (Ramadan), ketika arwah-arwah konon tidak hadir di makam-makam. Pada bulan Ruwah itu diadakan banyak perayaan dan pada ketika itulah orang mengunjungi kuburan keluarga; kunjungan itu disebut “nyadran” (sesuai dengan nama lain bulan ini, Sadran), yang berasal dari istilah Jawa Kuno shraddha , yaitu nama upacara Hindu-Buddha untuk orang mati. Bulan Sura adalah bulan “ashura”, yaitu perayaan 10 Muharram oleh aliran Syiah, yang mengenang mati syahidnya Husain di Karbala. Sekali setahun, pada salah satu hari Jumat atau Selasa dari bulan Sura itu, keempat tempayan raksasa yang terletak di halaman makam Sultan Agung di Imogiri, diisi kembali. Tanggal 1 Sura, yang juga merupakan hari pertama dari kalender Islam, disambut dengan berbagai perayaan, seperti misalnya di klenteng Tionghoa Gedung Batu di Semarang, yang juga merangkap sebagai keramat Islam. Namun perayaan tanggal 1 Sura ini cenderung dianggap sebagai satu peninggalan dari zaman Hindu-Buddha, bukan sebagai satu perayaan khas Islam.

Pada bulan puasa (Pasa atau Ramadhan) makam-makam hampir tidak dikunjungi oleh siapa pun, karena arwah orang mati konon tidak hadir lagi di tempat; arwah itu dikatakan pulang ke rumah keturunannya untuk membalas kunjungan dari bulan sebelumnya. Selama bulan itu, situs Sunan Kalijaga di Kadilangu tertutup saja. Di Trusmi, kendati keramat terbuka, pengunjung dilarang bersemadi di tempat. Tentunya ada saja perkecualian: salah satu perayaan besar di situs Sunan Giri di Gresik jatuh

Indonesia 355

pada tanggal 25 bulan Ramadhan, yang merupakan peringatan Lailat al- Qadar (malam al-Qur’an diturunkan).

Selain bulan-bulan yang khusus itu, ada situs yang perayaannya jatuh pada bulan-bulan yang lain. Di Demak misalnya, makam Raden Patah paling ramai diziarahi pada tanggal 10 bulan Dzulhijah. Itulah juga tanggal makam Sunan Kalijaga di Kadilangu dimandikan. Tanggal 10 Dzulhijah sebenarnya adalah hari satu perayaan yang sangat penting, yaitu lebaran haji atau Garebeg Lebar, yang mengingatkan pengorbanan Nabi Ibrahim.

Sebagai perkecualian ada juga kalanya suatu perayaan ditentukan berdasarkan kalender Masehi. Di Karangkendal, di makam Syekh Magelung Sakti, perayaan tahunan jatuh pada hari Jumat terakhir bulan Oktober.

Makam-makam terbesar biasanya merayakan suatu hari ulang tahun, disebut “haul” (yang sering diucapkan khol), yang berkenaan dengan tanggal meninggalnya sang wali. Kebiasaan itu semakin menyebar, dan oleh karena riwayat hidup tokoh-tokoh keramat pada umumnya tidak begitu jelas dan tidak mencantumkan tanggal satu pun, maka dapat saja seorang ulama diminta menentukan hari ulang tahun itu, yang dila- kukannya dengan bersemadi di atas kuburan tokoh tersebut. Mungkin itulah sebabnya sebagian besar haul itu jatuh pada bulan-bulan favorit yang telah disebut di atas, yaitu Mulud, Ruwah, dan Sura. Ada juga ulang tahun yang jatuh pada bulan-bulan lain, tetapi harus dicatat bahwa tidak satu pun, sekurangnya berdasarkan pengamatan kami, jatuh pada bulan Ramadhan.