Kuburan-Kuburan Keramat Lokal yang Kecil

Kuburan-Kuburan Keramat Lokal yang Kecil

Dengan mengangkat (melalui kuburannya) dalam garis keturunan mereka tokoh-tokoh Islam yang setengah mitis itu, warga Ding telah melakukan secara spektakuler apa yang pernah dan terus dilakukan oleh banyak keluarga muslim pedesaan dengan kuburan-kuburan biasa, yang bertulisan sebuah nama keluarga Tionghoa (atau kadang kala Arab/ Parsi) disusul sebuah gelar kehormatan kehormatan atau nama jabatan Islam, misalnya

14 Ma, Wang, Jin, ahong, taiye 15 ,bb atau h jji. Makam keramat itu dapat saja berdiri sendirian di tengah sebuah ladang, tetapi sering juga berada di

tengah sebuah pekuburan Islam, dikelilingi kuburan orang-orang Islam laki-istri yang nama keluarganya sama (Gladney, 1987, 512-513). Oleh karena nama keluarga terbatas jumlahnya di kalangan Islam Tionghoa maka selalu ada beberapa keluarga Ma, Wang atau Jin yang kebetulan tinggal dekat makam yang bertulisan nama tersebut. Makam keramat dinamakan gongbei (kung-pei), sebuah kata yang berasal dari kata Parsi gonbad, yaitu “kubah” (seperti juga kata qubba, yaitu “kuburan beratap melengkung” di Asia Tengah) dan yang melukiskan dengan baik bentuk umum cungkup yang melindungi makam di bagian barat Tiongkok berupa sebuah bangunan kecil bersegi delapan dari bata mentah. Atapnya berbentuk kubah, yang sama sekali asing pada gaya arsitektur Tionghoa, ditempatkan di atas suatu dasar yang bergaya khas Tionghoa dengan ujung melengkung ke atas (lih. Gambar 1) Di bagian tengah propinsi Ningxia (Ninghsia, propinsi barat laut yang oleh rezim komunis disebut “Daerah otonom Hui”), bangunan makam berbentuk lebih aneh lagi, yaitu sejenis kerucut yang dikapur, dengan kerangka pintu dari bata yang berhiasan gaya Tionghoa dan kadang kala diisi kaligrafi ayat-ayat al-Qur’an (lih. Gambar 2).

Demikianlah keadaannya di daerah Ningxia itu sampai waktu pengrusakan-pengrusakan yang dilakukan oleh rezim komunis pada akhir tahun 1950-an dan sepanjang Revolusi Kebudayaan antara tahun 1966 dan 1975; daerah itu juga pernah digoncangkan oleh pemberontakan Islam besar-besaran pada abad ke-19; sehabis pemusnahan, pembantaian dan pembuangan yang menyertai penumpasan pemberontakan itu, daerah itu

14 Taiye (t’ai-ye), yaitu “almarhum” atau “leluhur yang terhormat”, secara harfiah “Ayah Besar”, adalah istilah yang dipakai untuk tokoh suci yang sudah almarhum;

pada waktu masih hidup, tokoh tersebut dipanggil ye, yaitu secara harfiah “Ayah”, persis seperti sang Mandarin (menteri) setempat (Aubin 1990a, hlm. 557).

15 B b : nama panggilan kehormatan dalam bahasa Turki dan Parsi, yang dipakai antara lain untuk kaum darwis; secara harfiah berarti “Ayah”.

Tiongkok 511

Dua gongbei di Ningxia Tengah, yang sebelah kanan berbentuk kerucut. (Bersama foto berikutnya, kedua foto ini diambil oleh misi Kristen China Inland Mission pada akhir tahun 1930-an. Kami berterima kasih kepada Overseas Missionary Fellowship (pewaris CIM) atas ketiga foto ini.

Bagian tengah menhuan di Beishan, alias Xuahuagang, dekat Zhangjiachuan, di Gangsu timur, di perbatasan dengan Ningxia selatan. Di sebelah kanan depan berdiri nisan yang didirikan tahun 1933 mengenang Ma Yuanchao, adik Ma Yuanzhang yang wafat tahun 1929. Sederetan gongbei: sebelah kiri depan, gongbei sementara Ma Yuanchao (tampak jirat tertutup kain dan, di luar, sebuah altar dengan sesaji); di latar kedua, gongbei Ma Yuanzhang yang wafat tahun 1920 (di luar, altar dengan sesaji); selanjutnya sebuah gongbei lebih besar yang diperuntukakn bagi kepala Ma Hualong yang dihukum mati tahun 1871. Gedung selanjutnya kiranya Bangsal Suluk menhuan, yang dilihat oleh Rodney Gilbert tahun 1918

Françoise Aubin

diislamkan kembali secara mendalam 16 , yakni wilayah di selatan kota Yinchuan (Yin-Ch’uan, ibu kota Ningxia), di antara Lingwu, Wuzhong

(Wu-chung), Tongxin (T’ung-hsin), Xiji (Hsi-chi), dan Guyuan (Ku-yüan) (lih. Peta 2). D. Gladney mencatat adanya 13 makam keramat (gongbei) di wilayah Lingwu dan 19 di wilayah Tongxin.

Di dalam cungkupnya, kuburan itu sangat sederhana, dibuat dari semen, tanpa hiasan apa pun kecuali sebuah kain sutra, itu pun apabila orang Islam setempat cukup mampu dan berselera untuk itu. Kuburan diarahkan mengikuti poros utara-selatan, dengan kepala di utara; wajah jasad dalam lubang jenazah itu kiranya dihadapkan ke barat. Tidak ada peti mati, mengingat bahwa orang-orang Islam menolak memakainya, sesuatu yang mengagetkan tetangga mereka yang non-muslim. Di depan makam acap ditemukan, dari dulu hingga sekarang, sebuah sajadah, batang-batang dupa tertancap dalam sebuah jambangan berisi pasir, serta sebuah pot air untuk berwudu. Sebaliknya, bulan sabit di atas kubah gongbei, yang diamati oleh D. Gladney (1987, hlm. 511) waktu mengadakan survei di daerah itu pada tahun 1985, tampaknya adalah inovasi zaman pasca-Mao. Tidak perlu heran kalau foto-foto dari gongbei dan masjid (seperti dalam ilustrasi artikel ini) yang diambil oleh para misionaris Protestan tahun 1930-an dan 1940-an tidak memperlihatkan tanda Islam apa pun yang dapat menantang lingkungan kultural Tionghoa sekelilingnya. Pada masa itu kaum muslimin mengamalkan keislamannya dengan sikap yang penuh rendah hati, sedangkan kini sebaliknya, keterbukaan ekonomi mengajak mereka memperlihatkan kelainan mereka yang berasal dari Timur Tengah.