D alam kehidupan orang Arab-Afrika beragama Islam di bagian utara

D alam kehidupan orang Arab-Afrika beragama Islam di bagian utara

Sudan, para wali adalah tokoh terkemuka dan makam mereka merupakan ciri khas dari kondisi kehidupan keagamaan di wilayah itu. Wali-wali Sudan, baik laki-laki maupun perempuan, sangat banyak jumlahnya dan makam mereka merupakan tempat ziarah yang senantiasa amat ramai dikunjungi. Mereka juga hadir dalam kepustakaan yang kaya dan amat populer di kalangan masyarakat, yang mengisahkan berbagai karomah (kar m t) mereka yang terus terjadi, baik semasa hidup mereka

maupun setelah meninggal 2 . Beberapa di antara orang-orang “yang dekat dengan Allah” itu hidup beberapa abad yang lalu dan penyembahan mereka

telah dimulai ketika daerah ini, yang sudah mengalami arabisasi melalui gelombang besar migrasi kaum Badui (suku pengembara) dari Arab dan Mesir antara abad ke-14 dan ke-16, diislamkan secara mendalam di bawah kekuasaan sultan-sultan Afrika Islam dari dinasti Funj dari Sennar antara

tahun 1504 dan 1821 3 . Wali-wali lainnya baru muncul dan dikenal seabad yang lalu atau malah tidak sampai sejauh itu. Akhirnya, hingga kini pun, di

seluruh Sudan, masih ada banyak tokoh agama, yang ajarannya mempunyai derajat ortodoksi yang berbeda-beda, yang didatangi oleh orang-orang dari kalangan baik tradisional maupun modern, dari semua lapisan sosial, yang meminta pertolongan untuk menghadapi berbagai kemelut dan masalah hidup. Walaupun pada akhir abad ke-19 doktrin reformis (pembaharuan) dipaksakan selama sekitar dua puluh tahun oleh Mahd Muhammad Ahmad, dan walaupun ada upaya yang keras dari gerakan al-Ikhwan al-

1 Waktu artikel ini pertama terbit, penulis adalah dosen di École des Hautes Etudes en Sciences Sociales (EHESS), Paris. Sekarang beliau sudah pensiun.

2 Lihat terutama tesis S.E. Abdel Salam (1983) dan buku S.H. Hurreiz (1977). 3 Para penguasa Funj merupakan suatu dinasti Afrika Islam yang asal-usulnya

banyak diperdebatkan. Mereka berkuasa mulai tahun 1504 dan mendominasi daerah lembah Sungai Nil di Sudan serta kawasan sekelilingnya selama tiga abad.

126 Nicole Grandin

Muslimin baru-baru ini 4 , bentuk penghormatan kepada wali-wali—yang jumlahnya tak terhitung itu dan yang asal-usul, martabat serta “mutu”nya

juga amat beragam—tetap merupakan bagian yang penting (seperti pada masa dinasti Funj 5 ) dari kehidupan dan budaya religius populer daerah

Nubia Sudan dan daerah sekitarnya, baik di sisi barat (Kordofan dan Darfur) maupun di sisi timur (pesisir Laut Merah). Kawasan Afrika yang merupakan bagian paling jauh dari wilayah Islam Arab, yang berpusat di dekat kota-kota suci Hijaz dan Kairo itu, sejak abad ke-16 telah mengembangkan suatu budaya khas yang mencampurkan budaya Arab dan budaya Islam pusat dengan berbagai unsur Afrika kuno yang tetap hidup. Bisa jadi dalam bentuk penghormatan wali, orang-orang Sudan menemukan suatu bentuk religius yang disenangi dan mampu mengatasi dualitas kultural dan asal-usul mereka yang sekaligus Arab dan Afrika.

Disebabkan berbagai faktor historis, sejak awal periode islamisasi wilayah tersebut hingga kini, perkembangan Islam terkait erat dengan

perkembangan aliran sufi di sepanjang lembah Sungai Nil 6 . Sejak abad ke-

16, bagi sebagian besar orang Sudan, beragama Islam berarti menjadi anggota suatu tarekat sufi—baik karena keturunan maupun karena kegiatannya—dan juga berarti menghormati pendiri tarekat itu serta para penerusnya. Penghormatan kepada wali-wali, yang terkait erat dengan praktik-praktik tarekat, menyebar di kawasan ini bersamaan dengan

4 Pemberontakan reformis oleh sang Mahd Sudan, alias Muhammad Ahmad b. Abdall h (1844-1885), melawan dominasi Turki-Mesir dimulai pada tahun 1881

dan, setelah Mahdi wafat pada tahun 1885, terus berlangsung sampai menemui kehancuran pada tahun 1898, ketika Sudan dikuasai kembali oleh kekuatan Inggris/Mesir. Doktrin yang diajarkan sang Mahdi mengutuk ritus penghormatan wali dan ziarah kubur. Kini rezim yang berkuasa di Sudan diilhami oleh pemikiran Ikhwanul Muslimin yang juga sangat menentang praktik Islam traditionalis yang bidah ini.

5 Itulah yang tampak pada Kitab karangan Muhammad al-N ūr b. Dayf All h (1971). Kitab ini yang dikenal dengan judul Thabaq t Wad Dayf All h, merupakan

sebuah kamus biografi wali-wali Sudan, disusun sekitar tahun 1804/5 oleh seorang ulama Sudan yang lahir di Half yat al-Muluk di utara Khartum sekitar tahun 1728 dan wafat sekitar tahun 1809. Kamus ini mencakupi suatu periode kurang lebih tiga abad (Kesultanan Funj, abad ke-16 sampai ke-19) dan satu kawasan geografis yang mencakupi bagian utara daerah kekuasaan Sennar. Karya ini merupakan suatu sumber yang sangat penting untuk studi ziarah kubur pada periode dan daerah yang bersangkutan dan memungkinkan kita menempatkan berbagai praktik yang kini berlaku dalam satu perspektif historis.

6 Tentang Islam dan aliran sufi di Sudan, lihat terutama S. Hillelson (1923); J.S. Trimingham (1949); A.S. Karrar (1992).

Sudan Timur Laut 127

perkembangan aliran sufi. Seperti ditulis oleh J.S. Trimingham 7 , “Kepercayaan terhadap wali, baik yang masih hidup maupun yang sudah

meninggal, serta ritus penghormatannya, semuanya itu datang dalam bentuk yang ‘siap pakai’ di Sudan, yang bagaikan sebuah ladang subur yang siap menerimanya; karena orang-orang Sudan memasuki ritus itu dengan semangat yang tidak akan pernah dapat dibangkitkan oleh ortodoksi formal”. Yang sesungguhnya dimaksud oleh pakar itu dengan

istilah “ladang subur” (fertile field), seperti dijelaskan pada bagian lain 8 , ialah bahwa “mereka telah mempertahankan praktik-praktik animisme

dalam kerangka Islam yang baru”, yaitu keseluruhan kepercayaan- kepercayaan dan praktik-praktik magis yang dianut oleh suku-suku Sudan sebelum diarabkan dan kemudian diislamkan pada waktu terjadi gelombang migrasi besar-besaran yang datang dari Jazirah Arab dan Mesir.

Beberapa penelitian pernah diadakan tentang “praktik-praktik kepercayaan pra-Islam” di Sudan, yang dilakukan terutama oleh pejabat

kolonial Inggris, misionaris Nasrani, dan antropolog 9 . Namun penelitian itu sering dilakukan dengan semangat untuk menggali kebudayaan-kebu-

dayaan etnis Afrika yang ditinggalkan ketika terjadi arabisasi/ islamisasi— yang dianggap merugikan kelompok masyarakat yang bersangkutan. Mungkin pendekatan yang diterapkan dalam penelitian-penelitian itu lebih bersifat ideologis daripada ilmiah ketika menelaah sinkretisme yang terus berubah dan selalu dipertanyakan ulang. Dalam penelitian itu tersirat juga anggapan bahwa, dengan mengidentifikasi praktik-praktik bentuk peng- hormatan yang mengacu pada lapisan kebudayaan Afrika pra-Islam, dapat dibuktikan bahwa Islam—seperti juga agama Nasrani yang mendahu-

luinya 10 —tidak pernah berakar cukup kuat di kawasan Nubia Sudan untuk

7 Trimingham (1949, hlm. 129). 8 Idem , hlm. 78. 9 Edisi-edisi majalah Sudan Notes and Records, yang dikeluarkan oleh pemerintah

kolonial Inggris di Khartum antara tahun 1918 dan 1956, mencerminkan pendapat- pendapat itu. Tentang Darf ūr, lihat juga studi M.J. Tubiana (1964).

10 Sejak pertengahan abad ke-6 dan selama lebih dari tujuh abad, kawasan Nubia Sudan terbagi atas tiga kerajaan Nasrani (monofisit): Kerajaan Maris atau Nobatia

di antara air terjun Nil yang pertama dan yang ketiga; Kerajaan Maqurra atau Makuria di hulu air terjun ketiga (kedua kerajaan itu dipersatukan seabad kemudian dengan nama Nubia dengan ibu kotanya Old Dongola); dan kerajaan ‘Alwa atau Alodia di pinggir Sungai Nil Biru dengan Soba sebagai ibu kotanya. Kerajaan- kerajaan itu lenyap dengan cara dan pada waktu yang masih belum diketahui dengan jelas (pada pertengahan abad ke-16 berdasarkan sumber-sumber Arab), sebagai akibat dari gelombang migrasi Arab Islam, sehingga pada tahun 1504 muncul kesultanan Islam Sennar. Selama periode yang panjang itu, agama Nasrani

128 Nicole Grandin

menggantikan tradisi-tradisi animis setempat. Menurut anggapan itu, sesungguhnya praktik-praktik animis telah mengambil alih Islam; sama seperti halnya Islam mengambil-alih praktik-praktik animis. Ini terjadi karena meskipun asimilasi dari “unsur-unsur primitif telah melekat pada Islam sejak awal”, namun apa pun kontradiksi yang ada di antara kedua sistem kepercayaan itu, bagi para peneliti itu proses ini telah mencam- purkan Islam Sudan dengan unsur syirik. “Sebuah pohon atau sebuah batu yang terkait dengan kepercayaan-kepercayaan pra-Islam”, begitu ditulis

J.S. Trimingham 11 , “menjadi terkait dengan seorang wali dan dianggap memiliki berkah wali tersebut”. Bagi H.A. MacMichael 12 berbagai sinkre-

tisme yang ada terutama berfungsi “mencabut tradisi-tradisi kuno dari ling- kungan aslinya” dan menempatkannya, dalam bentuk yang telah diubah, di

tengah praktik-praktik Islam setempat 13 . Bagi penulis-penulis di atas, peranan tokoh-tokoh agama di kalangan rakyat jelata juga tidak begitu

berbeda dari dukun-dukun (kuj ūr) zaman pra-Islam yang terdapat di tengah suku-suku Afrika di kawasan itu. Namun pandangan ini tidak diterima oleh orang Sudan, seperti terlihat pada cerita persaingan antara wali dan kuj

14 ūr yang dikisahkan oleh Sharafedin Abdel Salam , “Syekh M ūs Abū Ya’qūb

telah mapan sebagai agama negara di ketiga kerajaan di atas, dan berperan sebagai faktor utama yang mendorong kemajuan kultural dan ekonomi. Namun, meskipun terdapat kegiatan misionaris yang sangat aktif di Nubia, agama Nasrani ini nyaris tidak berhasil menjangkau penduduk. Itulah sebabnya, menurut J.S. Trimingham (1949, hlm 77-78) dan juga menurut berbagai penulis Arab, agama itu surut dan akhirnya menghilang.

11 Trimingham (1949, hlm. 165). 12 (1922, jil. I, hlm. 73-74). 13 Seperti dicatat oleh Neil McHugh (1986, hlm. 127), di bawah pemerintahan Funj

(dan sampai sekarang) tanda-tanda kesucian tidak selalu terkait dengan Islam, melainkan juga dengan tradisi Afrika, baik animis maupun Nasrani. Bukannya duduk di atas sajadah, orang-orang suci memakai kakar untuk upacara. Kakar adalah singgasana raja-raja dan sultan-sultan dari kawasan lembah Sungai Nil, dan merupakan bagian dari warisan kultural Afrika. Mereka juga memakai t qiyat umm qarnayn , sejenis kerpus bertanduk dua yang merupakan warisan kerajaan Nasrani Abad Pertengahan dari Makuria (Maqurra) di Nubia Tengah dan Hilir. Selain itu, antropolog Sudan S.H. Hurreiz (1977, hlm. 52) berpendapat bahwa isi berbagai cerita wali Sudan sesungguhnya mengacu pada kultus leluhur (komunikasi yang terus-menerus dilakukan antara leluhur dan mereka yang masih hidup, kewajiban leluhur terhadap keturunannya dan lain-lain) dan merupakan bagian dari strata dasar budaya Afrika.

14 S.E. Abdel Salam (1983, hlm. 259). Cerita-cerita wali, dalam sastra lisan Sudan, berasal dari jenis qissa, yaitu yang dianggap benar-benar terjadi dan historis, dan

ini bertolak belakang dengan jenis hujwa, legenda. Pada umumnya cerita-cerita itu

Sudan Timur Laut 129

dan seorang kuj ūr diuji oleh raja Funj. Tiga anak sapi disembunyikan dalam sebuah goa, dan kedua orang itu diminta untuk mengenali binatang- binatang yang tersimpan di situ. Kuj ūr mengidentifikasikan mereka dengan baik, sedangkan Syekh M ūs menjawab bahwa yang ada di goa adalah kuda. Semua orang berpikir bahwa kuj ūr-lah yang menang, tetapi ketika diadakan pemeriksaan di goa, yang ditemukan adalah tiga ekor kuda…” Alhamdulillah.

Namun di Sudan ada pula teori lain tentang asal muasal kepercayaan-kepercayaan dan praktik-praktik yang terkait dengan feno- mena wali. Teori ini, seperti yang ditunjukkan oleh tulisan Salah al-Tigani Humoudi berjudul “The Arab and Islamic Origins of the Tombs and Sacred Enclaves in the Sudan” (1977), merupakan rumusan ilmiah Sudan dari sudut pandang nasionalisme Arab. Teori itu menerima adanya sumbangan Afrika dan bahkan Nasrani pada kepercayaan dan praktik Islam di kalangan masyarakat serta mengakui peran yang penting dari aliran sufi, kendati muncul relatif kemudian. Namun yang terutama ditekankan adalah akar Arab dari fenomena wali. Hal itu sejalan dengan identitas Arab yang kini diperjuangkan oleh negara Sudan dan mayoritas penduduk Sudan Utara. “Kepercayaan Arab kuno berupa ketakutan akan hal-hal gaib juga

berpengaruh di sini”, tulis Salah al-Tigani Hamoudi 15 , yang menganggap bahwa kepercayaan jenis ini dibawa oleh suku-suku Badui yang datang

dari Jazirah Arab (terutama dari selatan) pada masa sebelum gelombang besar islamisasi sufi pada masa kerajaan Funj; tambahan pula dia memperlihatkan berbagai persamaan yang ada antara berbagai tempat suci, fungsinya dalam kehidupan suku-suku, serta ritus-ritus yang ada di Arab zaman awal Islam di satu pihak dan di Sudan masa kini di lain pihak.