Tokoh-Tokoh Rekaan
Tokoh-Tokoh Rekaan
Dalam kategori tokoh-tokoh rekaan ini kami cantumkan semua tokoh yang diragukan identitas historisnya atau yang bahkan diketahui sebagai hasil rekaan. Pembangunan makam-makam yang bersangkutan adalah cara untuk memberikan wujud konkret pada tempat-tempat keramat.
Sebagai contoh dari tokoh yang diragukan identitasnya dapat disebut makam-makam yang disebut “petilasan” oleh penduduk setempat. Yang dimaksud dalam hal ini bukanlah bangunan peringatan yang serupa dengan makam semu (cenotaph) Eropa, yang tidak berisi jenazah namun didirikan untuk memperingati orang yang nyata. Petilasan itu hanya menandai tempat singgah seorang tokoh agung atau legendaris atau bahkan satu dewa. Ditemukan antara lain petilasan tokoh-tokoh (setengah dewa) dari pewayangan misalnya di Demak dulu (namun belakangan ini, disebabkan ciri “musyriknya” yang gamblang yang berada justru di tempat suci Islam, makam-makam tersebut diberikan nama lain) dan petilasan Joko Tarub, yaitu pendiri legendaris dinasti Islam Mataram.
Yang terbanyak adalah makam yang konon berisi tulang-belulang seorang “wali” Islam yang menyandang nama yang sangat umum, seperti misalnya Syekh Abdul Rahman atau Abdul Rahim (berasal dari ungkapan
346 C. Guillot dan H. Chambert-Loir
Bismillah irrahman irrahim ) dan yang riwayat hidupnya amat pendek dan penuh klise—seorang mubalig asal Arab yang pernah mengislamkan desa atau daerah sekitarnya. Letak makam serta ritus-ritus yang diselenggarakan di situ menunjukkan bahwa makam itu merupakan pepundèn (tempat upacara kolektif di desa) yang telah diislamkan, yaitu perpaduan cikal bakal desa dan danyang (penguasa gaib setempat) yang sama-sama dikeramatkan oleh penduduk.
Kadang-kadang kedua jenis ritus di atas, Islam dan pra-Islam, masih berdampingan. Misalnya di Desa Karangkendal, Cirebon, makam Syekh Magelung, yang konon datang dari Suriah pada abad ke-15, ramai diziarahi oleh pengunjung yang tidak lupa mendatangi pula kuburan cikal bakal desa yang terletak beberapa puluh meter jauhnya. Kentara juga bahwa riwayat hidup legendaris dari Syekh itu, yang mengaitkannya dengan seorang perempuan yang dikeramatkan di desa tetangga sebagai penyebar lokal agama Islam, sesungguhnya adalah hasil transformasi dari mitos terkenal yang menyangkut asal-mula pertanian. Mitos itu sebenarnya sudah pernah diadaptasi di zaman Hindu, melalui cerita perkawinan antara Dewi Sri dan Batara Wisnu.
Sebenarnya dapat dipastikan bahwa kebanyakan makam keramat yang ditemukan di Jawa merupakan hasil dari peralihan kesakralan yang serupa. Baik secara sadar maupun tidak, pengeramatan wali-wali Islam pernah dan tetap menjadi peranti utama dalam proses islamisasi yang berjalan secara berkesinambungan itu, sambil sedikit demi sedikit mengikis sisa-sisa “agama Jawa”.
Makam-makam yang sangat beraneka ragam di atas semuanya disebut dengan istilah yang sama, semuanya mirip bentuknya satu sama lain, dan semuanya dikunjungi peziarah yang melakukan ritus-ritus yang serupa juga. Namun persamaan luar itu janganlah menutupi perbedaan- perbedaan besar yang ada di antaranya. Seperti di kawasan dunia lainnya, kadar pengetahuan dan kesadaran religius sangat berbeda-beda di tengah masyarakat Jawa. Mungkin juga karena islamisasi muncul belakangan, ketahanan dari strata pra-Islam lebih kuat daripada di kawasan-kawasan Islam lainnya. Bagaimanapun juga, kendati sebagian masyarakat mengait- kan ziarah pada wali dengan ziarah pada penguasa gaib desa (yang secara teoritis diislamkan), lain halnya dengan para penganut ortodoksi. Kaum reformis (atau modernis, yang juga sekarang disebut “gerakan pemurnian”) menganggap semua ziarah tanpa terkecuali sebagai kegiatan syirik, sedangkan kaum santri traditionalis lainnya memperkenankan ziarah pada makam wali-wali yang “otentik”, seperti Wali Songo serta sejumlah syekh yang diakui, tetapi memandang kebanyakan makam yang dibicarakan di atas sebagai “penipuan” belaka, yang hampir tidak menutupi asal “kafir”-
Indonesia 347
nya. Melihat betapa beragam reaksi orang dalam hal ini, sulitlah mencari patokan kebenaran. Paling sedikit jelaslah makam-makam “rekaan” umumnya diziarahi oleh para pengikut tradisi kejawen, sedangkan kaum santri “ortodoks”—tentunya di luar para “reformis” di atas—cenderung menziarahi Sunan Kudus di Kudus dan Sunan Ampel di Surabaya (yang tidak dikubur di makam yang megah, melainkan di bawah satu batu nisan saja). Ritus-ritus kejawen dihapuskan dari kedua situs ini, di mana siang dan malam terlihat santri-santri sedang membacakan al-Qur’an.
Dua orang wali lain di antara Wali Songo, yakni Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, menempati posisi tersendiri dalam Islam Jawa. Yang pertama dikenal sebagai pelopor pribumisasi Islam Jawa yang mendukung kesenian Jawa seperti gamelan dan pewayangan. Dia dapat dianggap sebagai wali “nasional” Jawa. Bukanlah kebetulan apabila setelah kemer- dekaan, atas perintah Presiden Soekarno, makamnya dipugar atas biaya negara. Yang kedua dikenal dalam legenda sebagai seorang sufi agung yang mengikuti aliran Wujudiyah. Seperti al-Hallaj, dia pun dihukum mati atas perintah rekan-rekannya dari majelis Wali Songo. Menurut anggapan umum di Jawa, Syekh Siti Jenar sesungguhnya bukan dibunuh karena menyebarkan ajaran yang bidah, melainkan karena membuka rahasia utama. Oleh karena itu dia sangat dimuliakan—di berbagai tempat dan dengan nama yang berbeda-beda: Geseng, Panggung, Lemah Abang—oleh pengikut-pengikut tradisi esoteris Jawa yang berjumlah amat besar.
Di antara wali-wali besar ini, beberapa telah memperoleh status pelindung suatu daerah: Sunan Tembayat untuk Jawa Tengah, dan Sunang Gunung Jati untuk Jawa Barat.
Agak sulit mendefinisikan ciri-ciri khas dari kewalian di mata orang Jawa, oleh karena yang kita kenal dari kebanyakan wali terbatas pada legendanya, yang terfokus pada kesaktian mereka.