Wali Hidup
Wali Hidup
Kewajiban yang paling agung yang dibebankan pada pengikut aliran sufi tradisional adalah menghormati baik wali-wali yang masih hidup (yaitu syekh menhuan tempat dia menjadi anggota berdasarkan kelahirannya atau atas pilihannya sendiri), maupun orang yang dekat syekh itu karena hubungan keluarga atau kedudukan. Tentu saja, dalam Islam di Tiongkok seperti di semua daerah beragama Nasrani atau Islam di mana ziarah wali/santo nampak lebih penting daripada pemujaan terhadap Allah, ada saja kaum puritan—pejabat gereja atau penegak kitab suci—yang mengecam peneliti asing yang tidak laik itu, yang tidak membedakan antara perantara praktik ziarah dan tujuannya, yaitu Allah. Karena, kata orang yang mengecam itu, orang hanya dapat bersembahyang kepada Allah semata. Tetapi pengikut menhuan tidak peduli tentang teori puritanisme itu. Dalam alam pikiran mereka, kewajiban mereka terhadap sang syekh lebih penting daripada apa pun, sampai-sampai mereka mengaku lebih suka bersalah dengan memihak syekh daripada benar melawan dia. Setiap rinci perbuatan dan pikiran mereka diatur oleh ritus dan kehidupan mereka harus terus-menerus taat kepada kemauan dan keinginan sang Guru. Praktisnya,
kewajiban mereka yang pertama adalah memberikan hadiah (hadiyah) 22 dan sumbangan uang kepada kas menhuan.
Kesempatan yang paling khidmat untuk hal itu adalah ketika mengadakan kunjungan ke “Bangsal Suluk”, sesuatu yang harus dilakukan oleh setiap pengikut, paling sedikit sekali dalam hidupnya, seperti halnya orang bukan sufi harus naik haji ke Mekkah, bahkan lebih kerap apabila jaraknya tidak jauh. Sang syekh menerima pengunjung kelompok demi kelompok, dan, apabila perlu, ketertiban dijaga oleh murid-muridnya. Saat
22 Hadiyah : kata resapannya dalam bahasa Tionghoa, ialah haidiye (hai-ti-ye).
Françoise Aubin
yang paling mengesankan adalah ketika sang syekh muncul: para peziarah menjatuhkan diri ke tanah untuk bersujud, tanpa mengindahkan kiblat. Bahwa orang-orang muslim dapat bersujud di hadapan seorang manusia biasa, dengan memunggungi Mekkah tentu saja telah mencengangkan orang yang menyaksikannya pada masa Republik (1912-1949), baik warga asing maupun Tionghoa, dan baik orang bukan Islam maupun orang Islam bukan sufi. Pelanggaran yang sedemikian gamblang terhadap ortodoksi Islam dapat dicarikan dalih dalam konsep sujud tradisional Tionghoa non- Islam, yang mewajibkan orang untuk menghormati atasan atau siapa pun yang memegang wibawa.
Namun banyak tanda menunjukkan bahwa orang-orang menganggap syekh mereka sebagai tokoh terhormat pengganti Nabi Muhammad. Mereka menyadari bahwa pusat dunia tidaklah terletak di singgasana maharaja, seperti dibayangkan oleh warga Tiongkok lainnya, melainkan nun jauh di barat, dan mereka tahu bahwa Nabi Muhammad pernah menjadi perantara yang berwibawa yang mengawali garis keturunan spiritual dari syekh mereka. Dalam ritus menhuan mereka, nama Nabi Muhammad memang disebut-sebut, misalnya dalam ritus biasa tarekat Jahriyah dalam bentuk pembacaan bait-bait Mada'ih, yakni suatu kumpulan tulisan Arab yang menyanjung-nyanjung Nabi Muhammad. Karya itu diserahkan kepada perintis cabang Jahriyah di Tiongkok oleh gurunya di Yaman untuk memperkuat karismanya (Aubin, 1990-a, 564, menurut Mien, 1981). Namun, menurut para peziarah yang berbondong-bondong ke Bangsal Suluk, lebih baik seorang wali hidup daripada seorang wali yang sudah lama meninggal (Gilbert, 1919, 704), dan Nabi Muhammad, di mata mereka, terutama merupakan satu mata rantai dalam transmisi karisma para syekh.
Kenyataan ini terbukti oleh frekuensi penggunaan istilah sheng (wali) sebagai sifat sang syekh dan apa saja yang berkaitan dengannya, baik orang maupun tempat. Misalnya, Ma Yuanhang disebut shanren (shan-jen) yaitu “sang Pemberi Rahmat” sebelum mengangkat diri sebagai syekh Jahriyah generasi ke-7 , dan kemudian dia menjadi “sang wali” (shengren, sheng-jen) (Aubin 1990-a, 556). Upacara-upacara berkala waktu dipungut hadiah ritual (hadiyah) dalam bahasa Tionghoa disebut ermaili (erh-mai-li) yaitu al-mawlid. Dalam hal ini, yang dirayakan bukanlah ulang tahun Nabi Muhammad, seperti lazimnya dalam ortodoksi yang berlaku di masyarakat masjid, melainkan ulang tahun wafatnya seorang syekh masa lalu atau seorang kerabatnya. Pada paruh pertama abad ke-20, upacara sumber hadiyah tersebut di atas makin banyak. Pada masa hidup Ma Yuanzhang, di kalangan Jahriyah upacara itu berjumlah 38 setahun, 12 di antaranya untuk perempuan, yaitu 3 atau 4 sebulan; tetapi
Tiongkok 521
pada tahun 1958, waktu suatu pengadilan rakyat menghukum anak Ma Yuanzhang, maka dihitung tidak kurang daripada 65 upacara, yaitu lebih dari satu seminggu (Aubin, 1990-a, 564).
Ritus yang umum pada kesempatan ermaili dan acara-acara lainnya, seperti agaknya juga pada ziarah ke Bangsal Suluk, terdiri atas zikir yang disertai ayunan badan dan iringan musik (sejauh diketahui tanpa adanya fenomena kerasukan), dan atas pembacaan surat-surat al-Qur’an dan tulisan-tulisan suci khas menhuan yang bersangkutan, disertai pembakaran dupa dan persembahan buah-buahan. Kemudian, yang paling mengharukan selama menghadap syekh adalah acara persembahan hadiah. Para pengunjung maju satu per satu dan menyerahkan sumbangannya kepada pembantu syekh, apabila tidak dilakukan sebelumnya (misalnya dalam hal penyerahan ternak); sebagai balasan, masing-masing penghadap diberi pemberkatan Guru dan suatu hadiah suci yang nilai uangnya proporsional secara kebalikan dengan nilai sumbangan di atas: orang kaya yang menyerahkan seekor domba akan dibalas dengan biji-biji melon, sedangkan orang miskin yang memberikan buah ziziphus sativa dibalas dengan bungkusan makanan yang berat. Sistem ini berfungsi dengan baik apabila syekh menhuan adalah seorang pengkhalwat yang tulen (sesuatu yang bisa saja terjadi, seperti terbukti dengan kasus Ma Yuanzhang). Itulah juga suatu cara yang baik untuk mengadakan, secara berkala dan sebagai derma, suatu pembagian kekayaan di antara pengikut-pengikut menhuan, ditambah lagi dengan pemberkatan sang syekh.
Pada abad ke-18 dan ke-19, tarekat-tarekat Tionghoa berkali-kali mengalami berbagai kemelut, akibat perang saudara, pemberontakan melawan pemerintah pusat, serta penindasan. Maka tidak mengherankan bahwa tarekat-tarekat itu mengembangkan suatu ideologi mati syahid, terutama tarekat Jahriyah, yang paling keras perjuangannya dan paling gigih semangat perlawanannya. Untuk anggota-anggota tarekat ini, kemampuan sang syekh untuk melakukan karomah disahkan oleh kema-
tiannya sebagai syahid 23 , dan kematian tersebut diasumsikan sepanjang hidupnya. Sampai zaman Ma Yuanzhang, yang kemudian memperhalus
hasrat spiritual umatnya, rahmat sang Guru berwujud jimat-jimat yang konon membuka pintu sorga untuk mereka yang mengenakannya pada waktu mati dalam peperangan, (Aubin, 1990-a, 564-565). Sang syekh adalah panutan muridnya, tetapi panutan dalam kematian, bukan dalam kehidupan. Khalwatnya dan kesalehannya tidak mungkin ditiru, karena
23 Ungkapan Cina shuhaidayi (shu-hai-ta-i, yang ditulis dengan huruf Tionghoa yang berbeda dalam berbagai sumber), berpadanan dengan kata Arab syah dat dan
dalam bahasa kaum muslimin Tionghoa berarti mati syahid (shaxide/sha-hsi-te).
Françoise Aubin
kebajikannya adalah pantulan kesempurnaan ilahi, dan tidak tergapai oleh manusia. Yang dapat ditiru hanyalah kematiannya yang dinanti-nantikan itu. Pada masa damai, berkah sang syekh memberkahi umatnya dengan misalnya mendatangkan hujan di daerah-daerah gersang itu di mana air menentukan hidup dan mati.