A gama Islam sebagaimana diamalkan oleh bangsa Tionghoa (yaitu yang

A gama Islam sebagaimana diamalkan oleh bangsa Tionghoa (yaitu yang

berbahasa Tionghoa, berkebudayaan Tionghoa dan berketurunan Tionghoa selama lima ratus tahun lebih) dapat digambarkan menurut beberapa sifat dasar. Pertama, sebuah tradisi bercorak Islam Sunni mazhab Hanafi yang sumbernya berasal dari pusat-pusat spiritual besar di kawasan Asia Tengah, terutama Bukhara, sehingga bahasa yang mula-mula digunakan adalah bahasa Persia. Kedua, literatur Islam asli di Tiongkok terungkap seluruhnya dalam bahasa Tionghoa. Ketiga, tidak ada pemisahan tegas antara dunia para imam masjid (dulu umumnya disebut ahong) dengan dunia para alim-ulama, para syekh sufi, bahkan para cendekiawan beraliran Neo-Konfusianis (yakni para pembela filsafat etiko-politik resmi pada abad ke-16 sampai abad ke-19, saat agama Islam mulai tampil sebagai tradisi khas Tionghoa).

Para pujangga Islam Tionghoa klasik, yang karya-karyanya kini tetap dipelajari oleh mereka yang menguasai bahasa Tionghoa klasik, adalah ulama-ulama yang terpengaruh ajaran neo-Konfusianis. Mereka merangkap sebagai pengikut sufi dan pada umumnya bertugas sebagai imam masjid

setempat. Ragam Islam yang mereka ajarkan adalah suatu sintesis 2 antara unsur formalis/ortodoks, unsur-unsur tasawuf yang menekankan konsep

tauhid, dan unsur-unsur penyempurnaan yang dipetik-petik dari tradisi Konfusianis dan sufi. Pada abad ke-18 hingga 19, seperti juga pada beberapa dasawarsa awal abad ke-20, para guru sufi tersohor kerap juga merangkap sebagai pujangga Tionghoa yang piawai, ataupun sebagai panglima perang yang ulung, dan bahkan beberapa di antaranya menjadi

1 Penulis adalah mantan direktur penelitian (Professor) di Centre d’Etudes et de Recherches Internationales (CERI, Pusat Pengkajian dan Penelitian Internasional),

Paris. Sekarang telah pensiun. 2 Lebih tepat disebut sintesis daripada sinkretisme oleh karena dasar-dasar ajaran

Islam sama sekali tidak diubah oleh pengungkapannya dalam bahasa Tionghoa.

Françoise Aubin

ahli strategi politik. Mereka juga mengutus murid yang sudah dibaiat untuk menjadi imam masjid bagi jemaat sufi maupun bukan sufi.

Namun bila seseorang diangkat menjadi ahong di sebuah desa atau sebuah kampung, hal ini tidak menjamin dia menjadi seorang tokoh. Dalam Islam di Tiongkok, baik untuk hal-hal sosial maupun yang menyangkut pengelolaan wakaf, wibawa efektif selalu dipegang oleh dewan tetua umat setempat. Imam atau ahong diangkat oleh dewan itu untuk suatu periode yang pada umumnya terbatas dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya di hadapan dewan tersebut. Dia baru menonjol sebagai tokoh bila pengetahuannya mengenai isi al-Qur’an, kemampuannya berbahasa (Arab, Persia dan Tionghoa), bakatnya untuk berpidato, dan akhirnya pengetahuannya atas sastra menjadikannya seorang alim yang dikagumi. Sementara itu di Tiongkok bagian barat di mana aliran sufi dominan, cendekiawan Islam yang ditokohkan secara sosial dan politik semuanya memiliki karisma “kewalian” yang mereka warisi secara turun-menurun.

Tarekat-tarekat sufi yang masuk Tiongkok sejak paruh kedua abad ke-17, terpecah-pecah menjadi cabang-cabang yang bersaing satu sama lainnya. Cabang itu (disebut menhuan) merupakan kelompok-kelompok

religius, sosial, sekaligus ekonomi 3 , serta dipimpin secara otokratis dan turun-menurun oleh seorang syekh (shaihai). Sistim kepemimpinan yang

khas ini disebabkan oleh perpaduan antara konsep wali ala Asia Tengah dengan konsep pemujaan leluhur ala Tionghoa. Beberapa dasawarsa saja setelah suatu tarekat masuk ke Tiongkok, kedudukan syekhnya tidak lagi tergantung pada kebajikannya—paling sedikit faktor kebajikan itu bukan satu-satunya ataupun yang terpenting—tetapi lebih tergantung pada faktor keturunan.

Sebelum memerikan makam dan tempat keramat yang menopang sistim kepemimpinan turun-temurun tersebut, serta tradisi ziarah yang dilakukan di situ, baiklah kami ulas lebih dahulu sejauh mana peneliti- peneliti asing memiliki alat-alat yang memadai untuk memahami fenomena yang bersangkutan.