juga kita temui di desa-desa. Dalam hal ini, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat di
daerah yang bersangkutan. Pemerintah daerah bertugas menjalankan kekuasaan yang diamanatkan oleh rakyat daerah dan bertujuan untuk
menyejahterakan seluruh rakyat daerah itu. Bagaimana caranya rakyat menyerahkan kekuasaan kepada
pemerintah? Demokrasi yang berlaku di negara mana pun pada umumnya dijalankan di atas landasan hukum. Sebaliknya, hukum itu
pun dibuat dengan cara-cara demokrasi. Dengan pernyataan lain, bahwa tidak ada hukum tanpa demokrasi dan tidak ada demokrasi
tanpa hukum. Dalam konstitusi kita, yaitu UUD 1945 dinyatakan pula bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum dan bukan
berdasarkan kekuasaan belaka. Artinya, semua prosedur atau cara- cara pembagian, penyerakan, dan pencabutan kekuasaan pejabat
negara atau daerah diatur berdasarkan hukum atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sebagai gambaran sederhana, marilah kita simak tentang kekuasaan yang dipegang dan dijalankan oleh Pemerintah Desa.
Karena desa merupakan masyarakat hukum yang otonom berwenang mengatur dan mengurus kepentingannya menurut prakarsa sendiri,
maka desa menjalankan pemerintahan berdasarkan demokrasi. Demokrasi desa menentukan, bahwa Pemerintah Desa adalah Kepala
Desa beserta perangkat desa lain yang diberi mandat atau wewenang oleh warga desa untuk menjalankan tugas-tugas pemerintahan di
desanya.
4. Budaya Politik Partisipan
Berdasarkan kajian tentang status rakyat dan pemerintah di atas, maka demokrasi menawarkan budaya politik partisipan. Sebelum
mengkaji budaya politik partisipan ini, perlu dikemukakan secara
singkat dua jenis budaya politik lain, yang dikenal dalam khasanah ilmu politik.
Demokrasi itu sendiri, sebenarnya, dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk pelaksanaan budaya politik dalam suatu
sistem politik. Dalam kehidupan politik dikenal adanya tiga klasifikasi budaya politik, yaitu budaya politik parokial, budaya politik kaula
objek, dan budaya politik partisipan subjek. Budaya politik parokial terjadi dalam masyarakat tradisional
yang masih sederhana. Para pemimpin dan pelaku politik tidak murni melakukan kegiatan politik. Pemimpim politik biasanya juga
melakukan peranannya serempak dengan peranannya dalam bidang ekonomi, agama, dan sosial budaya. Pemimpin dalam masyarakat
tradisional merupakan pemimpin totalitas. Para pemimpin memiliki keuatan dan kekuasaan yang besar, sehingga rakyat tak berdaya di
hadapannya. Anggota masyarakat pada budaya politik parokial cenderung
tidak menaruh minat terhadap objek-objek politik yang luas. Rakyat cenderung tak mau berurusan dengan masalah politik, sebab di
hadapan pemimpin mereka tak berdaya. Rakyat cukup mengakui adanya pusat kewenangan atau kekuasaan politik dalam masyarakat.
Namun demikian, rakyat tidak mungkin mengoreksi apa yang digariskan oleh pusat kekuasaan. Partisipasi politik rakyat tidak ada,
sebab jika ada kegiatan politik rakyat, hal itu sededar akibat dimobilisasi. Dimobilisasi, artinya diarahkan dan digerakkan menurut
kemauan pemimpin politik. Dalam budaya politik kaula, rakyat diposisikan sebagai
objek. Anggota masyarakat mempunyai minat dan perhatian terhadap sistem politik keseluruhan, tetapi sekedar sebagai objek.
Sebagaimana halnya pada budaya politik parokial, posisinya sebagai kaula, rakyat dapat dikatakan sebagai peserta pasif. Mereka merasa
tidak berdaya mempengaruhi atau mengubah sistem politik dan
menyerah saja kepada segala kebijaksanaan dan keputusan para pemegang jabatan. Segala kebijaksaaan dan keputusan para
pemegang jabatan dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah, dikoreksi, dan ditentang. Anggota masyarakat menerima
sistem politik sebagaimana adanya, patuh, setia, serta mengikuti segala instruksi dan anjuran pemimpin politiknya.
Budaya politik partisipan ditandai oleh anggota masyarakat yang aktif sebagai subjek dalam kehidupan politik. Setiap anggota
masyarakat menyadari hak dan tanggung jawabnya kewajibannya. Dengan demikian, setiap anggota masyarakat terlibat dalam sistem
politik yang berlaku betapa pun kecil peran yang dijalankannya. Dalam budaya politik partisipan rakyat memiliki posisi subjek, yang
aktif mengontrol mengawasi semua kebijakan penguasa. Rakyat sebagai subjek politik berperan aktif dalam proses kebijakan, baik
pada saat perumusan, saat pelaksanaan, maupun saat evaluasi kebijakan. Pada akhirnya, rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan
pemerintah, berhak dan dapat mengoreksi kebijakan itu. Mekanisme koreksi atau kontrol politik itu dilaksanakan
dalam berbagai bentuknya. Aktivitas ini disebut dengan partisipasi politik. Pantisipasi politik tersebut meliputi aktivitas-aktivitas, seperti
memilih dan atau dipilih dalam pemilu, menjadi aparatur yang duduk dalam jabatan pemerintahan, membentuk partai politik, membentuk
organisasi kemasyarakatan, dan aktif mengawasi kerja pemerintah dalam arti yang luas.
Pelaksanaan budaya politik dari suatu masyarakat demokratis seharusnya menerapkan nilai-nilai demokrasi sebagai
berikut. 1. Menyelesaikan perselisihan dengan cara damai dan secara
melembaga. 2. Menjamin terselenggaranya perubahan secara damai dalam suatu
masyarakat yang sedang berubah.
3. Menyelenggarakan pergantian pimpinan secara teratur melalui pemilu.
4. Membatasi pemakaian kekerasan sampai tingkatan yang paling minimum.
5. Mengakui dan menganggap wajar adanya keanekaragaman perbedaan.
6. Menjamin tegaknya keadilan. Berdasarkan pandangan di atas, budaya demokrasi akan
mudah dibangun jika setidak-tidaknya tersedia faktor-faktor berikut ini. 1. Keterbukaan sistem politik.
2. Budaya politik partisipatif-egalitarian. 3. Kepemimpinan politik yang bersemangat kerakyatan.
4. Rakyat yang cerdasterdidik dan berkepedulian sosial. 5. Partai politik yang tumbuh dari bawah.
6. Penghargaan terhadap formalisme lembaga-lembaga resmi yang ada dan hukum.
7. Masyarakat sipil yang tanggap dan bertanggung jawab. 8. Dukungan dari kekuatan asing dan pemihakan golongan
mayoritas.
5. Karakteristik Negara Demokrasi