4-3 Ilmu Pengetahuan Sosial
pengetahuan terpadu dalam rangka pengembangan kemampuan , kepribadian, dan kewenangan guru IPS dan PPKN.
B. Konsep “Social Studies” Secara Umum
Untuk melihat bagaimana konsep :”social studies”, secara umum nampaknya perlu dikembalikan kepada perkembangan
pemikiran dan praksis dalam bidang itu di Amerika Serikat AS yang dianggap sebagai salah satu negara yang telah menunjukan reputasi
akademus dalam bidang itu. Reputasi tersebut tampak dalam perkembangan pemikiran mengenai bidang itu, seperti dapat disimak
dari berbagai karya akademis yang dipublikasikan oleh Nasional Council for the social studies NCSS, sejak pertemuan organisasi
tersebut pertamakalinya tanggal 20-30 November 1935 sampai sekarang. Dalam pertemuan itu disepakati bahwa “Social Science as
the Core of the Curiculum”, dengan kerangka pemikiran yang belum solid, yang oleh Longstreet 1965: 356 digambarkan sebagai
pertemuan yang penuh kebingungan dan dengan refleksi pemikiran yang tidak jelas sebagai dampak dari perdebatan intelektual yang tak
terselesaikan, di tengah-tengah situasi sosial, politik dan ekonomi yang penuh gejolak. Namun demikian terkuak harapan pada satu
saat dapat dipakai suatu hasil yang gemilang di dalam “social studies”. Dihadapkan pada tantangan untukdapat membangun
dirinya sebagai disiplin yang solid. Pilar Historis-epiotemologis, social studies yang pertama
berupa suatu definisi tentang “social studies” telah dipancangkan oleh Edgar Bruce Wesley pada tahun 1917 Barr, Barth, dan
Shermis, 1977:1-2 yaitu The Social Sciencies simplified pedagogical purposes. Majsudnya bahwa
the social studies adalah ilmu-ilmu
sosial yang disederhanakan untuk tujuan pendidikan. Pengertian ini kemudian dibakukan dalam The United States of Educacion’s
4-4 Ilmu Pengetahuan Sosial
Standard terminology for curiculum and instruction Dalam Darr dan kawan-kawan, 1977:2.
Bila dianalisis dengan cermat, didalam pengertian awal social studies tersebut di atas mengisyaratkan hal-hal sebagai berikut.
Pertama, social studies merupakan disiplin dari ilmu-ilmu sosial atau menurut Welton dan Mallan 988:14 sebagai an offsprings’ of the
social sciencies. Kedua, disiplin ini dikembangkan untuk memenuhi tujuan pendidikan pembelajaran baik pada tingkat persekolahan
maupun tingkat pendidikan tinggi. Ketiga, olehkarenanya aspek- aspek dari masing-masing disiplin ilmu sosial itu perlu diseleksi
sesuai dengan tujuan tersebut. Walaupun telah ada difinisi awal sebagai pilar pertama.
Didalam perkembangan berikutnya ternyata bidang social studies didera oleh ketidakmenentuan, yang oleh pioner social studies Edgar
Bruce Wesley Barr dan kawan-kawan, 1978:4 berdasar pengamatannya selama 40-an tahun dikemukakan bahwa the field of
the social studies has long suffered from conflicting definition, an overlapping functions, and a confusion of philosophies. Keadaan itu
dinilai telah menimbulkan uncertainties: …perpetuated indecision; … hindered unification: …and delayed progress. Keadaan
ketakmenentuan, ketakberkeputusan, ketakbersatuan, dan ketakmajuan tersebut dirasakan terutama pada masa tahun 1940-
1970-an. Pada periodetersebut seperti digambarkan oleh Bar, Barth dan
Shermis, 1977:33-46, social studies menjalani periode yang sangat sulit. Antara tahun 1940-1950-an ia mendapat serangan hampir dari
segala penjuru, yang pada dasarnya berkisar pada pertanyaan mesti atau tidaknya “social studies” menanamkan nilai dan sikap demikratis
kepada generasi muda. Hal itu tumbuh sebagai salah satu dampak dari perang yang berkepanjangan, yang melahirkan tuntutan bagi
sekolah untuk mengajarkan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap
4-5 Ilmu Pengetahuan Sosial
yang diperlukan untuk berpartisipasi dalam masyarakat yang demokratis. Tuntutan tersebut telah mendorong munculnya upaya
pemberian tekanan pada pentingnya pengajaran sejarah, berupa fakta-fakta sejarah yang perlu mendapat perhatian, kelembagaan
pemerintah amerika; dan analis rinci mengenai Konstitusi Amerika. Situasi pembelajaran kelihatan sangat kuat menekankan pada mata
pelajaran sosial yang terpisah-pisah, memorisasi informasi faktual, dan transmisi secara tidak kritis dari nilai-nilai budaya terpilih.
Yang sangat menonjol terjadi pada tahun 1940-1960, demikian ditegaskan oleh Barr, dan kawan-kawan 1977-:36, adalah
terjadinya tarik menarik antara dua visi social studies. Disatu pihak adanya gerakan untuk mengintegrasikan bebagai disiplin ilmu sosial
untuktujuan citizenship education yang terus bergulir sampai mencapai tahap yang lebih canggih. Di lain pihak terus bergulirnya
gerakan pemisahan berbagai disiplin ilmu sosial yang cenderung memperlemah konsep sosial studies education. Hal tersebut antara
lain merupakan dampak dari berbagai penelitian yang dirancang untuk mempengaruhi kurikulum sekolah terutama yang berkenaan
dengan pengertian dan sikap siswa. Selain itu hal tersebut juga merupakan dampak dari opini publik berkaitan dengan perang dunia
ke II, Perang Dingin, dan perang Korea, serta kritik publik terhadap belum terwujudnya gagasan John Dewey tentang pengembangan
kemampuan berpikir kritis dalam praktek pendidikan persekolahan. Tekanan perubahan lain yang cukup dahsyat muncul pada
tahun 1957 dalam bentuk upaya konperhenship untuk mereformasi “social studies’ yang menjadi pemicu dan pemacu perubahan
tersebut adalah keberhasilan Rusia meluncurkan pesawat ruang angkasa sputhnik yang telah membuat Amerika panik dan merasa
jauh tertinggal dari Rusia, dan dipublikasikannya hasil penelitian dua orang dosen University, HH Rommera dan D.H. Radior yang dikenal
dengan Purdue Opinion Poll. Penelitian dengan sample anak usia
4-6 Ilmu Pengetahuan Sosial
sekolah ini menyimpulkan hal-hal sebagai berikut. Pertama , hanya 35 dari pemuda yang percaya bahwa surat kabar perlu diijinkan
untuk menerbitkan apa saja yang diinginkan; Kedua sebesar 34 percaya bahwa pemerintah perlu melarang sebagian orang untuk
berbicara, Ketiga sebesar 26 percaya bahwa polisi perlu diijinkan untuk mengledah rumah seseorang tanpa jaminan; Keempat,
sebesar 25 merasakan bahwa beberapa kelompok tidak perlu diijinkan mengadakan pertemuan. Hasil penelitian dinilai merupakan
salah satu petunjuk kegagalan social studies yang pada saat itu memang masih bersifat content-concered dan didominasi
pendekatan expository dan sekaligus memberi indikasi perlunya perubahan pembelajaran social studies menjadi pembelajaran yang
berorientasi kepada the integrated, reflektive inquiry, and problem- centered Barr, dan kawan-kawan;41-42. Kesemua itu telah
memperkuat munculnya gerakan the new social studies. Perkembangan selanjutnya, yakni antara th 1976-1983,
seperti dilaporkan oleh Stanley 1965:310mencatat penggunaan istilah social studies sebagai social sciencies, social service,
socialism, radical, left-wing thinking social reform, anti history, a unification of social subyect, a field, afederation, an integrated
curriculum, a pro- child reform, and curriculum innovation. Terlepas dari adanya aneka penggunaan pengertian tersebut, ditegaskan
bahwa the heart of the social studies is relattionships primarrily between and ammong human beings. Sedangkan jika dilihat dari visi,
misi dan strateginya, Barr, dan kawan-kawan 1978:17-19 social studies telah dapat dikembangkan dalam tiga tradisi, yakni “Social
Studies Taught as Citizenship transmition, Social studies taught as Social Sciencies, an Social Studies Taught as Refflektif Inquiry,
Definisi social studies dan pengidentifikasian “social studies” atas tiga tradisi pedagogis di atas dapat dianggap sebagai pilar
utama dari “social studies” pada dasa warsa 1970-an. Dalam difinisi
4-7 Ilmu Pengetahuan Sosial
tersebut tersirat dan tersurat beberapa hal. Pertama, social studies merupakan sistem pengetahuan terpadu, kedua, misi utama “social
studies” adalah pendidikan kewarganegaraan dalam suatu masyarakat yang demokratis; Ketiga, sumber utama konten social
studies adalah social sciencies dan humanities, Demikian secara umum perkembangan social studies sebagai
suatu bidang kajian telah dibahas. Perkembangan tersebut melukiskan bagaimana social studies pada dunia persekolahan telah
menjadi dasar ontologi dari suatu sistem pengetahuan yang terpadu, yang secara epistemologi telah mengarungi suatu perjalanan
pemikiran dalam kurun waktu 60 tahun lebih yang dimotori oleh NCSS sejak tahun 1935. pemikiran secara tersurat dan tersirat
merentang dalam suatu kontinum gagasan social studies Edgar Bruce Wesly 1935 sampai ke gagasan social studies terbaru dari
NCSS 1994. Pemikiran mengenai social studies , tercatat telah banyak
mempengaruhi pemikiran dalam bidang itu di negara lain, termasuk pemikiran mengenai Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial di
Indonesia.
Rasional Mempelajari IPS
Khasanah pengetahuan, ketrampilan dan sikap siswa dalam segala hal berasal dari berbagai sumber. Siswa datang kesekolah
berasal dari lingkungan masing-masing. Pengenalan mereka tentang masyarakat tempat mereka menjadi anggota diwarnai oleh
lingkungan mereka tersebut. Dalam hal ini sekolah bukanlah satu- satunya wahana atau sarana untuk mengenal masyarakat. Para
siswa dapat belajar mengenal dan memahami masyarakat melalui acara telivisi, siaran radio, koran dan lain-lain. Singkatnya mereka
mempelajari tentang masyarakat dapat melalui media massa, baik cetak maupun elektronik. Disamping itu mereka juga dapat mengenal
4-8 Ilmu Pengetahuan Sosial
lingkungan secara langsung melalui pengalaman hidup ditengah- tengah masyarakat.
Pengetahuan siswa melalui wahana luar sekolah mungkin masih bersifat umum, terpencar-pencar, dan samar-samar. Oleh
karena itu, agar pengenalan itu dapat lebih bermakna, maka bahan atau informasi yang masih umum dan samar-samar itu perlu
disistimasikan. Disinilah sekolah mempunyai kedudukan dan peran yang penting. Apa yang telah diperoleh diluar sekolah,
dikembangkan dan diintegrasikan menjadi sesuatu yang lebih bermakna di sekolah, sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kematangan siswa. Perlu disadari bahwa, sesuai dengan tingkat perkembangannya, siswa sekolah dasar belum mampu memahami
keluasan dan kedalaman masalah-masalah sosial secara utuh. Akan tetapi mereka dapat diperkenalkan kepada masalah-masalah
tersebut. Melalui pengajaran IPS mereka dapat memperoleh pengetahuan, ketrampilan, sikap dan kepekaan untuk menghadapi
hidup dengan tantangan-tantangannya. Selanjutnya mereka kelak diharapkan mampu bertindak secara rasional dalam memecahkan
masalah-masalah sosial yang dihadapinya. Dengan kemajuan ilmu dan teknologi pertetanggaan antar negara akan menjadi lebih luas,
karena dunia seakan-akan menjadi tetangga dekat. Hal ini disebabkan kemajuan transportasi dan komuniklasi. Dengandemikian
seolah-olah “dipindahkan” keruang didalamrumah sendiri. Dalam hal ini IPS pun berperan mendorong saling pengertian dan persaudaraan
antara umat manusia. IPS memusatkan perhatiannya pada hubungan antar manusia dan pemahaman sosial. Dengandemikian
IPS dapat membangkitkan kesadaran bahwa kita akan berhadapan dengan kehidupan penuh tantangan. Dapatlah dikatakan bahwa IPS
mendorong kepekaan siswa terhadap hidup dan kehidupan sosial. Jadi rasional mempelajari IPS adalah:
4-9 Ilmu Pengetahuan Sosial
• Supaya para siswa dapat mensistematisasikan bahan, informasi, dan atau kemampuan yang telah dimiliki tentang manusia dan
lingkungannya menjadi lebih bermakna. • Supaya para siswa dapat lebih peka dan tanggap terhadap
berbagai masalah sosial secara rasional dan bertanggung jawab. • Supaya para siswa dapat mempertinggi rasa toleransi dan
persaudaraan dilingkungan sendiri dan antar manusia.
C. Hakikat dan Tujuan IPS