582
ditetapkan Kelompok Diskusi Putra-Putri Desa, 2013. Sasaran pembebasan lahan ditujukaan untuk 4.065 kepala keluarga. Mereka adalah
yang tinggal di Kecamatan Darmaraja 1.811 KK, Kecamatan Wado 1.120 KK dan Kecamatan Jatigede 1.134 KK Komnas HAM, 2013. Berdasarkan peraturan yang
berlaku, Permendagri No. 151975, Bentuk Ganti Rugi dapat berupa uang, tanah, danatau fasilitas-fasilitas lainnya pasal 6, ayat 2:b. Besarannya diatur oleh peraturan yang
dikeluarkan oleh pemerintah daerah dan instansi terkait setempat Dirjen Bina Marga Wilayah Timur, untuk kemudian dilaksanakan proses ganti ruginya oleh Panitia Sembilan.
Pada prakteknya panitia sembilan hanya memberlakukan ganti rugi tanah sawah dan darat. Demikian pada warga yang tidak memiliki aset tersebut maka ganti rugi tidak
berlaku. Nilai ganti rugi yang diterapkan Panitia Sembilan jauh dibawah Nilai Jual Objek Pajak NJOP
10
. Panitia Sembilan juga tidak menggunakan SK Bupati Kabupaten Sumedang tahun 1984
11
dan SK Dirjen Bina Marga Wilayah Timur tahun 1986
12
yang menjadi panduan penetapan harga dasar tanah di Kabupaten Sumedang lihat lihat Tabel
1 Panitia Sembilan hanya mengacu pada prinsip bahwa negara sebagai pemilik tanah dan rakyat tidak boleh merasa memiliki hak atas tanahnya Kelompok Diskusi Putra-Putri
Desa, 2013. Demikian Bupati Kabupaten Sumedang dan dan Dirjen Bina Marga menegur, Panitia Sembilan menghiraukannya LBH Bandung, 2003.
Tabel 1. Penetapan Harga Ganti Rugi Tahun 1984 Penetapan Harga Ganti Rugi SK Bupati
Penetapan Harga Realisasi Harga Ganti
Kab. Sumedang tahun 1984 Ganti Rugi SK Bina
rugi di terima warga Marga Tahun 1984
Tahun 1984 I. Bangunan
I. Bangunan I. Bangunan
1. Bangunan Permanen antara Rp. 65.000 Bangunan antara Rp.
Bangunan antara
– 125.000 m
2
12.000 – 80.000 m
2
Rp.6599 – 40.000 m
2
2. Bangunan Semi Permanen antara Rp. 50.000 m
2
3. Bangunan Darat antara Rp. 20.000 –
40.000 m
2
Tingkat II Sumedang. Tentang Panitia Sembilan ini, lebih tegas dirumuskan didalam Keppres No. 55 Tahun 1993, yaitu sebuah tim yang terdiri dari 1 Bupati ketua, 2
Kepala Kantor Pertanahan Wakil Ketua, 3 Dinas Perpajakan tingkat kabupaten, 4 Dinas PU tingkat kabupaten, 5 Dinas Pertanian, 6 Camat di masing-masing wilayah
yang menjadi target, 7 Lurah masing-masing desa, 8 Kepala Administrasi Daerah atau Asisten Daerah, dan 9 Kepala Dinas Pertanahan Daerah
10
NJOP adalah harga pasar wajar, biasanya harga tanah diatas NJOP. Panitia Sembilan mematok tanah di bawah NJOP
11
SK Bupati No.590SK 7Ag1984 tanggal 16 Februari yang direvisi dengan SK No.590Sk.451985 tanggal 07 Maret tentang penetapan harga dasar tanah dalam wilayah
Kabupaten Sumedang.
12
SK Dirgen Bina Marga Wilayah Timur kepada Kepala Bapeda Prop Jawa Barat, No.
583
0313C52084 tentang Ganti Rugi
II. Tanah II. Tanah
II. Tanah
Sumur dan SPT antara Rp. 45.000 – 75.000 1. Tanah Sawah Rp.
1. Tanah Sawah Rp. m
2
3500 m
2
600m
2
2. Tanah Darat Rp. 2. Tanah Darat Rp.
2.000 m
2
414m
2
3. Tanah 3. Tanah Pemukiman
Pemukiman Rp. antara Rp. 6599
– 3.500 m
2
40.000 m
2
III. Tanaman III. Tanaman
III. Tanaman
Pagar Keliling antara Rp. 3.000 – 10.000
Tanaman antara Rp. Tanaman antara Rp.
m
2
400 – 20.000 pohon.
200 – 10.000 pohon
IV. Lain-lain
1. Kandang Ternak Rp. 5.000 – 15.000
m
2
2. Penjemuran antara Padi Rp. 3.000 –
5.000 m
2
3. Kuburan antara Rp. 10.000 – 25.000
m
2
4. Serta Biaya Bongkar bangunan permanen, darurat dan semi permanen
antara 250.000 – 600.000 m
2
Pada tahun 1984 proses pembebasan lahan dilakukan Panitia Sembilan secara tidak transparan. Semua jenis tanah dihargai sama yaitu antara Rp. 300 hingga Rp. 660m2,
padahal harga pasaran tanah darat dan tanah sawah berkisar antara Rp. 50.000 – 70.000
atau antara Rp. 3.500-Rp. 5.000m2 LBH Bandung, 2003. Ini salah satu permasalahan yang timbul dari pembebasan lahan periode ini, yaitu tidak jelasnya klasifikasi tanah yang
didata, sehingga berdampak pada nilai ganti rugi yang diterima, bahkan ada yang tidak mendapatkan haknya sama sekali Komnas HAM, 2013. Sebagai tanda bukti ganti rugi
warga hanya menandatangani selembar kertas, kemudian menunggu proses pencairan dana. Proses pencairan dana ditransfer langsung melalui rekening Tabungan Nasional
Tabannas. Buku tabungan tersebut harus ditebus dengan harga Rp. 5.000 setelah mendapatkan persetujuan dari Camat dan Kabag Pemerintahan dimana setiap prosesnya
mengeluarkan biaya tambahan yang jumlahnya bervariasi Kelompok Diskusi Putra-Putri Desa, 2013.
Selain uang, pemerintah juga menyediakan tempat-tempat relokasi dibeberapa wilayah tertentu. Relokasi dilakukan dengan 3 cara, yaitu program transmigrasi lokal 95
KK, transmigrasi ke luar pulau Jawa 1.536 KK dan relokasi atas keinginan sendiri relokasi sukarela 509 KK . Tidak semua warga diharuskan mengikuti program ini, hanya
mereka yang menginginkannya dan bersepakat untuk mengikuti seluruh prosedur yang berlaku. Mereka dibawah koordinasi Departemen Transmigrasi. Target yang menjadi
lokasi transmigrasi lokal yaitu beberapa wilayah di Jawa Barat Arinem Kabupaten Garut, di wilayah Sukasari dan Kolaberes kabupaten Cianjur, sementara transmigrasi di luar
pulau Jawa yaitu di provinsi Jambi, Riau dan Kalimantan Barat Warga yang telah
584
mengikuti program transmigrasi banyak yang memutuskan untuk kembali karena tingkat perekonomian di wilayah transmigran sangat minim. Tanah dan lahan pertanian yang sudah
dimiliki di wilayah transmigrasi dijual untuk kembali ke desanya masing-masing. Selain itu, tanah dan bangunan yang sudah diberikan kompensasi tidak ada
kelanjutan, sehingga warga berpikir bahwa proyek akan dibatalkan. 2. Periode 1994-1997
Proses pembebasan lahan periode ini mengacu pada pedoman hukum Keputusan Presiden Kepres No.551993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan
Untuk Kepentingan Umum. Dalam pasal 10 disebutkan bahwa ‘pembebasan lahan dilakukan melalui musyawarah secara langsung antara pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah’, selanjutnya dijelaskan
bahwa ‘harga tanah yang didasarkan atas nilai nyata atau sebenarnya, dengan memperhatikan nilai jual obyek Pajak Bumi dan bangunan yang terakhir untuk tanah yang
bersangkutan’. Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa harga ganti rugi ditentukan berdasarkan atas musyawarah kedua belah pihak, yaitu warga dan pemerintah sebagai
pemegang otoritas untuk proses pengadaan lahan. Pada praktiknya, proses ganti rugi tidak berjalan sebagaimana yang diamanatkan
oleh peraturan Presiden tersebut. Selain itu, pemerintah juga tidak melakukan sosialisasi perihal pedoman ganti rugi yang diberlakukan saat itu. Berdasarkan informasi yang
diberikan warga kepada tim Komnas HAM, pemerintah menyengaja agar masyarakat tidak mengetahuinya, karena hal ini akan mengganggu proses ‘musyawarah’ yang sedang
berlangsung dan penetapan harga ganti rugi. Padahal, dalam setiap pembangunan yang mengandung resiko, pemerintah mempunyai kewajiban untuk mensosialisasikan kepada
masyarakat mulai dari uji kelayakan sampai tingkat penanggulangan serta biaya besaran proyek Komnas HAM, 2013.
Proses pembebasan lahan pada periode ini diberlakukan bagi warga di beberapa kecamatan di wilayah pembangunan proyek ini. Yaitu sebanyak 1.226 KK di dua
kecamatan yaitu Kecamatan Jatinunggal dan Darmaraja, khususnya yang tinggal di desa Sirnasari di kecamatan Jatinunggal sebanyak 268 KK, dan 4 desa Sukamenak,
Leuwihideung, Neglasari dan Cibogo di kecamatan Darmaraja sebanyak 958 KK SAMSAT Jatigede, 2013. Bentuk ganti rugi yang tercantum dalam pasal 13 Keppres
tersebut adalah berupa uang, tanah pengganti dan pemukiman kembali yang dihasilkan dari kesepakatan antara warga dan pemerintah, sebagaimana tercantum dalam pasal 15. Pada
periode ini pembebasan lahan tidak ada mekanisme resetllement atau pemindahan penduduk. Sehingga tidak ada pilihan bagi warga untuk hanya menerima sejumlah uang
yang ditawarkan sebagai kompensasi Komnas HAM, 2013. Seluruh proses pembebasan lahan dilakukan oleh Panitia Sembilan, sebagaimana diatur dalam Keppres Nomor 55 tahun
1993 sebagai tim penyelenggara pembebasan lahan, khususnya pasal 7. 3. Periode 2006-2015
Proses pembebasan lahan dilanjutkan kembali pada tahun 2006. Ditandai dengan pernyataan Gubernur Jawa Barat pada tahun 2005 bahwa pembangunan Waduk Jatigede
akan dilanjutkan dan untuk itu memohon kepada kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bappenas untuk menyegerakan proses pembangunannya serta memasukannya
kedalam anggaran tahun 2006
13
. Secara
13
Surat dari Gubernur Jawa Barat kepada Ketua Bapennas RI dan Menteri PU, No.
585
611.1176Palpprog tentang Pelaksanaan Pembangunan Waduk Jatigede, 14 Januari 2005 bersamaan, Gubernur Jawa Barat berjanji akan menyelesaikan seluruh sisa
permasalahan yang ada, khususnya masalah sosial yang belum terselesaikan sejak pemberian ganti rugi pada pembebasan lahan pertama. Periode ini terdapat 2 proses
pembebasan lahan, yaitu antara tahun 2006-2007 berdasarkan data penerima ganti rugi yang dihasilkan oleh Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede
14
dan tahun 2012-2015 dengan basis data yang disediakan oleh SAMSAT Jatigede
15
. Prosedur pembebasan lahan diatur sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden
Perpres No. 362005 yang kemudian direvisi pada tahun 2006 dengan Perpres No. 652006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan
Umum. Jika kebijakan sebelumnya Keppres No. 55 Tahun 1993 mementingkan kemufakatan dalam menentukan nilai kompensasi yang akan diterima oleh warga , maka
pada peraturan yang baru ini mengisyaratkan tidak perlunya ada kata sepakat. Pada pasal
1 ayat 3 bahwa penggandaan tanah dilakukan dengan mekanisme ‘pencabutan hak atas tanah’ semata-mata panitia penggandaan tanah dapat mencabut hak seseorang yang tidak
mau pindah Dikko, 2005. Peraturan ini mengindikasikan bahwa pemerintah, dengan atau tanpa kesepakatan dengan pemilik asset tanah sebelumnya, bisa mengakses areal tersebut
karena alasan akan dipergunakan untuk kepentingan umum Pasal 5
16
. Hal ini yang mendasari ketentuan pemberian uang kerohiman yang diterapkan oleh pemerintahan
Presiden Jokowi, dimana nilai ganti rugi tidak didasarkan atas nilai asset yang dimiliki oleh warga
17
. Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede bekerja untuk menyelesaikan
proses pembebasan lahan yang tersisa, yaitu yang belum dilakukan di dua tahap sebelumnya. Mereka melakukan pendataan sejak tahun 2004 dimana sejak saat itu juga
diberlakukan pelarangan bagi warga untuk mengubah status lahannya, khususnya yang berada di Desa Cibogo Kecamatan Darmaraja
18
. Hasil rekapitulasi data warga yang teridentifikasi menjadi penerima ganti rugi sebanyak 1.918 KK yang berada di kecamatan
Darmaraja 968 KK, kecamatan Wado 889 KK dan kecamatan Jatinunggal 43 KK SAMSAT Jatigede, 2013. Mereka diberikan dana ganti rugi dengan menggunakan
pedoman penetapan harga ganti kerugian berdasarkan SK Bupati Kabupaten Sumedang yang diterbitkan tahun 2004
19
. Ketentuan tersebut mengatur ganti rugi untuk tiga jenis bangunan yang dimiliki warga permanen, semi permanen dan darurat, dan mengatur
sejumlah asset yang dimiliki warga lainnya lihat Tabel dibawah. Seperti halnya tahap pembebasan lahan tahap kedua, pada tahap ini pun hanya memberlakukan pemberian ganti
rugi berupa uang.
14
Merupakan tim yang dibentuk oleh Gubernur Jawa Barat dengan SK No. 611.1Kep.78- Sarek2006 tentang Pembentukan Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede
15
Tim yang dibentuk oleh Gubernur Jawa Barat pada tahun 2012, dengan SK No.611.1Kep.269-AdmRek2012 tentang Pembentukan SAMSAT Jatigede
16
Klausul ini menuai kontroversi, sehingga kebijakan ini kemudian direvisi dengan terbitnya Keppres No. 652006
17
Bagian ini akan dijelaskan lebih lanjut
18
SK Bupati Sumedang No. 590Kep.122-Huk2004 28 Mei 2004 tentang Pelarangan Perubahan Atas Status Tanah dan Keadaan Benda diatasnya Yang Terkena Rencana
Pembangunan Waduk Jatigede di Desa Cibogo Kecamatan Darmaraja Kabupaten Sumedang
19
SK Bupati Sumedang No. 640Kep.54-Huk2004 tentang Penetapan Besarnya Tarif
586
Dasar Harga Satuan Bangunan dan Klasifikasi Harga Ganti Rugi Bangunan di Wilayah Kabupaten Sumedang. peraturan ini sebagai pengganti SK Bupati yang sama yang
diterbitkan tahun 1999
Tabel 1. Harga Ganti Rugi Berdasarkan SK Bupati Sumedang Tahun 2004
Jenis Bangunan Ganti Rugi yang Ditetapkan
Bangunan Permanen Rp. 765.700
– 1.474.980 m
2
Bangunan Semi Permanen Rp. 503.750
– 826.150 m
2
Bangunan Darurat Rp. 241.800
– 576.290 m
2
Juga ditetapkan harga-harga dasar untuk teras, pagar, instalasi air kotor dan bersih, saluran air, sumur, jalantempat
parker, kandang, tembok, penahan tanah, jembatangorong- gorong, kuburan serta biaya ongkos bongkar.
Sumber: SK Bupati Kabupaten Sumedang No. 640Kep.54- Huk2004 tentang Penetapan Besarnya Tarif Dasar Harga
Satuan Bangunan dan Klasifikasi Harga Ganti Rugi Bangunan di Wilayah Kabupaten Sumedan
Walaupun pendataan diatas kertas sudah dinyatakan selesai, namun masih banyak persoalan tersisa yang harus diselesaikan.Karena itu, pada tahun 2012, setelah masa kerja
Tim Koordinasi Pembangunan Waduk Jatigede selesai, Gubernur Jawa Barat membentuk Tim lagi yang disebut Satuan Administrasi Manunggal Satu Atap SAMSAT Penanganan
Dampak Sosial dan Lingkungan Pembangunan Waduk Jatigede. Tugas utama tim ini adalah melakukan koordinasi, sinkronisasi, dan fasilitasi penanganan dampak sosial dan
lingkungan pembangunan Waduk Jatigede. Melanjutkan kerja-kerja tim sebelumnya, maka tim ini kemudian berupaya menindaklanjuti sejumlah komplain warga terkait dengan
validitas data jumlah warga penerima ganti rugi, selain juga desakan untuk mempertimbangkan mereka yang sama sekali tidak masuk dalam skema pembebasan lahan
yang sudah dilakukan di 3 tahap serta sebagian wilayah proyek waduk Jatigede yang sebelumnya berstatus tanah Hutan. Tahap awal tugas tim yang dikoordinir langsung oleh
Gubernur ini adalah membentuk Tim Validasi dan Verifikasi Data Warga di wilayah genangan waduk Jatigede, yang pada prosesnya dibantu oleh Badan Pemeriksa Keuangan
dan Pembangunan BPKP.
Tim Validasi dan Verifikasi melakukan proses verifikasi berdasarkan pengaduan dan ketidakpuasan warga selama ini. Tim validasi dan verifikasi data kemudian
menyimpulkan bahwa terdapat sejumlah warga yang sama sekali tidak termasuk dalam skema pembebasan lahan yang sudah dilakukan sejak tahun 1980-an. Mereka berjumlah
2.350 KK yang bertempat tinggal di Desa Cipaku, Pakualam, Jati Bungur, Jemah, Sukarasa, Ciranggem, Mekar Asih dan Padajaya SAMSAT Jatigede, 2012. Dengan
demikian, jumlah penerima ganti rugi dengan pijakan hukum Permendagri No. 151975 bertambah menjadi 4.590 KK, hal ini disebabkan beberapa faktor, yaitu terjadi transaksi
jual beli tanah 372 KKrumah 299 KK dari penerima sebelumnya atau mereka adalah
587
generasi berikutnya dari penerima ganti rugi pertama 682 KK atau mereka pada saat itu sedang menempati rumah yang pemiliknya sedang merantau 921 KK atau mereka adalah
penyewa rumah penerima ganti rugi 261 KK atau alasan lainnya 179 KK SAMSAT Jatigede, 2013.
Terdapat 2 kategori yang ditetapkan oleh tim verifikasi, yaitu Kategori A dan B. Kategori A adalah kelompok pertama yang berhak mendapatkan konpensasi berdasarkan
Permendagri No.151975 dimana dulu pernah mendapatkan hak ganti rugi dan relokasi, sementara Kategori B adalah kelompok kedua yang berhak mendapatkan kompensasi
berdasarkan Perpres No. 551993 dan Perpres No. 362005 direvisi oleh Perpres No.652006 hanya diberikan ganti rugi berupa uang tunai Detik, 2015. Mereka yang
tergolong dalam Kategori A pada periode ini akan menerima dana ganti rugi lebih dari Rp. 122.591.200 per KK dan Kategori B akan menerima danasebesar Rp. 29.360.192 KK
Pemprov Jabar, 2014 , dan lihat Tabel 3 dibawah. Masyarakat terdampak menyebut dana konpensasi dengan istilah uang kerahiman, kelompok A sebagai tunggul, kelompok B
sebagai pecahan KK. Berdasarkan data tim verifikasi, jumlah penerima ganti rugi Kategori A adalah 4.514 KK dan Kategori B adalah 6.955 KK Menko Ekuin 2014.
Tabel 2. Rincian Dana Ganti Rugi dan Santunan Rupiah No.
Uraian Volume
Harga Jumlah
Kategori A
1. Penggantian Bangunan
36 m
2
1.887.000 67.572.000
2. Penggantian Penggadaan Tanah
400 m
2
82.000 32.800.000
3. Tunjangan Kehilangan Pendapatan
6 Bulan 3.703.200
22.219.200
Jumlah 122.591.200
Kategori B
1. Biaya Pembongkaran
24 OH 64.208
1.540.992 2.
Mobilisasi 1 Ls
1.600.000 1.600.000
3. Sewa Rumah
1 Ls 4.000.000
4.000.000 4.
Tunjangan Kehilangan Pendapatan 6 Bulan
3.703.200 22.219.200
Jumlah
29.360.192
Sumber: https:www.youtube.comwatch?v=mquFxhui7u8 Sorge Megazine: Cerita Jatigede ‘Yang Belum Tuntas’ diakses tanggal 7 Desember 2015
Keterangan: OH Orang Hari = Satuan tenaga kerja perhari dalam 1 m3 beton terkait dengan upah dan waktu kerja dan LS Lumpsum= Satuan volume paket
pekerjaan antara volume dan satuan http:www.slideshare.netarisrahman026- 14581698
Sumber: http:www.hdesignideas.com201009analisa- harga-satuan-dan rencana.htmlixzz40D8Lia7M
Pemberian dana kompensasi diberikan sebagai bentuk penyelesaian dampak sosial sebagaimana tercantum dalam Perpres No. 12015, Pasal 3 dan 4. Sasaran pemberian dana
kompenasi ini diberikan kepada warga telah ditetapkan oleh Tim Verifikasi di lima kecamatan dan 28 desa yaitu: Yaitu 5 desa di Kecamatan Jatigede Desa Jemah, Desa
Ciranggem, Desa Mekarasih, Desa Sukakersa dan Desa Cijeungjing; 2 desa di Kecamatan Jatinunggal Desa Sirnasari dan Desa Pawenang; 4 desa di Kecamatan Wado Desa Wado,
Desa Padajaya, Desa Cisurat, dan Desa Sukapura; 13 desa di Kecamatan Darmaraja Desa Cipaku, Desa Pakualam, Desa Karangpakuan, Desa Jatibungur, Desa Sukamenak, Desa
588
Leuwihideung, Desa Cibogo, Desa Sukaratu, Desa Tarunajaya, Desa Ranggon, Desa Neglasari, dan Desa Darmajaya; 4 desa di Kecamatan Cisitu Desa Pajagan, Desa
Cigintung, Desa Cisitu, Desa Situmekar. D. Gerakan Rakyat Melawan Proses Pembangunan: Studi Kasus Waduk Jatigede
Bagian tulisan ini menggambarkan secara garis besar perlawanan rakyat melawan proses pembebasan lahan dan pembangunan waduk Jatigede dimulai dari masa Orde Baru
hingga reformasi dan saat ini. Sebelum kemunculan gerakan sosial yang lebih teorganisir, maka bagian tulisan Orde Baru akan sedikit meyinggung pendekatan sosio-psikologis
bahwa tindakan aksi kolektif muncul sebagai tekanan dan kurang memperhitungkan basis rasionalitas. Selain itu, model analisis
“The Political Proses Models” yang merupakan bagian pendekatan teori mobilisasi sumberdaya digunakan untuk melihat
perlawanan rakyat pada Orde Baru berhasil tidaknya sebuah gerakan. Sebaliknya jika negara kuat dan represif maka tujuan untuk mencapai gerakan akan sangat sulit. Terakhir,
masa reformasi lebih memfokuskan secara keseluruhan teori mobilisasi sumber daya, dimana setelah kejatuhan rezim Orde Baru gerakan sosial mulai muncul kepermukaan dan
lebih terorganisir. 1. Masa Orde Baru
Sudah sering dikemukakan umum bahwa kebijakan pembangunan Orde Baru menitikberatkan pada pertumbuhan ekonomi. Pembangunan ini selalu membutuhkan tapak
sebagai perwujudannya, baik yang dijalankan pemerintah sendiri maupun swasta. Hubungan pembangunan dan tanah bukan hanya melibatkan aspek ekonomis, namun juga
politik. Model pembangunan yang ototarian berkonsekuensi pada masyarakat yang memiliki akses dan kontrol atas tanah harus merubah diri agar tunduk terhadap kebijakan
yang berlaku. Dalam hal ini, berbagai cara yang digunakan oleh institusi politik ototarian adalah penggunaan instrumen hukum, manipulasi dan kekerasan Lucas dkk, 1997.
Salah satunya adalah pembangunan waduk Jatigede. Berdasarkan informasi yang dikumpulkan LBH Bandung, kebijakan pembangunan waduk Jatigede yang diterapkan
pada masa Orde Baru terdapat unsur pelanggaran HAM pemerintah kepada rakyat. Setelah keluarnya Permendagri No.151975 tentang Tata Cara Pembebasan Tanah, kemudian pada
tahun 1981 Gubernur Jawa Barat menegeluarkan peraturan melarang warga untuk melakukan perubahan atas tanah dan bangunannya. Selain itu, sejak dimulainya
pembebasan lahan tahun 1982 pendataan dan pengukuran tanah panitia tidak melibatkan warga sebagai pemilik tanah. Begitu warga ingin mengetahui pendataan tanah secara
transparan, Panitia Sembilan dan Pimpinan Proyek menanggapinya dengan pola intimidasi dan tindakan represif LBH Bandung, 2003.
Pada sosialisasi yang dilaksanakan tahun 1983 yang dihadiri oleh warga dari beberapa desa, pertemuan tersebut seolah terkesan partisipatif. Warga yang menghadiri
pertemuan tersebut diharuskan mengisi daftar hadir yang kemudian oleh Panitia Sembilan dijadikan pernyataan bahwa warga setuju adanya proyek dan menyepakati nilai ganti rugi
yang telah ditetapkan YLBHI, 2003. Pertemuan tersebut dijadikan ajang pemaksaan oleh Panitia Sembilan. Warga mengajukan protes atas keberatannya ditanggapi dengan ancaman
dan tuduhan sebagai penghambat pembangunan atau disamakan PKI di-PKI-kan
20
LBH Bandung, 2003. Watak keras rezim Orde Baru tidak berpihak pada rakyat tercermin pada
kebebasan mengeluarkan pendapat yang ikut membentuk suasana perlawanan rakyat Jatigede
589
Gerakan sosial sosio-psikologi melihat perlawanan individu muncul akibat tekanan emosional sebagai respon terhadap ketegangan-ketegangan struktural, sehingga individu
dan kelompok melakukan perlawanan tanpa memperhitungkan gerakan secara rasional Wiktorowicz, 2012. Perspektif sosio-psikologi melihat ketegangan dan masalah sosial
sebagai penyebab munculnya aksi kolektif Manalu, 2009. Dalam hal ini ketegangan masyarakat muncul akibat pembebasan lahan yang penuh intimidasi dan kekerasan
memaksa masyarakat untuk melepaskan tanah dan bangunannya Komunitas Intelektual Muda Se-
Jatigede, 2014. Sehingga ‘ketidakpuasan’ warga terhadap keputusan sepihak mengenai penetapan harga ganti rugi berusaha melakukan upaya untuk melakukan protes.
Pada tahun 1987, beberapa warga desa Cisurat dan Jatibungur, kecamatan Darmaraja melakukan pertemuan untuk melakukan perlawanan
20
Stigma PKI merupakan ancaman kematian perdata dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup sesorang. Tuduhan semacam ini ditimpakan kepada individu atau
kelompok pada Orde Baru yang mempertanyakan kebijakan pemerintah Orde Baru secara tertutup. Sebab, kebijakan Orde Baru melarang masyarakat sipil untuk mengeluarkan
pendapat, berkumpul dan berapat. Strategi warga dalam pertemuan tersebut telah sepakat untuk mengirim surat ke Bupati dan DPRD Kabupaten Sumedang dan Departemen
Dalam Negeri sebagai protes atas tindakan Panitia Sembilan yang bertindak tidak adil. Jumlah ganti rugi yang diberlakukan tidak sesuai dengan keputusan yang berlaku SK
Bina Marga Wilaya Timur dan SK Bupati Sumedang. Panitia Sembilan, Pimpinan Proyek dan Aparat Militer di Sumedang merasa kecolongan atas upaya yang dilakukan
warga. Protes warga ini dianggap sebagai gangguan bagi stabilitas politik dan keberlangsungan pelaksanaan pembangunan YLBHI, 2003.
Protes warga muncul akibat tekanan emosional akibat ketegangan struktural yang terjadi pada proses pembebasan lahan. Warga yang tertekan menggunakan strategi dan
taktik tanpa memperhitungkan basis rasionalnya. Sebagai konsekuensi protes warga tersebut akhirnya mereka harus menghadap aparat Komandan Distrik Militer KODIM
0610 kabupaten Sumedang melalui surat No.B.171III1987 tertanggal 24 Maret 1987 memanggil 16 orang pada tanggal 25 Maret 1987 LBH Bandung, 2003. Alasan
pemanggilan terhadap warga yang melakukan protes sebagai konsekuensi telah
menggadakan ‘rapat gelap’, tuduhan tersebut ditolak dengan alasan mengadakan pertemuan biasa yang dihadiri oleh semua masyarakat, akibatnya dua orang diintimidasi
dan diperlakukan represif. Pendekatan teori mobilisasi sumberdaya model analisis
“The Political Proses Models” menurut Pichardo dalam Tribowo model analisis “yang dikembangkan oleh Tilly,
Gamson, Oberrschall dan McAdam menekankan pada struktur kesempatan dalam aksi kolektifsi kolektif, keberadaan jejaring, serta kaitan horizontal yang telah dibangun dengan
kelompok-kelompok tertindas sebagai penentu keberhasilan gerakan. Meskipun akses kesempatan pada Orde Baru sangat sulit, warga berusaha untuk melakukan protes untuk
menuntut ganti rugi yang adil. Sehingga warga memanfaatkan keberadaan jejaring Bupati dan DPRD Kabupaten Sumedang dan Departemen Dalam Negeri sebagai upaya untuk
mencapai tujuannya. Menurut Pichardo jika negara kuat dan represif maka gerakan sosial sukit untuk mencapai tujuannya Pichardo, 1988. Gerakan sosial akan berjalan lambat
didalam sistem politik yang tertutup. Ketertutupan ini tidak jarang menstimulasi lahirnya gerakan-gerakan tersebunyi Porta, Donatella, Diani, 1999.
2. Masa Reformasi - Sekarang