144
mengakibatkan pada terajadinya family disorganization, yaitu suami akan menceraikan talak isterinya. Pertentangan dan terjadinya ngerorot pada pola ini ngerorot kemeleq
seang, di mana pihak-pihak suami-isteri kelihatannya tidak ada lagi kesamaan yang dapat dipertemukan sehingga sebuah kompromi tidak dapat dicapai, dan masing-masing
dari mereka suami isteri akan mencari jalan sendiri-sendiri sehingga perpisahan dan pembubaran perkawinan tidak dapat terelakkan lagi cerai. Ngerorot kemeleq seang
ngerorot ingin bercerai dipahami sebagai suatu tindakan simbolik dari seorang isteri yaitu meninggalkan arena konflik rumah suami ke rumah orang tuanya, baik secara fisik
maupun psikogis untuk selama-lamanya permanently. Tindakan ini berfungsi untuk meminta cerai kepada suaminya karena dengan meninggalkan arena konflik si suami
dengan cepat dan mudah mengeluarkan kata-kata cerai yang sudah lama diharapkan oleh seorang isteri.
Tradisi perceraian dalam konteks sosial budaya masyarakat suku Sasak, bahwa suatu perceraian baru bisa terjadi kalau si suami sudah mengatakan kata-kata cerai Sasak.
Seang, karena menurut pemahaman masyarakat sahnya suatu perceraian kalau si suami sebagai laki-laki sudah mengikrarkan dengan lafal kata-kata cerai sasak.seang. Kondisi
sosial masyarakat yang demikian menandai bahwa suatu perceraian berada di tangan laki- laki sebagai suami. Pemahaman ini muncul dari adanya penafsiran tekstual yang biasa
terjadi pada masyarakat yang didominasi oleh laki-laki patriarki.Mereka mengatakan kalau si suami belum mau melaflkan kata-kata cerai, sementara ngerorot si isteri sudah
berlangsung dalam jangka waktu yang lama, maka perceraian atau talak tidak bisa dilakukan dan belum dianggap sah oleh masyarakat.
Pada tataran ini, dan akibat kesalahan di dalam menafsirkan ajaran-ajaran yang dianut, maka ada pihak-pihak yang dirugikan, terutama pada kaum perempuan. Padahal
secara konseptual dan implementatif diakui oleh para intelektual muslim, bahwa terputusnya tali ikatan perkawinan tidak semata-mata hak laki-laki suami, tetapi juga
menjadi hak perempuan isteri, baik dalam bentuk thalak al- tafwid, khulu’, dan fashak
Jawad, 2002, Engineer, 2000.Dua pola perceraian tradisional suku sasak ngerorot nenangin diriq dan ngerorot kemeleq seang, terlihat suatu keberanian moral dari seorang
isteri untuk melakukan perlawanant. Hal ini dapat memberikan isyarat kepada kita bahwa konflik atau pertentangan yang terjadi dalam hubungan intim di antara suami dengan isteri
telah memasuki nilai-nilai inti dari tujuan perkawinan itu sendiri. Meminjam istilah Coser, hal ini dapat disebut dengan konflik fungsional negatif, yaitu suatu konflik yang sudah
memasuki wilayah atau ruang dan menyerang nilai-nilai dasar dari hubungan. Perkawinan dengan tingkat keakraban dan keintiman dari mereka telah dirusak oleh adanya
pengingkaran dari nilai-nilai inti perkawinan seperti; suami berani pacaran dengan perempuan lain, suami ingin kawin lagi, suami telah melakukan kekerasan terhadap isteri.
Problem ini dapat dikatakan sebagai pelanggaran terhadap komitmen perkawinan sebagai institusi sosial di mana satu sama lain untuk dapat berbagi suka dan duka. Pada
pemahaman ini melahirkan proposisi “bahwa pertikaian yang ditimbulkan oleh adanya pengingkaran nilai-nilai inti kesepakatan bersama dari hubungan perkawinan, maka
pertikaian itu akan menjadi keras sulit untuk terjadinya akomodasi”
2. Perlawanan Perempuan
Penelitian ini menemukan bahwa terjadinya perlawanan perempuandimasyarakat suku sasak disebabkan oleh faktor: a adanya biadaban moral atau otoritas moral, b
adanya keharusan struktural atau Otoritas Struktural.
a Otoritas Moral Perlawanan
145
Sebuah keluarga didirikan untuk menjadi alat manusia mencapai kesejahteraan, kecintaan dan keadilan antara peran laki-laki suami dan apa yang diperankan oleh
perempuan isteri. Namun pada kenyataannya justru berlawanan dengan keadaan sebenarnya yang diinginkan oleh manusia. Keluarga sebagai institusi sosial menjadi sebuah
kekuatan yang besar dan kejam yang menindas hak-hak warganya, membelenggu kemerdekaan dan merampas rasa keadilan. Bila demikian yang terjadi, yang perlu
dipertanyakan masih adakah kesetiaan dan kepatuhan pada lembaga ini keluarga yang bisa dipertahankan. Kesetiaan yang diberikan oleh perempuan isteri kepada keluarga
terutama laki-laki suami dalam kondisi yang demikian, yang pada ujung-ujungnya akan memupuk rasa kekecewaan dan putus asa, dan kemungkinan yang tersisa dalam jiwa
perempuan hanyalah sebuah hasrat untuk melawan dan melakukan pemberontokan, walaupun hal itu masih terbungkus rapi dalam kesetiaan yang semu, pada akhirnya mereka
bisa melakukan perlawanan terbuka.
Fenomena ngerorot padaperceraian tradisional yang dilakukan perempuan Sasak yang menggunakan institusi tradisional adalah lubang kecil yang paling bisa dipahami
understandable, yaitu cara di mana perempuan isteri dapat mengurangi tekanan dari institusi keluarga dibawa cengkeraman laki-laki suami. Pada konteks ini terjadi
kolonisasi yang telah melakukan rasionalisasi dunia kehidupan dengan melakukan pencerahan moral di bawah payung ijtihat legitimasi religius yang missogenis membenci
perempuan dan androsentris memihak laki-laki, sehingga seakan-akan terjadi pemaksaan sosial social consraint yang mendepersonalisasi manusia lain yaitu kaum
perempuan Casado da Rocha A.L, 2002, Ritzer G dan Douglas J. G, 2004, Jawad A, 2002.
Kondisi ini telah menempatkan kaum perempuan di dalam keluarga yang semuanya ditentukan oleh kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, hukum dan
politik,disamping oleh kekuatan-kekuatan psikologi dan biologis yang mendorong terbentuknya keluarga, kaum perempuan secara rutin merupakan bawahan dalam institusi
keluarga dan kemudian merupakan bawahan dalam dunia publik. Sekalipun kaum perempuan tidak dapat mematuhi keinginan dari laki-laki suami tanpak pasif, sungkan,
dan diam, mereka dapat saja menolak kondisi yang mereka tidak sukai, melalui cara penghindaran diri evoidensi relationship, atau tidak mengindahkan segala apa yang
disuruh oleh suami-suami mereka. Bentuk penolakan dan ketidakpatuhan secara diam atau terselubung dari eksploitasi kaum laki-laki suami adalah lebih umum dilakukan dari pada
secara terang-terangan. Walaupun kadang-kadang para perempuan akan bersedia menanggung resiko dengan mengadakan konfrontasi langsung bila mereka menganggap
ketidakadilan tidak dapat lagi memenuhi aspek psikologis, kultural, dan moral.
Apa yang dilakukan oleh perempuan Sasak dengan ngerorotdan perlawanan dapat dikatakan sebagai suatu penemuan sosial yang harus diakui dan dihargai karena
dengan melakukan perceraian dianggap sebagai bentuk pengamanan bagi ketegangan dan konflik yang ditimbulkan oleh perkawinan itu sendiri dan juga menjadi simbol budaya
penolakan perempuan terhadap dominasi idiologi yang bias, yang hanya menampilkanperempuan sebagai isteri, ibu rumah tangga yang patuh dan penurut serta
menerima apa adanya dari suami, yang di masyarakat kita fenomena ini cukup dikenal dengan konsep ibuisme atau hausewifizatio
28
. Dalam studi ini ditemukan beberapa indikator otoritas moral perlawanan
perempuan isteri yang mendorong terjadinya perceraiandengan mengambil ruang
28
Konsep ini telah digunakan oleh negara pada jaman orde baru dibawah payung program pemerintah seperti PKK, Darma wanita dan Isteri sebagai pendamping suami, wanita sebagai tiang negara, sehngga seakan-akan melokalisasi peran dan
status perempuan di seputur kegiatan-kegiatan domestik sehingga membatasi peren dan status perempuan pada sektor lain.
146
konfrontasi yang terbuka, hal ini dilakukan karena: 1 hilangnya kewibawa kepala keluarga suami, suami tidak lagi memenuhi dan melakukan kewajiban-kewajiban moral
yang mendasar terhadap keluarga, seperti suami lari dari tanggungjawab untuk memenuhi kebutuhan material dan isteri dibiarkan untuk menanggung bebannya sendiri tanpa ada
sokongan dari suami. 2 Isteri tidak lagi memperoleh atau gagal memenuhi kebutuhan akan penghargaan dari suami, seperti tidak diperhatikan dan tidakadanya kasih sayang.
3 tidakadanya distribusi sumber daya yang adil, sehingga isteri gagal memenuhi kebutuhan akan rasa keadilan, karena suami tidak bisa menempatkan secara proporsional
antara keluarga orang tua dan lain-lain sebagai suatu relasi yang agak terpisah dengan kehidupan isteri sebagai teman, kolega, dan tempat saling tukar menukar pengalaman suka
dan duka di dalam mengarungi bahtera kehidupan.
b Otoritas Struktural Perlawanan
Otoritas struktural memandang bahwa ketidakpatuhan dalam masyarakat karena adanya keharusan struktural yang akan menentukan semua tindakan, dan perilaku
individu. Dalam pengertian yang luas bahwa ada faktor ekternal yang dapar menimbulkan terjadinya ketidakpatuhan seperti institusi-institusi sosial dan perangkat hukum yang ada
di dalam masyarakat. Oleh Smith bahwa apa yang terjadi pada berbagai jenis kehidupan sehari-hari manusia dibentuk oleh struktur makro dan struktur makro ini dibentuk oleh
sejarah, kebutuhan ekomoni dan kebudayaan Ritzer dan Douglas J. Goodman, 2003.
Pada tataran empirik struktur sosial biasanya selalu memainkan perannya sebagai a regulatory agency, semacam badan yang mengatur perilaku manusia dengan
menyiapkan prosedur yang memberi pola bagi perilaku manusia, dipaksakan untuk berjalan di dalam alur- alur yang dianggap patut oleh masyarakat Berger, 1990.
Maka tidak mengherankan di dalam struktus sosial yang patriarkhi, bahwa terjadinya ketidakadilan gender yang ditandai adanya relasi kuasa laki-laki yang dominan
terhadap perempuan, hubungan laki-laki dengan perempuan di dalam masyarakat adalah hubungan politik, yaitu suatu hubungan yang didasarkan pada struktur kekuasaan, suatu
sistem masyarakat dimana satu kelompok manusia dikendalikan kelompok manusia lain dan lembaga yang utama dari sistem patriarki adalah keluarga. Dalam keluarga seorang
laki-laki dianggap sebagai kepala rumah tangga, di dalam keluarga juga ia mengontrol seksualitas, kerja atau produksi, reproduksi dan gerak perempuan. Terdapat hirarkhi laki-
laki lebih tinggi dan berkuasa, perempuan lebih rendah dan dikuasai. Maka dengan demikian akan memunculkan hirarki, subordinasi, dan diskriminasi.
Walaupun para perempuan melakukan usaha pengakuan tandingan counter- recognition tetapi karena struktur sosial sudah menjadi baku dan terinternalisasi atau
tertanam begitu lama, dan kuat, maka martabat manusia seperti kaum perempuan sangat tergantung dari adanya suatu perijinan sosial dalam struktur makro yaitu masyarakat atau
oleh Berger 1994 disebut sebagai a matter of social permission. Sehingga pandangan tentang dunia mereka sangat ditentukan secara sosial word taken for granted bukan oleh
kehendak individu atau pribadi .
Pada studi ini bahwa hegemoni laki-laki suami terhadap perempuan isteri pada masyarakat Sasak Lombok banyak menggunakan legitimasi religious
29
dan adat untuk melakukan pembenaran terhadap perbuatan mereka. Di dalam masyarakat misalnya
berkembang pemahaman yang diperoleh dari para tokoh agama, bahwa isteri maupun suami tidak boleh mengatakan “seang” cerai pada pasangannya karena pada saat itu pula
29
Istilah legitmasi adalah semacam pengetahuan yang diobyektivasi secara sosial yang bertindak untuk menjelaskan dan membenarkan tatanan sosial. Walaupun dalam pelegetimasian ini terjadi krisis toelogi, sehingga terjadi paradok
keterasingan religius yang seakan-akan justru terjadi proses dehumansisasi dan depersonafikasi dunia sosiokultural. Dapat diperdalam dalam bukunya Berger “Langit Suci, Agama sebagai Realitas Sosial, hal, 34 dan 121, tahun, 1991.
147
talak sudah dijatuhkan. Kata ”seang” cerai seakan-akan memiliki nilai sakral dan tabu, artinya kata ini tidak boleh diucapkan pada sebarang tempat, situasi dan kondisi, baik
serius maupun hanya sekedar main-main yang mengarah pada isteri-suami karena Tuhan akan marah. Dan akan menjadi tabu karena kalau diucapkan akan berakibat dari terjadinya
perceraian.
Demikian juga halnya, di dalam masyarakat banyak yang menganggap bahwa urusan keluarga adalah urusan suami yang walaupun dipukul tidak perlu dilaporkan
pada orang lain, karena suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah hak milik suami, sementara di dalam ajaran-ajaran agama kalau si isteri melakukan nusyud tidak patuh dan
membangkang dibenarkan seorang suami untuk memberikan peringatan walaupun dengan cara memukul. Perempuan isteri tidak berhak untuk menolak terhadap kata-kata cerai
dari suami, karena menurut mereka perceraian adalah hak suami dan perceraian bisa terjadi kalau suami sudah menjatuhkan kata-kata cerai dan Tuhan akan meridoiNya. Banyak dari
mereka yang melakukan perkawinan dan perceraian syah hanya menurut agama walaupun tidak dicatat secara formal dalam agenda negara.
Pada tataran ini di dalam masyarakat terjadi semacam mysthical norm, yaitu dengan memistifikasi norma-norma dan mengaburkan apa yang sesungguhnya terjadi
Berger, 1985b. Dengan suatu harapan agar terjadinya culture expectation, yaitu harapan budaya agar suatu kebudayaan yang ada di dalam masyarakat dimana kepada seluruh
anggota komunitas untuk bertingkah laku sesuai adat istiadat yang berlaku.
Menguaknya fenomena ngerorot pada institusi perkawinan di masyarakat Sasak Lombok dapat dikatakan sebagai bentuk protes terbuka yang merupakan jawaban dari
tejadinya kebiadaban moral, problem ini muncul karena adanya ketidakadilan dan penyimpangan dari komitmen kehidupan perkawinan. Institusi perkawinan tidak bisa lagi
menopang kewajiban-kewajiban moral, seperti suami berani pacaran sasak. Midang, dan melakukan perkawinan lagi. Struktu sosial yang tidak memberikan kebebasan perempuan
isteri untuk melakukan sesuatu sesuai kehendak, dan tidak memihak kepada perempuan, kuatnya kungkungan adat, tradisi serta tidak adanya proteksi sosial yang dapat menjamin
keberlangsungan hidup keluarga.
Kegagalan pada dua dimensi ini otoritas moral dan otoritas struktural akan dapat menimbulkan kekecewaan-kekecewaan dan terjadinya keberangan moral
tidakpatuh dan protes terbuka dengan mengambil ruang “avoidensi relationship penghindaran diri, atau melakukan ngerorotseang. Walaupun pada posisi ini perempuan
akan mendapatkan konsekuensi yaitu terjadinya divorce perceraian dari suami-suami mereka. Untuk sementara posisi ini kemungkinan dapat memberikan keuntungkan
perempuan istri dari subyek pelaku rejim moral, karena mereka dapat keluar dari lilitan perkawinan yang penuh dengan kebohongan dan kecurangan. Dan ketika mereka keluar
dan berhadapan dengan institusi masyarakat, di sana mereka telah ditunggu oleh status dan stigma sosial yang hanya memandang mereka secara one side issue satu sisi entitas
atau keberadaan mereka.
Status janda dengan bebagai anekdot dan pelabelan di dalam masyarakat yang lebih banyak memposisikan mereka secara negatif dan terpinggirkan marginalisasi
seperti; janda Malaysia jamal, dan janda Arab jarab, janda lokal jalok, bahkan ada yang mengatakan sebagai penggoda suami-suami orang
30
.
30
Istilah yang diberi singkatan Jamal janda Malaysia atau Jarab janda Arab merupakan istilah yang sering kali menjadi bahan tertawaan bagi kebayakan laki-laki ataupun perempuan yang tidak atau merasa terusik pada kehadiran
mereka di tengah-tengah masyarakat Konsep ini menandai bahwa menjadi atau kehidupan janda-janda sering merupakan korban yang selalu dipersalahkan blaming the victim, sebagai korban, mereka selalu dikonotasikan sebagai perempuan
“genit” dan “binal”, sehingga dianggap sebagai salah satu warga masyarakat yang harus dikontrol, serta peran dan status mereka selalu berada pada posisi yang dimarginalkan di antara kelompok-kelompok perempuan lain, dan segala aktivitas
148
Kondisi peremuan isteri seperti ini dapat diibaratkan hanya mereka bermain di dalam lingkaran setan kehidupan yang tiada berakhir. Karena mereka laki-laki
telah menggunakan struktur sosial budaya, adat dan kemungkinan juga agama setempat untuk melakukan pembenaran sebagai sarana yang ampuh untuk melakukan dominasi
kepada para perempuan isteri, yang walaupun mereka tetap penolak yaitu dengan melakukan ngerorot, sebagai bentuk resistensi terhadap transkrip publik atau formal
31
meskipun apa yang dilakukan oleh kaum perempuan isteri di dalam masyarakat suku Sasak masih bersifat lokal, spontan, dan sporadis.
5.KESIMPULAN
Hasil studi ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Tradisi Perceraian Studi ini menyimpulkan bahwa tradisi perceraian pada masyarakat suku
Sasak dilakukan melalui pranata sosial yaitu ngerorot. Proses ini membentuk dua pola perceraian: 1, ngerorot nenangin diriq ngerorot untuk menenangkan diri.
Pola ini dipahami sebagai upaya dari seorang isteri untuk melakukan penarikan diri withdrawing pulang ke rumah orang tua secara sembunyi-sembunyi, yang
merupakan tindakan simbolik yaitu meninggalkan situasi atau arena pertentangan baik secara fisik maupun psikologis untuk sementara waktu temporarily, yang
berfungsi untuk menghindari pertentangan yang lebih keras yang bisa membahayakan kedua belah pihak terutama isteri. Berguna untuk mengakhiri
pertikaian sambil melakukan perenungan terhadap kekeliruan masing-masing, sehingga dapat melakukan menyesuaikan diri untuk menghadapi babak baru
kehidupan rumah tangga.2, pola ngerorotngerorot kemeleq seang ngerorot ingin bercerai. Seorang melakukanya dapat menjadi simbol bahwa isteri
karena tidak tahan lagi dengan kondisi kehidupan keluarga, dan ngerorot sebagai salah satu cara yang
terbaik untuk melepaskan diri dari ikatan kontrak perkawinan yang tidak menyenangkan.Pada pola ini, bahwa pertentangan dan ngerorotnya isteri sudah mengarah
pada terjadinya pembubaran perkawinan cerai, di sini terjadi pertentangan yang keras, isteri tidak hanya melawan tetapi juga memberontak, sehingga di antara mereka tidak ada
lagi kesamaan untuk terjadinya sebuah kompromi. Pola ini dipahami oleh mereka sebagai suatu tindakan simbolik dari seorang isteri yaitu meninggalkan arena pertentangan rumah
suami ke rumah orang tuanya, baik secara fisik maupun psikogis untuk selama-lamanya permanently. Tindakan ini berfungsi untuk meminta cerai kepada suaminya karena
dengan meninggalkan arena pertentangan si suami dengan cepat dan langsung mengeluarkan kata-kata cerai yang kemungkinan sudah lama ditunggu-tunggu dan
diharapkan oleh seorang isteri.
2. Perlawanan Perempuan
mereka banyak yang tidak diperhitungkan Abdul Haris, Mobilitas Angkatan Kerja Wanita Indonesia ke Luar Negeri. Dalam Dalam buku “ Sangkan Paran Gender” , Irwan Abdullah ed, 2003, hal, 177. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
31
Transkrip formal atau dapat juga disebut publik transkrip, yaitu semacam interaksi terbuka antara kelompok subordinat dan kelompok yang mensubordinasi, tidak hanya perkataan akan tetapi juga tindakan ataupun tingkah laku. Antonim dari
taranskrip faormal adalah transkrip tersembunyi atau hiddin transcript, yang berarti tindakan, perkataan, maupun praktek yang dapat berupa gosif, desas-desus dan lain-lain. Pembahasan yang mendalam tentang hal ini dapat ditelusuri dari dasil
penelitian Siti Kusujiarti yang berjudul: Antara Idiologi dan Transkrip Tersembunyi: Dinamika Hubungan Gender dalam Masyarakat Jawa. Dalam buku “ Sangkan Paran Gender” , Irwan Abdullah ed, 2003, hal,89. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
149
Studi ini menemukan bahwa perlawanan perempuan terhadap suami di dalam ikatan perkawinan karena di dalam keluarga hubungan suami-isteri tidak terpenuhi
kewajiban-kewajiban moral yang mendasar dan tidak adanya distribusi yang adil terhadap sumber daya dalam keluarga. Seperti suami lari dari tanggungjawab untuk memenuhi
kebutuhan, dan isteri dibiarkan sendiri untuk menanggung beban sendiri. Isteri tidak lagi memperoleh akan pengahargaan dari suami, dan suami tidak bisa menempatkan secara
proporsional antara isteri sebagai teman, mitra dan kolega, dengan orang tua atau keluarga lain, yang sebenarnya bisa dipisahkan secara hitam-putih dari kehidupan sebagai sepasang
suami-isteri. Beberapa faktor ini akan memicu terjadinya pertentangan dan ngerorotnya isteri.
Selain itu bahwa perlawanan perempuan isteri dapat juga terjadi karenastruktur sosial yang ada di dalam masyarakat bertindak berlebihan sebagai a regulator agensi
untuk melakukan regulasi terhadap tingkah laku perempuan isteri, sehingga martabat mereka sangat tergantung dari adanya perijinan sosial atau a matter of social permission.
Ngerorot yang dilakukan oleh perempuan isteri paling tidak untuk mensiasati dominasi dari laki-laki suami, walaupun mereka tidak melakukan secara kelompok dan tidak
pula digerakkan di dalam bingkai wadah tertentu yang dapat memberikan dan menimbulkan kesadaran pada perempuan-perempuan isteri yang lain yang
tersubordinasi.
6.DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan ed, 2003. Sangkan Paran Gender. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Amin,dkk, 1997. Adat Istiada Daerah Nusa Tenggara Barat. Jakarta: Eka Darma.
Beauvoir De, Simone, 1999. SecondSex terj. Pustaka Promethea Berger L, Peter, dan Thomas Luckmann, 1990. Tafsir Sosial Atas Kenyataan terj. Jakarta:
LP3ES. Berger L. Peter, 1994. Langit Suci, Agama Sebagai Realitas Sosial terj. Jakarta: LP3ES
Bhasin, Kamla, 1996. Menggugat Patriarkiterj. Yogyakarta: Bentang. Budiman,Arief, 1982.Pembagian Kerja Secara Seksual, Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: PT. Gramedia. Camara, Helder Dom, 2000. Spiral Kekerasan terj. Yogyakarta: Insist Pustaka Pelajar.
Engineer, Ali, Asghar, 2000.Hak-hak Perempuan dalam Islam terj. Yogyakarta: LSPPA. Fromm, Erich, 2000. Akar Kekerasan, Analisis Sosio-Psikologi atas Watak Manusia.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Goode, J, William, 1991. Sosiologi Keluarga terj. Jakarta: Bina Aksara.
Hendarti M, Ignatia,2000. “Kekerasan Simbolik: Protes Terselubung dalam Cerita Fiksi Populer Wanita i
ndonesia”. Dalam Jurnal RENAI, Edisi oktober 2000-Maret 2001, tahun I, No. 1. Salatiga: Pustaka Percik.
Hikam, A.S, Muh, 1999. “Perlawanan Sosial: Telaah Teoritis dan Beberapa Studi Kasus”.
Prisma, no, 8, thn XIX. Jakarta: LP3ES. Karin,Erna, 1999.
“Pendekatan Perceraian dari Perspektif Sosiologi”.T.O.Ihromi peny, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga. Yakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Mernissi, Fatima, 1999.,Peran Pemberontakan Wanita Intelektual Kaum Wanita dalam Sejarah Muslimterj. Bandung: Mizan.
Moore,L. Henrietta, 1998. Feminisme dan Antropologi terj. Jakarta: Obor. Muhadjir, Noeng, 1989. Metode Penelitian Kualitatif, Telaah Positivistik, Rasionalistik
dan Phenomenologi. Yogyakarta: Rake sarasen. Nakamura, Hisako, 1990. Perceraian dalam Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Gajah Mada
press.
150
Jawad A, Haifaa, 2002. Otentisitas Hak-hak Perempuan, Perspektif Islam Atas Kesetaraan Jender terj. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Johnson P, Doyle, 1988. Teori Sosiologi Klasik dan Modern, jilid 1 dan 2 terj. Jakarta: Gramedia.
Ramulyo, Idris M, 1999. Hukum Perkawinan Islam. Jakarta: Bumi Aksara. Ritzer, G dan Douglas J, Goodman, 2004.Teori-Teori Sosiologi Modern terj. Jakarta:
Prenada Media.
Saadawi, El Nawal, 2001. Perempuan dalam Budaya Patriarki terj. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar. Saxson, Lloyd, 1985. The Individual, Marriage, and the Family. California: Wadsworth
Publishing Campany. Simon, Roger, 2000. Gagasan-Gagasan Politik Gramsci terj. Yogyakarta: Insist
Pustaka Pelajar. Syafruddin, Sumardi l dan Sukardi, 2009. Pengembangan Model Pendidikan keluarga
Melalui kelompok Muslimat NW sebagau Upaya Mencegah terjadinya Perceraian Pada masyarakat Sasak Lombok. Mataram: laporan penelitian
Lemlit Unrama Spradley, P.James, 1997. Metode Etnografi terj.Yogyakarta: Tiara Wacana.
Sushartami, Wiwik, 2002. “Perempuan Lanjang: Meretas Identitas di Luar Ikatan Perkawinan”. Dalam Jurnal Perempuan, Nomor 22, 2002. Jakarta: Yayasan
Jurnal Perempuan. Strauss, Amselm and Juliet Corbin, 1997. Dasar-dasar Penelitian Kualitatif, prosedur,
Teknik, dan Teori Grounded terj. Surabaya: Bina Ilmu. Vrendenbregt, J, 1981. Metode dan Teknik Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia.
151
BERAS DAN GERAKAN SOLIDARITAS SOSIAL PEREMPUAN DALAM TRADISI NYAMBUNG DITENGAH MONETISASI PEDESAAN
Dr. Soetji Lestari, M.Si.¹; Dr. Ign. Suksmadi Sutoyo, M.Si.²; Drs. Jarot Santoso, M.S.³; Drs. Tri Sugiarto, M.Si. ; Dr. Joko Santoso, M.Si. ; Drs. Nalfaridas Baharudin, M.Hum. ;
Dra. Rin Rostikawati, M.Si.
¹Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto Email:
soetji_lestariyahoo.co.id ,
²Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, UniversitasJenderal Soedirman –
Purwokerto, Email:
ignsuks.pwtgmail.com ³Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman
– Purwokerto
Email: masjarotsyahoo.com
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto Email:
trisugiarto12gmail.com Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman
– Purwokerto
Email: mas_jokoymail.com
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto Email:
das.bahar2014gmail.com ,
Jurusan Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Jenderal Soedirman –
Purwokerto, Email:
rinrostikawatiyahoo.co.id
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan nilai-nilai sosial ekonomi dalam beras; dan bertahannya beras sebagai media gerakan solidaritas sosial perempuan
dalam tradisi nyumbang di tengah intensifnya monetisasi pedesaan.Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipetakan akar gerakan solidaritas sosial perempuan desa.
Metode penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan mengambil lokasi di pedesaan Jawa di Kabupaten Banyumas Provinsi Jawa Tengah. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa beras masih menjadi bahan sumbangan yang utama bagi perempuan desa. Bagi perempuan desa, beras lebih memiliki nilai guna dan nilai tukar dibanding
uang. Solidaritas sosial yang ditunjukkan melalui beras dalam tradisi nyumbang lebih merepresentasikan bagaimana prinsip-prinsip resiprositas harus ditegakkan mengingat
ada mekanisme kontrolnya. Sebagai nilai guna, beras lebih bermakna daripada uang. Hal ini karena beras langsung berguna sebagai jamuan pokok tamu hajatan maupun untuk
membayar jasa tenaga yang membantu acara hajatan. Sementara beras sebagai nilai tukar ekonomi lebih memiliki nilai kepastian
dan memiliki nilai equivalensi yang ”tepat” sebagai alat resiprositassumbang-menyumbang; serta memiliki nilai jual kembali yang
tinggi dan cepat dibanding komoditas pangan untuk sumbangan yang lain. Fenomena ini memperlihatkan bahwa gerakan solidaritas sosial perempuan desamemiliki rasionalitas
152
sosial dan ekonomi secara bersamaan. Pertimbangan untung rugi secara sosial dan ekonomi sebagai dasar tindakan.
Kata Kunci: Perempuan, Pedesaan, Solidaritas Sosial, Beras, Tradisi Nyumbang
Abstract
This study aims to identify and map the socio-economic values in rice; and the persistence of rice as a medium for women’s social solidarity movement in the tradition of
gift giving amidst the intensification of rural monetization. From the results of this study are expected for mapping roots social solidarity movements among village women. The
research method used a qualitative approach, took place in rural Java in Banyumas regency, Central Java province. The result showed that rice is still the main ingredient for
donation by rural women. Rural women consider that the rice has a used value and exchange value than money. Social solidarity shown by the rice in a tradition representing
how the principles of reciprocity must be upheld based on control mechanism. Rice is more meaningful than money because the rice use for dish of food offered the quests or to pay
for services that help for celebration event. The rice has a precise and equivalence value for donation as social exchange tradition. The rise has high resale value and faster than
donation of food commodities for others donation. This phenomenon shows that the rural
women’s social solidarity movement based on both which social and economic rationality. Benefit considerations are socially and economically as a basis for action.
Keywords:
Women, Rural, Social Solidarity, Rice, Tradition Of Gift Giving
1.PENDAHULUAN
Nyumbang gift giving dalam tradisi hajatan merupakan pranata sosial sekaligus simbol ikatan sosial masyarakat desa yang penting, yang memiliki fungsi resiprositas
dengan cara saling memberi dan saling tolong menolong sekaligus menggambarkan dinamika interaksi komunitas warga desa.Nyumbang adalah konsep lokal Jawa yang
merupakan konsep pemberian atau gift giving.Pada prinsipnya pemberian adalah konsep yang bersifat universal dalam berbagai masyarakat di berbagai belahan dunia, sejak jaman
kuno hingga jaman modern sekarang ini. Letak perbedaan ada pada objek pemberian yang bervariasi antar budaya dan antar waktu. Banyak peristiwa-peristiwa penting yang
diciptakan masyarakat yang menjadi media untuk saling memberi, saling menerima, dan saling membalas sehingga terjalin ikatan dan interaksi sosial antar warga masyarakat.
Sebagaimana yang dikatakan oleh Durkheim, bahwa faham tentang pertukaran yang sepadan untuk saling memberi, menerima dan membalas ini merupakan satu prinsip moral
umum yang terdapat pada semua kebudayaan Scott 1981.
Dalam budaya Barat misalnya, dikenal dengan hadiah yang diberikan pada saat pernikahan, kelahiran, pemakaman, pesta ulang tahun, hari Natal,Santa Claus, Hari
Valentine, Hari Ibu dan Hari Ayah, ujian, promosi jabatan, pindah rumah, menyambut atau pesta perpisahan. Orang juga memberikan sesuatu ketika diundang untuk makan dengan
orang lain, atau ketika mengunjungi seorang teman yang sakit, memberi kepadapengemis, ke gereja, juga untuk amal Komter 2007. Menurut Belshaw 1981 bahwa kesempatan
untuk pemberian hadiah semakin meluas dan masih akan meluas lagi, seperti misalnya acara thanksgiving day hari Selasa terakhir bulan November, Tahun Baru, Valentine Day
14 Februari, serta diperkirakan Halloween 31 Oktoberjuga menjadi peristiwa sejenis. Sementara pada masyarakat kuno seperti di Samoa misalnya, sistem dari pemberian-
pemberian hadiah tidak hanya terbatas dalam hal perkawinan, tetapi juga muncul pada
153
peristiwa-peristiwa kelahiran bayi, sunatan, sakit, anak perempuan menginjak pubertas, upacara penguburan orang mati, dan perdagangan Mauss 1992.
Di Indonesia, peristiwa-peristiwa yang muncul dalam tradisi memberi hadiah tradisi nyumbang juga tidak jauh berbeda, hajatan yang bersifat suka seperti perkawinan,
khitanan, kelahiran, ulang tahun, dan lain sebagainya dan peristiwa yang bersifat duka kematian dan segala ritual yang mengiringi, sakit, dan musibah-musibah lainnya
Kutanegara, 2002; Lestari, 2010; Lestari, 2014. Peristiwa-peristiwa tersebut sangat bervariasi antar budaya dalam pelaksanaan tradisinya. Namun istilah tradisi nyumbang
umumnya diidentikkan dengan kegiatan hajatan besar perkawinan dan khitanan yang melibatkan masyarakat undangantamu yang banyak dan istilah tersebut berkonotasi
untuk masyarakat pedesaan. Di Madura, istilah tradisi nyumbang dikenal dengan nama
de’- nyande’, sementara di sebagian wilayah Jawa Timur ada istilah mbecek atau buwuh,
jagongadalah istilah lain untuk tradisi nyumbang di Jawa Tengah, dan gantangan adalah istilah untuk tradisi nyumbang di Subang Jawa Barat Prasetyo, 2012.
Di masa lalu, nyumbang dalam sejarah masyarakat pedesaan yang masih didominasi oleh sistem ekonomi subsisten ditandai dengan hasil-hasil produk pertanian
dan produk rumah tangga, termasuk juga hasil ternak seperti telor, daging ayam maupun daging sapi ataupun daging kambing, maupun hasil sayuran-sayuran dalam pekarangan
rumah. Sementara produksi industri rumah tangga, khususnya yang dikerjakan oleh perempuan, adalah seperti jenang, jadah, criping pisang, dan lain sebagainya hampir semua
bahan dasarnya sebagian besar merupakan produksi dari hasil pertanian sendiri. Banyak makanan-makanan khas buatan masyarakat desa yang dijumpai dalam tradisi nyumbang di
pedesaan.
Menurut Kutanegara 2002 tradisi nyumbang di pedesaan Jawa pada saat ini telah mengalami perkembangan yang cukup pesat. Perubahan sosial ekonomi pedesaan telah
mengakibatkan terjadinya perubahan dalam bentuk dan jenis benda yang disumbangkan. Pada saat perekonomian pedesaan didominasi oleh sistem ekonomi subsisten, yang
diperkirakan terjadi sampai empat puluh tahun yang lalu tahun 1970an, jenis-jenis barang yang disumbangkan untuk acara pernikahan atau supitan adalah bahan-bahan kebutuhan
seperti beras, tiwul, kelapa, tempe, teh, gula dan sebagainya. Namun seiring dengan perkembangan ekonomi pasar, pengeluaran yang harus ditanggung rumah tangga desa ini
semakin berat. Kalau sebelumnya nyumbang dapat menggunakan produk pertanian, namun sekarang lebih banyak menggunakan uang tunai. Dengan demikian setiap warga desa
membutuhkan lebih banyak uang dalam rangka memenuhi kebutuhan di luar konsumsi harian, ini menyebabkan uang lebih penting dalam setiap transaksi sosial Husken dan
White 1989: Abdullah 1990; Darini 2011. Sistem ekonomi pasar uang yang ada juga ikut berpengaruh terhadap pranata-pranata sosial di pedesaan, termasuk dalam hal tradisi
nyumbang. Pada saat ini masyarakat sudah terbiasa menyumbang uang untuk hajatan termasuk di wilayah-wilayah pedesaan.
Namun di tengah monetisasi yang sangat intensif berlangsung di pedesaan, hasil penelitian yang dilakukan Lestari 1999; 2010, 2014, dan 2015 menunjukkan bahwa
perempuan di wilayah pedesaan Kabupaten Banyumas masih bertahan dengan beras sebagai bentuk sumbangan utama pada kegiatan hajatan. Bukan hanya bertahan dalam
bentuk berasnya, namun juga dalam hal besarannya yakni sekitar 2,5 kg beras. Solidaritas sosial yang ditunjukkan perempuan desa melalui sumbangan beras ini perlu dipahami
dalam konteks perubahan sosial yang terjadi di pedesaan, terutama dari sistem ekonomi subsisten menuju sistem ekonomi pasar. Berbagai studi tentang tradisi nyumbang di
pedesaan yang dilakukan oleh Hefner 1983, Djawahir 1999, Kutanegara 2002, Prasetiyo 2003, Lestari 2010; 2014, Prasetyo 2012, dan Sutoyo 2015
memperlihatkan bahwa beras merupakan media resiprositas yang penting dalam pranata
154
sosial tradisi nyumbang di pedesaan. Bentuk gotong royong dan solidaritas sosial dalam tradisi nyumbang ditunjukkan melalui sumbangan beras. Beras menjadi alat tukar sosial
yang penting dalam transaksi sosial ekonomi pedesaan. Namun demikian studi-studi tersebut umumnya tidak memberikan porsi secara khusus bagaimana hubungan beras dan
gender dalam tradisi nyumbang.
Dalam tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan memetakan nilai-nilai sosial ekonomi dalam beras; dan bertahannya beras sebagai media gerakan solidaritas
sosial perempuan dalam tradisi nyumbang di tengah intensifnya monetisasi pedesaan. Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat dipetakan akar gerakan solidaritas sosial
perempuan desa.
2.TINJAUAN PUSTAKA
Altruism, giving, pro-social conduct, and reciprocity are the basis of the existence and performance of societies, through their various occurrences: in families;
among the diverse motives of the political and public sectors; as the general respect and moral conduct which permit life in society and exchanges; for
remedying “failures” of markets and organizations which they sometimes also create; and in charity and specific organizations Kolm, 2006
1. Tradisi Nyumbang dalam Teori Pertukaran Sosial