KESIMPULAN PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

723

5. KESIMPULAN

Upaya preventif dan promotif merupakan sebuah tindakan dalam mencegah meningkatnya angka kejadian suatu penyakit. Upaya preventif kejadian TB anak dapat dilakukan mulai dari rumah tangga yaitu orang tua balita dengan meningkatkan kondisi rumah sehat dan melakukan imunisasi BCG, orang tua berperan aktif mencari informasi pada pembina wilayah setempat dengan dukungan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat dan pemerintah dalam hal ini institusi kesehatan juga aparat baik tingkat kewilayahan, KotaKabupaten, Provinsi maupun Pusat. Keberhasilan upaya preventif penanganan TB anak dengan meningkatkan kondisi rumah dan cakupan imunisasi BCG sangat ditentukan oleh kelompok sosial yang mendukungnya. Gerakan sosial secara menyeluruh melalui kegiatan posyandu, rapat -rapat RW dan kegiatan kemasyarakatan lainnya secara terus menerus melalui promosi kesehatan akan mendukung upaya preventive penanganan TB anak.

6. DAFTAR PUSTAKA

Arda Dinata, Setyabudi, H. N., Muilin, Putro, G. 2014. Rumah Sehat Jubata, Radakng. Jakarta: Lembaga Penerbitan Balitbangkes. Barnard A. 2004. History and Theory in Anthropology. UK : The Press Syndicate Barth F. 1981. Features of person and society in Swat Collected essays of Pathans. London : Routledgeegan Paul Ltd. Blum, H. 1974. Planning For Health, Development and Application of Social Change Theory. New York: Human Science Press. Bordieu, P. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press. Burawoy M., The Extended Case Method. Jurnal Sociological Theory 16:1 March 1998. American Sociological Association. Dinas Kesehatan Kota Bandung. Profil Kesehatan tahun 2014. Foster. GM., Anderson BG. 2013. Atropologi Kesehatan. Jakarta : UI Press Garna,Judistira K. 2002. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung : CV Primaco Akademika Gordon B, Mackay R, Rehfuess E. Inhereting the world:The atlas of children’s health and the environment. UK : Myriad Editions Limited; 2004 Tersedia dari : http:www.who.int [11 September 2009]. Imelda JD. 2014. Disease interpretations and Response among HIV-positive Mothers. Jurnal Antropologi Indonesia Vo. 35 No. 1 Tahun 2014. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829MenkesSKVII1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan. Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI Press 724 Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press Lapau B, Saiffudin AF. 2015. Epidemiologi dan Antropologi. Jakarta : Prenadamedia Grup. Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta. Sadewo, F. S. 2014. Merindukan Hidup Sehat, Oroma . Jakarta: Balitbangkes. Singer,Merryl. The Anthropology of Infectious Disease. 2015. USA : Left Coast Press, Inc Talbot, M. 1896. Sanitation and Sociology. American Journal of Sociology, 74-81. Tersedia dari www.jstor.orgstable2761774 Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan Widiastuti T. 2012. Strategi Pesan Promosi Kesehatan Cegah Flu Burung. Jurnal MIMBAR Vol. 28 No. 2 Tahun 2012. Van Baal. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. 1988. Jakarta : PT. Gramedia. Veeger KJ. 1993. Realitas Sosial. Jakarta : PT Gramedia World Health Organization. Children’s Environmental Health Programme.2009 Tersedia dari http:www.who.intceh [23 Agustus 2009]. World Health Organization. Indikator perbaikan kesehatan lingkungan anak. Alih bahasa : Apriningsih. Editor : Herdiyanti EA. Jakarta: EGC;2005. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015. Tersedia : http:www.who.inttbpublicationsglobal_reportgtbr15_annex04.pdf?ua=1 [12012016] 2.575.478 107 Merokok dan Tuberkulosis. 2012. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol 8-Maret 2012 Air bersih, Saitasi dan Kebersihan. 2012. UNICEF Indonesia Eckholm, Erik P. 1982. Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit. Jakarta : PT Gramedia Ihromi TO. 1996. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama Van Ufford, Philip Q. Frans Husken, et all. Alih Bahasa : RG Soekadijo. 1989. Tendensi dan Tradisi dalam Sosiologi Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : PT Raya Grafindo Persada 725 Susilo, Rachmad KD. 2005. Integrasi Ilmu Sosial. Upaya Integrasi Ilmu Sosial Tiga Peradaban. Yogyakarta : Arruz Media 726 KAJI TINDAK KONSEP PEMBAGIAN KERJA ANTARA APARAT DENGAN MASYARAKAT DALAM PROGRAM BERBASIS LINGKUNGAN STUDI KASUS KELURAHAN MALALAYANG SATU TIMUR KOTA MANADO Evelin J.R. Kawung Program Studi Sosiologi Universitas Sam Ratulangi Manado Email: evelinjeanetteyaho.co.id Abstrak Kota Manado Propinsi Sulawesi Utara melalui program kepemerintahan, telah mencanangkan program berbasis lingkungan yang disebut Alokasi Dana Penguatan Tingkat Lingkungan ADPTL. Program tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan masyarakat ditingkat lingkungan. Tujuan kajian adalah untuk menilai dan melakukan tindakan pendampingan kepada aparat pemerintahan dan kelompok masyarakat di tingkat lingkungan dalam memahami konsep pembagian kerja antara aparat dengan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan berbasis lingkungan. Hasil kajian menunjukkan bahwa 1 Pembangunan berbasis lingkungan Kota Manado telah membantu penyelesaian permasalahan skala kelurahan, karena masing- masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Namun adanya keterlambatan pencairan dana menunjukkan adanya sikap keraguan dari kelompok masyarakat yang dibentuk 2 Adanya pembagian kerja antara aparat dengan masyarakat dalam menjalankan program berbasis lingkungan berpeluang terjadinya sinergi kepemerintahan dengan masyarakat, walaupun dalam pelaksanaan di tingkat kelurahan masih lemah, sehingga diperlukan sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap program yang nantinya dilaksanakan. Abstract Kota Manado North Sulawesi Province through governance program, has launched a neighborhood-based program called Strengthening Fund Allocation Rate Environment ADPTL. The program is expected to address the environmental problems of the community level. Objective study is to assess and take action assistance to government officials and community groups at the neighborhood level in understanding the concept of division of labor between the public authorities in the implementation of program-based development environment. The results showed that 1 Development based environment Kota Manado has helped settle matters village scale, because each village along its citizens have been able to resolve their own problems. But the delay in the disbursement of funds showed an attitude of doubt from community groups formed 2 The division of labor between the police officers with the community in running the program based on the environment the chance of synergies kepemerintahandengan society, although in the implementation at the village level is still weak, so that the necessary socialization and dissemination of information the program that will be implemented. PENDAHULUAN Proses pelaksanaan otonomi daerah diperlukan kepastian pembiayaan. Kota Manado Propinsi Sulawesi Utara melalui kepemerintahan, telah mencanangkan program Alokasi Dana Penguatan Tingkat Lingkungan ADPTL sebesar Rp. 75.000.000. Dana tersebut bersumber dari APBD Kota Manado. Program ini diduga mampu mendorong penanganan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat secara mandiri di tingkat lingkungan,tanpa harus menunggu datangnya program-program tender dari instansi 727 terkait. Di samping itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan kelurahan tidak lagi sebagai perangkat kecamatan, akan tetapi berkedudukan sebagai perangkat daerah sebagaimana unit kerja lainnya yang secara administrasi lingkup wilayahnya berada dalam wilayah kecamatan. Di sini kelurahan tidak lagi menerima limpahan kewenangan dari camat, tetapi menerima pelimpahan sebagian urusan otonomi daerah dari Walikota. Pegawai kelurahan dalam konteks undang-undang ini otomatis merupakan pegawai daerah. Sementara itu, hubungan antara kelurahan dan kecamatan lebih bersifat koordinasi dan fasilitasi, bukan hirarki. Adanya kebijakan yang baru dari Pemerintah Kota Manado tentang pendanaan penguatan pemerintahan dan pembangunan di tingkat lingkungan, perlu dilakukan sosialisasi atau konsultasi publik sehingga masyarakat bersama-sama aparat pemerintahan di tingkat lingkungan dapat merencanakan program-program tanpa menunggu penentuan program yang ditetapkan oleh dinas top down.Meski programnya baik tetapi sering tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Permasalahan utama dalam pelaksanaan program ADPTL di kelurahan adalah: 1 Kurangnya pemahaman konsep koproduksi dalam pelaksanaan program; 2 Persepsi masyarakat mengenai tingkat kinerja pelayanan kepemerintahan dan tingkat kepentingan terkait program masih rendah karena keterlibatan warga dalam mekanisme perencanaan pembangunan masih kurang nampak.Definisi, asumsi dan lingkup yang menjadi batasan kaji tindak yaituKonsep koproduksi sesungguhnya adalah pembagian kerja antara pemerintah dan masyarakat sipilprivat sehingga di samping terjadinya reduksi biaya yang signifikan, manfaat pelayanan yang tersedia juga menimbulkan efek ganda yang lebih besar. Masyarakat sebagai co-producer merasa memiliki atas aset yang ada di sekitarnya karena mereka turut serta memasok input, sementara pemerintah sebagai producer tidak jenuh beban atas persoalan yang terus terakumulasi karena didukung oleh masyarakat.Tujuan kajian adalah untuk menilai dan memberi pendampingan kepada aparat pemerintahan dan kelompok masyarakat di tingkat lingkungan dalam memahami konsep pembagian kerja antara aparat dengan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan berbasis lingkungan. METODE PELAKSANAAN Kegiatan kaji tindakdilaksanakan di Kelurahan Malalayang Satu Timur Kecamatan Malalayang Kota Manado, berlangsung selama 6 bulan. Metode pendekatan yang ditawarkan yaitu berbentuk Konsultasi Publik antara tim yang melibatkan aparat kepemerintahan tingkat Kota dan Kelurahan dengan masyarakat yang tergabung dalam satu lingkungan pemerintahan.Kegiatan kaji tindak meliputi: 1Identifikasi permasalahan lingkungan; 2 Melakukan dengan pemerintah dan masyarakat; 3 Melakukan Konsultasi Publik. Adapun materi yang disampaikan dalam konsultasi publik meliputi penjelasan tentang program ADPTL, sosialisasi aplikasi Konsep koproduksi dengan contoh-contoh cara pembuatan program yang mendasar. Di samping itu dalam kegiatan konsultasi public akan melibatkan aparat Pemerintahan Kota yang terkait dengan ADPTL untuk menjelaskan program.Kerjasama kolaboratif yang saling melengkapi sebagai kekuatan lingkungan kelurahan dan penanganan masalah mitra kajian sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 1, 2 dan 3 Model grafik Kerangka dan Materi yang diajukan dalam penangganan permasalahan mitra berkaitan dengan konsep pemberdayaan ditunjukkan pada gambar 1. 728 Gambar1 Model Penanganan Mitra Terkait Konsep Pemberdayaan Sebagai Kekuatan Lingkungan KELURAHAN PEMERINTAH Kelurahan KERJASAMA KOLABORATIF BERSINERGI MELENGKAPI MELEKAT MASYARAKAT Pemerintah Kelompok Masyarakat Peneliti Pendampingan Merencanakan Program Menghadirkan kembali pengalaman yang memberdayakan dan tidak memberdayakan Mengembangkan rencana-rencana aksi dan mengimplementasikannya Mendiskusikan alasan mengapa terjadi pemberdayaan dan pentidakberdayaan Mengidentifikasikan basis daya yang bermakna Mengidentifikasikan suatu masalah atau proyek 729 Gambar2Proses Kolaboratif Masyarakat dan Aparat Pemerintahan sebagai Kekuatan Lingkungan Kelurahan RELASI KOPRODUKSI ANTARA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT Relasi pemerintah dan masyarakat yang nyatanya tidak dalam kerangka kemitraan, sebenarnya tidak perlu terjadi jika mengacu pada konsep koproduksi. Dalam koproduksi, pemerintah sebagai producer seyogianya mampu menempatkan masyarakat sebagai pemasok produksi lain co-producers bukan sebagai klien. Meski konsep koproduksi bukan hal baru, konsep ini masih relevan dalam memahami persoalan kepemerintahan lokal. KEMANFAATAN PROGRAM Dari segi kepentingan Kota, adanya pembangunan berbasis lingkunganKota Manado tidak repot lagi terlibat dalam penyelesaian permasalahan permasalahan skala kelurahan karena masing-masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala Kota yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang Kota. Gambar3RingkasanKaji Tindak Sosialisasi merupakan tahapan awal dari keseluruhan rangkaian pelaksanaan PBL- MAPALUSE pada tingkat kota sampai ketingkat lingkungan. Pada tahap ini , dijelaskan tentang mekanisme program, konsekwensi yang harus dihadapi dan komitmen yang harus diberikan apabila program ini dijalankan. Sosialisasi tingkat kota dilaksanakan oleh BPMPK dan tim koordinasi informasi mengenai PBL-MAPALUSE kepada masyarakat, akan dijelaskan oleh pokja dan kepala lingkungan yang sudah terlebih dahulu mengikuti sosialisasi ditingkat kota. Melalui proses ini diharapkan seluruh masyarakat lingkungan mendapatkan informasi yang cukup, oleh karena itu proses penyebaran informasi ini harus diberikan kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat ditingkat lingkungan, yaitu kepada rentan laki-laki,perempuan. Identifikasi Permasalahan Mitra Mengadakan Komunikasi Dengan Pemerintah Desa Mengadakan Konsultasi Publik 730 Gambar4Dokumentasi Kaji Tindak HASIL DAN PEMBAHASAN Kelurahan Malalayang Satu Timur merupakan pemekaran dari kelurahan Malalayang Satu Kecamatan Malalayang Kota Manado. Potensi sumberdaya manusia kelurahan terdiriatas 2732 orang laki-laki, 2808 orang perempuan, dengan jumlah kepala keluarga 1497. Dominansi tingkat pendidikan tidak tamat SLTP dan SLTA. Adapun mata pencaharian bervariasi dari petani dan buruh sampai pada pegawai negeri maupun swasta. Jumlah tenaga kerja usia 18-56 yang belum atau tidak bekerja yakni 1051 laki-laki dan 1129 perempuan. Potensi kelembagaan aparat pemerintahan kelurahan, 11 orang dengan 7 unit kerja perangkat kelurahan dengan tingkat pendidikan rata-rata sarjana. Di samping itu terdapat potensi 7 lingkungan kelurahan yang aktif, 5 unit organisasi rukun warga dan 12 unit organisasi rukun tetangga. Ruang lingkup kegiatan lembaga kemasyarakatan kelurahan antara lain mengurus dana duka, menunjang kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup, keamananketertiban. Sosial, keagamaan, pengembangan sumberdaya manusia, hukum dan ekonomi. Potensi pertanian dan perkebunan umumnya diusahakan oleh 1704 keluarga petani. Rata-rata 1291 keluarga memiliki lahan kurang dari satu hektar dan 300 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. Jenis tanaman pangan yang diusahakan antara lain jagung dan umbi-umbian, sedangkan buah-buahan seperti mangga, rambutan, papaya dan pisang dengan usaha kebanyakan di bawah pohon kelapa, cengkeh dan pala. Keputusan Lurah Malalayang Satu Timur Kota Manado No. 31 Tahun 2012 menetapkan kelompok masyarakat mapalus KMM,pembangunan berbasis lingkungan mapaluse 731 PBL-MAPALUSE. Kelompok inibertujuan untukmemperlancar membangun prasarana lingkungan, sosial dan ekonomi. PBL-MAPALUSE merupakan program unggulan kota Manado untuk menjadi acuan pelaksanaan program pembangunan infrastruktur, sosial dan ekonomi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara “MAPALUS” disetiap lingkungan dalam wilayah kelurahan. Dalam melaksanakan program dan kegiatan PBL-MAPALUSE ditingkat lingkungan terdapat komponen kepala lingkungan dan KMM. Lurah sebagai kepala pemerintahan di tingkat Kelurahan, mengangkat kepala lingkungan menjadi ketua KMM dan unsur masyarakat menjadi sekertaris, bendahara, anggota KMM dilingkungan masing-masing. Kepala lingkungan selaku ketua mempunyai peran utama sebagai motor penggerak partisipasi masyarakat dan memberikan jaminan pelaksanaan PBL-MAPALUSE diwilayah kerjanya berjalan dengan lancar dan baik sesuai pedoman yang berlaku dan tugasnya secara rinci antara lain: membantu sosialisasi ditingkat lingkungan,melakukan pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya masyarakat yang dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat, memberi laporan bulanan kegiatan PBL-MAPALUSE diwilayahnya kepada Lurah dan PKK,bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir termasuk melakukan penagihan. Sedangkan KMM mempunyai tugas: melakukan pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya oleh masyarakat, menyusun usulan kegiatan pembangunan terkait dengan PBL-MAPALUSE, mengelola dana yang diperolehnya untuk mendanai kegiatan pembangunan yang diusulkan, mencatat dan membuat laporan kegiatan dan keuangan kegiatan pembangunan yang diusulkan, memerapkan nilai-nilai transparansi,demokrasi,membangun dengan mutu dalam pelaksanaan pembangunan yang dikerjakan, melakukan tugas administrasi pengelolaan dana untuk seluruh kegiatan yang dilaksanakan. Hasil kajian menunjukkan, adanya program penguatan lingkungan dapat memanfaatkan potensi kelurahan yang ada. Namun disadari bahwa dalam pelaksanaan program penguatan lingkungan, setidaknya akan menghadapi tiga kelompok yang harus siap di dalamnya yaitu: pertama, sejauhmana kesiapan aparat lingkungan untuk mengelola. Kedua, peran tokoh masyarakat harus ada, untuk menyadarkan bagaimana agar program seimbang antara fisik dan non fisik. Aparat lingkungankelurahan dan tokoh masyarakat juga harus diberdayakan. Ketiga, siapa masyarakat itu sendiri, misalnya jika kelurahan sedang berbicara masalah pemberdayaan, maka masyarakat harus dilibatkan.Kegiatan ADPTL sangat bermanfaat, antara lain: 1 masyarakat di tingkat lingkungan akan lebih leluasa berekspresi mencapai kemajuan. Aspirasi masyarakat lebih terakomodir karena pengambil kebijakan berada di tengah-tengah masyarakat, bahkan mereka sendiri sebagai bagian dari pengambil keputusan; 2 pelaksanaan pembangunan di kelurahan menjadi maksimal karena realistis, dikerjakan sendiri dan mendapat dukungan swadaya dari masyarakat; 3 kontrol langsung secara intensif dari masyarakat memungkinkan dan dapat meminimalisir bahkan meniadakan penyimpangan. Pemerintah yang selama ini dominan dan mengambil alih semua pengelolaan masyarakat telah mengoreksi peranannya dengan memberi ruang yang lebih besar kepada masyarakat Abers 1998; Kloby 2001. Kerjasama kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat bukan suatu utopia tetapi keduanya dapat bersinergi baik dalam bentuk melengkapi maupun menyatu atau melekat. Desentralisasi atau otonomi daerah tidak bisa tercapai tujuannya kalau masyarakat hanya berada diluar sistem.Artinya,masyarakat juga memerlukan otonomi agar mampu berkolaborasi dengan pemerintah dan tidak terkooptasi. Namun lahirnya kebijakan otonomi daerah telah pula menimbulkan persoalan yaitu kecenderungan lahirnya “raja-raja lokal” yang dianggap kurang berpihak pada kepentingan publik. Penelitian Fernandez 2002 di Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, memperlihatkan bahwa mutu pelayanan 732 publik sebagai salah satu tujuan keberhasilan demokratisasi dan desentralisasi masih belum banyak diperhatikan. Faktor-faktor kelembagaan politik tidak siknifikan mempengaruhi kepuasan masyarakat terhadap proses desentralisasi didaerahnya, sehingga proses partisipasi dalam praktek pengambilan keputusan sehari-hari tidak terjadi. Secara umum gerakan kepemerintahan yang baik sekarang ini menunjukkan berbagai kecenderungan: pertama, bagi institusi pemerintah implimentasi kepemerintahan belum berjalan meskipun telah dikemas dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas. Berbagai aktivitas strategis masih menjadi kavling mutlak pemerintah walaupun menyangkut kepentingan publik,misalnya pembahasan dan pengalokasian anggaran; kedua, ada kecenderungan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap berbagai program yang diinisiasi atau diciptakan pemerintah. Dipihak lain, pemerintah sendiri terus membangun program pemberdayaan masyarakat yang terkesan tidak sesuai kebutuhan dan persoalan sebenarnya; ketiga kebijakan atau program yang dibangun dari atas pemerintah pusat, pemerintah propinsikota, lembaga donor umumnya kurang pas. Akibatnya sinergi antara pemerintah dan masyarkat, termasuk sinergi antarsektor pemerintah sendiri mulai dari tingkat atas hingga tingkat kelurahan masih menjadi persoalan besar. Sinergi tingkat lokal dalam hal ini kelurahan yang dimaksud adalah bagaimana menciptakan relasi saling melengkapi dan melekat antara pemerintah dan masyarakat. Pemerintah yang telah lama memerankan diri sebagai “patron”dan masyarakat sebagai “klien”dan menciptakan hubungan “patron-klien” Abers 1998 harus merubah pandangannya bahwa masyarakat adalah pemasok input co-producer yang setara dengan pemerintah dalam pembangunan masyarakat Ostrom,1996. Pemerintah bukan lagi aktor tunggal patron yang memasok semua input kebutuhan masyarakat, sedangkan masyarakat bukan penerima pasif klien yang tunduk pada kepentingan pemerintah. Relasi pemerintah dan masyarakat yang nyatanya tidak dalam kerangka kemitraan, sebenarnya tidak perlu terjadi jika mengacu pada konsep koproduksi. Dalam koproduksi, pemerintah sebagai producer seyogianya mampu menempatkan masyarakat sebagai pemasok produksi lain co-producers bukan sebagai klien. Meski konsep koproduksi bukan hal baru, konsep ini masih relevan dalam memahami persoalan kepemerintahan lokal. Ostrom 1996 telah mengemukakan konsep ini sejak tahun 1970-an melalui kajiannya di Indianapolis. Menurutnya, warga yang diperlakukan sebagai klien dalam pemberian pelayanan oleh para staf profesional pemerintah nyatanya tidak berjalan efektif tanpa keterlibatan warga. Hal ini disebabkan:pertama, adanya pemikiran bahwa pemasok produksi adalah tunggal pemerintah padahal ada banyak lembaga publik dan swasta yang mendukung produksi itu. Kedua, para birokrat lapangan tidak selalu mencerminkan diri sebagai kaki tangan atau mesin birokrasi pusat yangakan selalu patuh pada petunjuk atasan, mereka juga punya seni sendiri dalam bekerja. Ketiga, produksi pelayanan barang, termasuk pelayanan sosial sulit berjalan tanpa partisipasi aktif warga yang menjadi penerimanya. Ostrom memberi contoh, jika para siswa tidak aktif di dalam proses pendidikan, dan jika mereka tidak didukung oleh keluarga dan teman, maka pekerjaan guru tidak banyak membuahkan hasil. Demikian juga jika warga tidak mau melaporkan peristiwa-peristiwa mencurigakan secara cepat kepada polisi, maka hanya sedikit yang bisa diperbuat untuk mengurangi tindak kejahatan.Perlakuan sebagai klien relasi patron-klien oleh pemerintah kepada masyarakat menyebabkan klien menjadi penerima pasif pelayanan. Padahal warga dalam konsep kepemerintahan harus aktif atau diupayakan menjadi aktif dalam memproduksi pelayanan publik. Relasi koproduksi mengingatkan bahwa pemerintah yang kuat tidak harus terjadi dalam absennya masyarakat sipil atau sebaliknya masyarakat sipil yang kuat tidak hanya terjadi pada saat negara melemah. Keduanya tidak harus dalam kondisi berhadapan. Negara dan masyarakat dapat bersinergi sebagai katalist pembangunan yang terikat dalam suatu 733 kerjasama dan jaringan. Norma-norma kerjasama dan jaringan antar warga masyarakat dapat dibangun melalui lembaga-lembaga publik dan digunakan untuk tujuan pembangunan. Artinya, jaringan horisontal yang terdapat di masyarakat, melalui pengaturan publik, dapat menjadi faktor penentu bagi berhasilnya program pembangunan. Apa yang ingin ditekankan dalam konsep koproduksi sebenarnya adalah dengan pembagian kerja itu ada peluang terjadinya sinergi pemerintah dan masyarakat. Hasil identifikasi, peran dari setiap pelaku PBL-MAPALUSE sangat nyata yaitu pemerintah dan masyarakat baik dari tingkat kota, kecamatan, kelurahan dan lingkungan. Peranan sosialisasi juga diperluas dan diperkuat mulai dari tingkat kota sampai ketingkat lingkungan. PBL-MAPALUSE merupakan program pemerintah kota Manado yang berupaya memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk pemerintah kecamatan dan kelurahan dan kelompok peduli yang ada dimasyarakat, untuk membangun “gerakan kemitraan” dalam menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Kejelasan tata peran dari pelaku-pelaku PBL-MAPALUSE, sangat penting dalam upaya membangun hubungan kerja yang integral dan komplementer agar tercapai misi utama PBL-MAPALUSE, yakni memberdayakan masyarakat dalam menganggulangi masalah kemiskinan,yang didukung oleh pemerintah daerah, kelompok peduli dan masyarakat setempat. Kurangnya sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap PBL- MAPALUSE akan dapat mengakibatkan kurang utuhnya pemahaman mengenai PBL- MAPALUSE dikalangan pelaku dan masyarakat,yang pada gilirannya akan memudarkan makna serta tujuan PBL-MAPALUSE itu sendiri. Pada sisi lain, PBL-MAPALUSE yang memiliki cakupan yang sangat luas 504 lingkungan untuk Kota Manado, baik wilayah maupun kelompok sasaran, menuntut peran kunci strategi sosialisasi pada keseluruhan pelaksanaan PBL_MAPALUSE yang akan melibatkan berbagai stakeholders.. Untuk menjamin hal itu, maka kegiatan sosialisai dalam PBL-MAPALUSE ini harus dilakukan secara terencana dan terpadu. Mulai dari tujuan yang hendak dicapai, siapa saja yang akan menjadi sasaran sosialisasi, dan siapa pelakunya. Hanya dengan model sosialisasi yang utuh tersebut yang akan menjamin terwujudnya penyamaan persepsi serta tumbuhnya motivasi masyarakat sesuai yang diharapkan. Kegiatan sosialisasi telah dilakukan oleh instansi terkait secara berjenjang mulai dari tingkat kota, kecamatan,kelurahan samapi ketingkat lingkungan. Pelaku sosialisasi adalah BPMPK,tim koordinasiSKPD terkait,camat,lurah,fasilitator,pokja dan kepala lingkungan. Dari segi kepentingan Kota, adanya pembangunan berbasis lingkunganKota tidak repot lagi terlibat dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan skala kelurahan karena masing-masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik untuk skala Kota yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang Kota. Selain meminimalisasi beban tugas, pembangunan berbasis lingkungan juga melahirkan efisiensi pembiayaan pembangunan. Selama ini pembangunan kelurahan hampir selalu dipilihkan dari atas, atau diistilahkan top down dan pelaksananya dinas instansi pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari kelurahan, bahkan lingkungan, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah kota. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke kelurahanbukanlah kebutuhan masyarakat. Biaya pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari cara pandang masyarakat. Manfaatnya adalah meningkatkan pemerataan pembangunan dan pelayanan. Gerakan pembangunan selama ini sering kali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada kelurahan yang selalu 734 mengalir dengan lancar proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada kelurahan yang jarang dapat bagian kue pembangunan. Kondisi semacam ini di samping menciptakan kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi kelurahan yang tidak pernah kebagian. Manfaat yang tidak kalah penting adalah meningkatkan peran Kelurahan. Kelurahan penerima pembangunan berbasis lingkungan semakin aktif menjalankan perannya dalam pelayanan publik dan pembangunan. Peningkatan peranan kelurahan dalam pembangunan berkontribusi besar mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesulitan yang selama ini membelenggu kelurahan secara bertahap mampu diurai oleh mereka sendiri. Dari sudut pandang pemberdayaan, masyarakat kelurahan semakin mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dan ini menjadi indikator kemandirian.Peningkatan kapasitas pelaku adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kapsiatas pelaku agar mampu menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi positif bagi masyarakat terutama kelompok masyarakat kurang mampu dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak. Kegiatan terkait dalam komponen ini antara lain pelatihan,on the job training,bimbingan,kunjungan lapangan. Agar pelatihan-pelatihan ini pada gilirannya mampu menghasilkan pelaku- pelaku yang efektif, maka seluruh pelatihan yang berkaitan dengan PBL_MAPALUSE harus mampu menyentuh unsur manusianya sebagai sasaran perubahan. Kegiatan lanjutan berupa model pelatihan diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis perubahan prilaku kolektif. Penantian lingkungan untuk mendapatkan dana pembangunan berbasis lingkungan PBL sangat diharapkan oleh masyarakat, walaupun sampai pelaksanaan IbM ini belum terealisasikan. Namun informasi melalui media masa, pemerintah kota Manado sudah siap akan menyalurkan dana tersebut setelah tahapan verifikasi.Setiap lingkungan akan mendapatkan masing-masing 75 juta dengan total anggaran 37,8 M untuk keseluruhan Kota Manado. Dana tersebut akan langsung ditransfer kerekening kelompok masyarakat mapaluse KMM. Dana tersebut diperuntukkan sesuai kebutuhan lingkungan serta berdasarkan proposal yang telah dimasukkan dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat. Pembangunan meliputi fisik sosial,dan ekonomi warga. Penyaluran dana akan dilakukan bertahap dan harus mendapatkan pengawasan secara ketat baik dari pemkot dan seluruh elemen masyarakat. Dana diserahkan dalam 3 tahapandan wajib disertai laporan. KESIMPULAN 1. Pembangunan berbasis lingkunganKota Manado telah membantu penyelesaian permasalahan skala kelurahan, karena masing-masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Namun adanya keterlambatan pencairan dana menunjukkan adanya sikap keraguan dari kelompok masyarakat yang dibentuk. 2. Adanya pembagian kerja antara aparat dengan masyarakat dalam menjalankan program berbasis lingkungan berpeluang terjadinya sinergi kepemerintahandengan masyarakat, walaupun dalam pelaksanaan di tingkat kelurahan masih lemah, sehingga diperlukan sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap program yang nantinya dilaksanakan. 735 DAFTAR PUSTAKA Abers, Rebecca. 1998. From Clientelism to Cooperation: Local Government: Participatory Policy and Civic Organizing in Porto Alegre, Brasil, in: Politics and Society, Vol. 26 No. 4, p. 511-537. Fernandez, Joe. 2002. Membangun Partisipasi Melalui Transparansi Anggaran.Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7 No. 2, Bandung. Akatiga. Harian Komentar. 2008. Dinas Pertanian Kota Mitra Komitmen Terhadap Pemberdayaan Masyarakat,30 Desember 2008. Hudayana B dan Tim Peneliti FPPD. 2005. Peluang Pengembangan Pertisipasi Masyarakat Melalui Kebijakan Alokasi Dana Kelurahan: Pengalaman Enam Kota.Makalah Pertemuan Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat FPPM di Lombok Barat 27-29 Januari 2005. Kloby, Jerry. 2003. Participatory Budgenting in Institute of Community Studies, Newsletter No. 10, Spring edition. Maryunani, Nurkholis, M. Ismail, A. Suman, U. Lugido, Roekhudin dan G. Maski. 2002. Alokasi Dana Kelurahan Formulasi dan Implementasi. Fakultas Ekonomi UB dan Partnersip for Governance Reform in Indonesia. Ostrom, Elinor. 1996. Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy and Development in Evans, Peter 1996 State-Society Synergy: Government and Social Capital in Development, Research Series Number 94. 736 BAB V GERAKAN PETANI DAN NELAYAN 737 DARI MUKJIZAT KE KEMISKINAN ABSOLUT: PERLAWANAN PETANI RIAU MASA ORDE BARU DAN REFORMASI 1970-2010 Drs. Zaiyardam Zubir, M.Hum 1 , Dr. Lindayanti, M.Hum 2 , Fajri Rahman, S.Sos., MA 3 . 1 Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang Email: zaiyardam_zubiryahoo.com 2 Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang Email; linda_swanyahoo.com 3 Jurusan Antropologi Fisip Universitas Andalas Padang nada2rahmanyahoo.com Abstrak Sepanjang Orde Baru dan Reformasi, Riau dikenal pemasok terbesar untuk APBN. Provinsi ini mendatangkan mukjizat bagi negara dan kapitalis. Sebaliknya, muncul kemiskinan absolut terhadap petani. Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijkanan ekonomi yang timpang itu. Hal ini diperlukan mencari kebijakan alternatif yang berpihak kepada petani. Metode penelitian adalah kualitatif. Metode itu dilakukan melalui serangkaian wawancara dengan nara sumber yang memahami persoalan. Selain itu, juga metode dokumenter. Hasil penelitian ditemukan bahwa malang nian nasib petani. Sudah terjatuh, petani tertimpa tangga. Tanah, ladang, hutan dan rimba dirampok oleh negara dan kapitalis. Setelah dirampok, mereka dijadikan sebagai budak dan mendapatkan upah, sekedar bertahan hidup. Musim kemarau, budak-budak disuruh membakar lahan. Apabila tertangkap, tuduhan jatuh pada mereka. “Kebakaran dilakukan oleh rakyat badarai, yang memb uka ladang berpindah”, tulis media massa, yang menjadi corong kapitalis. Jika tertangkap, dibiarkan. Tanpa dosa, jurugan menyuruh budak lainnya kembali membakar lahan. Tepat ungkapan Paus Fransiskus bahwa kapitalis adalah kotoran setan. Tandas semuanya. Namun, petani melawan. Corak perlawanan seperti angin di laut lepas. Kadang sepoi-sepoi. Dilain waktu penuh riak. Adakalanya seperti badai, meluluhlantakkan. Gelombang perlawanan tak habis-habisnya dengan tujuan mengembalikan lahan mereka yang dirampok. Dari perampokan, perbudakan dan pembakaran, apakah negara dan kapitalis dapat dikategorikan sebagai teroris?. Dalam konteks inilah, makalah memcoba memberi perspektif baru tentang negara dan kapitalis nan teroris. Key Words; Mukjizat, Perampokan, Perbudakan, Pembakaran, Teroris. Abstract Throughout the New Order and Reform period, Riau is known as the largest supplier to the state budget. The province have brought with it miracles for the state and the capitalist. In contrast, absolute poverty has been founded in the life of farmers. The research objective is to learn the unjustice economic policy. It is necessary look for alternative policies that favor the farmers. The research method was qualitative. The method was carried out through a series of interviews with resource persons who understand the problem. In addition, documentary method was used. The research found that the life of the poor peasants are deeply deprived. Their land, field, forest and jungle had been grabbed by the state and the capitalist. After being land grabbed, they serve as slaves and receive small wages which were only sufficient to survive. During the dry season, these slaves were told to burn the land. If caught, the charge falls on them. Fire is done by the people of Badarai, which performed shifting cultivation, wrote the mass media, which is a mouthpiece for capitalists. If caught, they were left. Without sin, the 738 business owner sent other slaves back to burn the forest in order to clear the land. Exact phrase Pope Francis, the capitalist is dirt of devils. Said it all. However, farmers fight back. The style of resistance like the wind on the high seas. Occasionally breezy. On the other full-time ripples. Sometimes like a hurricane, devastated. Waves of resistances came inexhaustibly with the aim of restoring their land robbed. For robbery, enslavement and burning that they had done, can the state and the capitalists be categorized as a terrorist?. In this context, this paper attempting to give a new perspective on the state and capitalist as terrorists. Key Words; Miracle, Land Grabbing, Slavery, Forest-Burning, Terrorist.

1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Dalam mengkaji ekonomi kelas bawah masyarakat Riau, ada dua kisah yang menarik untuk diungkapkan yaitu; pertama, di cover depan jurnal Teraju tertulis, “kita berada di tepian Indonesia. sudah pasti berada di posisi marginal dari ke-Indonesia-an. Itu bukan hanya dilihat secara geografis, tetapi juga tentang bagaimana perlakuan Indonesia terhadap Riau dalam rentang wak tu 64 tahun. Tapi sudahlah” jurnal Teraju, edisi Khusus, April –Mei 2009, hlm.4-5. Kedua, Batin Irisan, seorang kepala adat etnis Talang Mamak di Kuala cenaku bercerita; “Mereka masuk begitu saja ke kampung dan hutan kami. Apalagi yang dilakukan PTPN V milik negara. Mereka begitu leluasa saja mengambil tanah kami, seakan- akan kami ini bukan mamusia yang menghuni tanah didalamnya”. Wawancara dengan Batin Irisan, di Kuala Cenaku. Dua statement itu memperlihatkan perlakuan yang tidak adil dirasakan sekelompok orang di Riau. Dari kontradiksi itu, penelitian ini akan mencoba melihat antara mukjizat dan pemerataan kemiskinan absolut dalam skala kecil yaitu Riau. Persoalan ini muncul ketika kebijakan nasional yang bergeser dari gas ke non migas merupakan cikal bakal masuknya perkebunan ke Riau. Pembangunan sebagai idiom Orde Baru menghendaki investasi sebesar-besarnya baik modal pemerintah, swasta nasional maupun modal asing. Dalam perkembangannya, kebijakan ini tidak hanya industri, akan tetapi kemudian juga berkembang ke perkebunan besar. Perkebunan besar itu membawa persoalan tersendiri, terutama upaya mendapatkan tanah seluas-luasnya. Dengan kucuran dana yang tidak terbatas, para investor bisa melaksanakan semua impiannya untuk mengeruk dollar. Hal yang tidak dapat terelakkan adalah terjadinya ekspansi modal besar ke pedesaan. Masuknya modal besar itu menandai era baru dari sejarah masyarakat Riau. Mukjizat yang didapatkan pengusaha Indonesia tidak terlepas dari terbukanya kesempatan besar untuk melakukan investasi di Riau, terutama sejak sejak awal rezim Orde Baru. Untuk wilayah Riau, salah satu usaha yang dikembangkan adalah perkebunan kelapa sawit. Bisnis ini mendapat perhatian serius pemerintah dan kemudian diwujudkannya melalui Pelita. Pada Repelita I, II dan III rancangan pengembangan sawit, baru sebatas perusahaan negara seperti di bawah bendera Perseroan Terbatas Perkebunan Negara PTPN. Semenjak itu, PTPN ini mulai mengembangkan perkebunan sawit Adlin U. Lubis,1985:2220-50. Dalam setiap dekade, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan tentang pengembangan sawit. Dimulai pada tahun 1970-an pemerintah menggulirkan program Perkebunan Inti Rakyat PIR-BUN. Pelaksanaan PIR dimulai pada tahun 19771978 berdasar keputusan Presiden RI no. 11 tahun 1974 tentang Repelita II PIR-BUN merupakan pola pelaksanaan perkebunan dan perkebunan besar sebagai perkebunan inti Derom Bangun dan Bonnie Triyana, 2010:11 Tahun 1980-an pemerintah pusat menggulirkan program PIR-Transmigrasi. Program ini berkaitan erat dengan upaya 739 pengentasan kemiskinan Loekman Sutrisno, 1997: 23-29. Program selanjutnya adalah Perkebunan Besar Swasta Nasional PBSN I 1981-1986, PBSN II 1986-1989 dan PBSN III 1989-1992. Pada masa Reformasi berdasar Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 262007: pemerintah tidak memperkenankan bagi perusahaan besar memiliki 100 dan 20 harus disisakan untuk pembangunan PIR Herman Hidayat, 2008. Pengembangan perkebunan kelapa sawit memperlihatkan peningkatan yang tajam sejak berjalannya Pelita IV. Sejak Pelita itu, pemerintah mulai mengembangkan perkebunan kelapa sawit dalam skala besar-besaran. Langkah awal adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit baru seluas 911.511 ha di berbagai propvinsi di Indonesia. Pada awal pengembangan kelapa sawit di Indonesia, setidaknya ada sebanyak 13 provinsi yang dijadikan sebagai sasaran pemerintah pusat untuk dijadikan wilayah uji coba. Hal yang menarik adalah dari luas perkebunan sawit yang direncanakan di 13 provinsi itu, ternyata Provinsi Riau merupakan wilayah yang paling luas untuk pengembangan perkebunan sawit yaitu 266.300 ha. Jumlah pembukaan perkebunan sawit baru itu mencapai 25 dari keseluruhan rencana pemerintah pusat untuk pengembangan perkebunan sawit secara keseluruhan di Indonesia Sumardiko, 1985: 149. Ekspansi modal besar diikuti dengan kehadiran perkebunan besar. Kebutuhan tanah yang luas untuk perkebunan besar, meyebabkan para investor berusaha mencari lahan baru sampai ke pelosok-pelosok Riau. Dalam kondisi yang demikian, memunculkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat. Setidaknya ada 5 masalah utama yang muncul kepermukan yaitu yaitu lahirnya zona ekonomi baru, lowongan kerja, munculnya kota-kota pinggiran perkebunan, dan penetrasi yang dilakukan oleh elite dari pusat sampai desa terhadap petani dan suburnya korupsi di kalangan birokrasi. Kelima persoalan ini menempatkan petani di Riau sebagai kelompok terpinggirkan. Bahkan, kehadiran birokrat yang seharusnya melindungi petani justru menjadi kekuatan untuk menekan petani dalam rangka mendapatkan tanah rakyat. Bentuk penekanan tersebut seperti dalam pembebasan tanah rakyat, dimana birokrasi lebih menguntungkan investor daripada rakyat kecil. Persoalan utamanya adalah kebijakan yang dibuat oleh penguasa yang tidak melindungi rakyatnya. Dalam banyak kasus, penguasa yang seharusnya melindungi rakyat dari eksploitasi justru bekerja sama dengan pengusaha, sehingga wacana pembangunan yang dicanangkan untuk meningkatkan taraf hidup kelompok miskin tidak berjalan sebagaimana mestinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya membuat yang telah miskin menjadi semakin miskin. Kondisi yang demikian ini lah kemudian melahirkan masyarakat underdeveloped. Underdevelopment adalah suatu kondisi yang biasanya dicirikan dengan keterbelakangan, disebabkan oleh pembangunan merkantilisme dan kemudahan kapitalisme yang diberikan oleh pemerintah James D. Cockcroft, Andre Gunder Frank and Dale L. 1972. 2.Permasalahan Arus investasi yang berlangsung menghasilkan kelompok yang diuntungkan dan sebagian lain harus dipinggirkan. Di Riau, sejak tahun 1980-an sudah merasakan pahit getirnya arus penanaman modal. Sejak program Sijori itu dijalankan oleh ketiga negara, Riau berkembang pesat sebagai wilayah industri untuk wilayah Indonesia. Perkembangan pesat dari Riau ini sebenarnya tidak terlepas dari program utama pemerintah pusat untuk menjadikan Riau khususnya pulau Batam sebagai sentral industri. Di bawah kendali pemerintah pusat yang diwakili Habibie, ia memimpin pengembangan Batam menuju mega proyek industri, terutama industri tekonlogi tinggi dan alat-alat berat Lee Tsao Yuan, 1991: 3-10. Sejalan dengan masuknya modal besar, mau tidak mau membutuhkan banyak hal terutama sarana dan prasarana. Apalagi menyangkut investasi untuk perkebunan besar, 740 maka dibutuhkan tanah sangat luas. Hanya saja, cara mendapatkannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, serhingga menumbuhkan bibit-bibit konflik di Riau. Dengan dukungan modal besar dan penguasa yang bisa disogok, perusahaan perkebunan berkembang. Bibit konflik itu disemai di setiap pembukaan pekebunan besar, sehingga lama kelamaan menuai konflik. Mengacu pada kasus tanah di Cenaku, Batin Irisan menyebutkan bahwa penyemaian bibit konflik itu didukung oleh 3 D yaitu deking beking, duit dan dukun Wawancara dengan Batin Irisan. Jika sudah ketiga hal ini ikut bermain, maka tidak ada kekuatan apapun bisa menghentikannya. Tentu saja masyarakat yang tidak memiliki 3 D itu kemudian dirugikan. Persoalan besar dimulai saat pengambilalihan lahan-lahan masyarakat untuk dijadikan perkebunan besar sawit. Bahkan, dalam setiap pengambilalihan lahan, hal yang tidak bisa dihindari adalah berlangsung konflik didalamnya. Perusahaan negaralah yang pertama melakukan ekspansi ke Riau dan kemudian memberi contoh yang tidak baik dalam proses pembebas an lahan masyarakat. “Tongkat yang membawa rebah”, begitulah perilaku PTPN V untuk mendapatkan tanah masyarakat secara gratis. Riau Mandiri, 12 April 2003. Dapat dikatakan bahwa sepertinya negara tidak mengakui hak-hak atas tanah yang dimiliki dan dihuni masyarakat Riau yang sudah mereka tempati secara turun temurun. hal ini dibuktikan dengan pencaplokan tanah rakyat begitu saja, tanpa memberikan ganti rugi semestinya Riau Mandiri 10 Agustus 2004. Untuk mempertajam analisis, dirumuskan beberapa pertanyan utama yaitu; 1. Siapakah yang mendapatkan mukjizat dari pertumbuhan ekonomi nasional?. 2. Mengapa terjadi kemiskinan absolut dan bagaimana strategi bertahan hidup mereka ? 3. Bagaimanakah kebijakan nasional dijalankan sehingga menimbulkan kontrakdiktif antara mukjizat dan kemiskinan absolut? 4. Perlawanan seperti apakah yang dilakukan petani dalam menghadapi ketidakadilan yang diterima petani itu? C. Urgensi Penelitian Soedjokomo menyebutkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh kebijakan penguasa yang tidak berpihak, sehingga melahirkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural melahirkan ketimpangan sosial ekonomi dan biasanya dihadapi dan dirasakan oleh petani di pedesaan disebabkan lemahnaya akses mereka dan perampasan hak-hak mereka – terutama tanah- oleh pmguasa dan pengusaha Soedjamoko, 1980: 46-49. Dalam konteks ini, ilmuan sosial juga dibutuhkan untuk mampu memetakan persoalan daerah, sehingga dapat menghasilkan sebuah penelitian yang jernih dan berpihak kepada rakyat dalam rangka meningkatkan harkat hidup rakyat banyak terutama petani. Dalam konteks demikian, penelitian ini menjadi sangat penting terutama melahirkan pemikiran yang sifatnya pro ekonomi rakyat. Untuk itu, urgensi penelitian ini adalah : 1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam memberikan pemikiran untuk mencegah secara sistematis dan berlanjut kemiskinan absolut di kalangan petani Riau. 2. Melalui pendekatan yang bersifat interdisipliner, kajian ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan banyak sudut pandang tentang berbagai persoalan kemiskinan absolut di kalangan petani. 3. Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner ini, maka rumusan pemikiran dari penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan terutama pemerintah dalam merumuskan perencanaan pembangunan khususnya menyangkut petani di pada masa yang akan datang, sehingga kebijakan yang muncul 741 tidak lagi simplistic solution akan tetapi komprehensif dan terencana dengan baik dalam menyusun master plan ekonomi petani. 4. Secara teoetis, keutamaan dari penelitian terletak pada kamampuan untuk melahirkan teori tentang ekonomi pro rakyat berdasarkan dinamika ekonomi petani di Riau.

D. Tujuan Penelitian

Persoalan laten yang yang dibuat pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Baru dan kemudian berlanjut pada era Reformasi- adalah perampasan tanah rakyat yang dijadikan sebagai perkebunan besar. Perampasan tanah rakyat itu kemudian diikuti dengan proses kemiskinan secara struktural, terutama perubahan pola kehidupan dan pola ekonomi dalam masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut persoalan itu, maka tujuan khusus penelitian adalah; 1. Mengkaji kebijakan nasional dijalankan sehingga menimbulkan kontrakdiktif antara mukjizat dan kemiskinan absolut 2. Membahas persoalan mukjizat dari pertumbuhan ekonomi nasional dan kemiskinan absolut yang berlangsung dalam alam petani. 3. Menganalisis fakor-faktor penyebab petani tetap miskin dan strategi mereka bertahan hidup 4. Membahas bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan petani atas ketidakadilan yang menimpa mereka 2. TINJAUAN PUSTAKA Studi tentang masalah mukjizat dan kemiskinan absolut dalam sejarah ekonomi Indonesia sudah mendapat perhatian serius di kalangan ilmuan. Namun demikian, studi lebih banyak bersifat makro dan sehingga untuk kasus-kasus mikro sangat sedikit ditemukan. Studi The The Kian Wie yaitu Pembangunan, Kebebasan dan “Mukjizat” Orde Baru, dan Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, memperlihatkan kajian yang menarik tentang pokok persoalan penelitian ini. The Kian Wie memperlihatkan kontradiktif yang mendalam tentang sejarah ekonomi Indonesia modern. Kontrakdiktif itu tergambar dari judul yaitu Mukjizat dan Pemerataan. Buku Pertama yang berjudul Pembangunan, Kebebasan dan “Mukjizat” Orde Baru, menggambarkan kemajuan pembangunan Orde Baru seperti sebuah “mukjizat”. Pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahun meningkat sampai 2 digit, sehingga untuk pertama kali dalam sejarah ekonomi Indonesia modern, ekspor hasil industri dan sektor swasta menjadi mesin utama pertumbuhan industri nasional. Pada periode ini, kemajuan yang dicapai oleh Indonesia mulai menyerupai seperti negara-negara di Asia Timur, baik dalam kinerja ekonomi maupun pesat pertumbuhannya Thee Kian Wie, 2004: 214 dan 257. Buku kedua yang berjudul Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan Thee Kian Wie, Pembangunan 1980: 7-17. Kalau dalam pertama, The Kian Wie meyebutkan Mukjizat, maka dalam buku kedua ini, The Kian Wie melihat terjadinya kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut itu disebabkan oleh terjadinya ketidakmerataan pembangunan. Hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh segelintir elite, sementara masyarakat kelas bawah hanya mendapatkan cipratannya saja. The Kian Wie membaginya yaitu 56,73 Elite, 32,12 kelas menengah dan 11,15 kelas bawah. Senada dengan Thee Kian Wie, Muhaimin menyebutnya sebagai sebuah “keajaiban” dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama kemampuan melakukan penekanan terhadap lajunya inflasi. Dibandingkan dengan periode sebelumnya 1966, laju inflasi mencapai 600 setahun, maka sepuluh tahun awal pemerintahan Orde baru, laju inflasi dapat ditekan sampai 30 pada tahun 1979 dan 17.10 pada tahun 1980 Yahya A. Muhaimin, 1990: 272. 742 Baik mukjizat maupun kemiskinan absolut tidak terlepas dari ekspansi kapitalis. Mukjizat itu lahir sebagai dampak dari kebijakan liberal yang dibuat para teknorat, terutama untuk penanaman modal swasta, baik penanamam modal asing PMA maupun penanaman modal dalam negeri PMDN. Konsep pembangunan yang dijalankan diikuti dengan kehadiran pemodal-pemodal besar dari berbagai belahan dunia, sehingga muncul zona baru ekonomi indonesia. Robison menyatakanya bahwa sejak akhir 1970-an, kelas kapitalis terbentuk di Indonesia Ricard Robison, 1986: 373-374. Walaupun telah lahir kapitalis baru, namun Kunio menyatakan masih kapitalisme semu, terutama karena campur tangan pemereintah yang mendalam dan perkembangan kapitalisme itu sendiri tidak didukung oleh teknologi. Pada hal, kapitalisme yang murni haruslah lepas dari campur tangan pemerintah dan harus bergerak di bidang industri bukan perkebunan, sebagaimana yang banyak dikembangkan di Indonesia Yoshihara Kunio, 1990: 4. Pembukaan lahan perkebunan besar ini menjadi persoalan baru bagi masyarakat pedesaan. Satu sisi, berdiri pabrik-pabrik yang menjulang tinggi seperti raksasa. Disisi lain, membuat orang-orang kecil tersingkir dari tanah mereka sendiri. Mengacu pada kehidupan pedesaan zaman kolonial Belanda, Djoko Surjo dalam tulisanny a “Dinamika Pedesaan Comal Dalam Perspektif Sejarah”, menuliskan bahwa masuknya modal besar ke pedesaan Comal telah terjadi polarisasi dan proletarisasi di pedesaan tersebut. Kondisi ini kemudian menjadi benih-benih ketegangan sosial secara berkesinambungan terjadi pada masa-masa kemudian. Pertumbuhan modal besar ini tidak terlepas dari perluasan areal tanaman wajib yaitu tebu, indigo, dan kopi karena sistem Tanam Paksa. Kebutuhan tanah dan tenaga kerja menjadi salah satu faktor yang memepengaruhi pergeseran pertanian subsistem ke pertanian perkebunan yang dikelola modal asing. Pergeseran-pergeseran sruktur terjadi sebagai akibat proses komersialisasi dan komoditi tanah, tenaga kerja dan produksi pertanian. Djoko Surjo, 1996: 295. Realitas yang terapungkan dari tulisan ini adalah bahwa setiap kali modal asing melakukan ekspansi pada satu wilayah, maka seringkali membawa dampak yang negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal. Biasanya hal itu terjadi di negara-negara jajahan atau bekas jajahan. Pola warisan pemerintah kolonial Belanda itu ternyata masih berkembang sampai Indonesia merdeka. tidak herannya misalnya elite-elite seperti Tabrani Rab Riau tidak menerima begitu saja, sehingga mereka menuntut pemerataan dan bahkan sampai Riau Merdeka. Isu utama yang dilontarkan kelompok Tabrani Rab ini adalah Republik federal Riau. Tabrani menuliskan bahwa bentuk Riau berdaulat adalah negara federal. Ibukota negara adalah Batam. Pemerintahan bersifat parlementer. mata uang Riau Dollar. Bahasa Melayu. Republik ini dilahirkan sebagai bentuk perlawanan atas eksploitasi politik dan ekonomi yang dilakukan pemerintah pusat selama ini. Dalam politik, pemerintah pusat menempatkan orang-orang kepercayaannnya memerintah Riau. Rab melihat 3 tiga kebijakan pemerintah pusat yang tidak adil yaitu penetapan birokrat di daerah lebih banayak dipercayakan kepada pegawai yang di drop dari pusat, sehingga kebijakan yang diterapkan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kedua, pengelolaan sumber daya alam lebih banyak diserahkan kepada pendatang, tanpa melibatkan masyarakat lokal. Pemerintah pusat bahkan menguasai daerah yang potensi ekonomi baik seperti Batam dan Natuna. Kebijakan ekononmi menguntungkan pusat dan pendatang. Pemerintah pusat menerima devisa dari Riau mencapai Rp. 59.146 Triliun, sedangkan yang dikembalikan hanya sampai 1, 71 atau Rp. 1.013 Triliun. Tabrani Rab, 2000: 151. Sementara itu, Alfitra Salam menyoroti dalam bidang ekonomi kekayaan alam Riau selama bertahun-tahun pernah dianggap paling kaya dan pada tahun 1973 sampai 1980 merupakan sponsor utama pembangunan nasional, dan dengan sumbangan terbesar berasal dari kilang minyak, industri, kehutanan, dan perkebunan besar. Hal yang menjadi persoalan adalah dana yang dikembalikan ke Riau oleh pemerintah pusat tidak sebanding, 743 sehingga masyarakat Riau merasa selama ini dihisap oleh pemerintah pusat maupun pemerintah asing dan pengusaha besar. Alfitra Salam, 1993: 136. Pola penghisapan yang dilakukan oleh kaum penguasa dan pengusaha ini menjadi tuntutan masyarakat Riau. Ketidakadilan dalam pembagian pendapatan antara pusat dan daerah ini menjadi salah satu pemicu dari keinginan masyarakat Riau untuk Merdeka. Masalah kepincangan ekonomi yang dirasakan oleh penduduk Riau. Berdasarkan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat Riau- terutama kalangan elitenya- menyatakan bahwa kemiskinan yang terjadi di Riau karena kezaliman pemerintah pusat. Selama rentang 50 Tahun, kekayaan Riau dikuras habis dan yang tersia hanya limbah dan sampah yang ditanggung masyarakat Riau Edynus Herman Halim, 2003: 268-272. Studi penting lainnya tentang Riau adalah karya Mubyato 1992. Mubyarto melihat tentang era Orde Baru di provinsi Riau ada 2 bentuk perkembangan ekonominya yaitu perkembangan ekonomi Riau menuju pasar global disertai proses marjinalisasi pada sektor ekonomi tradisional, terutama penduduk asli. Melalui program IMSGT yang Indonesia-Program Malaysia-Singapura Growth Triangle, pemerintah pusat memgembangkan Riau sebagai pusat kegiatan ekonomi, namun mengabaikan pertanian subsisten, perikanan, dan perlindungan mata pencaharian kelompok masyarakat terasing. Hasilnya, pendapatan Daerah Regional Bruto PDRB per kapita di provinsi Riau adalah tertinggi di antara provinsi di Indonesia. Namun, provinsi Riau terjadi pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang antara sektor Modern dan sektor Tradisional dan sektor perekonomian penduduk asli. Keberhasil yang dicapai hanyalah dalam skala makro ditandai dengan terjadinya proses pembangunan di Riau yang bukan saja bersifat nasional tetapi bahkan global seperti dalam konteks pembangunan SIJORI dengan fokus investasi dalam bidang perminyakan, kehutanan, dan perkebunan, namun penduduk asli tersingkir didalamanya. Mubyarto, 1993 dan 1997 Secara keseluruhan, team peneliti sudah mmelakukan beberapa peneliian dan penerbitan buku tentang pokok persoalan. buku yang berjudul “Menuju Integrasi Nasional: Pergolakan Masyarakat Plural dalam membentuk Indonesianisasi, membahas tentang ketimpangan ekonomi yang kemudian menjadi faktor konflik yang terjadi dalam masyarakat. Ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan dampak langsung dialami rakyat kelas bawah itu sehingga membuat kehidupan yang sudah susah menjadi semakin parah dan memburuknya kondisi ekonomi mereka. Secara ekonomis, jelas sekali produktivitas kerja terpengaruh, karena energi mereka habis untuk konflik. Dapat dikatakan bahwa nasionalis memang sudah milik bersama, namun pembagian keuntungan hanaya milik kelas elite, baik elite penguasa maupun pengusaha kelas atas. Studi penting lainnya adalah tentang nasib buruh tambang batu bara Ombilin. Penelitian yang kemeudian diterbitkan menjadi buku berjudul Pertempuran nan Tak Kunjung Usai: Ekspolitasi buruh Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat mengkaji tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, buruh tambang batu bara memang mengalami berbagai tekanan dan penindasan. Secara politik, mereka tidak diberi keleluasaan untuk berserikat, sehingga tidak ada kelompok yang memperjuangkan nasib mereka. Kehadiran Persatuan Kaum buruh Tambang, sebuah organisasi yang dimotori PKI menjadi pilihan yang menarik buruh, sehingga mereka melakukan pemberontakan tahun 1927. Naskah penting lainnya adalah yang membahas tentang konflik adalah Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan Zaiyardam Zubir, 2010. Naskah ini mencoba mengkaji tentang apakah konflik sudah menjadi budaya dalam masyarakat atau ada faktor diluar diri mereka yang menyebabkan terjadinya konflik. Memang dalam budaya Minangkabau konflik dilestarikan sebagai sumber dinamika, namun, konflik harus terjadi dengan kekerasan. Selain itu, naskah ini juga membahas pengaruh faktor ideologi menentukan 744 dalam konflik, terutama agama Islam, yang seringkali dianggap bertentangan dengan adat. Walaupun ada semboyan Adat Basandi Syara’, Syara’ asandi Kitabuallah, namun hal itu hanya sebuah visi yang harus diperjuangkan. Dalam memperjuangkan visi itu, terjadilah berbagai konflik internal antar kedua ideologi itu. Anehnya, dalam banyak kasus, agama dijadikan pembenaran dan kedok oleh sekelompok orang untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Studi penting lainnya berjudul Meneropong Kalimantan dari Long Apari: Pola- pola Penyelesaian Konflik Berdasarkan Kearifan Lokal Suku Dayak Penihing di Long Apari Kutai Barat Kalimantan Timur Zaiyardam Zubir, 2011. Konflik Dayak dan Madura yang terjadi di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan, ternyata tidak merembes ke Kalimantan Timur. Bahkan, suku dayak yang terdapat di Kalimantan Timur memiliki pola- pola perdamaian adat sendiri dalam menyelesaikan konflik ataupun konflik kekerasan. Seorang yang terbukti bersalah mencuri babi dalam rapat adat didenda dengan Tajau, Mandau, gong dan babi sebanyak 2 kali yang dicurinya. Seorang pembunuh didenda tajau, gong dan mandau dan kemudian ia dibuang dari sukunya, dengan tujuan untuk mengihndari terjadinya balas dendam dari keluarga korban. Penelitian masalah ekonomi antara penduduk asli dan pendatang telah dimulai dengan penelitian tentang migrasi orang dari Jawa ke Bengkulu. Dari hasil penelitian Lindayanti terlihat bahwa program kolonisasi yang merupakan perpaduan kebijakan pengurangan penduduk di Jawa dan membuka lahan pertanian baru di Luar Jawa. Para petani Jawa diberikan lahan pertanian dan pekarangan rumah, mereka didatangkan untuk membuka lahan pertanian dan mengajari penduduk Bengkulu bersawah. Apabila di Bengkulu penduduk asli dan migran dari Jawa dapat hidup berdampingan tidak demikian halnya dengan etnis Cina yang bermukim di Palembang. Masa Revolusi Kemerdekaan tentara Indonesia melawan tentara Belanda yang akan kembali menguasai Indonesia etnis Cina menjadi sasaran penyerangan tentara rakyat Indonesia karena mereka etnis minoritas tetapi berhasil menguasai perekonomian. Lindayanti, 2006 dan 2012 Penelitian di Jambi yang sudah sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal sebagai penghasil karet rakyat terkemuka di Hindia Belanda menarik bagi penduduk di daerah sekitar Jambi. Penduduk pendatang, antara lain orang Kerinci, orang Jawa, dan orang Minangkabau. Orang Kerinci, orang Jawa kebanyakan bekerja sebagai penyadap karet, sedangkan orang Minangkabau bekerja sebagai pedagang dan bermukim di pusat ekonomi. Apabila ditarik jauh ke belakang migrasi orang Minangkabau ke Jambi paling tidak sudah terjadi sejak abad ke-15, saat Jambi yang merupakan pelabuhan pengekspor lada dan banyak dikunjungi berbagai bangsa dan suku bangsa di kepulauan Nusantara. Orang Minangkabau bermigrasi dan menetap di Jambi antara lain untuk berdagang juga untuk menambang emas. Mereka datang secara bergelombang dari abad ke abad dan mereka hidup membaur dengan penduduk asli. Dengan demikian Orang Minangkabau yamng berada di Jambi merupakan salah satu elemen penting dalam masyarakat yang sekarang dikenal dengan sebutan Melayu Jambi Lindayanti, 2008.

3. METODE PENELITIAN