723
5. KESIMPULAN
Upaya preventif dan promotif merupakan sebuah tindakan dalam mencegah meningkatnya angka kejadian suatu penyakit. Upaya preventif kejadian TB anak dapat
dilakukan mulai dari rumah tangga yaitu orang tua balita dengan meningkatkan kondisi rumah sehat dan melakukan imunisasi BCG, orang tua berperan aktif mencari informasi
pada pembina wilayah setempat dengan dukungan tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat dan pemerintah dalam hal ini institusi kesehatan juga aparat baik tingkat
kewilayahan, KotaKabupaten, Provinsi maupun Pusat. Keberhasilan upaya preventif penanganan TB anak dengan meningkatkan kondisi rumah dan cakupan imunisasi BCG
sangat ditentukan oleh kelompok sosial yang mendukungnya. Gerakan sosial secara menyeluruh melalui kegiatan posyandu, rapat -rapat RW dan kegiatan kemasyarakatan
lainnya secara terus menerus melalui promosi kesehatan akan mendukung upaya preventive penanganan TB anak.
6. DAFTAR PUSTAKA
Arda Dinata, Setyabudi, H. N., Muilin, Putro, G. 2014. Rumah Sehat Jubata, Radakng. Jakarta: Lembaga Penerbitan Balitbangkes.
Barnard A. 2004. History and Theory in Anthropology. UK : The Press Syndicate Barth F. 1981. Features of person and society in Swat Collected essays of Pathans. London
: Routledgeegan Paul Ltd. Blum, H. 1974. Planning For Health, Development and Application of Social Change
Theory. New York: Human Science Press. Bordieu, P. 1990. The Logic of Practice. California: Atanford University Press.
Burawoy M., The Extended Case Method. Jurnal Sociological Theory 16:1 March 1998. American Sociological Association.
Dinas Kesehatan Kota Bandung. Profil Kesehatan tahun 2014. Foster. GM., Anderson BG. 2013. Atropologi Kesehatan. Jakarta : UI Press
Garna,Judistira K. 2002. Teori-teori Perubahan Sosial. Bandung : CV Primaco Akademika Gordon B, Mackay R, Rehfuess E.
Inhereting the world:The atlas of children’s health and the environment. UK : Myriad Editions Limited; 2004 Tersedia dari :
http:www.who.int [11 September 2009].
Imelda JD. 2014. Disease interpretations and Response among HIV-positive Mothers. Jurnal Antropologi Indonesia Vo. 35 No. 1 Tahun 2014.
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 829MenkesSKVII1999 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI Press
724
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi II. Jakarta : UI Press Lapau B, Saiffudin AF. 2015. Epidemiologi dan Antropologi. Jakarta : Prenadamedia Grup.
Notoatmodjo, S. 2005. Promosi Kesehatan, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Rineka Cipta.
Sadewo, F. S. 2014. Merindukan Hidup Sehat, Oroma . Jakarta: Balitbangkes. Singer,Merryl. The Anthropology of Infectious Disease. 2015. USA : Left Coast Press,
Inc Talbot, M. 1896. Sanitation and Sociology. American Journal of Sociology, 74-81.
Tersedia dari www.jstor.orgstable2761774 Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan
Widiastuti T. 2012. Strategi Pesan Promosi Kesehatan Cegah Flu Burung. Jurnal
MIMBAR Vol. 28 No. 2 Tahun 2012. Van Baal. Sejarah dan Pertumbuhan Teori Antropologi Budaya. 1988. Jakarta : PT.
Gramedia. Veeger KJ. 1993. Realitas Sosial. Jakarta : PT Gramedia
World Health Organization. Children’s Environmental Health Programme.2009 Tersedia
dari http:www.who.intceh
[23 Agustus 2009]. World Health Organization. Indikator perbaikan kesehatan lingkungan anak. Alih bahasa
: Apriningsih. Editor : Herdiyanti EA. Jakarta: EGC;2005. World Health Organization. Global Tuberculosis Report 2015. Tersedia
: http:www.who.inttbpublicationsglobal_reportgtbr15_annex04.pdf?ua=1
[12012016] 2.575.478 107
Merokok dan Tuberkulosis. 2012. Jurnal Tuberkulosis Indonesia Vol 8-Maret 2012 Air bersih, Saitasi dan Kebersihan. 2012. UNICEF Indonesia
Eckholm, Erik P. 1982. Lingkungan Sebagai Sumber Penyakit. Jakarta : PT Gramedia Ihromi TO. 1996. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Koentjaraningrat. 1990. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : PT
Gramedia Pustaka Utama Van Ufford, Philip Q. Frans Husken, et all. Alih Bahasa : RG Soekadijo. 1989. Tendensi
dan Tradisi dalam Sosiologi Pembangunan. Jakarta : PT Gramedia Nasikun. 1995. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta : PT Raya Grafindo Persada
725
Susilo, Rachmad KD. 2005. Integrasi Ilmu Sosial. Upaya Integrasi Ilmu Sosial Tiga Peradaban. Yogyakarta : Arruz Media
726
KAJI TINDAK KONSEP PEMBAGIAN KERJA ANTARA APARAT DENGAN MASYARAKAT DALAM PROGRAM BERBASIS LINGKUNGAN
STUDI KASUS KELURAHAN MALALAYANG SATU TIMUR KOTA MANADO
Evelin J.R. Kawung
Program Studi Sosiologi Universitas Sam Ratulangi Manado Email: evelinjeanetteyaho.co.id
Abstrak
Kota Manado Propinsi Sulawesi Utara melalui program kepemerintahan, telah mencanangkan program berbasis lingkungan yang disebut Alokasi Dana Penguatan
Tingkat Lingkungan ADPTL. Program tersebut diharapkan dapat mengatasi permasalahan masyarakat ditingkat lingkungan. Tujuan kajian adalah untuk menilai dan
melakukan tindakan pendampingan kepada aparat pemerintahan dan kelompok masyarakat di tingkat lingkungan dalam memahami konsep pembagian kerja antara
aparat dengan masyarakat dalam pelaksanaan program pembangunan berbasis lingkungan. Hasil kajian menunjukkan bahwa 1 Pembangunan berbasis lingkungan Kota
Manado telah membantu penyelesaian permasalahan skala kelurahan, karena masing- masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka
sendiri. Namun adanya keterlambatan pencairan dana menunjukkan adanya sikap keraguan dari kelompok masyarakat yang dibentuk 2 Adanya pembagian kerja antara
aparat dengan masyarakat dalam menjalankan program berbasis lingkungan berpeluang terjadinya sinergi kepemerintahan dengan masyarakat, walaupun dalam pelaksanaan di
tingkat kelurahan masih lemah, sehingga diperlukan sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap program yang nantinya dilaksanakan.
Abstract
Kota Manado North Sulawesi Province through governance program, has launched a neighborhood-based program called Strengthening Fund Allocation Rate Environment
ADPTL. The program is expected to address the environmental problems of the community level. Objective study is to assess and take action assistance to government
officials and community groups at the neighborhood level in understanding the concept of division of labor between the public authorities in the implementation of program-based
development environment. The results showed that 1 Development based environment Kota Manado has helped settle matters village scale, because each village along its citizens
have been able to resolve their own problems. But the delay in the disbursement of funds showed an attitude of doubt from community groups formed 2 The division of labor
between the police officers with the community in running the program based on the environment the chance of synergies kepemerintahandengan society, although in the
implementation at the village level is still weak, so that the necessary socialization and dissemination of information the program that will be implemented.
PENDAHULUAN
Proses pelaksanaan otonomi daerah diperlukan kepastian pembiayaan. Kota Manado Propinsi Sulawesi Utara melalui kepemerintahan, telah mencanangkan program
Alokasi Dana Penguatan Tingkat Lingkungan ADPTL sebesar Rp. 75.000.000. Dana tersebut bersumber dari APBD Kota Manado. Program ini diduga mampu mendorong
penanganan beberapa permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat secara mandiri di tingkat lingkungan,tanpa harus menunggu datangnya program-program tender dari instansi
727
terkait. Di samping itu, Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 menempatkan kelurahan tidak lagi sebagai perangkat kecamatan, akan tetapi berkedudukan sebagai perangkat
daerah sebagaimana unit kerja lainnya yang secara administrasi lingkup wilayahnya berada dalam wilayah kecamatan. Di sini kelurahan tidak lagi menerima limpahan kewenangan
dari camat, tetapi menerima pelimpahan sebagian urusan otonomi daerah dari Walikota. Pegawai kelurahan dalam konteks undang-undang ini otomatis merupakan pegawai daerah.
Sementara itu, hubungan antara kelurahan dan kecamatan lebih bersifat koordinasi dan fasilitasi, bukan hirarki.
Adanya kebijakan yang baru dari Pemerintah Kota Manado tentang pendanaan penguatan pemerintahan dan pembangunan di tingkat lingkungan, perlu dilakukan
sosialisasi atau konsultasi publik sehingga masyarakat bersama-sama aparat pemerintahan di tingkat lingkungan dapat merencanakan program-program tanpa menunggu penentuan
program yang ditetapkan oleh dinas top down.Meski programnya baik tetapi sering tidak ketemu dengan asas manfaat karena tidak sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh
masyarakat.
Permasalahan utama dalam pelaksanaan program ADPTL di kelurahan adalah: 1 Kurangnya pemahaman konsep koproduksi dalam pelaksanaan program; 2 Persepsi
masyarakat mengenai tingkat kinerja pelayanan kepemerintahan dan tingkat kepentingan terkait program masih rendah karena keterlibatan warga dalam mekanisme perencanaan
pembangunan masih kurang nampak.Definisi, asumsi dan lingkup yang menjadi batasan kaji tindak yaituKonsep koproduksi sesungguhnya adalah pembagian kerja antara
pemerintah dan masyarakat sipilprivat sehingga di samping terjadinya reduksi biaya yang signifikan, manfaat pelayanan yang tersedia juga menimbulkan efek ganda yang lebih
besar. Masyarakat sebagai co-producer merasa memiliki atas aset yang ada di sekitarnya karena mereka turut serta memasok input, sementara pemerintah sebagai producer tidak
jenuh beban atas persoalan yang terus terakumulasi karena didukung oleh masyarakat.Tujuan kajian adalah untuk menilai dan memberi pendampingan kepada aparat
pemerintahan dan kelompok masyarakat di tingkat lingkungan dalam memahami konsep pembagian kerja antara aparat dengan masyarakat dalam pelaksanaan program
pembangunan berbasis lingkungan.
METODE PELAKSANAAN
Kegiatan kaji tindakdilaksanakan di Kelurahan Malalayang Satu Timur Kecamatan Malalayang Kota Manado, berlangsung selama 6 bulan. Metode pendekatan yang
ditawarkan yaitu berbentuk Konsultasi Publik antara tim yang melibatkan aparat kepemerintahan tingkat Kota dan Kelurahan dengan masyarakat yang tergabung dalam satu
lingkungan pemerintahan.Kegiatan kaji tindak meliputi: 1Identifikasi permasalahan lingkungan; 2 Melakukan dengan pemerintah dan masyarakat; 3 Melakukan Konsultasi
Publik. Adapun materi yang disampaikan dalam konsultasi publik meliputi penjelasan tentang program ADPTL, sosialisasi aplikasi Konsep koproduksi dengan contoh-contoh
cara pembuatan program yang mendasar.
Di samping itu dalam kegiatan konsultasi public akan melibatkan aparat Pemerintahan Kota yang terkait dengan ADPTL untuk menjelaskan program.Kerjasama
kolaboratif yang saling melengkapi sebagai kekuatan lingkungan kelurahan dan penanganan masalah mitra kajian sebagaimana yang digambarkan pada Gambar 1, 2 dan 3
Model grafik Kerangka dan Materi yang diajukan dalam penangganan permasalahan mitra berkaitan dengan konsep pemberdayaan ditunjukkan pada gambar 1.
728
Gambar1 Model Penanganan Mitra Terkait Konsep Pemberdayaan
Sebagai Kekuatan
Lingkungan
KELURAHAN
PEMERINTAH Kelurahan
KERJASAMA KOLABORATIF
BERSINERGI MELENGKAPI MELEKAT
MASYARAKAT
Pemerintah Kelompok Masyarakat
Peneliti
Pendampingan Merencanakan Program
Menghadirkan kembali pengalaman yang
memberdayakan dan tidak memberdayakan
Mengembangkan rencana-rencana aksi dan
mengimplementasikannya Mendiskusikan alasan
mengapa terjadi pemberdayaan dan
pentidakberdayaan
Mengidentifikasikan basis daya yang
bermakna Mengidentifikasikan
suatu masalah atau proyek
729
Gambar2Proses Kolaboratif Masyarakat dan Aparat Pemerintahan sebagai Kekuatan Lingkungan Kelurahan
RELASI KOPRODUKSI ANTARA PEMERINTAH DAN MASYARAKAT
Relasi pemerintah dan masyarakat yang nyatanya tidak dalam kerangka kemitraan, sebenarnya tidak
perlu terjadi jika mengacu pada konsep koproduksi. Dalam koproduksi, pemerintah
sebagai
producer seyogianya
mampu menempatkan masyarakat sebagai pemasok
produksi lain co-producers bukan sebagai klien. Meski konsep koproduksi bukan hal baru, konsep
ini masih relevan dalam memahami persoalan kepemerintahan lokal.
KEMANFAATAN PROGRAM
Dari segi kepentingan Kota, adanya pembangunan berbasis lingkunganKota Manado
tidak repot lagi terlibat dalam penyelesaian permasalahan permasalahan skala kelurahan
karena masing-masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah
mereka sendiri. Kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik
untuk skala Kota yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka
panjang Kota.
Gambar3RingkasanKaji Tindak Sosialisasi merupakan tahapan awal dari keseluruhan rangkaian pelaksanaan PBL-
MAPALUSE pada tingkat kota sampai ketingkat lingkungan. Pada tahap ini , dijelaskan tentang mekanisme program, konsekwensi yang harus dihadapi dan komitmen yang harus
diberikan apabila program ini dijalankan. Sosialisasi tingkat kota dilaksanakan oleh BPMPK dan tim koordinasi informasi mengenai PBL-MAPALUSE kepada masyarakat,
akan dijelaskan oleh pokja dan kepala lingkungan yang sudah terlebih dahulu mengikuti sosialisasi ditingkat kota. Melalui proses ini diharapkan seluruh masyarakat lingkungan
mendapatkan informasi yang cukup, oleh karena itu proses penyebaran informasi ini harus diberikan kepada sebanyak-banyaknya warga masyarakat ditingkat lingkungan, yaitu
kepada rentan laki-laki,perempuan.
Identifikasi Permasalahan Mitra
Mengadakan Komunikasi Dengan
Pemerintah Desa Mengadakan
Konsultasi Publik
730
Gambar4Dokumentasi Kaji Tindak HASIL DAN PEMBAHASAN
Kelurahan Malalayang Satu Timur merupakan pemekaran dari kelurahan Malalayang Satu Kecamatan Malalayang Kota Manado. Potensi sumberdaya manusia
kelurahan terdiriatas 2732 orang laki-laki, 2808 orang perempuan, dengan jumlah kepala keluarga 1497. Dominansi tingkat pendidikan tidak tamat SLTP dan SLTA. Adapun mata
pencaharian bervariasi dari petani dan buruh sampai pada pegawai negeri maupun swasta. Jumlah tenaga kerja usia 18-56 yang belum atau tidak bekerja yakni 1051 laki-laki dan
1129 perempuan. Potensi kelembagaan aparat pemerintahan kelurahan, 11 orang dengan 7 unit kerja perangkat kelurahan dengan tingkat pendidikan rata-rata sarjana. Di samping itu
terdapat potensi 7 lingkungan kelurahan yang aktif, 5 unit organisasi rukun warga dan 12 unit organisasi rukun tetangga. Ruang lingkup kegiatan lembaga kemasyarakatan
kelurahan antara lain mengurus dana duka, menunjang kegiatan pembangunan dan lingkungan hidup, keamananketertiban. Sosial, keagamaan, pengembangan sumberdaya
manusia, hukum dan ekonomi. Potensi pertanian dan perkebunan umumnya diusahakan oleh 1704 keluarga petani. Rata-rata 1291 keluarga memiliki lahan kurang dari satu hektar
dan 300 keluarga tidak memiliki lahan pertanian. Jenis tanaman pangan yang diusahakan antara lain jagung dan umbi-umbian, sedangkan buah-buahan seperti mangga, rambutan,
papaya dan pisang dengan usaha kebanyakan di bawah pohon kelapa, cengkeh dan pala. Keputusan Lurah Malalayang Satu Timur Kota Manado No. 31 Tahun 2012 menetapkan
kelompok masyarakat mapalus KMM,pembangunan berbasis lingkungan mapaluse
731
PBL-MAPALUSE. Kelompok inibertujuan untukmemperlancar membangun prasarana lingkungan, sosial dan ekonomi. PBL-MAPALUSE merupakan program unggulan kota
Manado untuk menjadi acuan pelaksanaan program pembangunan infrastruktur, sosial dan ekonomi yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat yang dilaksanakan secara
“MAPALUS” disetiap lingkungan dalam wilayah kelurahan. Dalam melaksanakan program dan kegiatan PBL-MAPALUSE ditingkat lingkungan terdapat komponen kepala
lingkungan dan KMM. Lurah sebagai kepala pemerintahan di tingkat Kelurahan, mengangkat kepala lingkungan menjadi ketua KMM dan unsur masyarakat menjadi
sekertaris, bendahara, anggota KMM dilingkungan masing-masing.
Kepala lingkungan selaku ketua mempunyai peran utama sebagai motor penggerak partisipasi masyarakat dan memberikan jaminan pelaksanaan PBL-MAPALUSE diwilayah
kerjanya berjalan dengan lancar dan baik sesuai pedoman yang berlaku dan tugasnya secara rinci antara lain: membantu sosialisasi ditingkat lingkungan,melakukan pelaksanaan
pemetaan potensi sumberdaya masyarakat yang dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat, memberi laporan bulanan kegiatan PBL-MAPALUSE diwilayahnya kepada
Lurah dan PKK,bertanggung jawab terhadap pelaksanaan kegiatan pinjaman bergulir termasuk melakukan penagihan. Sedangkan KMM mempunyai tugas: melakukan
pelaksanaan pemetaan potensi sumberdaya oleh masyarakat, menyusun usulan kegiatan pembangunan terkait dengan PBL-MAPALUSE, mengelola dana yang diperolehnya untuk
mendanai kegiatan pembangunan yang diusulkan, mencatat dan membuat laporan kegiatan dan keuangan kegiatan pembangunan yang diusulkan, memerapkan nilai-nilai
transparansi,demokrasi,membangun dengan mutu dalam pelaksanaan pembangunan yang dikerjakan, melakukan tugas administrasi pengelolaan dana untuk seluruh kegiatan yang
dilaksanakan.
Hasil kajian menunjukkan, adanya program penguatan lingkungan dapat memanfaatkan potensi kelurahan yang ada. Namun disadari bahwa dalam pelaksanaan
program penguatan lingkungan, setidaknya akan menghadapi tiga kelompok yang harus siap di dalamnya yaitu: pertama, sejauhmana kesiapan aparat lingkungan untuk mengelola.
Kedua, peran tokoh masyarakat harus ada, untuk menyadarkan bagaimana agar program seimbang antara fisik dan non fisik. Aparat lingkungankelurahan dan tokoh masyarakat
juga harus diberdayakan. Ketiga, siapa masyarakat itu sendiri, misalnya jika kelurahan sedang berbicara masalah pemberdayaan, maka masyarakat harus dilibatkan.Kegiatan
ADPTL sangat bermanfaat, antara lain: 1 masyarakat di tingkat lingkungan akan lebih leluasa berekspresi mencapai kemajuan. Aspirasi masyarakat lebih terakomodir karena
pengambil kebijakan berada di tengah-tengah masyarakat, bahkan mereka sendiri sebagai bagian dari pengambil keputusan; 2 pelaksanaan pembangunan di kelurahan menjadi
maksimal karena realistis, dikerjakan sendiri dan mendapat dukungan swadaya dari masyarakat; 3 kontrol langsung secara intensif dari masyarakat memungkinkan dan dapat
meminimalisir bahkan meniadakan penyimpangan.
Pemerintah yang selama ini dominan dan mengambil alih semua pengelolaan masyarakat telah mengoreksi peranannya dengan memberi ruang yang lebih besar kepada
masyarakat Abers 1998; Kloby 2001. Kerjasama kolaboratif antara pemerintah dan masyarakat bukan suatu utopia tetapi keduanya dapat bersinergi baik dalam bentuk
melengkapi maupun menyatu atau melekat. Desentralisasi atau otonomi daerah tidak bisa tercapai tujuannya kalau masyarakat hanya berada diluar sistem.Artinya,masyarakat juga
memerlukan otonomi agar mampu berkolaborasi dengan pemerintah dan tidak terkooptasi. Namun lahirnya kebijakan otonomi daerah telah pula menimbulkan persoalan yaitu
kecenderungan lahirnya
“raja-raja lokal” yang dianggap kurang berpihak pada kepentingan publik. Penelitian Fernandez 2002 di Sumatera Utara, Jawa Timur, Kalimantan Timur,
Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat, memperlihatkan bahwa mutu pelayanan
732
publik sebagai salah satu tujuan keberhasilan demokratisasi dan desentralisasi masih belum banyak diperhatikan. Faktor-faktor kelembagaan politik tidak siknifikan mempengaruhi
kepuasan masyarakat terhadap proses desentralisasi didaerahnya, sehingga proses partisipasi dalam praktek pengambilan keputusan sehari-hari tidak terjadi.
Secara umum gerakan kepemerintahan yang baik sekarang ini menunjukkan berbagai kecenderungan: pertama, bagi institusi pemerintah implimentasi kepemerintahan
belum berjalan meskipun telah dikemas dalam kerangka transparansi dan akuntabilitas. Berbagai aktivitas strategis masih menjadi kavling mutlak pemerintah walaupun
menyangkut kepentingan publik,misalnya pembahasan dan pengalokasian anggaran; kedua, ada kecenderungan rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap berbagai program
yang diinisiasi atau diciptakan pemerintah. Dipihak lain, pemerintah sendiri terus membangun program pemberdayaan masyarakat yang terkesan tidak sesuai kebutuhan dan
persoalan sebenarnya; ketiga kebijakan atau program yang dibangun dari atas pemerintah pusat, pemerintah propinsikota, lembaga donor umumnya kurang pas. Akibatnya sinergi
antara pemerintah dan masyarkat, termasuk sinergi antarsektor pemerintah sendiri mulai dari tingkat atas hingga tingkat kelurahan masih menjadi persoalan besar.
Sinergi tingkat lokal dalam hal ini kelurahan yang dimaksud adalah bagaimana menciptakan relasi saling melengkapi dan melekat antara pemerintah dan masyarakat.
Pemerintah yang telah lama memerankan diri sebagai “patron”dan masyarakat sebagai “klien”dan menciptakan hubungan “patron-klien” Abers 1998 harus merubah
pandangannya bahwa masyarakat adalah pemasok input co-producer yang setara dengan pemerintah dalam pembangunan masyarakat Ostrom,1996. Pemerintah bukan lagi aktor
tunggal patron yang memasok semua input kebutuhan masyarakat, sedangkan masyarakat bukan penerima pasif klien yang tunduk pada kepentingan pemerintah.
Relasi pemerintah dan masyarakat yang nyatanya tidak dalam kerangka kemitraan, sebenarnya tidak perlu terjadi jika mengacu pada konsep koproduksi. Dalam koproduksi,
pemerintah sebagai producer seyogianya mampu menempatkan masyarakat sebagai pemasok produksi lain co-producers bukan sebagai klien. Meski konsep koproduksi
bukan hal baru, konsep ini masih relevan dalam memahami persoalan kepemerintahan lokal. Ostrom 1996 telah mengemukakan konsep ini sejak tahun 1970-an melalui
kajiannya di Indianapolis. Menurutnya, warga yang diperlakukan sebagai klien dalam pemberian pelayanan oleh para staf profesional pemerintah nyatanya tidak berjalan
efektif tanpa keterlibatan warga. Hal ini disebabkan:pertama, adanya pemikiran bahwa pemasok produksi adalah tunggal pemerintah padahal ada banyak lembaga publik dan
swasta yang mendukung produksi itu. Kedua, para birokrat lapangan tidak selalu mencerminkan diri sebagai kaki tangan atau mesin birokrasi pusat yangakan selalu patuh
pada petunjuk atasan, mereka juga punya seni sendiri dalam bekerja. Ketiga, produksi pelayanan barang, termasuk pelayanan sosial sulit berjalan tanpa partisipasi aktif warga
yang menjadi penerimanya. Ostrom memberi contoh, jika para siswa tidak aktif di dalam proses pendidikan, dan jika mereka tidak didukung oleh keluarga dan teman, maka
pekerjaan guru tidak banyak membuahkan hasil. Demikian juga jika warga tidak mau melaporkan peristiwa-peristiwa mencurigakan secara cepat kepada polisi, maka hanya
sedikit yang bisa diperbuat untuk mengurangi tindak kejahatan.Perlakuan sebagai klien relasi patron-klien oleh pemerintah kepada masyarakat menyebabkan klien menjadi
penerima pasif pelayanan. Padahal warga dalam konsep kepemerintahan harus aktif atau diupayakan menjadi aktif dalam memproduksi pelayanan publik.
Relasi koproduksi mengingatkan bahwa pemerintah yang kuat tidak harus terjadi dalam absennya masyarakat sipil atau sebaliknya masyarakat sipil yang kuat tidak hanya
terjadi pada saat negara melemah. Keduanya tidak harus dalam kondisi berhadapan. Negara dan masyarakat dapat bersinergi sebagai katalist pembangunan yang terikat dalam suatu
733
kerjasama dan jaringan. Norma-norma kerjasama dan jaringan antar warga masyarakat dapat dibangun melalui lembaga-lembaga publik dan digunakan untuk tujuan
pembangunan. Artinya, jaringan horisontal yang terdapat di masyarakat, melalui pengaturan publik, dapat menjadi faktor penentu bagi berhasilnya program pembangunan.
Apa yang ingin ditekankan dalam konsep koproduksi sebenarnya adalah dengan pembagian kerja itu ada peluang terjadinya sinergi pemerintah dan masyarakat.
Hasil identifikasi, peran dari setiap pelaku PBL-MAPALUSE sangat nyata yaitu pemerintah dan masyarakat baik dari tingkat kota, kecamatan, kelurahan dan lingkungan.
Peranan sosialisasi juga diperluas dan diperkuat mulai dari tingkat kota sampai ketingkat lingkungan. PBL-MAPALUSE merupakan program pemerintah kota Manado yang
berupaya memberdayakan masyarakat dan pelaku pembangunan lokal lainnya, termasuk pemerintah kecamatan dan kelurahan dan kelompok peduli yang ada dimasyarakat, untuk
membangun “gerakan kemitraan” dalam menanggulangi kemiskinan secara mandiri dan berkelanjutan. Kejelasan tata peran dari pelaku-pelaku PBL-MAPALUSE, sangat penting
dalam upaya membangun hubungan kerja yang integral dan komplementer agar tercapai misi utama PBL-MAPALUSE, yakni memberdayakan masyarakat dalam menganggulangi
masalah kemiskinan,yang didukung oleh pemerintah daerah, kelompok peduli dan masyarakat setempat. Kurangnya sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap PBL-
MAPALUSE akan dapat mengakibatkan kurang utuhnya pemahaman mengenai PBL- MAPALUSE dikalangan pelaku dan masyarakat,yang pada gilirannya akan memudarkan
makna serta tujuan PBL-MAPALUSE itu sendiri. Pada sisi lain, PBL-MAPALUSE yang memiliki cakupan yang sangat luas 504 lingkungan untuk Kota Manado, baik wilayah
maupun kelompok sasaran, menuntut peran kunci strategi sosialisasi pada keseluruhan pelaksanaan PBL_MAPALUSE yang akan melibatkan berbagai stakeholders.. Untuk
menjamin hal itu, maka kegiatan sosialisai dalam PBL-MAPALUSE ini harus dilakukan secara terencana dan terpadu. Mulai dari tujuan yang hendak dicapai, siapa saja yang akan
menjadi sasaran sosialisasi, dan siapa pelakunya. Hanya dengan model sosialisasi yang utuh tersebut yang akan menjamin terwujudnya penyamaan persepsi serta tumbuhnya
motivasi masyarakat sesuai yang diharapkan.
Kegiatan sosialisasi telah dilakukan oleh instansi terkait secara berjenjang mulai dari tingkat kota, kecamatan,kelurahan samapi ketingkat lingkungan. Pelaku sosialisasi adalah
BPMPK,tim koordinasiSKPD
terkait,camat,lurah,fasilitator,pokja dan
kepala lingkungan.
Dari segi kepentingan Kota, adanya pembangunan berbasis lingkunganKota tidak repot lagi terlibat dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan skala kelurahan karena
masing-masing kelurahan bersama warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Kota bisa lebih berkonsentrasi meneruskan pembangunan pelayanan publik
untuk skala Kota yang jauh lebih strategis dan lebih bermanfaat bagi pembangunan jangka panjang Kota.
Selain meminimalisasi beban tugas, pembangunan berbasis lingkungan juga melahirkan efisiensi pembiayaan pembangunan. Selama ini pembangunan kelurahan
hampir selalu dipilihkan dari atas, atau diistilahkan top down dan pelaksananya dinas instansi pemerintah melalui mekanisme proyek. Meskipun pengusulannya dimulai dari
kelurahan, bahkan lingkungan, namun pada kenyataannya keputusan pilihan ada di tangan pemerintah kota. Maka bukan tidak mungkin proyek yang datang ke kelurahanbukanlah
kebutuhan masyarakat. Biaya pembangunannya pun sudah bukan rahasia lagi, jauh lebih besar dari kebutuhan biaya dari cara pandang masyarakat.
Manfaatnya adalah meningkatkan pemerataan pembangunan dan pelayanan. Gerakan pembangunan selama ini sering kali bias kepentingan politik. Atmosfir semacam
itu berdampak pada pelayanan publik yang tidak merata. Ada kelurahan yang selalu
734
mengalir dengan lancar proyek-proyek dari tahun ke tahun, atau bahkan bisa bertumpuk beberapa proyek secara bersamaan, namun ada kelurahan yang jarang dapat bagian kue
pembangunan. Kondisi semacam ini di samping menciptakan kecemburuan antar masyarakat juga membangun rasa enggan, apatis, bahkan kebencian pada pemerintah bagi
kelurahan yang tidak pernah kebagian.
Manfaat yang tidak kalah penting adalah meningkatkan peran Kelurahan. Kelurahan penerima pembangunan berbasis lingkungan semakin aktif menjalankan perannya dalam
pelayanan publik dan pembangunan. Peningkatan peranan kelurahan dalam pembangunan berkontribusi besar mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Beberapa kesulitan yang selama
ini membelenggu kelurahan secara bertahap mampu diurai oleh mereka sendiri. Dari sudut pandang pemberdayaan, masyarakat kelurahan semakin mampu menyelesaikan
masalahnya sendiri dan ini menjadi indikator kemandirian.Peningkatan kapasitas pelaku adalah serangkaian kegiatan untuk meningkatkan kapsiatas pelaku agar mampu
menciptakan kondisi yang kondusif dan sinergi positif bagi masyarakat terutama kelompok masyarakat kurang mampu dalam menyelenggarakan hidupnya secara layak. Kegiatan
terkait dalam komponen ini antara lain pelatihan,on the job training,bimbingan,kunjungan lapangan. Agar pelatihan-pelatihan ini pada gilirannya mampu menghasilkan pelaku-
pelaku yang efektif, maka seluruh pelatihan yang berkaitan dengan PBL_MAPALUSE harus mampu menyentuh unsur manusianya sebagai sasaran perubahan. Kegiatan lanjutan
berupa model pelatihan diharapkan mampu mentransformasikan nilai-nilai kemanusiaan sebagai basis perubahan prilaku kolektif. Penantian lingkungan untuk mendapatkan dana
pembangunan berbasis lingkungan PBL sangat diharapkan oleh masyarakat, walaupun sampai pelaksanaan IbM ini belum terealisasikan. Namun informasi melalui media masa,
pemerintah kota Manado sudah siap akan menyalurkan dana tersebut setelah tahapan verifikasi.Setiap lingkungan akan mendapatkan masing-masing 75 juta dengan total
anggaran 37,8 M untuk keseluruhan Kota Manado. Dana tersebut akan langsung ditransfer kerekening kelompok masyarakat mapaluse KMM. Dana tersebut diperuntukkan sesuai
kebutuhan lingkungan serta berdasarkan proposal yang telah dimasukkan dengan tujuan untuk pemberdayaan masyarakat. Pembangunan meliputi fisik sosial,dan ekonomi warga.
Penyaluran dana akan dilakukan bertahap dan harus mendapatkan pengawasan secara ketat baik dari pemkot dan seluruh elemen masyarakat. Dana diserahkan dalam 3 tahapandan
wajib disertai laporan. KESIMPULAN
1. Pembangunan berbasis lingkunganKota Manado telah membantu penyelesaian permasalahan skala kelurahan, karena masing-masing kelurahan bersama
warganya sudah mampu menyelesaikan masalah mereka sendiri. Namun adanya keterlambatan pencairan dana menunjukkan adanya sikap keraguan dari kelompok
masyarakat yang dibentuk.
2. Adanya pembagian kerja antara aparat dengan masyarakat dalam menjalankan program berbasis lingkungan berpeluang terjadinya sinergi kepemerintahandengan
masyarakat, walaupun dalam pelaksanaan di tingkat kelurahan masih lemah, sehingga diperlukan sosialisasi dan diseminasi informasi terhadap program yang
nantinya dilaksanakan.
735
DAFTAR PUSTAKA Abers, Rebecca. 1998. From Clientelism to Cooperation: Local Government:
Participatory Policy and Civic Organizing in Porto Alegre, Brasil, in: Politics and Society, Vol. 26 No. 4, p. 511-537.
Fernandez, Joe. 2002. Membangun Partisipasi Melalui Transparansi Anggaran.Jurnal Analisis Sosial, Vol. 7 No. 2, Bandung. Akatiga.
Harian Komentar. 2008. Dinas Pertanian Kota Mitra Komitmen Terhadap Pemberdayaan Masyarakat,30 Desember 2008.
Hudayana B dan Tim Peneliti FPPD. 2005. Peluang Pengembangan Pertisipasi Masyarakat Melalui Kebijakan Alokasi Dana Kelurahan:
Pengalaman Enam Kota.Makalah Pertemuan Forum Pengembangan Partisipasi Masyarakat FPPM di Lombok Barat 27-29 Januari 2005.
Kloby, Jerry. 2003. Participatory Budgenting in Institute of Community Studies, Newsletter No. 10, Spring edition.
Maryunani, Nurkholis, M. Ismail, A. Suman, U. Lugido, Roekhudin dan G. Maski. 2002. Alokasi Dana Kelurahan Formulasi dan Implementasi. Fakultas Ekonomi UB dan
Partnersip for Governance Reform in Indonesia. Ostrom, Elinor. 1996.
Crossing the Great Divide: Coproduction, Synergy and Development in Evans, Peter 1996
State-Society Synergy: Government and Social Capital in Development, Research Series Number 94.
736
BAB V GERAKAN PETANI DAN
NELAYAN
737
DARI MUKJIZAT KE KEMISKINAN ABSOLUT: PERLAWANAN PETANI RIAU MASA ORDE BARU DAN REFORMASI 1970-2010
Drs. Zaiyardam Zubir, M.Hum
1
, Dr. Lindayanti, M.Hum
2
, Fajri Rahman, S.Sos., MA
3
.
1
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang Email:
zaiyardam_zubiryahoo.com
2
Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas Padang Email;
linda_swanyahoo.com
3
Jurusan Antropologi Fisip Universitas Andalas Padang nada2rahmanyahoo.com
Abstrak
Sepanjang Orde Baru dan Reformasi, Riau dikenal pemasok terbesar untuk APBN. Provinsi ini mendatangkan mukjizat bagi negara dan kapitalis. Sebaliknya, muncul
kemiskinan absolut terhadap petani. Tujuan penelitian adalah merumuskan kebijkanan ekonomi yang timpang itu. Hal ini diperlukan mencari kebijakan alternatif yang berpihak
kepada petani. Metode penelitian adalah kualitatif. Metode itu dilakukan melalui serangkaian wawancara dengan nara sumber yang memahami persoalan. Selain itu, juga
metode dokumenter. Hasil penelitian ditemukan bahwa malang nian nasib petani. Sudah terjatuh, petani tertimpa tangga. Tanah, ladang, hutan dan rimba dirampok oleh negara
dan kapitalis. Setelah dirampok, mereka dijadikan sebagai budak dan mendapatkan upah, sekedar bertahan hidup. Musim kemarau, budak-budak disuruh membakar lahan. Apabila
tertangkap, tuduhan jatuh pada mereka. “Kebakaran dilakukan oleh rakyat badarai, yang memb
uka ladang berpindah”, tulis media massa, yang menjadi corong kapitalis. Jika tertangkap, dibiarkan. Tanpa dosa, jurugan menyuruh budak lainnya kembali membakar
lahan. Tepat ungkapan Paus Fransiskus bahwa kapitalis adalah kotoran setan. Tandas semuanya. Namun, petani melawan. Corak perlawanan seperti angin di laut lepas. Kadang
sepoi-sepoi. Dilain waktu penuh riak. Adakalanya seperti badai, meluluhlantakkan. Gelombang perlawanan tak habis-habisnya dengan tujuan mengembalikan lahan mereka
yang dirampok. Dari perampokan, perbudakan dan pembakaran, apakah negara dan kapitalis dapat dikategorikan sebagai teroris?. Dalam konteks inilah, makalah memcoba
memberi perspektif baru tentang negara dan kapitalis nan teroris. Key Words;
Mukjizat, Perampokan, Perbudakan, Pembakaran, Teroris.
Abstract
Throughout the New Order and Reform period, Riau is known as the largest supplier to the state budget. The province have brought with it miracles for the state and
the capitalist. In contrast, absolute poverty has been founded in the life of farmers. The research objective is to learn the unjustice economic policy. It is necessary look for
alternative policies that favor the farmers. The research method was qualitative. The method was carried out through a series of interviews with resource persons who
understand the problem. In addition, documentary method was used. The research found that the life of the poor peasants are deeply deprived. Their land, field, forest and jungle
had been grabbed by the state and the capitalist. After being land grabbed, they serve as slaves and receive small wages which were only sufficient to survive. During the dry
season, these slaves were told to burn the land. If caught, the charge falls on them. Fire is done by the people of Badarai, which performed shifting cultivation, wrote the mass
media, which is a mouthpiece for capitalists. If caught, they were left. Without sin, the
738
business owner sent other slaves back to burn the forest in order to clear the land. Exact phrase Pope Francis, the capitalist is dirt of devils. Said it all. However, farmers fight
back. The style of resistance like the wind on the high seas. Occasionally breezy. On the other full-time ripples. Sometimes like a hurricane, devastated. Waves of resistances came
inexhaustibly with the aim of restoring their land robbed. For robbery, enslavement and burning that they had done, can the state and the capitalists be categorized as a terrorist?.
In this context, this paper attempting to give a new perspective on the state and capitalist as terrorists.
Key Words;
Miracle, Land Grabbing, Slavery, Forest-Burning, Terrorist.
1. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Dalam mengkaji ekonomi kelas bawah masyarakat Riau, ada dua kisah yang menarik untuk diungkapkan yaitu; pertama, di cover depan jurnal Teraju
tertulis, “kita berada di tepian Indonesia. sudah pasti berada di posisi marginal dari ke-Indonesia-an. Itu
bukan hanya dilihat secara geografis, tetapi juga tentang bagaimana perlakuan Indonesia terhadap Riau dalam rentang wak
tu 64 tahun. Tapi sudahlah” jurnal Teraju, edisi Khusus, April
–Mei 2009, hlm.4-5. Kedua, Batin Irisan, seorang kepala adat etnis Talang Mamak di Kuala cenaku bercerita; “Mereka masuk begitu saja ke kampung dan hutan kami.
Apalagi yang dilakukan PTPN V milik negara. Mereka begitu leluasa saja mengambil tanah kami, seakan-
akan kami ini bukan mamusia yang menghuni tanah didalamnya”. Wawancara dengan Batin Irisan, di Kuala Cenaku. Dua statement itu memperlihatkan
perlakuan yang tidak adil dirasakan sekelompok orang di Riau. Dari kontradiksi itu, penelitian ini akan mencoba melihat antara mukjizat dan pemerataan kemiskinan absolut
dalam skala kecil yaitu Riau.
Persoalan ini muncul ketika kebijakan nasional yang bergeser dari gas ke non migas merupakan cikal bakal masuknya perkebunan ke Riau. Pembangunan sebagai idiom
Orde Baru menghendaki investasi sebesar-besarnya baik modal pemerintah, swasta nasional maupun modal asing. Dalam perkembangannya, kebijakan ini tidak hanya
industri, akan tetapi kemudian juga berkembang ke perkebunan besar. Perkebunan besar itu membawa persoalan tersendiri, terutama upaya mendapatkan tanah seluas-luasnya.
Dengan kucuran dana yang tidak terbatas, para investor bisa melaksanakan semua impiannya untuk mengeruk dollar. Hal yang tidak dapat terelakkan adalah terjadinya
ekspansi modal besar ke pedesaan. Masuknya modal besar itu menandai era baru dari sejarah masyarakat Riau.
Mukjizat yang didapatkan pengusaha Indonesia tidak terlepas dari terbukanya kesempatan besar untuk melakukan investasi di Riau, terutama sejak sejak awal rezim Orde
Baru. Untuk wilayah Riau, salah satu usaha yang dikembangkan adalah perkebunan kelapa sawit. Bisnis ini mendapat perhatian serius pemerintah dan kemudian diwujudkannya
melalui Pelita. Pada Repelita I, II dan III rancangan pengembangan sawit, baru sebatas perusahaan negara seperti di bawah bendera Perseroan Terbatas Perkebunan Negara
PTPN. Semenjak itu, PTPN ini mulai mengembangkan perkebunan sawit Adlin U. Lubis,1985:2220-50. Dalam setiap dekade, pemerintah pusat mengeluarkan kebijakan
tentang pengembangan sawit. Dimulai pada tahun 1970-an pemerintah menggulirkan program Perkebunan Inti Rakyat PIR-BUN. Pelaksanaan PIR dimulai pada tahun
19771978 berdasar keputusan Presiden RI no. 11 tahun 1974 tentang Repelita II PIR-BUN merupakan pola pelaksanaan perkebunan dan perkebunan besar sebagai perkebunan inti
Derom Bangun dan Bonnie Triyana, 2010:11 Tahun 1980-an pemerintah pusat menggulirkan program PIR-Transmigrasi. Program ini berkaitan erat dengan upaya
739
pengentasan kemiskinan Loekman Sutrisno, 1997: 23-29. Program selanjutnya adalah Perkebunan Besar Swasta Nasional PBSN I 1981-1986, PBSN II 1986-1989 dan PBSN
III 1989-1992. Pada masa Reformasi berdasar Surat Keputusan Menteri Pertanian no. 262007: pemerintah tidak memperkenankan bagi perusahaan besar memiliki 100 dan
20 harus disisakan untuk pembangunan PIR Herman Hidayat, 2008.
Pengembangan perkebunan kelapa sawit memperlihatkan peningkatan yang tajam sejak berjalannya Pelita IV. Sejak Pelita itu, pemerintah mulai mengembangkan
perkebunan kelapa sawit dalam skala besar-besaran. Langkah awal adalah pembukaan perkebunan kelapa sawit baru seluas 911.511 ha di berbagai propvinsi di Indonesia. Pada
awal pengembangan kelapa sawit di Indonesia, setidaknya ada sebanyak 13 provinsi yang dijadikan sebagai sasaran pemerintah pusat untuk dijadikan wilayah uji coba. Hal yang
menarik adalah dari luas perkebunan sawit yang direncanakan di 13 provinsi itu, ternyata Provinsi Riau merupakan wilayah yang paling luas untuk pengembangan perkebunan sawit
yaitu 266.300 ha. Jumlah pembukaan perkebunan sawit baru itu mencapai 25 dari keseluruhan rencana pemerintah pusat untuk pengembangan perkebunan sawit secara
keseluruhan di Indonesia Sumardiko, 1985: 149.
Ekspansi modal besar diikuti dengan kehadiran perkebunan besar. Kebutuhan tanah yang luas untuk perkebunan besar, meyebabkan para investor berusaha mencari lahan
baru sampai ke pelosok-pelosok Riau. Dalam kondisi yang demikian, memunculkan berbagai persoalan baru dalam masyarakat. Setidaknya ada 5 masalah utama yang muncul
kepermukan yaitu yaitu lahirnya zona ekonomi baru, lowongan kerja, munculnya kota-kota pinggiran perkebunan, dan penetrasi yang dilakukan oleh elite dari pusat sampai desa
terhadap petani dan suburnya korupsi di kalangan birokrasi. Kelima persoalan ini menempatkan petani di Riau sebagai kelompok terpinggirkan. Bahkan, kehadiran birokrat
yang seharusnya melindungi petani justru menjadi kekuatan untuk menekan petani dalam rangka mendapatkan tanah rakyat. Bentuk penekanan tersebut seperti dalam pembebasan
tanah rakyat, dimana birokrasi lebih menguntungkan investor daripada rakyat kecil.
Persoalan utamanya adalah kebijakan yang dibuat oleh penguasa yang tidak melindungi rakyatnya. Dalam banyak kasus, penguasa yang seharusnya melindungi rakyat
dari eksploitasi justru bekerja sama dengan pengusaha, sehingga wacana pembangunan yang dicanangkan untuk meningkatkan taraf hidup kelompok miskin tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Hal yang terjadi justru sebaliknya membuat yang telah miskin menjadi semakin miskin. Kondisi yang demikian ini lah kemudian melahirkan masyarakat
underdeveloped. Underdevelopment adalah suatu kondisi yang biasanya dicirikan dengan keterbelakangan, disebabkan oleh pembangunan merkantilisme dan kemudahan
kapitalisme yang diberikan oleh pemerintah James D. Cockcroft, Andre Gunder Frank and Dale L. 1972.
2.Permasalahan
Arus investasi yang berlangsung menghasilkan kelompok yang diuntungkan dan sebagian lain harus dipinggirkan. Di Riau, sejak tahun 1980-an sudah merasakan pahit
getirnya arus penanaman modal. Sejak program Sijori itu dijalankan oleh ketiga negara, Riau berkembang pesat sebagai wilayah industri untuk wilayah Indonesia. Perkembangan
pesat dari Riau ini sebenarnya tidak terlepas dari program utama pemerintah pusat untuk menjadikan Riau khususnya pulau Batam sebagai sentral industri. Di bawah kendali
pemerintah pusat yang diwakili Habibie, ia memimpin pengembangan Batam menuju mega proyek industri, terutama industri tekonlogi tinggi dan alat-alat berat Lee Tsao Yuan,
1991: 3-10.
Sejalan dengan masuknya modal besar, mau tidak mau membutuhkan banyak hal terutama sarana dan prasarana. Apalagi menyangkut investasi untuk perkebunan besar,
740
maka dibutuhkan tanah sangat luas. Hanya saja, cara mendapatkannya tidak berjalan sebagaimana mestinya, serhingga menumbuhkan bibit-bibit konflik di Riau. Dengan
dukungan modal besar dan penguasa yang bisa disogok, perusahaan perkebunan berkembang. Bibit konflik itu disemai di setiap pembukaan pekebunan besar, sehingga
lama kelamaan menuai konflik. Mengacu pada kasus tanah di Cenaku, Batin Irisan menyebutkan bahwa penyemaian bibit konflik itu didukung oleh 3 D yaitu deking beking,
duit dan dukun Wawancara dengan Batin Irisan. Jika sudah ketiga hal ini ikut bermain, maka tidak ada kekuatan apapun bisa menghentikannya. Tentu saja masyarakat yang tidak
memiliki 3 D itu kemudian dirugikan.
Persoalan besar dimulai saat pengambilalihan lahan-lahan masyarakat untuk dijadikan perkebunan besar sawit. Bahkan, dalam setiap pengambilalihan lahan, hal yang
tidak bisa dihindari adalah berlangsung konflik didalamnya. Perusahaan negaralah yang pertama melakukan ekspansi ke Riau dan kemudian memberi contoh yang tidak baik dalam
proses pembebas an lahan masyarakat. “Tongkat yang membawa rebah”, begitulah perilaku
PTPN V untuk mendapatkan tanah masyarakat secara gratis. Riau Mandiri, 12 April 2003. Dapat dikatakan bahwa sepertinya negara tidak mengakui hak-hak atas tanah yang
dimiliki dan dihuni masyarakat Riau yang sudah mereka tempati secara turun temurun. hal ini dibuktikan dengan pencaplokan tanah rakyat begitu saja, tanpa memberikan ganti rugi
semestinya Riau Mandiri 10 Agustus 2004. Untuk mempertajam analisis, dirumuskan beberapa pertanyan utama yaitu;
1. Siapakah yang mendapatkan mukjizat dari pertumbuhan ekonomi nasional?. 2. Mengapa terjadi kemiskinan absolut dan bagaimana strategi bertahan hidup mereka ?
3. Bagaimanakah kebijakan nasional dijalankan sehingga menimbulkan kontrakdiktif
antara mukjizat dan kemiskinan absolut? 4. Perlawanan seperti apakah yang dilakukan petani dalam menghadapi ketidakadilan
yang diterima petani itu? C. Urgensi Penelitian
Soedjokomo menyebutkan bahwa di negara-negara yang sedang berkembang seperti Indonesia, kemiskinan yang terjadi dalam masyarakat disebabkan oleh kebijakan penguasa
yang tidak berpihak, sehingga melahirkan kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural melahirkan ketimpangan sosial ekonomi dan biasanya dihadapi dan dirasakan oleh petani
di pedesaan disebabkan lemahnaya akses mereka dan perampasan hak-hak mereka –
terutama tanah- oleh pmguasa dan pengusaha Soedjamoko, 1980: 46-49. Dalam konteks ini, ilmuan sosial juga dibutuhkan untuk mampu memetakan persoalan daerah, sehingga
dapat menghasilkan sebuah penelitian yang jernih dan berpihak kepada rakyat dalam rangka meningkatkan harkat hidup rakyat banyak terutama petani. Dalam konteks
demikian, penelitian ini menjadi sangat penting terutama melahirkan pemikiran yang sifatnya pro ekonomi rakyat. Untuk itu, urgensi penelitian ini adalah :
1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi dalam
memberikan pemikiran untuk mencegah secara sistematis dan berlanjut kemiskinan absolut di kalangan petani Riau.
2. Melalui pendekatan yang bersifat interdisipliner, kajian ini mampu memberikan pemahaman yang mendalam dan banyak sudut pandang tentang berbagai persoalan
kemiskinan absolut di kalangan petani. 3. Dengan menggunakan pendekatan interdisipliner ini, maka rumusan pemikiran dari
penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambil kebijakan terutama pemerintah dalam merumuskan perencanaan pembangunan khususnya
menyangkut petani di pada masa yang akan datang, sehingga kebijakan yang muncul
741
tidak lagi simplistic solution akan tetapi komprehensif dan terencana dengan baik dalam menyusun master plan ekonomi petani.
4. Secara teoetis, keutamaan dari penelitian terletak pada kamampuan untuk melahirkan teori tentang ekonomi pro rakyat berdasarkan dinamika ekonomi petani di Riau.
D. Tujuan Penelitian
Persoalan laten yang yang dibuat pemerintah Indonesia sejak zaman Orde Baru dan kemudian berlanjut pada era Reformasi- adalah perampasan tanah rakyat yang
dijadikan sebagai perkebunan besar. Perampasan tanah rakyat itu kemudian diikuti dengan proses kemiskinan secara struktural, terutama perubahan pola kehidupan dan pola ekonomi
dalam masyarakat. Untuk memahami lebih lanjut persoalan itu, maka tujuan khusus penelitian adalah;
1. Mengkaji kebijakan nasional dijalankan sehingga menimbulkan kontrakdiktif antara
mukjizat dan kemiskinan absolut 2. Membahas persoalan mukjizat dari pertumbuhan ekonomi nasional dan kemiskinan
absolut yang berlangsung dalam alam petani. 3. Menganalisis fakor-faktor penyebab petani tetap miskin dan strategi mereka bertahan
hidup 4. Membahas bentuk-bentuk perlawanan yang dilakukan petani atas ketidakadilan yang
menimpa mereka 2. TINJAUAN PUSTAKA
Studi tentang masalah mukjizat dan kemiskinan absolut dalam sejarah ekonomi Indonesia sudah mendapat perhatian serius di kalangan ilmuan. Namun demikian, studi
lebih banyak bersifat makro dan sehingga untuk kasus-kasus mikro sangat sedikit ditemukan. Studi The The Kian Wie yaitu
Pembangunan, Kebebasan dan “Mukjizat” Orde Baru, dan Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan, memperlihatkan kajian yang menarik
tentang pokok persoalan penelitian ini. The Kian Wie memperlihatkan kontradiktif yang mendalam tentang sejarah ekonomi Indonesia modern. Kontrakdiktif itu tergambar dari
judul yaitu Mukjizat dan Pemerataan. Buku Pertama yang berjudul Pembangunan,
Kebebasan dan “Mukjizat” Orde Baru, menggambarkan kemajuan pembangunan Orde Baru seperti sebuah “mukjizat”. Pertumbuhan ekonomi Indonesia setiap tahun meningkat
sampai 2 digit, sehingga untuk pertama kali dalam sejarah ekonomi Indonesia modern, ekspor hasil industri dan sektor swasta menjadi mesin utama pertumbuhan industri
nasional. Pada periode ini, kemajuan yang dicapai oleh Indonesia mulai menyerupai seperti negara-negara di Asia Timur, baik dalam kinerja ekonomi maupun pesat
pertumbuhannya Thee Kian Wie, 2004: 214 dan 257.
Buku kedua yang berjudul Pembangunan Ekonomi dan Pemerataan Thee Kian Wie, Pembangunan 1980: 7-17. Kalau dalam pertama, The Kian Wie meyebutkan
Mukjizat, maka dalam buku kedua ini, The Kian Wie melihat terjadinya kemiskinan absolut. Kemiskinan absolut itu disebabkan oleh terjadinya ketidakmerataan
pembangunan. Hasil pembangunan lebih banyak dinikmati oleh segelintir elite, sementara masyarakat kelas bawah hanya mendapatkan cipratannya saja. The Kian Wie membaginya
yaitu 56,73 Elite, 32,12 kelas menengah dan 11,15 kelas bawah.
Senada dengan Thee Kian Wie, Muhaimin menyebutnya sebagai sebuah “keajaiban” dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama kemampuan melakukan
penekanan terhadap lajunya inflasi. Dibandingkan dengan periode sebelumnya 1966, laju inflasi mencapai 600 setahun, maka sepuluh tahun awal pemerintahan Orde baru, laju
inflasi dapat ditekan sampai 30 pada tahun 1979 dan 17.10 pada tahun 1980 Yahya A. Muhaimin, 1990: 272.
742
Baik mukjizat maupun kemiskinan absolut tidak terlepas dari ekspansi kapitalis. Mukjizat itu lahir sebagai dampak dari kebijakan liberal yang dibuat para teknorat,
terutama untuk penanaman modal swasta, baik penanamam modal asing PMA maupun penanaman modal dalam negeri PMDN. Konsep pembangunan yang dijalankan diikuti
dengan kehadiran pemodal-pemodal besar dari berbagai belahan dunia, sehingga muncul zona baru ekonomi indonesia. Robison menyatakanya bahwa sejak akhir 1970-an, kelas
kapitalis terbentuk di Indonesia Ricard Robison, 1986: 373-374. Walaupun telah lahir kapitalis baru, namun Kunio menyatakan masih kapitalisme semu, terutama karena campur
tangan pemereintah yang mendalam dan perkembangan kapitalisme itu sendiri tidak didukung oleh teknologi. Pada hal, kapitalisme yang murni haruslah lepas dari campur
tangan pemerintah dan harus bergerak di bidang industri bukan perkebunan, sebagaimana yang banyak dikembangkan di Indonesia Yoshihara Kunio, 1990: 4.
Pembukaan lahan perkebunan besar ini menjadi persoalan baru bagi masyarakat pedesaan. Satu sisi, berdiri pabrik-pabrik yang menjulang tinggi seperti raksasa. Disisi lain,
membuat orang-orang kecil tersingkir dari tanah mereka sendiri. Mengacu pada kehidupan pedesaan zaman kolonial Belanda, Djoko Surjo dalam tulisanny
a “Dinamika Pedesaan Comal Dalam Perspektif Sejarah”, menuliskan bahwa masuknya modal besar ke pedesaan
Comal telah terjadi polarisasi dan proletarisasi di pedesaan tersebut. Kondisi ini kemudian menjadi benih-benih ketegangan sosial secara berkesinambungan terjadi pada masa-masa
kemudian. Pertumbuhan modal besar ini tidak terlepas dari perluasan areal tanaman wajib yaitu tebu, indigo, dan kopi karena sistem Tanam Paksa. Kebutuhan tanah dan tenaga kerja
menjadi salah satu faktor yang memepengaruhi pergeseran pertanian subsistem ke pertanian perkebunan yang dikelola modal asing. Pergeseran-pergeseran sruktur terjadi
sebagai akibat proses komersialisasi dan komoditi tanah, tenaga kerja dan produksi pertanian. Djoko Surjo, 1996: 295. Realitas yang terapungkan dari tulisan ini adalah
bahwa setiap kali modal asing melakukan ekspansi pada satu wilayah, maka seringkali membawa dampak yang negatif terhadap kehidupan masyarakat lokal. Biasanya hal itu
terjadi di negara-negara jajahan atau bekas jajahan.
Pola warisan pemerintah kolonial Belanda itu ternyata masih berkembang sampai Indonesia merdeka. tidak herannya misalnya elite-elite seperti Tabrani Rab Riau tidak
menerima begitu saja, sehingga mereka menuntut pemerataan dan bahkan sampai Riau Merdeka. Isu utama yang dilontarkan kelompok Tabrani Rab ini adalah Republik federal
Riau. Tabrani menuliskan bahwa bentuk Riau berdaulat adalah negara federal. Ibukota negara adalah Batam. Pemerintahan bersifat parlementer. mata uang Riau Dollar. Bahasa
Melayu. Republik ini dilahirkan sebagai bentuk perlawanan atas eksploitasi politik dan ekonomi yang dilakukan pemerintah pusat selama ini. Dalam politik, pemerintah pusat
menempatkan orang-orang kepercayaannnya memerintah Riau. Rab melihat 3 tiga kebijakan pemerintah pusat yang tidak adil yaitu penetapan birokrat di daerah lebih
banayak dipercayakan kepada pegawai yang di drop dari pusat, sehingga kebijakan yang diterapkan tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat. Kedua, pengelolaan sumber daya alam
lebih banyak diserahkan kepada pendatang, tanpa melibatkan masyarakat lokal. Pemerintah pusat bahkan menguasai daerah yang potensi ekonomi baik seperti Batam dan
Natuna. Kebijakan ekononmi menguntungkan pusat dan pendatang. Pemerintah pusat menerima devisa dari Riau mencapai Rp. 59.146 Triliun, sedangkan yang dikembalikan
hanya sampai 1, 71 atau Rp. 1.013 Triliun. Tabrani Rab, 2000: 151.
Sementara itu, Alfitra Salam menyoroti dalam bidang ekonomi kekayaan alam Riau selama bertahun-tahun pernah dianggap paling kaya dan pada tahun 1973 sampai
1980 merupakan sponsor utama pembangunan nasional, dan dengan sumbangan terbesar berasal dari kilang minyak, industri, kehutanan, dan perkebunan besar. Hal yang menjadi
persoalan adalah dana yang dikembalikan ke Riau oleh pemerintah pusat tidak sebanding,
743
sehingga masyarakat Riau merasa selama ini dihisap oleh pemerintah pusat maupun pemerintah asing dan pengusaha besar. Alfitra Salam, 1993: 136.
Pola penghisapan yang dilakukan oleh kaum penguasa dan pengusaha ini menjadi tuntutan masyarakat Riau. Ketidakadilan dalam pembagian pendapatan antara pusat dan
daerah ini menjadi salah satu pemicu dari keinginan masyarakat Riau untuk Merdeka. Masalah kepincangan ekonomi yang dirasakan oleh penduduk Riau.
Berdasarkan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat Riau- terutama kalangan elitenya-
menyatakan bahwa kemiskinan yang terjadi di Riau karena kezaliman pemerintah pusat. Selama rentang 50 Tahun, kekayaan Riau dikuras habis dan yang tersia hanya limbah dan
sampah yang ditanggung masyarakat Riau Edynus Herman Halim, 2003: 268-272.
Studi penting lainnya tentang Riau adalah karya Mubyato 1992. Mubyarto melihat tentang era Orde Baru di provinsi Riau ada 2 bentuk perkembangan ekonominya
yaitu perkembangan ekonomi Riau menuju pasar global disertai proses marjinalisasi pada sektor ekonomi tradisional, terutama penduduk asli.
Melalui program IMSGT yang Indonesia-Program Malaysia-Singapura Growth Triangle, pemerintah pusat
memgembangkan Riau sebagai pusat kegiatan ekonomi, namun mengabaikan pertanian subsisten, perikanan, dan perlindungan mata pencaharian kelompok masyarakat terasing.
Hasilnya, pendapatan Daerah Regional Bruto PDRB per kapita di provinsi Riau adalah tertinggi di antara provinsi di Indonesia. Namun, provinsi Riau terjadi pertumbuhan
ekonomi yang tidak seimbang antara sektor Modern dan sektor Tradisional dan sektor perekonomian penduduk asli. Keberhasil yang dicapai hanyalah dalam skala makro
ditandai dengan terjadinya proses pembangunan di Riau yang bukan saja bersifat nasional tetapi bahkan global seperti dalam konteks pembangunan SIJORI dengan fokus investasi
dalam bidang perminyakan, kehutanan, dan perkebunan, namun penduduk asli tersingkir didalamanya. Mubyarto, 1993 dan 1997
Secara keseluruhan, team peneliti sudah mmelakukan beberapa peneliian dan penerbitan buku tentang pokok persoalan. buku yang berjudul “Menuju Integrasi Nasional:
Pergolakan Masyarakat Plural dalam membentuk Indonesianisasi, membahas tentang ketimpangan ekonomi yang kemudian menjadi faktor konflik yang terjadi dalam
masyarakat. Ketimpangan yang terjadi dalam masyarakat mengakibatkan dampak langsung dialami rakyat kelas bawah itu sehingga membuat kehidupan yang sudah susah
menjadi semakin parah dan memburuknya kondisi ekonomi mereka. Secara ekonomis, jelas sekali produktivitas kerja terpengaruh, karena energi mereka habis untuk konflik.
Dapat dikatakan bahwa nasionalis memang sudah milik bersama, namun pembagian keuntungan hanaya milik kelas elite, baik elite penguasa maupun pengusaha kelas atas.
Studi penting lainnya adalah tentang nasib buruh tambang batu bara Ombilin. Penelitian yang kemeudian diterbitkan menjadi buku berjudul Pertempuran nan Tak
Kunjung Usai: Ekspolitasi buruh Tambang Batu Bara Ombilin Sawahlunto Sumatera Barat mengkaji tentang kehidupan sosial, ekonomi dan politik, buruh tambang batu bara
memang mengalami berbagai tekanan dan penindasan. Secara politik, mereka tidak diberi keleluasaan untuk berserikat, sehingga tidak ada kelompok yang memperjuangkan nasib
mereka. Kehadiran Persatuan Kaum buruh Tambang, sebuah organisasi yang dimotori PKI menjadi pilihan yang menarik buruh, sehingga mereka melakukan pemberontakan tahun
1927.
Naskah penting lainnya adalah yang membahas tentang konflik adalah Budaya Konflik dan Jaringan Kekerasan Zaiyardam Zubir, 2010. Naskah ini mencoba mengkaji
tentang apakah konflik sudah menjadi budaya dalam masyarakat atau ada faktor diluar diri mereka yang menyebabkan terjadinya konflik. Memang dalam budaya Minangkabau
konflik dilestarikan sebagai sumber dinamika, namun, konflik harus terjadi dengan kekerasan. Selain itu, naskah ini juga membahas pengaruh faktor ideologi menentukan
744
dalam konflik, terutama agama Islam, yang seringkali dianggap bertentangan dengan adat. Walaupun ada semboyan Adat Basandi Syara’, Syara’ asandi Kitabuallah, namun hal itu
hanya sebuah visi yang harus diperjuangkan. Dalam memperjuangkan visi itu, terjadilah berbagai konflik internal antar kedua ideologi itu. Anehnya, dalam banyak kasus, agama
dijadikan pembenaran dan kedok oleh sekelompok orang untuk memperjuangkan kepentingan pribadi atau kelompoknya.
Studi penting lainnya berjudul Meneropong Kalimantan dari Long Apari: Pola- pola Penyelesaian Konflik Berdasarkan Kearifan Lokal Suku Dayak Penihing di Long
Apari Kutai Barat Kalimantan Timur Zaiyardam Zubir, 2011. Konflik Dayak dan Madura yang terjadi di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan, ternyata tidak merembes ke
Kalimantan Timur. Bahkan, suku dayak yang terdapat di Kalimantan Timur memiliki pola- pola perdamaian adat sendiri dalam menyelesaikan konflik ataupun konflik kekerasan.
Seorang yang terbukti bersalah mencuri babi dalam rapat adat didenda dengan Tajau, Mandau, gong dan babi sebanyak 2 kali yang dicurinya. Seorang pembunuh didenda tajau,
gong dan mandau dan kemudian ia dibuang dari sukunya, dengan tujuan untuk mengihndari terjadinya balas dendam dari keluarga korban.
Penelitian masalah ekonomi antara penduduk asli dan pendatang telah dimulai dengan penelitian tentang migrasi orang dari Jawa ke Bengkulu. Dari hasil penelitian
Lindayanti terlihat bahwa program kolonisasi yang merupakan perpaduan kebijakan pengurangan penduduk di Jawa dan membuka lahan pertanian baru di Luar Jawa. Para
petani Jawa diberikan lahan pertanian dan pekarangan rumah, mereka didatangkan untuk membuka lahan pertanian dan mengajari penduduk Bengkulu bersawah. Apabila di
Bengkulu penduduk asli dan migran dari Jawa dapat hidup berdampingan tidak demikian halnya dengan etnis Cina yang bermukim di Palembang. Masa Revolusi Kemerdekaan
tentara Indonesia melawan tentara Belanda yang akan kembali menguasai Indonesia etnis Cina menjadi sasaran penyerangan tentara rakyat Indonesia karena mereka etnis minoritas
tetapi berhasil menguasai perekonomian. Lindayanti, 2006 dan 2012
Penelitian di Jambi yang sudah sejak masa pemerintahan kolonial Belanda dikenal sebagai penghasil karet rakyat terkemuka di Hindia Belanda menarik bagi penduduk di
daerah sekitar Jambi. Penduduk pendatang, antara lain orang Kerinci, orang Jawa, dan orang Minangkabau. Orang Kerinci, orang Jawa kebanyakan bekerja sebagai penyadap
karet, sedangkan orang Minangkabau bekerja sebagai pedagang dan bermukim di pusat ekonomi. Apabila ditarik jauh ke belakang migrasi orang Minangkabau ke Jambi paling
tidak sudah terjadi sejak abad ke-15, saat Jambi yang merupakan pelabuhan pengekspor lada dan banyak dikunjungi berbagai bangsa dan suku bangsa di kepulauan Nusantara.
Orang Minangkabau bermigrasi dan menetap di Jambi antara lain untuk berdagang juga untuk menambang emas. Mereka datang secara bergelombang dari abad ke abad dan
mereka hidup membaur dengan penduduk asli. Dengan demikian Orang Minangkabau yamng berada di Jambi merupakan salah satu elemen penting dalam masyarakat yang
sekarang dikenal dengan sebutan Melayu Jambi Lindayanti, 2008.
3. METODE PENELITIAN