1017
PENDIDIKAN POLITIK BAGI PEMILIH PEMULA DALAM RANGKA PARTISIPASI POLITIK YANG CERDAS STUDI ETNOGRAFI :
PENDIDIKAN POLITIK MELALUI TARBIYAH OLEH PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
Wirdanengsih Staf pengajar FIS UNP
Wirdanengsih 69yahoo.com
Abstrak.
Penelitian ini dilatar belakangi oleh perlu mencari model pendidikan politik yang dibangun atas nilai-nilai dan semangat partisipasi politik yang tinggi dan cerdas. Salah
satunya diantaranya adalah pendidikan politik yang dilakukan partai keadilan sejahtera melalui tarbiyah yang merupakan model pembinaan yang intensif dalam sebuah
komunitas masyarakat yaitu jamaah tarbiyah. Penelitian mencoba mengali pandangan hidup atas kesadaran berpolitik bagi komunitas yang ada di dalam masyarakat. Metode
penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dalam bentuk etnografi. Data di kumpulkan melalui proses wawancara, observasi partisipasi dan dokumentasi. Data yang
dihasilkan kemudian dianalisis secara induktif, diskriptif dan kualitatif. Prosesnya dilakukan baik sebelum dilapangan, selama di lapangan atau pun setelah dilapangan. Hasil
penelitian menunjukan bahwa pendidikan politik yang dilakukan oleh Partai Keadilan Sejahtera yang dipraktekan oleh komunitas jamaah tarbiyah yang merupakan kelompok
persaudaraan Brotherhood group yang mengembangkan nilai manhaj tarbiyah yaitu dakwah, tarbiyah, murabbi, mutarrabi, uhkuwah, taaruf, tafahum, dan takaful. Dan ketika
menjelang pemilihan baik kepala daerah maupun pemilihan legislatif di intensifkan pada materi dakwah dan politik, dimana berpolitik adalah dakwah dalam rangka melakukan
pendidikan politik untuk menbangun tingkat partisipasi politik yang tinggi dan cerdas. Pandangan Pendidikan poitik yang diberikan adalah pendidikan politik mewujudkan
keberdayaan siasah
yang berakar pada doktrin amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban setiap muslim sehingga memungkinkan setiap kader menjadi mandiri yang pada
gilirannya akan mampu memberikan kontribusi pada pembentukan umat dan masyarakat politik yang mandiri Selain melakukan kegiatan yang rutin melalui tarbiyah. Pendidikan
politik pemilih pemula terprogram dalam kegiatan dan agenda Badan organisasi generasi muda fam Profesi GMPRO dan program Partai Keadilan Sejahtera.berupa seminar dan
pelatihan-pelatihan lainnya
Key Word. :
Pendidikan politik, pemilih pemula, partisipasi politik. Tarbiyah, Partai Keadilan Sejahtera
1. PENDAHULUASN A.Latar Belakang
Prinsip berdemokrasi adalah pemerintahan dari rakyat,oleh rakyat dan untuk rakyat. Prinsip ini mengartikan bahwa didalam negara yang berdaulat,setiap warga
memiliki hak untuk aktif dalam proses pengambilan keputusan politik dalam kehidupan bernegara dan berbangsa, baik secara langsung maupun perwakilan.
Salah satu indikator implementasi dari penyelenggaraaan negara bahwa kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat adalah kesadaran akan partisipasi politik dalam bentuk
keterlibatan aktif dalam even dan kegiatan proses demokrasi di negeri itu yaitu pemilu.Dalam kehidupan bernegara di Indonesia, kita sudah beberapa kali mengadakan
1018
proses pemilu secara periodik yaitu tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999, 2004, 2009 dan 2014.
Salah satu bentuk partisipasi politik yang baik adalah adanya proses pemberian suara secara cerdas oleh warga dalam pemilu maupun pemilukada. Gaffar 2006: 8
mengemukaan bahwa dalam suatu negara demokrasi, pemilu dilakukan secara teratur dan warga negaranya yang sudah dewasa memiliki hak untuk memilih dan dipilih. Warga
negara tersebut bebas menggunakan hak pilih sesuai dengan hati nuraninya, tiada paksaan dan takut akan orang lain, dan pemilih bebas mengikuti segala macam aktivitas yang terkait
dengan pemilu mulai dari kegiatan kampanye sampai penghitungan suara.
Namun realita hari ini, masih suatu yang tidah mudah untuk mewujudkan semangat partisipasi politik yang berkualitas cerdas. Ini tak lain karena masih banyak
masyarakat yang belum memahami akan hakikat hak dan kewajiban politik sebagai warga negara. Pengetahuan yang belum mumpuni tentang kehidupan sosial politik negara
memiliki implikasi terhadap sikap politik masyarakat dan adanya kecenderungan memilih lebih dipengaruhi oleh orang lain. Kecenderungan banyak terjadi pada kalangan warga
pemilih pemula, yaitu kelompok warga masyarakat yang memiliki usia antara 17-21 tahun yang umumnya berstatus pelajar, mahasiswa, pemuda dan pekerja muda.
Ada kecenderungan pemilih pemula dalam pemilu dan pemilukada masih dalam posisi memilih
“asal memilih” belum diikuti dengan kesadaran dan kepahaman akan proses pemilu. Lebih menjalankan aksi ritual pemilu sehingga terkesan mereka adalah
pemilih yang mengunakan hak politik tapi tidak diiringi oleh pendidikan politik yang memadai, sehingga ada kecemasan mereka dieksploitasi secara politik.
Penelitian Rosmiati 2005 mengungkapan bahwa pengetahuan siswa terhadap pemilu umumnya melihat pemilu sebagai pemilu yang luber namun sebagian besar mereka
tidak mengetahui secara jelas tentang peraturan dan mekanisme pemilu. Sekolah hanya memberikan pengetahuan yang terbatas, selebihnya mereka dapatkan dari media massa
yang lebih mengambarkan proses pemilu itu sendiri secara tekhnis. Tidak pada pemahaman pemilu secara normatif dan konteks sosial politik yang aktual yang akan berguna untuk
pembangunan kesadaran politik warga pemilih.
Hakikinya, memilih pemimpin secara langsung merupakan momentum yang strategis dalam kehidupan bernegara. Untuk itu diperlukan partisipasi politik rakyat yang
aktif, artinya partisipasi politik rakyat yang ada tidaklah hanya mengunakan hak pilihnya secara pasif tetapi juga menunjukan partisipasi yang mengimplementasikan bagaimana
melakukan pilihan yang rasional dalam rangka memberikan kemaslahatan untuk orang banyak. Dalam hal ini pelajar atau remaja sebagai komunitas yang baru mengikuti
pemilukada adalah komunitas yang cukup diperhitungkan sebagai basis suara dalam pemilu.
Apapun fakta yang ada pada diri pemilih pemula ini, mereka tetap tidak bisa diabaikan begitu saja karena jumlah pemilih pemula yang cukup signifikan, berkisar antara
19-20 dari pemilih secara keseluruhan. Untuk itu memberikan pendidikan politik kepada mereka adalah suatu yang penting agar pemilih pemula ini tidak dieksploitasi oleh
kelompok tertentu.
U U no 2 tahun 2008 pasal 11 ayat 1, menyebutkan bahwa “ partai politik memiliki
fungsi salah satunya sebagai sarana pendidikan politik bagi angggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban nya dalam kehidupan
berm asyarakat, berbangsa dan bernegara”. Jadi partai politik memiliki fungsi dalam
menyelenggarakan pendidikan politik sehingga membangun pengetahuan dan pemahaman masyarakat secara umum maupun kader partai mengenai mekanisme dan
dinamika politik yang berkembang dalam kehidupan bertata negara di Indonesia.
1019
Berangkat dari pemikiran diatas, penulisan ini ingin melihat bagaimana pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik sebagai institusi yang memberikan pendidikan
politik kepada pemilih pemula dalam hal ini mengambil studi pada Partai Keadilan Sejahtera Sumatera Barat. Partai ini dijadikan model berangkat dari pemikiran bahwa
Pendidikan politik memang salah satu kewajiban dari partai – partai namun beberapa
penelitian mengemukaan bahwa partai politik lebih melakukan politik massa dari pada proses pendidikan politik tersebut, tapi yang menarik partai politik ini mempunyai
mekanisme tersendiri dalam melakukan pendidikan politik melalui sarana tarbiyah
2.KAJIAN PUSTAKA 1..Partisipasi politik
Partisipasi politik diartikan sebagai keterlibatan atau keikutsertaan dalam kegiatan politik dalam rangka mempengaruhi kebijakan negara. Samuel Hungtington dan John
Nelson dalam Damsar 2010;180 bahwa partisipasi politik adalah warga negara yang bertindak sebagai pribadi pribadi yang mempengaruhi pembuat keputusan oleh
pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individu maupun kolektif, terorganisasi atau spontan, mantap atau sporadis, secara damai atau kekerasan, legal atau tidal legal, efektif atau tidak
efektif. Jadi partisipasi politik itu adalah keikut serta warga negara dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara baik warga negara
sebagai pejabat, politikus, pegawai amupun rakyat biasa.
Dalam hal itu, partisipasi kemudian dimaknai sebagai suatu bentuk kegiatanyang dibedakan atas dua bagian, yaitu: 1Partisipasi aktif, yaitu kegiatan yang berorientasi pada
output dan input politik,yang termasuk dalam partisipasi aktif adalah, mengajukan usul mengenai suatukebijakan yang dibuat pemerintah, menagjukan kritik dan perbaikan
untukmeluruskan kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin pemerintahan. 2.Partisipasi pasif, yaitu kegiatan yang hanya berorientasi pada output politik. Pada
masyarakat yang termasuk kedalam jenis partisipasi ini hanya menuruti segala kebijakan dan peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah tanpa mengajukan kritikdan usulan
perbaikan.Samuel L. Long Edt.1981 :143
Sedangkan Verba dan Nie Dalam Whiteley and Seyd 2002 :38, mengelompokkan partisipasi pada enam jenis, yaitu:1. Tidak berbuat apa-apa
inactivities. 2 Hanya menyumbangkan suara secara reguler tapi selebihnya tidak melakukan apa-apa voting specialist.3 Mereka yang berhubungan dengan oknum
pemerintah kalau ada perlu saja parochialparticipants; 4. Mereka hanya sesekali ikut terlibat dalam aksi politik untuk masalah sosial communalist 5 Sering terlibat untuk
kampanye-kampanye dan segala macam kegiatan compaigners dan 6. Mereka yang terlibat disegala aktivitas complete activists.
Ada beberapa faktor yang dapat menjadi penyebab intensitas partisipasi politik, misalnya jenis kelamin, tingkat pendidikan, usia, dan lain-lain. Faktor lain yang
mempengaruhi partisipasi dalam banyak studi adalah faktor mobilisasi. Model ini menegaskan bahwa beberapa orang berpartisipasi karena peluang yang mereka miliki lebih
besar dari orang lain, dan juga karena mereka dibujuk untuk terlibat berpartisipasi. Bujukan dapat berupa imbalan baik bentuk janji atau barang Kyriakos N. Demetriou ed.,
2013:9
Ada dua pendekatan untuk menjelaskan kehadiran pemilih dalam pemilu. 1Pendekatan pertama menekankan pada karakteristik sosial dan psikologi pemilih, serta
karakteristik institusional sistem pemilu.2 Pendekatan kedua menekankan pada harapan pemilih tentang keuntungan dan kerugian atas keputusan mereka untuk hadir atau tidak
hadir memilih. Sri Yuniarti 2009 :22 dalam hal ini faktor yang disebabkan oleh faktor sistem. Penjelasan Tingsten menyebutkan bahwa ada hubungan antara sistem pemilu atau
1020
sistem perwakilan yang diterapkan pada persentase kehadiran atau ketidakhadiran pemilih di bilik suara. Studi Tingsten menyebut bahwa negara-negara yang menerapkan sistem
perwakilan berimbang proporsional rata-rata partisipasinya cukup tinggi, sementara negara-negara yang menerapkan sistem mayoritarian jumlah kehadirannya lebih rendah.
Faktor lainnya adalah faktor kepercayaan politik. Faktor ini merujuk pada keaktifan atau ketidakaktifan seseorang dalam kegiatan politik. Ketidakaktifan merujuk pada ekspresi
ketidakpercayaan atau kekecewaan terhadap suatu sistem politik. Sedangkan keaktifan dianggap sebagai bentuk kepercayaan yang tinggi pada sistem politik.Sri Yuniarti 2009 ;
24
Selain itu perilaku memilih juga merupakan bentuk pragmatisme politik. Pragmatisme politik adalah sebuah perilaku politik yang disesuaikan dengan kondisi dan
tujuan praktis ketimbang tujuan-tujuan yang bersifat ideologis. Andrew Heywood 1992 : 317 .
2.Pendidikan politik
Pendidikan politik adalah upaya pendidikan yang disengaja dan sistematis untuk membentuk individu agar mampu menjadi partisipan politik yang bertanggung jawab
secara etis dan moral dalam mencapai tujuan politik Kartini 1989:14 , Sedangkan Freed I Grenstein dalam bukunya Political Socialization M. Rush 2005 :33-34 mengartikan
pendidikan politik sebagai usaha mempelajari politik , baik formal, sengaja atau tidak terencana pada setiap siklus kehidupan, Pendidikan politik tidak hanya belajar politik
melainkan juga belajar sikap non politik. Dan Rusadi Kantaprawira 2004 :55 mengemukakan pendidikan politik adalah pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan
politik rakyat agar mereka mampu berpartisipasi politik secara maksimal sesuai dengan faham kedaulatan rakyat atau demokrasi . dari sini dapat disimpulkan bahwa pendidikan
politik adalah usaha baik disengaja maupun tidak untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran berpartisipasi politik sehingga masyarakat ikut dalam proses pengambilan
keputusan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara dan agar tercapai suatu proses demokrasi yang bertanggung jawab.
Melakukan pendidikan politik berarti juga melakukan pembangunan politik Alfian 1986 :243 membangun masyarakat memiliki kesadaran berpolitik dapat juga
disebut dengan membangun budaya demokratis dan pendidikan politik secara intensif kepada masyarakat akan mengarahkan pada “ natoin and character building yaitu
pembentukan karakter bangsa Koesoema 2007. Jadi menumbuhkan karakter bangsa dapat melalui pendidikan politik secara bertahap dan berkesinambungan , pendidikan
poltik dapat ditanamkan melalui organisasi formal maupun non formal yang didasarkan pada keteladanan prilaku para pemimpin bangsa.
Selanjutnya apa yang membedakan pendidikan politik dengan sosialisasi politik, Surbakti 1999:117 menyatakan bahwa pendidikan politik bagian dari sosialisasi politik,
dalam sosialisasi politik terdapat pendidikan politik dan indoktrinasi politik. Pendidikan politik merupakan proses yang dianlogis antara pemberi dan penerima pesan. Pendidikan
politik dipandang sebagai proses dialog antara pendidik seperti sekolah, pemerintah, partai politik dalam rangka memahami, menghayati, mengamalkan nilai, norma dan simbol
politik yang dianggap baik. 3. Teori Pendidikan politik
Teori yang menjadi landasan pendidikan politik, salah satunya adalah pendidikan afektif, pendidikan afektif adalah pendidikan yang berkesuaian untuk permasalahan
pendidikan politik, dimana pendidikan politik menekankan pada pembentukan sikap.
1021
Menurut Nu’man Soemantri ada beberapa tahapan pendidikan politik diantaranya 1 Traditional political education yaitu penanaman kesadaran berpolitik melalui
indoktrinasi dan aksositori.2 Institutional Political education yaitu pendidikan untuk membangun kesadar berpolitik warga negara dan menjadi warga yang melalui institusi
keluarga dan masyarakat luas, 3 Pendidikan politik dalam tahapan ini mengkaji mekanisme dan nilai serta prilaku masyarakat dengan keanekaragamannya serta prilaku
politik pemerintah secara luas.
Pendidikan politik dapat dilakukan melakukan doktrin politik katakan nilai-nilai budaya dan agama yang menganjurkan untuk melakukan partisipasi politik, selanjutnya
pendidikan dirumah , dimasyarkat serta sekolah memiliki peran untuk melakukan pendidikan politik, selanjutkan menganalisis bagaimana kelompok sosial yang ada
dimasyarakat mempengaruhi partisipasi politik termasuk prrilaku pemerintah dalam menjalankan mekanisme pendidikan politik tersebut
Douglas Superka dalam A kosasih 1985 :39-42 mengemukakan tentang pendidikan nilai afektif diantaranya;
1. Evocation Aproach pendekatan evokasiekspresi spontan yaitu pendekatan yang memberi kebebasan kepada peserta didik untuk berpendapat, memberi tanggapan
serta perasaan, penilaian atas stimulus yang diberikan kepadanya 2. Inculcatioan Aproach Pendekatan Sugesti terarah yaitu pendekatan yang bertjuan
mengiring peserta didik secara kepada kesimpulan dan pendapat tenrtentu. 3. Awareness Approach Pendekatan kesadaran yaitu pendekatan dimana peserta
didika melalui sebuah kegiatan tertentu di tuntut mengklasifikasikan dirinya atau nilai orang lain.
4. Moral Reasoning Approach Pendekatan dengan mencari menentukan kejelasan moral pendekatan yang meminta peserta didik mengajak siswa terlibat dalam
dilema moral kemudian meminta mengkasifikasi dirinya dalam tatanan moral tersebut sembari meningkatkan nilai moral memallui doalog dan potensi dirinya.
5. Value Analysis Approach Pendekatan pengungkapan nilaiyaitu pendekatan yang peserta didiknya dibangun dan dibina kesadaran emosi nya melalui cara-cara yang
kritis dan rasional dengan cara mengklasifikasi dan menguki kebenaran serta kelayakan kebenaran tersebut.
6. Commitmen Approach pendekatan Kesepakatan yaitu pendekatan dimana pendidik dan peserta didik dari awal diminta menentukan nilai nilai dan sikap
serta pola pikir berdasaekan acuan yang telah ditentukan sebelumnya. 7. Union Approach penekatan penintegrasikan yaitu pendekatan peserta
diintegrasikan dengan kehidupan nyata.
3.METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif dalam bentuk etnografi. Data di kumpulkan melalui proses wawancara , observasi partisipasi dan
dokumentasi . Data yang dihasilkan kemudian dianalisis secara induktif, diskriptif dan kualitatif. Prosesnya dilakukan baik sebelum dilapangan, selama di lapangan atau pun
setelah dilapangan. . Dalam penelitian ini teknik pemeriksaan keabsahan data yang digunakan adalah teknik triangulasi. Analisis data yang digunakan adalah deskriptif
kualitatif 4.TEMUAN DATA DAN PEMBAHASAN
1.Partisipasi politik pemilih pemula
Pemilih pemula adalah basis pemilih yang unik. Disebut unik karena mereka dalam pemilu sering menunjukan sikap yang khas, seperti memiliki antusiasme yang tinggi tapi
1022
pilihan masih mengambang. Sebenarnya pemilih pemula ini dapat diposisikan sebagai swing votes karena pilihan belum banyak terpengaruh oleh motivasi ideologis tertentu
namun pemilih pemula akan lebih dipengaruhi oleh orang-orang terdekat yaitu keluarga dan kerabat.
Adanya karakteristik anak muda seperti daya kritis yang tinggi,independen,tidak puas dengan kemapanan serta pro perubahan adalah suatu modal untuk menjadi seorang
pemilih yang cerdas, pemilih yang melakukan pilihan dengan penuh pertimbangan yang rasional. Memilih dengan pertimbangan rasional berarti memilih dengan melihat sisi
integritas calon pemimpin dengan segala track record serta melihat visi dan program kerja yang dicanangkan.
Suatu realita juga hari ini pemilih pemula yang pada umumnya belum memiliki pengalaman yang banyak akan hal pemilukada seperti apa itu haikikat pemilu,bagaimana
prosesnya, siapa saja yang akan dipilih, bagaimana tahapannya, apa syarat-syarat dan sebagainya.Pemilih pemula umumnya juga tidak tahu bahwa pilihan dengan satu suara itu
akan berarti bagi proses perpolitikan di Indonesia. Hal semacam inilah yang menjadikan mereka enggan ikut memilih dan malah menjadi ikut-ikutan untuk menjadi golongan putih,
yaitu golongan yang tidak ikut memilih. Oleh karena itu maka sosialisasi pemilu dan pendidikan politik perlu dilakukan untuk pemilih pemula. Untuk melakukan program
tersebut tentu disesuaikan dengan gaya hidup dan perilaku serta kebutuhan pemilih pemula.Sebagai misal sosialisasi yang dilakukan tidak hanya bersifat formal tapi dapat
dilakukan melalui media informal, seperti facebook dan tempat-tempat berkumpul anak muda tersebut.
Sosialiasasi pemilu sebagai bagian dari proses pendidikan politik merupakan kebutuhan dasar bagi pemilih pemula agar mereka tidak melakukan suatu proses memilih
seperti memilih kucing dalam karung tapi mereka memilih berdasarkan suara hati nurani dan memilih dengan pertimbangan rasional sehingga pemimpin yang terpilih benar-benar
pemimpin yaang berangkat atas keinginan dan kemaslahatan orang banyak.
Pentingnya pendidikan politik bagi pemilih pemula ini tak lepas dari adanya upaya dalam membangun kesadaran dan daya kritis terhadap proses dari pemilu tersebut.
Pendidikan politik akan menjadikan pemilih pemula tidak menjadi obyek pemilu tetapi menjadi subyek yang kritis dalam melakukan pilihan politiknya. Pendidikan politik adalah
proses pendewasaan berpolitik sehingga tumbuh iklim demokrasi yang kondusif di Indonesia
Pendidikan politik juga berperan menimalisir konflik massa dalam proses pemilu dan pemilih pemula tidak dijadikan alat atas konflik yang ada karena bagaimanapun politik
aliran dan pengkotak-kotakan di tengah masyarakat tidak dapat dihindarkan dimana menjelang pemilu pengkotak-kotakan semakin mengental dan bisa berujung dengan
kekerasan terutama masa kampanye, persaingan antar pendukung akan bisa berbenturan satu sama lainnya. Jika ada yang memprovokasi, bisa menjadi suatu konflik yang besar.
Oleh karena itulah pendidikan politik dalam rangka meningkatkan kompetensi partisipasi politik pemilih pemula terus dikembangkan dan dibina sehingga terbangun sikap saling
hormat menghormati, toleran dan menghargai hak pilih orang lain. Diharapkan sikap tersebut internalisasikan dalam diri setiap individu sebagai calon pemilih. Kalah atau
menang adalah suatu yang wajar, yang dilakukan adalah membangun kesadaran bersama dalam membangun negeri.
Pemilih pemula adalah warga yang perlu disiapkan menjadi masyarakat yang cerdas, rasional dan paham akan hak sipilnya.Hak sipilnya digunakan untuk kepentingan
rakyat kebanyakan dan hak itu harus dipertanggung jawabkan. Memang, dalam pemilu biasanya KPU memiliki kendala seperti sumber daya
manusia KPU yang terbatas dan belum maksimal dalam melakukan program kegiatan
1023
sosialisasi yang lebih kreatif dan inovatif serta efektif dalam pengelolaan sosialisasi tersebut. Namun ada beberapa upaya yang bisa dilakukan seperti melakukan kerja sama
dengan pihak sekolah dan guru-guru dalam kegiatan worskhop kepada peserta didik di sekolah. Membuat nota kebersamaan dengan Kementerian Pendidikan agar materi
pendidikan politik bagi pemilih pemula diintegrasikan dengan mata pelajaran yang ada di sekolah dan dikembangkan sehingga terbentuk pribadi siswa sebagai pemilih pemula yang
cerdas. Perlu juga dilakukan proses jemput bola, yaitu KPU secara proaktif terjun langsung ke masyarakat dan bekerja juga dengan organisasi pelajar yang ada di daerah masing-
masing dalam rangka menghimbau dan mengajak agar pemilih mengunakan hak pilihnya secara rasional dan baik.
Roadshow ke sekolah-sekolah dan melakukan simulasi suara untuk pemilih pemula perlu dilakukan dengan melibatkan pihak perguruan tinggi secara aktif untuk
meramu bagaimana kurikulum pendidikan politik yang efektif bagi pemilih pemula bersama guru-guru bidang studi yang ada disekolah. Tak lupa media massa harus memiliki
peran dalam meningkatkan partisipasi politik pemilih pemula ini. Terutama sekali partai politik di tuntut untuk mempersiapkan kader-kader politiknya yang bertanggung jawab
tidak hanya kepada kepentingan partai tapi lebih mementingkan kepentingan bangsa dan negara serta menjadikan pemilih pemula dan masyarakat luas sebagai bagian dari tugas dan
tanggung jawabnya dalam membangun kesadaran berpolitik yang baik untuk kepentingan rakyat, bukan sebagai obyek atau alat politik kepentingan partai politik belaka.
Fenomena banyaknya golput pada pemilu pemula tak lepas kesadaran politik dalam mainstrem “ massa mengambang” dan bahwa politik itu suatu ditakutkan dan suatu
yang tidak penting sehingga adanya waktu libur disaat pemilu , mereka memilih berlibur daripada memilih dan berbeda dengan pemilh pemula yang merupakan hasil tarbiyah,
mereka secara aktif melakukan aktivitas patisipasi politik baik sebagai pemilih maupun sebagai pelaksana pemilu dan melakukan kegiatan lain yang terkait dengan pemilu .
2.Pendidikan politik Pemilih Pemula oleh Partai Politik
Studi ini menjelaskan tentang pendidikan politik yang dilakukan oleh partai politik, sebagaiamana UU no 2 tahun 2008 pasal 11 ayat 1, menyebutkan bahwa “ partai
politik memiliki fungsi salah satunya sebagai sarana pendidikan politik bagi angggota dan masyarakat luas agar menjadi warga negara yang sadar akan hak dan kewajiban nya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara” Studi mengambil model pendidikan politik yang dilakukan oleh partai Keadilan
Sejahtera melalui kelompok Halaqah dengan sarana tarbiyah pendidikan.Tarbiyah ini Dalam pandangan anggota Halaqah suatu serangkaian dengan da’wah yang mana dakwah
artinya mengajak manusia kepada dengan hikmah dan nasehat baik sehingga beriman kepada Allah Yasmin 2007 :210 dan da.wah juga adalah mengajak manusia kepada
Islam , dengan perkataan dan perbuatan sesuai syariah, memeluk akidah serta kewajiban menjalankan apa yang dibawa oleh Rasul Abdul Aziz 2003 ;27. Jadi tarbiyah adalah
pendidikan , pembinaan, pemiliharaan, pengasuhan atau bimbingan yang merupakan
bagian dari da’wah. Al Banna 2008 ;180 inti dari gerakan tarbiyah da’wah ini adalah menyeru kepada
umat Islam kembali kepada ajaran Islam dimana Islam yang diyakini adalah sistem ajaran yang lengkap dan menyentuh seluruh aspek kehidupan baik dalam bernegara dan bertanah
air, berpemerintahan, berakhlak, berkeadilan, berilmu, berdakwah dan berpikiran merupakan suatu ibadah yang benar.
Dalam buku Risalah Ta’lim yang ditulis Said Hawwa, dikemukan bahwa Anggota tarbiyah adalah anggota yang mengabdikan dirinya pada jalan tarbiyah dan
da’wah dan melakukan proses perbaikan ishlah dan perubahantaghyir dilakukan
1024
melalui komunitas dakwah dalam berbagai aspek yaitu aspek politik , sosial, budaya, ekonomi, hukum, dan lain yang berbasis tarbiyatul ummah pendidikan umat
Pembinaan atau tarbiyah merupakan salah satu proses pembentukan SDM Syakhshiyyah Da’iyyah Mutakamilah atau Kepribadian Muslim Yang Sempurna yang
bersifat ilzami menuntut melalui pem bekalan ‘ulum islamiyyah ilmu-ilmu keislaman
kepada seluruh kader- kader da’wah partai sesuai dengan tsaqofi wawasannya.
Pembinanan diberikan kepada para anggota kader inti yang meliputi anggota madya, dewasa, ahli dan purna, mengenai sarana tarbiyah antara lain MABIT Malam Bina Iman
dan Taqwa, Jalsah Ruhiyah dan Rihlah pengurus, fraksi, pejabat publik dan DPC. Melalui sentuhan tarbiyah harokiyah dan tarbiyah untuk menguatkan eksistensi
peran politik partai yang dilakukan melalui tarbiyah hizbiyah yang di dalamnya terdapat esensi tarbiyah siyasiyah. Keduanya terwadahi sebagai tarbiyah islamiyah yang pada
hakikatnya menekankan setiap kader tarbiyah pada pembentukan syakhsiyah islamiyah kepribadian muslim sebagai teladan bagi manusia dan syakhsiyah daiyah kepribadian
dai sebagai penyeru manusia untuk masuk ke dalam Islam
Jadi Materi tarbiyah banyak memasukkan bahan-bahan pembahasan terkait dengan penguatan partisipasi kader dalam segala aspek kehidupan keseharian. Pembahasan
mengenai kesulitan hidup, begaimana mendapatkan pekerjaan serta meningkatkan penghasilan keluarga adalah hal yang juga menjadi agenda rutin dalam proses pembelajarn
di Tarbiyah. Namun pada waktu tertentu ada materi yang intens dilakukan salah satunya adalah upaya
penanaman nilai kesadaran bermasyarakat dalam bentuk pengenalan proses politik yang terjadi sehari-hari juga menjadi bahan pembelajaran, terutama mendekati masa tahapan
proses politik. Saat mendekati proses pemilihan, pemilihan legislatif atau pemilihan kepala daerah termasuk kepala desa, bisanya porsi pendidikan politik cenderung meningkat
bahkan saat-saat akhir mendekati waktu pemilihan praktis seluruh materi tarbiyah adalah penguatan nilai-nilai yang memperkuat pilihan yang menjadi acuan bersama.Proses yang
berjalan dengan intensif dan bersifat satu arah dan diperkuat oleh dalil-dalil kegamaan ini oleh banyak pihak disebut sebagai indokrinisasi seperti politik adalah ibadah. pendidikan
politik PKS pada fase gerakan dakwah, yaitu mewujudkan keberdayaan siasah yang berak
ar pada doktrin amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban setiap muslim sehingga memungkinkan setiap kader menjadi mandiri yang pada gilirannya akan mampu
memberikan kontribusi pada pembentukan umat dan masyarakat politik yang mandiri pula Al-Ghazali, 2001. lebih lanjut lagi kajian dan aktivitas untuk memperluas wacana dan
intelektual anggota, tentang tatsqif yangmembahas masalah ke-Islaman, tatsqif siyasi politik yangmembahas masalah-masalah politik lebih banyak porsi menjelang perhelatan
politik seperti pemilu dan pilkada,
Gerakan pendidikan politik tarbiyah memiliki peluang untuk melakukan transformasi pendidikan berbasis pendidikan politik tarbiyah siyasah yang memiliki
orientasi agar para aktivis melakukan gerakan sosial yang memiliki partisipasi politik yang tinggi al musyarokah as-siyasi. Yang diawali dengan partisipasi sosial musyarokah
ijtima’iyah dalam bentuk keterlibatan aktif kegiatan masyarakat dan membantu masyarakat dalam membangun kesejahteraan dalam berbagai aspek kehidupan seperti ,
ruhiyah, fikriyah, jasadiyah, dan maliyah. Dengan adanya kebersamaan dengan masyarakat yang kokoh, maka langkah akan
terbangun jiwa keberadaan di tengah masyarakat sehingga institusi ini memiliki dukungan publik yang memadai baik ketika Pemilu al-intikhobiyah, memasuki parlemen,maupun
ketika Pilkada untuk memilih pemerintah daerah.
Adapun peserta Halaqah dalam sarana tarbiyah teridiri jumlah antara 5 -14 orang, berdasarkan pada beberapa kesamaan antara peserta tarbiyah, misalnya sama2 mahasiswa,
1025
atau ada juga untuk pemula dengan tingkatan minimal usia sma. Sebagian besar pesertanya adalah orang muda yang sedang memperdalam agama Islam, termasuk didalamnya para
Garin Masjid, Marbot, dan ibu-ibu aktivis majelis taklim. Model peningkatan partisipasi politik di praktekkan oleh komunitas tersebut
melalui tarbiyah yang dilandasi oleh pandangan hidup dengan konsep kuncinya bahwa berpolitik adalah dakwah . Berdakwah dalam memilih dan dipilih menjadi pemimpin.
Model interaksi dalam pembelajaran yang dikembangkan adalah model kelompok pertemuan dan dalam pembinaan tersebut dibangun suatu semangat kelompok
persaudaraan brotherhood Group dimana ada semangat nilai taaruf, tafahum dan takaful
Metode pendidikan politik PKS melalui kelompok persaudaraan ini dilakukan dengan cara diantaranyanya melalaui ceramah dan diskusitanya jawab yang dilakukan
pada forum halaqoh, dan sarana lain, yakni: tatsqif tarbiyah tsaqofiyah, pelatihan training, antara lain: Training Dasar TD, yang meliputi: TD-I dan TD-II, Training
Lanjutan TL, TMKS, dan kajian Kajian Ilmu Sosial Politik KISP, yang meliputi: KISP-I, KISP-II, dan KISP-III
Selain itu penting pendidikan politik yang intensif dilakukan kepada Badan Generasi Muda dan Profesi GMPRO yaitu badan yang melakukan melakukan proses
pendidikan politik terhadap generasi muda dan pemilih pemula. GMPRO baik secara mandiri maupun bermitra dengan lembaga lain dalam rangka meningkatakan partisiapsi
politik yang tinggi dan cerdas adapun kegiatannya diantaranya berbagai kegiatan seminar, pelatihan dan diskusi dengan skala tertentu
Selain melakukan pendidikan politik utama melalui tarbiyah dan organisasi generasi kepada pemilih pemula .Dalam skala makro partai, PKS secara khusus melakukan
pendidikan politik dalam artian yang luas diatur dalam program kerja partai, pendidikan politik tertuang dalam program kerja di bidang kaderisasi, keummatan dan kebijakan
publik. Pendidikan politik PKS tersebut melakukan kegiatan pelatihan dan pembinaan, seminar, kajian-kajian, sosialisasi dan kegiatan sosial.
Selain PKS ada partai yang melakukan pendidikan politik yang berbentuk proses pembelajaran yang kontinu. Contoh NASDEM dan PDI.P melalui sekolah politik, namun
ini lebih diperuntukan untuk caleg dan calon kepala daerah.
5.PENUTUP
Partisipasi politik pemilih pemula dalam bentuk memilih adalah bagian dari suatu kebutuhan kita dalam mempertahankan dan melanjutkan proses demokrasi . Pemilu
sebagai instrumen utama dalam proses demokrasi dan jembatan suara rakyat kepada wakil rakyat yang akan duduk di legislatif dan eksekutif oleh karena angka partisipasi politik .
Partisipasi politik pemilih pemula tidak perlu diabaikan oleh karena itu model pendidikan politik melalui jamaah tarbiyah yang kontinu dengan semangat kelompok persaudaraan
dapat dijadikan sebagai salah satu model alternatif pendidikan politik bagi pemilih pemula
6.DAFTAR PUSTAKA A.Djahiri Kosasih 1985 Strategi Pengajaran Afektif Nilai Moral dan Games Dalam VCT,
Bandung Lab: PMPKN FPIPS IKIP Bandung. Abdul A
ziz, Jum’ah Amin2003 Fiqih Dakwah.Surakarta :Era Intermedia Alfian 1986 Masalah dan Prospek Pembangunan Politik Indonesia. Jakart Gramedia
Al-Ghazali, . Abdul hamid 2001. Pilar-pilar Kebangkitan Umat Telaah ilmiah Terhadap Konsep Pembaharuan Hasan Albanna. Jakarta Al Itishom Cahaya Umat
Andrew Heywood 1992 , Political Ideologie: An Introduction, Hampshire and London: Doni Koesoema 2007 Pendidikan Karakter . Jakarta : Grasindo
Damsar 2010 Pengantar sosiologi Politik. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
1026
Gaffar, A 2006 Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka in Britain, Michigan: The University of Michigan Press,
Kartaprawira.R. 2004 Sistem politik Indonesia. Suatu Model Pengantar. Bandung . Sinar Baru Algensindo
Kyriakos N. Demetriou ed., 2013 Democracy in Transition: Political Participation in
the European Union, New York: Springer Heidelberg, Nu’man Soemantri 2001 Mengagas Pembaharuan Pendidikan IPS,Bandung. Remaja
Rosda Karya.Pelajar Rush.M dan Althoff.P. 2003 Pengantar Sosiologi Politik .Jakarta .PT. Raja Grafindo
Persada Rosmiati, Y 2005 Pemahaman konsep Pemilihan Umum bagi Pemilih Pemula di Sekolah
Menengah Atas Negeri Bandung Studi Pada beberapa SMA Negeri di Bandung, Tesis Program Studi Ilmu Pengetahuan Sosial, Universitas
Pendidikan Indonesia Samuel L. Long Edt. 1981, The Handbook of Political Behavior, Volume 4, New York:
Plenum Press, Sri Yanuarti, 2009 Golput d
an Pemilu di Indonesia,‖ dalam Jurnal Penelitian Politik Vol. 6. No. 1 Teh Macmillan Press Ltd
Surbakti R 1992 Memahami Ilmu Politik.Jakarta .PT Gramedia Widiaswara Ummu Yasmin 2007 Materi Tarbiyah .Panduan Ku, rikulum bagi Dai dan Murabbi.solo.
Media Insani Press Whiteley and Seyd 2002 , Hingh Intencity Participation: The Dynamic of Party Activism
1027
RELASI KUASA ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL DENGAN KEPOLISIAN PASCA 2000
Sutrisno
Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian trisnosukigmail.com
Abstrak
Pasca 2000 masyarakat sipil menempati posisi kontrol yang lebih luas atas jalannya pemerintahan; sementara setelah militer kembali ke barak. berarti kepolisian tidak lagi di
bawah kendali militer. Selain itu, pergeseran struktural kepolisian di bawah presiden dan menjadi mitra kerja DPR menempatkan institusi kepolisian sebagai pengendali keamanan
publik secara total. Disinilah era baru hubungan dua entitas sosial ini: persentuhan langsung
–tanpa perantara-- kepolisian dengan kiprah organisasi masyarakat sipil. Penelitian yang bertujuan memotret relasi kuasa dua entitas sosial yang sedang menegang
otot-otot kekuasaannya ini menggunakan perspektif konflik-weberian melalui sejumlah kerangka teoritik Ralf Dahrendorf. Melalui pendekatan kualitatif. Hasilnya, Meskipun
media dan kiprah kritis organisasi masyarakat sipil mendapat ruang bergerak, tetapi tak ada jaminan keamanan atasnya; independensi kepolisian yang diperolehnya dalam
deretan perubahan struktural
di atas menampilkan wajah institusi raksasa yang ‘imun’. Kondisi ini menjadi persoalan bagi sebuah sistem demokrasi yang mengharuskan adanya
asosiasi yang saling berkordinasi imperative coordination association.
Keywords:
Relasi Kuasa, organisasi masyarakat sipil, kepolisian, demokrasi.
1.PENDAHULUAN
Pada era sebelum jatuhnya Suharto pergumulan relasi kuasa organisasi masyarakat sipil dengan kepolisian sebagai pengendali keamamnan publik tidak sekeras pasca 2000-
an. Kalangan sipil pada sebelum tahun 2000-an ini mengalamatkan aneka macam persoalan -- utamanya menyangkut demokrasi baca: kebebasan sipil -- langsung pada otoritas
negara, bukan kepada kepolisian. Negara melalui daulatmiliternya menjamah semua ruang- ruang sipil sehinggakonsentrasi gerakan organisasi masyarakat sipil lebih diarahkan
kepada ‘entitas’ negara an sich O’Donnel:1993
290
. Organisasi masyarakat sipil yang sejatinya berorientasi pada pemberdayaan masyarakat, misalnya, tak mudah begitu saja
mudah mengartikulasikan gerakannya karena dicurigai merongrong kewibawaan negara. Negara acap kali mendaku mencurigai gerakan masyarakat sipil itu mempunyai
paralelisme dengan gerakan politik.
291
Sementaraterminologi negara, meminjam cara berfikir Pipit Kartanegara 2000, padapada era itudifahami sebagai sebuah entitas sosial
yang kabur sublim. Preskripsi semacam Pipitini menegaskan bahwa dalam kerangka demokrasi merupakan keniscayaan imperatif dalam deferensiasi struktural. Deferensiasi
struktural dalam konteks ini adalah garis demarkasi antara entitas negara dengan entitas pemerintah. Deferensiasi struktural pada level instrumen negara adalah pisahnya institusi
penegak hukum dan pemelihara keamanan publik kepolisian dengan institusi militer.
290
. Proposisi semacam ini hampir merupakan formulasi sosial politik yang bersifat umum, O’Donnel yang meriset demokratisasi di sejumlah negara eropa dan amerika latin tentu
bukan satu-satunya. Liteeratur lain, misalnya,
291
. Periksa misalnya Honna 2006
1028
Jatuhnya Presiden Suharto di penghujung dasawarasa 90-anitu menjadi gerbang pergeseran relasi negara state dengan masyarakat sipil. Pergeseran melalui ikon reformasi
ini juga berarti sebuah proses dimana masyarakat sipil sedang menempuh perluasan peran dalam ruang kontrol atas jalannya pemerintahan atau penyelenggara negara. Pergumulan
relasi kuasa kedua entitas sosial ini menemukan formatnya pada era ini. Kedua entitas sosial ini, institusi kepolisian dan organisasi masyarakat sipil, pada awal dasawarsa ini
sedang sama-sama mereguk sumber
‘oksigen’ yang menumbuhkan otot-otot kekuasannya. Yaitu,setelah militer kembali ke barak, polisi tidak lagi di bawah kendali militer. Berarti
negara menempatkan polisi sebagai pengendali keamanan publik secara total. Disinilah persentuhan langsung
–tanpa perantara-- kepolisian dengan kiprah organisasi masyarakat sipil. Diantara faktor yang menggelembungkan otoritas kepolisian adalah pergeseran
struktur kepolisian di bawah presiden, menjadi mitra kerja DPR, hingga institusi non- depertean setingkat menteri.
Meluasnya kuasa Polri ini dibarengi dengan keluarnya sejumlah undang-undang yang membuka pastisipasi masyarakat sipil terhadap jalannya roda pemerintahan.
Diantaranya adalah Undang Undang Informasi Publik, Undang Undang Perss, dan sejumlah regulasi tentang kebebasan berserikat dan berkumpul. Selain itu, desakan
terhadap Polri daari kalangan masyarakat sipil untuk mengadopsi konvensi dalam
operasional kepolisian pada dasarnya ‘membatasi’ ruang gerak kepolisian dan membuka ruang bagi kontrol masyarakat sipil. Ini secara otomatis membatasi otoritas pengendali
keamanan publik dalam menafsir realitas dan menggunakan kekuasaan secara aktual. Prinsipnya, sejak otoritas pengendali keamanan publik ini tidak lagi didikte kakak
kandungnya militer tahun 2000-an, ia harus mau berbagi tafsir atas realitas dan segala aturan main dengan organisasi masyarakat sipil perihal bagaimana menggunakan
kekuasaannya.
Sekedar menengok ilustrasi anyar yang masih hangat adalah relasi kepolisian dengan Muhamadiyah pada pertengahan bulan April ini pada kasus kematian terduga
teroris yang meninggal dalam pengawalan Densus 88.Tentu, dua institusi yang sedang tegang ini tidak terjamah dalam penelitian awal ini, tetapi disini, dalam makalah ini
menarik pada sisi relefansi tentang gambaran relasi kuasa. Harian Koran Tempo, 20 April 2016, mengangkat head line
“Muhamadiyah sayangkan Sidang Tertutup Kasus Siyono”. Muhamadiyah nampaknya tidak punya daya terhadap ‘perilaku’ Polri yang memilih sidang
tertutup, meskipun secara regulatif pada Perkap no.19 Tahun 2012 tentang susunan Organisasi dan Tata Kerja Komisi Kode Etik Profesi Polri Pasal 51 ayat 1 bahwa sidang
ini mestinya terbuka. Padahal sebelumnya Kadiv Propam Irjen Mochamad Irawan mengatakan bahwa sidang itu akan digelar terbuka. Susah difahami bagi kalangan
Muhamadiyah, mengapa Sidang Etik terhadap anggota terduga membunuh Siyono ini pada akhirnyatertutup ? Bukankah ini justru mengundang kecurigaan menyangkut transparansi?
Pada sisi lain, kalangan kepolisian pada dasarnya merasakan bagian dari otoritasnya
menyangkut otopsi forensik telah secara serampangan ‘dikendalikan’ Muhamadiyah, karena pada dasarnya forensik dipandang sebagai instrumen yang hanya ‘dikendalikan’
penegak hukum semacam Polri. Tindakan kepolisian memilih sidang tertutup ini merupakan produk tafsir atas dua
hal.Pertama, tafsir terhadap regulasi Perkap no.19 Tahun 2012 dan, kedua, tafsir terhadap realitas sosial. Penelusuran mengenai keabsyahan tindakantafsir institusi Polri atas
ketetrutupan sidang ini paralel dengan relasi kuasa dirinya degan stake holdernya. Misalnya, seberapa kuat ‘legalitas’ tindakan kepolisian dalam menentukan sebuah pilihan
atas tertutup atau terbukanya sidang semacam itu ?Yang dilakukan kepolisian semacam ini akan banyak ditemui sepanjang penelitian ini.
1029
2.TINJAUAN PUSTAKA Relasi Kuasa:
Sebuah Penegasan Konseptual
Relasi sosialselalu mengandung komponen kekuasaan power, demikian Bierstedtdalam The American Sociological Review, XV.6. hal. 730. Untuk kebutuhan
analitik clear and distinct Bierstedtmembandingkan kekuasaan denganpengaruh influence dan dominasidominance. Influence mengacu pada dimensi ide dan doktrin;
lokusnya pada wilayah gagasan, ide, dan ideologi. Dominance mengacu pada dimensi fungsi personalitas atau temperamen; lokusnya pada sosial-psikologi. Sementara power
mengacu pada dimensi seseorang, kelompok, atau asosiasi ; lokusnya pada wilayah sosiologis.
Untuk menjelaskan dimensi sosiologis ini kekuasaan ditelusuripada konsep yang cenderung mempunyai afinitas dengannya, yaitu otoritas atau wewenang authoritydan
pemaksaan force. Tafsir seseorang, kelompok, atau asosiasi atas kewenangan ini bisa terartikulasi dalam bentuk pemaksaan force.Jadi, kekuasaan merupakan kemungkinan
kelompok atau asosiasi dalam mengartikulasikan dan menafsir kewenangan yang dimilikinya. Dalam merumuskan hubungan ketiga konsep tersebut; 1 Kekuasaan adalah
pemaksaan yang bersifat laten, 2 pemaksaan adalah kekuasaan yang bersifat manifest, 3 wewenang adalah power yang diinstitusikan.
Sehingga, kekuasaan bukan sekedar pemaksaan force, bukan pula wewenang, tetapi ia berada diantara keduanya itu. Sebagaimana formulasi Max Weber tentang
hubungan wewenang dengan kekuasaan, adalah belief in the legitimacy of the exercise of power. Dalam Parson dan Henderson, 1947: 152, Max Weber merumuskan, Power is
meant that opportunity existing within a sosial relationship which permits one to carry out
one’s own will even against resistance and regardless of the basis on which this opportunity rest.
Dalam kerangka semacam ini Ralph Dahrendorf merumuskan bahwa relasi sosial dibangun dari elemen otoritas dan power,“Social relationships are coordinated through
outhority and power”.Cara berfikir Dahrendorf ini akan memudahkan mengoperasikan konsep relasi kuasa pada tataran empiris. Relasi kekuasaan power relation pada
hakekatnya dilihat dari relasi otoritas yang melekat dalam peran yang dirumuskan secara sosial. Disini Dahrendorf agaknya memperluas pandangan Karl Marx dan kaum marxian
yang menempatkan kekuasaan melulu bersumber pada kegiatan produktif productive activities.
Negara, Kepolisian, dan Organisasi Masyarakat Sipil
Dalam skala mondial sebuah negara tak dapat sepenuhnya terbebas independent dalam pengertian yang telanjang. Postulat semacam ini nampanya berlaku pada skala meso,
hubungan antar elemen di dalam tubuh negara-bangsa. Proposisi ini merujuk Neil Smelser 2005: 511, bahwatarik ulur inovasi insititusional dapat dicermati pada tekstur
tiga koneksi triangular relationship conecting ; negara state, ekonomi, dan civil society.
Negara tidak bisa serta merta berambisi membangun kekuatannya dengan model ‘strong state’ karena harus menimbang pasar ekonomi dan kebebasan masyarakat sipil.
Sementara aspek pasar yang “gamang”
292
memasuki bentuknya yang liberal, karena negara yang belakangan mendapat kesan membuka ruang ‘free market’ mendapat kritik dari
292
.Istilah ini untuk menunjukan bahwa adanya ambiguitas antara konstitusi dengan praktek dalam tata ekonomi: konstitusi yang sesungguhnya lebih berat berwatak sosialis namun dalam praktek
sangat berat menolak kekuatan pasar kapital.
1030
kalangan pro- populis sebagai ‘menggadaikan’ ideologi. Dilain sisi berkembangnya aspek
pasar juga bertumpu pada keamanan baca; kepastian hukum yang nota bene wilayah kerja kepolsian. Jadi berkembangnya aspek pasar tidak melulu bersandar pada prosedur
demokrasi, yang lebih serius adalah pada sektor keamanan. 3. METODE PENELITIAN
Subject matter penelitian ini adalah pada ‘proses’ relasi. ‘Proses’ mengacu pada realitas
yang bergerak, atau tidak statis. Meskipun merupakan carakonsepini umum dikenal dalam sosiologi, dalam konteks ini meminjam cara yang dipakai Paulus Wirutomo, membagi
secara analaitis elemen yang membentuk realitas sosial dalam tiga bidang: Sturktur, kultur, dan proses. Proses sosial merupakan realitas sosial yang hanya relefan ditangkap melalui
metodologi kualitatifCreswell, 2007: 1994. Metode menjaring data utamanya bertumpu pada penelusuran media massa, analisis dokumen, dan wawancara.
Obyek Penelitian.
Obyek penelitian ini adalah pada sejumlah isuinteraksi-tegang antara organisasi masyarakat sipil dengan institusi kepolisian. Meminjam Ritzer 2003 dan
Perdue 1986 cara ini berada pada paradigma konflik. Pilihan isu semacam ini perlu untuk melihat dimensi pola relasi kuasa. Jadi, singkatnya, relasi kuasa organisasi masyarakat
sipil dengan kepolisian hanya bisa dilihat pada bagaimana keduanya OMS dan kepolisian mengartikulasikan kuasanya di alam demokrasi pasca-2000. Relasi kuasa tidak bisa dilihat
pada hubungan-hubungan kooperatif kerja sama. Seleksi pada sejumlah isu ini meliputi tiga issue besar, yaitu kebebasan sipil, hak azasi manusia, dan akuntabilitas Polri.Dinamika
relasi kekuasaan dua entitas sosial ini, diantaranya tergambar pada respon kepolisian terhadap tuntutan OMS. Respon kepolisian terhadap tuntutan OMS tetap merupakan
artikulasi kekuasaannya, karena respon tersebut tidak lain adalah tafsir atas otoritas yang dimilikinya. Respon Polri ini bisa dimanifestasikan dalam sejumlah dimensi.
Pertama,dimensi regulasi tentu dengan memperhatikan hierarkinya . Kedua, dimensi aktor dalam menafsir definisi situasi. Ketiga
, tentu ‘diam’-nya Polri atas tuntutan masyarakat itu juga merupakan manifestasi kekuasaan.
Subyek Penelitian
. Merujuk pada obyek penelitian di atas, pilihan subyek penelitian ini dibatasi pada aktor organisasi masyarakat sipil pada issu- issu hak asasi manusia,
transparansi publik, dan kebebasan sipil. Organisasi dimaksud merujuk pada dasar gagasan Tocqueville, yaitu entitas sosial yang mempunyai kekuatan counter balancing bagi negara
membangun free publicsphare atau tempat dimana transaksi komunikasi bisa dilakukan warga masyarakat secara bebas dan terbuka. Organisasi masyarakat sipil yang dimaksud
adalah ICW dan Kontras.
Seperti telah diurai pada bagian sebelumnya bahwa obyek yang diangkat paenelitian ini berada pada level public discourse, sehingga untuk sekedar kehati-hatian penelitian ini
tidak mengangkat informan dari kalangan kepolisian polisi yang masih aktif.Konfirmasi terhadap polisi aktif atau ‘orang dalam’ dikhawatirkan pada kecenderungan bersifat
jawaban pribadi. Keperluan untuk mendapatakan keterangan ikhwal kepolisian diangkat dari kalangan mereka yang berada diluar struktur. Pada konteks ini peneliti mewawancarai
dua pensiunan polisi. Masing-masing berpangkat terakhir bintang duayang mantan anggota DPR RI; dan seorang pensiunan Komisaris Besar.
Studi Dokumen.
Pada prinsipnya data dokumen ini adalah informasi yang bisa diakses secara publik. Bukan dokumen personal, atau semacam ’auto-biografi’ dan catatan-
caatatan personal. Penelusuran informasi semacam yang menyangkut aspek publik ini menjadi kriteria dengan alasan kaitannya dengan dimensi relasi kuasa antara organisasi
masyarakat sipil dengan insitusi kepolisian. Data semacam ini mempunyai perbedaan tipe, meliputi ; media massa, internet, sumber penerbitan lembaga, sumber personal biografi,
1031
uoto biografi, catatan harian, dokumen yang bersifat sejarah undang-undang, hukum, atau bentuk regulasi, teks pidato, catatan notulasi hasil diskusi, depat, rapat.
Verstehen
: menjaring dan analisis data Identifikasi posisi sikap subyek ini diorientasikan untuk memahami argumentasi posisi
pendapat masing – masing subyek penelitian atas isu-isu yang menjadi public discourse
itu. Dalam kerangka Weber upaya memahami semacam ini, meminjam konsep verstehen, maka upaya ini diarahkan untuk menangkap realitas tindakan pada rasionalitas
instrumental. Atau argumentasi subyek pada basis rasionalitas instrumental. Namun tentu saja, isi tindakan sosial tidak melulu berisi rasionalitas instrumental meskipun subyek
penelitian ini berada dalam gelanggang sistem hukum legal formal yang menjadi ‘anak kandung’ rasionalitas instrumental. Maka dengan demikian penjelasan-penjelasan tindakan
sosial dalam kerangka ini tidak menutup kemungkinan menggunakan rasionalitas afektif maupun rasionalitas tradisi.
4. TEMUAN DAN PEMBAHASAN Profil Masyarakat Sipil Pasca 2000