Gender dan Pertukaran Sosial

157 Sementara menurut Molm 2010, struktur jaringan menggambarkan bagaimana aktor dan relasi-relasi pertukaran langsung terhubung satu sama lain. Struktur resiprositas menggambarkan bagaimana perilaku pertukaran aktor dan pertukaran manfaat terhubung satu sama lain. Ada dua kuncidimensi struktur yang mendasari dan membedakanberbagai bentuk pertukaran: pertama, apakahmanfaat dapat mengalir hanya secara sepihak atau bilateralantar aktor; kedua, apakah manfaat yang dibalas secara langsung atau tidak langsung. Keduanya dapat dibedakan antara tiga dimensi utamabentuk pertukaran sosial: pertukaran langsung yang dinegosiasi, pertukaran timbal balik langsung, dan tidak langsungatau pertukaran umum. Pemetaan yang dilakukan oleh Molm tersebut pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang sudah dipetakan oleh Sahlins 1972 sebagaimana sudah disinggung di atas. Mengingat dalam direct reciprocity, barang atau jasa yang dipertukarkan sebanding, nilai pertukarannya cenderung bersifat kelompok-kelompok terikat oleh solidaritas sosial yang kuat sehingga merupakan satu unit yang utuh, karena itu nilai pertukarannya banyak bersifat simbolik Molm 2007. Nilai-nilai ekspresif bisa dalam bentuk solidaritas sosial, kepercayaan, ikatan afektif yang semuanya bermanfaat dalam mengembangkan modal sosial.

2. Gender dan Pertukaran Sosial

Dalam studi-studi antropologi klasik mengenai pemberian, perempuan digambarkan sebagai obyek pertukaran hadiah, bukan sebagai subjek atau aktor, sebagaimana yang digambarkan Strauss Komter 2005. Ketidakjelasan perempuan sebagai aktor otonom dalam pertukaran hadiah sebagai tandahirarki dominasi pria atas perempuan. Menurut pendapat Marilyn Strathern 1988 dalam The Gender dan The Gift, bagaimanapun, interpretasi ini bias oleh prasangka Barat. Di Melanesia tidak ada hubungan permanen dominasi ada di antara pria dan perempuan. Sebaliknya, perempuandan laki-laki merupakan alternatif subjek atau objek untuk satu sama lain dalam upaya mereka untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dengan cara pertukaran hadiah. Peranan perempuan dalam pertukaran hadiah pada masyarakat Barat belum banyak menjadi fokus penelitian. Dari studi yang masih terbatas memerlihatkan bahwa perempuan merupakan pemberi yang lebih banyak dari laki-laki tetapi juga perempuan sebagai penerima yang lebih besar Komter, 2005.Mengapa perempuan merupakan pemberi dan penerima terbesar? Padahal pada dasarnya seperti sudah diungkap di atas, perempuandan laki-laki merupakan alternatif subjek atau objek untuk satu sama lain dalam upaya mereka untuk menciptakan dan mempertahankan hubungan sosial dengan cara pertukaran hadiah. Demikian pula motiv kasih sayang, rasa hormat, atau rasa terima kasih, juga manipulasi, menyanjung, atau perhatian pribadi merupakan motif yang umum untuk bisa memberikan yang tentu saja,ini berlaku untuk kedua jenis kelamin. Yang menjadi persoalan adalah bahwa laki-laki dan perempuan memiliki sumber daya yang berbeda. Dalam pemberian hadiah ini, perempuan terjebak dalam paradoks mendasar. Di satu sisi, pertukaran hadiah mereka dapat dianggap sebagai sarana yang kuat untuk menegaskan identitas sosial untuk menciptakan dan memelihara hubungan sosial. Di sisi lain, mengingat tidak setara kekuasaan mereka sosial dan ekonomi dibandingkan dengan pria, wanita menanggung risiko kehilangan identitas mereka sendiri dengan memberikan banyak kepada orang lain. Dalam tindakan memberi, perempuan secara bersamaan menciptakan kesempatan untuk menyimpan atau memperoleh kekuasaan, dan membuat diri mereka rentan terhadap hilangnya kekuasaan dan otonomi. Ide Weiner tentang keeping-while-giving - bertukar sesuatu untuk menjaga - adalah ilustrasi sempurna tentang ketegangan paradoks perempuan memberikan hadiah yakni untuk mengatasi ancaman kehilangan otonomi, mereka memberikan hadiah secara berlimpah. Sebagai konsekuensi dari pemberian berlimpah 158 mereka menghadapi ancaman kehilangan otonomi mereka Komter 2005. Perbedaan gender dalam pemberian hadiah menggambarkan peran penting perempuan dalam menciptakan semen sosial masyarakat. Meskipun banyak bentuk solidaritas, namun gender tidak sama sekali disentuh.Walaupun emansipasi mereka yang meningkat, perempuan masih memiliki pangsa terbesar dalam perawatan informal. Dalam kasus ini solidaritas adalah jelas berhubungan dengan gender. Dalam kerangka inilah pentingnya kajian gender dan pertukaran hadiah. Bagi perempuan desa, nyumbang penting untuk memelihara hubungan sosial sekaligus perlu strategi nafkah untuk memelihara hubungan tersebut dan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi rumah tangga. Gender adalah isu yang sentral dalam melihat strategi nafkah di perdesaan. Gender adalah bagian yang integral dan bagian yang tak terpisahkan dalam strategi nafkah di perdesaan. Hal ini karena laki-laki dan perempuan memiliki aset, akses dan kesempatan yang berbeda. Seperti misalnya perempuan jarang memiliki tanah sendiri Ellis 1999. Namun demikian rendahnya akses perempuan ke bidang pertanian, justru membuka kesempatan bagi perempuan untuk bekerja di sektor non-farm. Pekerjaan ini bahkan dianggap menguntungkan bagi rumah tangga dan bagi perempuan itu sendiri. Pekerjaan pertanian sangat tergantung musim, sementara pekerjaan non-farm memberikan jaminan untuk kebutuhan sehari-hari walaupun jumlahnya relatif kecil, yang penting mereka memiliki uang tunai Abdullah 2001. Implikasinya kebutuhan harian dan sosial menjadi tanggung jawab perempuan. Intensifikasi pertanian telah banyak menggiring perempuan ke sektor perdagangan, khususnya perdagangan kecil informal. Meskipun terdapat pandangan yang negatif dari masyarakat Jawa terhadap profesi pedagang sebagai pandangan yang diwariskan oleh kalangan priyayi Jawa dan muncul sejak awal masuknya perdagangan dalam perekonomian Indonesia, khususnya ke Jawa, keterlibatan perempuan dalam dunia perdagangan di desa tidak terpengaruh oleh penilaian negatif tersebut Abdullah 2001. Ini dimungkinkan dengan pertimbangan bahwa dengan berdagang, perempuan memiliki uang tunai yang lebih teratur dibanding profesi petani yang penghasilannya tergantung musim. Keteraturan perempuan dalam memiliki uang tunai menyebabkan banyak kebutuhan harian yang menjadi tanggung jawab perempuan, termasuk untuk kebutuhan nyumbang. Menurut Kutanegara 2002, tradisi nyumbang bagi rumah tangga miskin menjadi beban yang sangat memberatkan kehidupan mereka. Banyak aset rumah tangga seperti ternak dan barang-barang lainnya yang harus dijual untuk memenuhi kewajiban sosial ini. Sementara untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari mereka terpaksa hidup sangat sederhana. Perempuan sebagai pengelola ekonomi rumah tangga adalah pihak yang paling merasakan beban berat tersebut. Hasil penelitian Djawahir 1999 menunjukkan bahwa dalam semua pranata nyumbang selalu melibatkan pihak perempuan, sementara laki-laki sangat terbatas keterlibatannya. Selama ini secara sosial budaya, posisi dan peranan perempuan ditempatkan pada bidang-bidang yang bersifat domestik urusan rumah tangga dan ekspresif menjaga keharmonisan sosial, sebagaimana yang sudah dilabelkan oleh masyarakat. 3.METODE PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan metode kualitatif dan mengambil setting lokasi sub budaya Jawa Banyumasan yang diwakili desa-desa di Kabupaten Banyumas Jawa TengahSubyek penelitian adalah perempuanibu rumah tangga miskin dari berbagai latar belakang pekerjaan, terutama buruh pabrik bulu mata dan pekerja rumah tangga PRT. Pengumpulan data dilakukan melalui Focus Group Discussion FGD, wawancara mendalam dan observasi dengan terlibat dalam kegiatan tradisi nyumbang. 159 Dalam penelitian ini, proses analisis data dilakukan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Dalam menyebut istilah Banyumas, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Setidaknya ada empat 4 pengertian untuk istilah Banyumas, yakni sebagai eks karesidenan, sebagai wilayah administrasi Kabupaten, sebagai wilayah administrasi kecamatan dan sebagai salah satu sub budaya Jawa yang dikenal dengan istilah budaya Banyumasan. Dalam studi ini istilah Banyumas lebih mengacu pada istilah budaya, sebagai salah satu varian budaya atau sub budaya Jawa yang terletak di bagian barat kebudayaan Jawa; dan Kabupaten Banyumas sebagai salah satu sampel lokasi penelitian. Keberadaan wilayah Banyumas yang terletak di belahan barat selatan Provinsi Jawa Tengah ini hidup dalam suasana dua budaya kuat, Sunda dan Jawa. Lokasi Banyumas yang jauh dari ibukota atau pusat kebudayaan Jawa Keraton menyebabkan masyarakat di daerah Banyumas memiliki keleluasaan mengekspresikan dalam budayanya yang khas. Mereka juga memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan budaya Sunda di daerah perbatasan Priyadi 2002. Istilah untuk keberadaan Banyumas yang jauh dari pusat kekuasaan keraton ini adalah adoh ratu, cedhak watu, yakni jauh dari keraton dan lebih dekat dengan batu atau alam pedesaan Marwah, 2013. 4.TEMUAN DAN PEMBAHASAN 1. Peta Sosial Beras dalam Pranata Tradisi Nyumbang di Banyumas Dalam kultur masyarakat pedesaan di Banyumas, nyumbang dalam tradisi hajatan khususnya perkawinan dan khitanan adalah pranata resiprositas yang memiliki dimensi gender. Ini artinya ada pembagian kerja secara terpisah untuk laki-laki dan perempuan dalam memberikan sumbangan, laki-laki menyumbang uang dan perempuan menyumbang bahan pangan. Sumbangan bahan pangan dari perempuan masih dapat dibedakan lagi yaitu: pertama beras saja; dan yang kedua adalah non beras dan beras atau tanpa beras. Beras adalah sumbangan perempuan dari masyarakat umum dalam lingkup satu desa, sedangkan sumbangan non berasditambah beras atau tanpa beras berasal para tetangga dan kerabat dekat. Sejak dulu sampai sekarang besaran sumbangan beras yang berlaku umum dalam masyarakat desa Banyumas adalah 2,5 kg. Tempat sumbangan beras pun umumnya dalam bentuk yang sama, yakni tas plastik kotak. Untuk membedakan agar tidak terjadi kekeliruan dalam pengambilan tas ini, tas diberi nama pemiliknya. Bagi sebagian kalangan juga menilai bahwa pemberian nama pada tempat beras tersebut juga berfungsi sebagai legalitas sosial, bahwa seseorang telah diketahui dan diakui sudah ikut menyumbang Lihat gambar 1. Tas ini juga dapat disebut sebagai tas resiprositas, karena setelah selesai menyumbang hajatan, pada saat pamit pulang tas ini akan diisi bingkisan balasan nyumbang. Hal ini mengacu pada teori resiprositas dari Mauss 1992, yakni bahwa terkandung tiga kewajiban dalam teori pertukaran dari Mauss. Pertama, memberi hadiah nyumbang sebagai langkah pertama menjalin hubungan sosial. Kedua, menerima hadiah bermakna sebagai penerimaan ikatan sosial. Ketiga, membalas dengan memberi hadiah dengan nilai yang lebih tinggi menunjukkan integritas sosial Koentjaraningrat 1980. Besaran sumbangan beras 2-2,5 kg sebagai sumbangan yang berlaku umum dari warga desa perempuan di Banyumas ini relatif kecil dibanding sumbangan-sumbangan beras dari desa pada wilayah lain. Hasil penelitian Kutanegara 2002 di wilayah pedesaan di Daerah Istimewa Yogyakarta DIY menunjukkan sumbangan untuk tetangga dan kerabat jauh berkisar antara 5-7 kg beras, sedangkan untuk tetangga dan kerabat dekat sekitar 10-20 kg beras. Dalam masa krisis, naiknya harga berbagai kebutuhan pokok di Indonesia telah mengakibatkan perubahan dalam ukuran besarnya sumbangan. Beras yang semula berharga sekitar Rp. 800 perkilogram telah naik menjadi Rp 2.500, sehingga jikalau 160 mereka tetap menyumbang beras, akan terasa memberatkan. Oleh karena itulah, pada masa krisis 1998 yang lalu bentuk sumbangan telah bergeser dari beras menjadi uang. Ketika terjadi pergeseran bentuk sumbangan, kriteria setempat umume menyepakati sumbangan kepada tetangga jauh dan kerabat jauh berkisar antara Rp. 10.000,00 – Rp 15.000,00, sedangkan untuk kerabat dekat antara Rp. 30.000,00 – Rp. 50.000,00, tergantung pada intensitas hubungan dan kondisi ekonomi mereka.Hal ini setidaknya memperlihatkan bahwa secara ekonomi, Banyumas memiliki tingkat kesejahteraan yang relatif lebih rendah. Gambar 1. Tas NyumbangBeras : Tas Resiprositas Tas Memberi Menerima dan Membalas Khas Banyumas Dengan demikian diferensiasi sumbangan, yakni yang menyangkut jenisbentuk, dan besar kecilnya sumbangan ditentukan oleh dua hal, yakni jenis kelamin dan ikatan kekerabatan. Sumbangan uang laki-laki bagi sebagian warga desa dianggap singgetatau simpel sederhana, tidak pusing memikirkan jenis sumbangannya. Sementara untuk bahan sumbangan perempuan, terutama untuk tetangga dan kerabat dekat dianggap njlimet, karena tidak cukup hanya beras melainkan bahan-bahan pangan lainnya. Bukan hanya njlimet dalam memikirkan bentuk sumbangan, namun juga njlimet dalam mencari sumber penghasilan untuk nyumbang. Sistem hutang adalah hal biasa bagi perempuan desa. Bagi mereka lebih baik hutang daripada tidak hadir nyumbang. Uang dan beras memiliki nilaiyang berbeda bagi orang desa. Uang bukan hanya sebagai alat tukar, beras jugabukan hanya sebagai bahan pangan pokok, melainkan keduanya telah menjadiinstrumen untuk menjamin keberlanjutan hubungan sosial di pedesaan. Uangdan beras yang dicatat dalam buku catatan gantangan adalah simbol yangmengikat hubungan antar individu maupun antar keluarga. Uang dan berastidak hanya dilihat dari jumlah dan nilainya, melainkan juga dilihat sebagaisebuah “komitmen moral” untuk saling membantu dan menepati janji satusama lain di pedesaan. Kesediaan menyimpan sejumlah uang dan beras tersebut menunjukkan tingkat kepercayaan trust seseorang kepada orang lainnya.Kesediaan membayar kembali sejumlah uang dan beras yang pernahditerimanya juga menunjukkan tanggung jawab seseorang kepada warga Prasetyo, 2012.

2. Bertahannya Sumbangan Beras dalam Monetisasi Desa