Masa Reformasi - Sekarang

589 Gerakan sosial sosio-psikologi melihat perlawanan individu muncul akibat tekanan emosional sebagai respon terhadap ketegangan-ketegangan struktural, sehingga individu dan kelompok melakukan perlawanan tanpa memperhitungkan gerakan secara rasional Wiktorowicz, 2012. Perspektif sosio-psikologi melihat ketegangan dan masalah sosial sebagai penyebab munculnya aksi kolektif Manalu, 2009. Dalam hal ini ketegangan masyarakat muncul akibat pembebasan lahan yang penuh intimidasi dan kekerasan memaksa masyarakat untuk melepaskan tanah dan bangunannya Komunitas Intelektual Muda Se- Jatigede, 2014. Sehingga ‘ketidakpuasan’ warga terhadap keputusan sepihak mengenai penetapan harga ganti rugi berusaha melakukan upaya untuk melakukan protes. Pada tahun 1987, beberapa warga desa Cisurat dan Jatibungur, kecamatan Darmaraja melakukan pertemuan untuk melakukan perlawanan 20 Stigma PKI merupakan ancaman kematian perdata dan menjadi ancaman bagi keberlangsungan hidup sesorang. Tuduhan semacam ini ditimpakan kepada individu atau kelompok pada Orde Baru yang mempertanyakan kebijakan pemerintah Orde Baru secara tertutup. Sebab, kebijakan Orde Baru melarang masyarakat sipil untuk mengeluarkan pendapat, berkumpul dan berapat. Strategi warga dalam pertemuan tersebut telah sepakat untuk mengirim surat ke Bupati dan DPRD Kabupaten Sumedang dan Departemen Dalam Negeri sebagai protes atas tindakan Panitia Sembilan yang bertindak tidak adil. Jumlah ganti rugi yang diberlakukan tidak sesuai dengan keputusan yang berlaku SK Bina Marga Wilaya Timur dan SK Bupati Sumedang. Panitia Sembilan, Pimpinan Proyek dan Aparat Militer di Sumedang merasa kecolongan atas upaya yang dilakukan warga. Protes warga ini dianggap sebagai gangguan bagi stabilitas politik dan keberlangsungan pelaksanaan pembangunan YLBHI, 2003. Protes warga muncul akibat tekanan emosional akibat ketegangan struktural yang terjadi pada proses pembebasan lahan. Warga yang tertekan menggunakan strategi dan taktik tanpa memperhitungkan basis rasionalnya. Sebagai konsekuensi protes warga tersebut akhirnya mereka harus menghadap aparat Komandan Distrik Militer KODIM 0610 kabupaten Sumedang melalui surat No.B.171III1987 tertanggal 24 Maret 1987 memanggil 16 orang pada tanggal 25 Maret 1987 LBH Bandung, 2003. Alasan pemanggilan terhadap warga yang melakukan protes sebagai konsekuensi telah menggadakan ‘rapat gelap’, tuduhan tersebut ditolak dengan alasan mengadakan pertemuan biasa yang dihadiri oleh semua masyarakat, akibatnya dua orang diintimidasi dan diperlakukan represif. Pendekatan teori mobilisasi sumberdaya model analisis “The Political Proses Models” menurut Pichardo dalam Tribowo model analisis “yang dikembangkan oleh Tilly, Gamson, Oberrschall dan McAdam menekankan pada struktur kesempatan dalam aksi kolektifsi kolektif, keberadaan jejaring, serta kaitan horizontal yang telah dibangun dengan kelompok-kelompok tertindas sebagai penentu keberhasilan gerakan. Meskipun akses kesempatan pada Orde Baru sangat sulit, warga berusaha untuk melakukan protes untuk menuntut ganti rugi yang adil. Sehingga warga memanfaatkan keberadaan jejaring Bupati dan DPRD Kabupaten Sumedang dan Departemen Dalam Negeri sebagai upaya untuk mencapai tujuannya. Menurut Pichardo jika negara kuat dan represif maka gerakan sosial sukit untuk mencapai tujuannya Pichardo, 1988. Gerakan sosial akan berjalan lambat didalam sistem politik yang tertutup. Ketertutupan ini tidak jarang menstimulasi lahirnya gerakan-gerakan tersebunyi Porta, Donatella, Diani, 1999.

2. Masa Reformasi - Sekarang

Asumsi dasar paradigma mobilisasi sumber daya adalah gerakan sosial kontemporer mensyaratkan sebentuk komunikasi dan organisasi yang canggih Sumana, 590 2013. Menurut Oberschall dalam Locher, 2002 asumsi teori ini menyatakan bahwa dalam suatu masyarakat dimana muncul ‘ketidakpuasan’ maka cukup untuk memunculkan sebuah gerakan sosial. McCarty mendefinisikan struktur mobilisasi sebagai kendaraan kolektif baik formal dan juga informal Situmorang, 2007. Melalui kendaraan ini masyarakat memobilisasi dan berbaur dalam aksi bersama. Setelah jatuhnya Rezim Orde Baru membuat rakyat lebih berani menyuarakan aspirasinya terhadap keberlangsungan proyek waduk Jatigede, kondisi relatif berubah menjadi lebih progresif Setiawan, 1998. Sejumlah tokoh rakyat dan sejumlah masyarakat dari 2 desa kecamatan Jatigede, 1 desa kecamatan Wado, dan 9 desa di Kecamatan Darmaraja membentuk sebuah wadah bersama, yaitu Forum Komunikasi Rakyat Jatigede FKRJ yang diketuai oleh Kusnadi Tjandrawiguna Komunitas Intelektual Muda Se-Jatigede, 2014. Tujuan pembentukan wadah bersama ini agar perlawanan atau penolakan mereka menjadi lebih terorganisir secara aktif. Analisis sosio- psikologi melihat ‘ketidakpuasan’ warga terhadap pembebasan lahan ganti rugi pada Orde Baru protes dilakukan secara langsung tanpa memperhatikan basis secara rasional. Sebaliknya, teori mobilisasi sumberdaya berasumsi ‘ketidakpuasan’ akan memungkinkan munculnya sebuah gerakan sosial, sehing ga ‘ketidakpuasan’ warga terhadap pembebasan lahan terutama pada Orde Baru tahap pertama maka dibentuklah sebuah organisasi. Dengan menggunakan organisasi ini sebagai ‘kendaraan kolektif’ rakyat Jatigede melebur dalam aksi bersama untuk menolak keberlangsungan proyek. Dimulai tahun 1998, warga yang tergabung dalam FKRJ mengadakan sejumlah demonstrasi keberbagai lembaga pemerinta seperti, DPRD Tingkat I, Kantor Gubernur Jawa Barat, Komnas HAM, dan DPR-RI di Jakarta Setiawan, 1998 untuk meminta pembatalan pembangunan. Menurut Oberschall dalam Locher, 2002 faktor organisasi dan kepemimpinan merupakan faktor yang dapat mendorong atau menghambat suatu gerakan. Selain FKRJ, berbagai macam gerakan lainnya mulai menampakan diri kepermukaan salah satunya adalah Forum Masyarakat Asal Cibogo FORMACI yang dipimpin oleh Kepala Desa Cibogo Kecamatan Darmaraja. Kepemimpinan kepala desa ini dikenal pro-rakyat yang memiliki pengaruh terhadap anggotanya. Pada masa ini sebagai wujud perlawanan warga desa Cibogo kecamatan Darmaraja tetap mempertahankan tanahnya apabila nilai ganti rugi pada pembebasan lahan yang ditawarkan tidak sesuai. Sikap konsisten kepemimpinan pro-rakyat menjadikan anggotanya bertahan menolak pembangunan waduk Jatigede. Meskipun kepala desa tersebut seringkali ditekan oleh Camat dan pemerintah setempat untuk memperlancar pelaksanaan proyek. Menurut Klandermans teori mobilisasi sumberdaya menekankan pada faktor- faktor struktural diantaranya, ketersediaan sumberdaya, posisi individu dalam jaringan dan partisipasi individu yang menekankan pada rasionalitas Klandermans, 1984. Demikian adanya organisasi yang ada dilingkungan waduk Jatigede menampung warganya sebagai kader dan pemimpin sebagai aktor penggerak, serta aspirasinya yang disampaikan melalui media, keseluruhan ini merupakan sumberdaya yang dapat dimobilisasi. Pentingnya peran kepemimpinan untuk membentuk jaringan eksternal diluar organisasinya sebagai kekuatan-kekuatan yang berkonstribusi perkembangan dan perilaku gerakan Sumana, 2013. Demikian dengan kepemimpinan kepala desa Cibogo yang memiliki jaringan luas dikalangan pejabat tinggi baik tingkat Provinsi maupun Pusat Setiawan, 1998. Selain itu, pemimpin FKRJ seringkali dalam aksinya turut mengundang dan menggabungkan dirinya bersama organisasi yang lainnya seperti, Serikat Petani Jawa Barat SPJB yang merupakan organisasi alternatif yang dibentuk dan dipimpin langsung oleh petani Jawa Barat . Jaringan ini dibentuk antara pemimpin dan anggotanya dengan tujuan yang sama menolak kehadiran proyek Jatigede. Pada tahun 1998, jaringan organisasi yang berperan penting melawan proses pembangunan waduk Jatigede yaitu, Forum Komunikasi Rakyat Jatigede FKRJ, 591 Petani Jawa Barat SPJB, Badan Advokasi Rakyat BAR yang merupakan sebuah aliansi antara mahasiswa se-Bandung dengan rakyat tani yang lahannta tergusur, Lembaga Bantuan Hukum LBH Bandung dan Yayasan Pengkajian dan Pengembangangan Aktivis Sosial YP2AS, serta Konsorsium Pembaharuan Agraria KPA Setiawan, 1998. Warga yang tergabung dalam organisasi telah mempertimbangkan keputusan rasional untuk melakukan pertimbangan untung –rugi cost and reward. Menurut Olson dalam Pichardo, 1988 mengapa individu terlibat dalam suatu perilaku kolektif maka harus dianalisis imbalan dan biaya. Berbagai bentuk biaya yang dihubungkan dengan partisipasi dalam gerakan sosial meliputi, waktu, uang, keamanan personal dan hilangnya pekerjaan. Cost, seperti halnya perlawanan warga Cipaku yang sejak Orde Baru tahun 1987 yang melawan proses pembangunan akibatnya kehilangan pekerjaan sebagai PNS hingga menjelang reformasi terus terlibat dalam gerakan 21 . Reward, pemimpin harus mampu 21 Hasil wawancara dengan WD asal Desa Cipaku Kecamatan Darmaraja pada tanggal 04 September 2015 menarik partisipasi masyarakat dalam gerakan Pichardo, 1988. Partisipasi warga terlibat dalam organisasi adanya daya tarik baik material seperti jasa pemimpin, maupun non- material kepercayaan pemimpin yang diberikan kepada anggotanya. Pendekatan teori mobilisasi sumber daya model analisis The Professional Organizer Models memandang dinamika organisasional, kepemimpinan dan pengelolaan sumberdaya merupakan faktor yang lebih signifikan dalam menentukan keberhasilan gerakan sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut Pichardo, 1988. Gerakan sosial dipandang sebagai sesuatu yang kompleks atau formal, mengidentikkan tujuannya dan berusaha mewujudkan tujuan-tujuannya tersebut. Menjelang tahun 1999 kondisi sedikit berubah, desa-desa bakal genangan mendapatkan dana bantuan pembangunan dari pemerintah. Bantuan tersebut berupa perbaikan dan pembangunan infrastruktur listrik jalan aspal dan fasilitas sosial Wibsono, 2015. Setidaknya upaya perlawanan rakyat cukup berhasil meskipun tidak ada pernyataan resmi tentang pembatalan rencana pembangunan waduk Jatigede, warga memahaminya bahwa sejumlah bantuan tersebut mengisyartkan pembatalan proyek. Sebagai bentuk perlawanan lain, warga yang sudah pindah mengikuti program transmigrasi lokal dan luar Pulau Jawa mendengar informasi ‘pembatalan’ proyek akhirnya mereka kembali ke desanya masing-masing dengan menjual asset di wilayah transmigrasi Tim Penyelesaian Dampak dan Pengosongan Waduk Jatigede, 2013. Dinamika perlawanan rakyat ini mewarnai terhadap keberlangsungan rencana pembangunan yang tertunda selama puluhan tahun. Kompleksitas persoalan yang ditimbulkan telah melahirkan dua kelompok yang berbeda antara pro-kontra diantaranya, Forum Peduli Jatigede FPJ merupakan kelompok yang setuju proyek dilanjutkan. Kemudian organisasi ini membentuk organisasi baru bernama Forum Komunike Bersama FKB sebagai wadah aspirasi warga sekitar calon genangan yang propelaksanaan proyek waduk Jatigede, dideklarasikan di Balai Desa Leuwihideung kecamatan Darmaraja atas prakasan sejumlah kepala desa dan Badan Perwakilan Desa pada tahun 2004 Pikiran Rakyat, 2004. Permasalahan yang semakin rumit dan kompleks untuk itu tujuannya dibentuk organisasi ini mendukung pembangunan dengan prasyarat nilai ganti rugi yang diberikan harus sesuai dan jaminan hidup pasca pemindahan relokasi Pikiran Rakyat, 2004. Sementara FKRJ menolak rencana pembangunan waduk Jatigede dilanjutkan dengan alasan penundaan yang terlalu lama dan penduduknya sudah padat sehingga akan memunculkan problem sosial yang sulit diatasi. Dimulai pada tahun 2005 perlawanan rakyat Jatigede menjadi cara-cara rutin dimana Gubernur Jawa Barat telah menyatakan proyek akan dilanjutkan. Hal tersebut mendapatkan reaksi-reaksi dari rakyat melalui aksi-aksi dan dialog yang dimobilisasi ke 592 Pemkab Sumedang, Provinsi dan Pusat. Akhirnya melahirkan kesepakatan pembangunan waduk Jatigede dilanjutkan dengan syarat pemerintah harus menuntaskan kasus pembebasan lahan periode tahun-tahun sebelumnya Tim Penyelesaian Dampak dan Pengosongan Waduk Jatigede, 2013. Perlawanan rakyat menjadi sensitif ketika rencana proyek akan menghancurkan sejumlah situs dan budaya. Ini merupakan perwujudan mempertahankan tumpah darahnya. Aksi dan protes ini mendapat dukungan dari pemerintah DPRD Kabupaten Sumedang setelah pembangunan fisik selesai diakhir tahun 2014.Namun pada tahun yang sama, pemerintah belum memperlihatkan upaya penyelesaian konflik yang terjadi, sehingga membuat rakyat jenuh dan kehilangan kepercayaan kepada pemerintah Komunitas Intelektual Muda Se-Jatigede, 2014. Pembangunan ini akhirnya terealisasi dibawah pemerintahan Jokowi-JK dengan menerbitkan Peraturan Presiden No. 1 Tahun 2015 Tentang Penanganan Dampak Sosial Kemasyarakatan Pembangunan Waduk Jatigede yang ditandatangani pada 2 Januari 2015. Meskipun perlawanan terus dilancarkan, pemerintah akan tetap melaksanakan pembangunan waduk. Hal ini menimbulkan keresahan masyarakat hingga sebagian masyarakat memilih menerima ganti rugi dan sebagian bertahan menolak penggenangan. Waduk Jatigede diresmikan pada tanggal 31 Agustus 2015 ditandai dengan dibukanya terowongan penggelak. Kasus yang terjadi adalah masih banyak warga yang belum menerima ganti rugi hingga akhir tahun 2015 Kompas, 2015. Bahkan Pemkab Kabupaten Sumedang telah melakukan evakuasi paksa terhadap 150 KK yang masih bertahan di wilayah genangaan pada Januari 2016 lalu di dusun Bojongsalam desa Padajaya Kecamatan Wado Pikiran Rakyat, 2016. Meskipun air sudah mulai naik ke desa tersebut, sebagian warga belum pindah karena menuntut ganti rugi kepada pemerintahan pusat dan komplain yang diajukan masih belum ditanggapi. Warga yang pindah kelokasi baru, khususnya warga asal desa Cipaku mengalami tekanan berat yang diduga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya, tidak ada kepastian jaminan hidup kedepan dan tidak ada lahan usaha yang bisa digarap Tribun Jabar, 2016.

5. KESIMPULAN