KESIMPULAN Prosiding Konferensi APSSI Vol 1.compressed

29 jangka pendek karena tidak perlu mengeluarkan uang untuk upah pembantu. Begitu pula ketika terjadi perceraian, peran pengasuhan tidak terlalu berat dirasakan pihak istri ketika mereka harus mengasuh anak setelah perceraian, karena orang tua dan kakak serta adik- adik bahkan ipar ikut terlibat membantu. Apa yang terjadi pada IK, EL, dan FAT, ketiganya menunjukkan fenomena keterlibatan keluarga besar dalam pengasuhan anak. Pihak perempuan yang bercerai dapat mencari nafkah dengan lebih leluasa karena peran pengasuhan dilakukan oleh keluarga besar sementara ia bekerja. Bukan hanya dalam pengasuhan, kebutuhan ekonomi pihak perempuan yang bercerai juga ditanggung bersama oleh keluarga perempuan tersebut, meski kini sudah tidak lagi melibatkan ninik-mamak sebagaimana adat Minang. Back-up penuh keluarga dalam pengasuhan dan pemenuhan kebutuhan ekonomi ini sedikit banyak memberikan kontribusi bagi perempuan yang rumah-tangganya bermasalah dalam mengambil keputusan untuk bercerai menggugat cerai, meski pihak keluarga pada ketiga kasus tidak mendorong dilakukannya perceraian. Peran keluarga besar ini pun sangat membantu dalam mengurangi ekses negatif yang muncul pada keluarga, terutama pada peran pengasuhan dan ekonomi.

4.5.3. Respon Struktur Sosial atas Cerai Gugat.

Respon struktur sosial terhadap cerai gugat relatif berubah ke arah yang makin objektif. Stigma negatif mengenai perceraian terutama untuk konteks kota, mulai berkurang. Masyarakat mulai melihat perceraian kasus per-kasus dalam memberi penilaian. Dari tiga kasus yang diteliti, dua kasus menunjukkan hal tersebut. Masyarakat kota yang makin kritis tidak lagi dengan serta merta memberi penilaian negatif terhadap tindakan perceraian, akan tetapi mencoba memahami lebih dalam sebelum memberikan penilaian. Hal tersebut berbeda pada masyarakat pinggiran dan tentu desa, yang masih cenderung merespon negatif kasus-kasus perceraian yang terjadi. Hal yang perlu dicermati terkait dengan peran PA sebagai institusi yang melakukan eksekusi atas permohonan perceraian. Tidak adanya kordinasi antara lembaga yang mengurus pernikahan KUA, lembaga penasihatan pernikahan BP4, dan lembaga yang mengeksekusi perceraian PA; menyebabkan kehidupan berkeluarga dilihat sebagai sekuel yang terpisah: pernikahan satu hal, penyelesaian masalah satu hal, dan perceraian merupakan hal yang lain. Bukan hanya dilihat terpisah, akan tetapi terdapat perbedaan penanganan dan pendekatan. PA sebagai lembaga eksekusi pernikahan misalnya cenderung melihat perceraian secara administratif dan juridis semata. Karena hal itu kasus-kasus perceraian dalam hal ini cerai gugat dapat diselesaikan dalam waktu sangat singkat, tanpa upaya-upaya maksimal untuk menjaga sakralisasi keutuhan pernikahan. Upaya untuk menghadirkan pihak tergugat pada kasus cerai gugat misalnya terlihat sangat lemah pasif, padahal dengan ketidak-hadiran pihak tergugat mediasi tidak dapat dilakukan. Selain itu hak-hak perempuan untuk mendapatkan nafkah paska perceraian terutama jika membawa anak belum mendapat perlindungan, mengingat banyaknya putusan cerai gugat yang tidak mewajibkan suami untuk memberi nafkah untuk anak yang dibawa istri. Pendekatan administratif lagi-lagi menjadi prioritas supaya kasus cepat selesai, yang menghilangkan makna substantif yang sedianya juga diperhatikan menjaga generasi atau anak dari ekses negatif perceraian. Keputusan cerai gugat yang menetapkan mantan suami untuk memberi nafkahpun ada kecenderungan dibiarkan tidak dilaksanakan, dengan tidak adanya mekanisme pelaksanaan putusan.

5. KESIMPULAN

Cerai gugat di Kota Padang, pada kasus yang diteliti, terjadi lebih sebagai upaya perempuan memperjelas status pernikahannya setelah mengalami pengabaian oleh pihak 30 suami dalam kurun waktu cukup lama, yaitu sejak mengandung hingga anak lahir kasus EL, bahkan hingga anak sudah dapat berlari Fat. Yang menarik, pengabaian terjadi tidak selalu karena faktor ekonomi untuk kasus pada pasangan terdidik dan ekonomi menengah ke atas, akan tetapi lebih sebagai simbol bahwa pihak suami sudah tidak lagi ingin meneruskan pernikahan tradisi Minang. Keengganan suami untuk meneruskan pernikahan dipicu oleh pertengkaran yang terus menerus terjadi, yang tidak selalu bersumber dari problem pada suami istri tersebut, akan tetapi juga karena adanya campur tangan atau dominasi keluarga istri atas istri yang berlebihan maupun karena campur tangan atau dominasi keluarga suami atas suami yang berlebihan pula. Pada kasus lain, keengganan muncul karena tidak tahan atas sifat istri yang temperamental, yang terjadi pada kasus istri dengan usia relatif muda dan dengan pendidikan cenderung rendah. Terkait hal itu, terdapat temuan bahwa ketahanan keluarga pada pasangan muda yang ada di Kota Padang mulai melemah, dengan adanya kecenderungan pasangan suami istri mudah “menyerah” atas masalah yang dihadapi endurens cenderung rendah dan dengan cepat menjadikan perceraian sebagai solusi. Selain itu kurangnya pemahanan tentang keluarga diduga menjadi penyebab mengapa lembaga pernikahan tidak lagi dianggap sebagai lembaga yang sakral dan perlu dijaga keberlangsungannya, yang juga dipengaruhi oleh berbagai informasi mengenai banyaknya perceraian terjadi disekitar mereka serta kasus-kasus seperti hamil sebelum nikah. Tidak tersedianya mekanisme penanaman nilai-nilai mengenai keluarga yang lebih terstruktur, sistematis dan intensif baik ditingkat keluarga, sekolah, maupun dimasyarakat, menyebabkan terjadi perubahan pemaknaan atas pernikahan bahkan perceraian.

6. DAFTAR PUSTAKA