356
dalam studinya mengatakan agama Ammatoa merupakan bentuk keberagamaan independen dengan campuran Islam.
2. KAJIAN PUSTAKA
Mengagamakan orang Suku Akit dipercaya banyak pihak terutama negara dan agamawan sebagai upaya pemodrenan, pemeradaban dan meningkatkan kemakmuran
komunitas tersebut. Kehendak memperbaiki komunitas ini sejatinya terletak pada gelanggang kekuasaan yang oleh Michel Foucault 1982:220-
221 disebut “kepengaturan” governmentality. Ringkasnya, pengaturan adalah
“pengarahan perilaku”, yakni upaya mengarahkan perilaku keagamaan seseorang dengan serangkaian cara yang sudah
dikalkulasi sedemikian rupa Li, 2012:9. Berbeda dengan pendisiplinan yang bertujuan memperbaiki perilaku melalui pengawasan ketat dalam kurungan penjara, rumah sakit
jiwa, sekolah, pengaturan bertujuan menjamin “kesejahteraan masyarakat, perbaikan keadaan hidup mereka, peningkatan kemakmuran” Foucault, 1982:100 dan sejenisnya
dengan mengatur afiliasi agama. Aparatus negara dan agamawan, mendorong orang Suku Akit agar berkonversi ke
salah satu agama negara dengan dalih mengentaskan mereka dari keterbelakangan. Negara dan agamawan dalam mewujudkan agenda tersebut menawarkan seperangkat teknik
rekayasa sosial untuk mengatur perilaku keagamaan mereka. Peneliti tertarik untuk menganalisa bagaimana orang Suku Akit melakukan pembalikan ke arah yang berlawanan
dengan kehendak negara dan agamawan, yakni kelompok dominan ini dihadapkan
“keadaan ketika orang-orang yang dijadikan sasaran mengungkapkan analisa kritis mereka, melalui kata maupun perbuatan” Li, 2012:19-20 sebagai ungkapan resistensi simbolik
terhadap pengaturan Scott, 1990. Menggunakan teori relasi kuasa power relation Michel Foucault, penelitian ini akan memperlihatkan strategi orang Suku Akit dalam
mengungkapkan arus balik perlawanan atas dominasi negara dan agamawan dengan pendekatan kuasa.
Kekuasaan menurut Foucault merupakan sesuatu yang abstrak tetapi memiliki dampak yang nyata dalam membentuk perilaku seseorang. Foucault 1982:222
mengatakan bahwa kehendak untuk mengatur dengan strategi perlawanan berada dalam keadaan “provokasi permanen”. Dia mengatakan “Biarpun para ahli berpendapat bahwa
mereka bisa mengambil inisiatif untuk bertindak secara terencana, pada kenyataaannya mereka harus puas dengan sekedar memberi reaksi setelah kejadian... antara kekuasaan
dengan praktik perlawanannya berlangsung proses timbal balik tanpa henti” 1982;225- 226.
Proses timbal balik tanpa henti tersebut mengandaikan para pihak saling memainkan kuasa dalam merespon satu sama lain. Karenanya penelitian ini akan menggunakan analisa
Foucault tentang relasi kuasa dalam memperlihatkan strategi Orang Suku Akit dalam merespon kehendak beragama. Bagi Foucault 1994:345, relasi kuasa bukan terletak pada
kekuasaan itu sendiri, melainkan pada beragam jaringan yang membentuk relasi dengan para pihak untuk mewujudkan tujuan masing-masing. Kajian tentang relasi kuasa karena
berkaitan dengan diskursus tentang para pihak yang saling mengaktualisasikan kekuasaan dalam pencapaian tujuan sendiri-sendiri.
Kekuasaan hanya akan menjadi nyata apabila kekuasaan dieksersi digunakan antara para pihak yang memiliki perbedaan kepentingan dan tujuan Foucault, 1977:213.
Dari pemaparan ini terlihat bahwa konsepsi relasi kuasa Foucault mengandaikan beragam pihak yang saling menggunakan kekuasaan. Teori relasi hemat peneliti cukup relevan
untuk menjelaskan potret relasi kuasa antara komunitas Suku Akit dengan para pihak di luarnya, yakni negara, agamawan, pemodal dan lain sejenisnya. Pada konteks ini pilihan
konversi agama pada komunitas Suku Akit tidak serta merta merupakan ungkapan
357
kekalahan dalam kontestasi kuasa, melainkan dilihat sebagai strategi yang dipilih komunitas Suku Akit dalam mengaktualisasikan kuasa dengan versi mereka sendiri.
Peneliti akan mengelaborasi bagaimana negara dan agamawan menggunakan kuasa yang mereka miliki dalam mendefinisikan modernitas untuk ditarapkan pada komunitas
Suku Akit dan serta di pihak lain berusaha memperlihatkan bagaimana komunitas Suku Akit menggunakan kuasa dalam merespon konsepsi negara terkait modernitas tersebut.
3. PEMBAHASAAN