599
kolektif untuk menuntut perubahan sosial.Gerakan ini tidak didasarkan pada organisasi tertentu, karena gerakan sosial dilakukan dalam keseharian masyarakat dalam Morris dan
Herring, 1984: 6. Dalam praktiknya, terdapat perdebatan antara dua strategi gerakan sosial, yaitu
gerakan sosial baru GSB dan gerakan sosial klasik GSK.Eggert dan Guigni 2012: 2 berpendapat bahwa GSB ditandai dengan masuknya kelas menengah yang menginisiasi
gerakan.Jadi dalam gerakan ini, antara kelas menengah dan bawah dapat melebur demi mewujudkan cita-cita gerakan.Hal in tentu berbeda dengan pendapat Marx bahwa revolusi
dilahirkan oleh kelas proletar.Sedangkan dalam GSK, isu gerakan merupakan isu kelas sosial.GSK yang dirumuskan oleh Morris dan Herring, 1984: 11 memfokuskan pada
pertama, masalah struktural yang menyebabkan perubahan sosial yang tak diharapkan.Kedua, masalah psikologis dari aktor yang terlibat.Ketiga, berupa kepercayaan
yang dianut dan tersebar yang dapat menjadi panduan gerakan sosial.Maka, secara konkret, karena adanya aspek psikologis dan kepercayaan, mala GSK dilakukan dengan menggelar
demonstrasi masa. Dalam kerumunan demonstrasi tersebut, para partisipan merupakan aktor yang memiliki ikatan psikologis dan kepercayaan yang sama. Lalu, masalah
struktural apat dilakukan dengan mengambil alih sumber daya yang dapat mengatasi masalah struktural tersebut.
3. METODE PENELITIAN
Data dalam makalah ini digali dengan menggunakan metode kualitatif.Lalu pendekatan studi kasus digunakan sebagai pendekatan utama dalam penelitian.Pendekatan
studi kasus didefinisikan sebagai penekatan untuk mempelajari fenomena empiris yang kontemporer, dalam konteks kehidupan aslinya Yin, 1984: 23.Data dalam tulisan ini
didapatkan melalui pengumpulan data primer dengan cara mewawancarai beberapa informan terkait kasus Gemulo.Sebagian besar data yang dipakai dalam tulisan ini
merupakan data sekunder yang didapatkan melalui laporan-laporan penelitian dan data laporan media daring.
4. DISKUSI DAN PEMBAHASAN Ancaman pada Sumber Daya Air di Kota Wisata
Sebagai kota yang melabeli diri sebagai kota wisata, sejak beberapa tahun terakhir pembangunan wisata di Kota Batu ini semakin gencar. Memang semenjak masa kolonial,
Batu sudah dicanangkan sebagai kota peristirahatan bagi pegawai-pegawai Belanda. Dengan ditetapkan sebagai lokasi peristirahatan, di kota ini banyak terdapat rumah villa.
Beberapa tempat wisata juga dibangun seperti kebun bunga Selecta, yang menjadi jujugan utama wisata. Seiring berjalannya waktu, hingga kini peninggalan masa kolonial masih
terlihat di beberapa sudut kota, seperti rumah-rumah villa dan hotel tua yang masih terawat. Di sisi lain, perekonomian Batu juga didukung oleh sektor pertanian holtikultura. Karena
lokasinya yang berada di pegunungan, wilayah ini menjadi penghasil berbagai macam sayuran, seperti wortel, kol, kentang, dan sayuran khas pegunungan lainnya.Sebagai mana
diketahui pula, sejak 80’an, Batu dikenal sebagai penghasil apel. Pada awal dekade 2000an, sektor pertanian mengalami kelesuan, namun di saat
yang sama sektor pariwisata lebih menggeliat. Pada tahun-tahun ini, ada beberapa objek wisata buatan didirikan seperti Jawa Timur Park, kemudian menyusul Batu Night
Spectacular BNS, Batu Secret Zoo, Eco Green Park, hingga Museum Angkut. Objek- objek wisata buatan yang baru ini kemudian mampu melengkapi objek wisatalain yang
sudah ada. Hampir semua objek wisata tersebut merupakan objek wisata massal, yang dapat membawa banyak pengunjung untuk datang.
600
Karena banyaknya objek wisata yang bersifat massal, maka banyak pula investor yang tertarik untuk membangun fasilitas penunjang wisatawan, seperti akomodasi berupa
hotel.Data menunjukkan bahwa terdapat peningkatan jumlah pembangunan hotel.Jumlah hotel pada 2013 tercatat sebanyak 476 usaha, dan pada 2014 meningkat menjadi 500 usaha.
Meningkatnya pembangunan hotel tersebut bukan tanpa alasan, karena jumlah wisatawan di Kota Batu tercatat selalu meningkat. Hal ini ditunjukkan salah satunya melalui rata-rata
lama menginap tamu pada semua jenis hotel di Kota Batu pada tahun 2014 sebesar 1,95 hari Badan Pusat Statistik Kota Batu, 2015: 209-210, dengan rincian rata-rata sebagai
berikut:
Tabel 1 Rincian Jenis Wisatawan dan dan Rata-Rata Lama Menginap Tahun 2014
Jenis Wisatawan Rata-rata lama menginap hari
Hotel berbintang Hotel non bintang
Wisatawan domestik 2,11
1,49 Wisatawan asing
2,28 1,93
Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Batu 2015: 209-210. Dengan banyaknya investor yang menamkan modal di sektor wisata, maka
memberikan pemasukan bagi pemerintah kota. Laporan tahunan Pemerintah Kota Batu menyebutkan bahwa prosentase penerimaan pajak tertinggi yang diterima oleh Pemerintah
Kota Batu pada 2014 berasal dari pajak hiburan sebesar 28, disusul pajak hotel dengan prosentase sebesar 23 Badan Pusat Statistik Kota Batu, 2015: 239. Sedangkan realisasi
pendapatan asli daerah PAD berasal dari pajak Kota Batu tahun 2014, menujukkan bahwa pajak hotel menyumbangkan sebesar Rp 14.390.391.081,- dan pajak hiburan sebesar Rp
6.019.223.859,- Badan Pusat Statistik Kota Batu, 2015: 246. Melalui data tersebut dapat dipastikan bahwa pariwisata adalah sektor yang sangat menggiurkan yang dapat
memberikan sumbangan pajak yang tinggi bagi pemerintah daerah.Tak diragukan lagi, sektor pariwisata kemudian menjadi primadona utama.
Dengan gambaran tersebut, Batu dipandang sebagai wilayah yang memiliki potensi ekonomi di bidang pariwisata.Oleh karenanya ada banyak investor yang
berkeinginan untuk menanamkan modal di sektor pariwisata.Investasi tak hanya diwujudkan dalam pembangunan objek wisata, melainkan juga fasilitas pendukung lain,
seperti sarana transportasi, agen wisata, dan tentu saja akomodasi, baik berupa restoran, villa, maupun hotel.Data statistik di atas dapat menjadi indikator pertumbuhan sektor
wisata.
Dalam kasus Kota Batu, pertumbuhan sektor pariwisata membawa perubahan pada struktur masyarakat, bahkan hingga di level keluarga.Yanti 2014 menunjukkan bahwa
dengan dibangunnya salah satu objek wisata massal, menciptakan perubahan pekerjaan dan peran dalam keluarga. Yang awalnya anggota keluarga bekerja sebagai petani, karena lahan
sudah menyempit, maka mereka harus beradaptasi, mancari pekerjaan lain yang lebih memungkinkan. Banyak di antara warga yang awalnya petani kemudian beralih pekerjaan
menjadi pedagang atau penjaga villa. Kerana pola jam kerja yang berubah, maka berubah pula perannya dalam keluarga.Di lain pihak, pembangunan sektor pariwisata justru
memunculkan masalah baru. Laporan Pratiwi dan Nurhadi 2011 misalnya, menunjukkan bahwa terdapat gejala konflik horizontal di antara warga. Penyebabnya adalah karena
terdapat alih fungsi lahan yang akan dijadikan sebagai objek wisata baru. Permasalahannya adalah lahan yang sedianya dijadikan sebagai lokasi objek wisata merupakan tanah kas
desa, yang sebelumnya selalu dimanfaatkan sebagai lahan pertanian. Di sisi lain, mayoraitas warga bekerja di sektor pertanian yang sangat mengandalkan ketersediaan
lahan. Alih fungsi lahan ini tak pelak menimbulkan gejala konflik di antara warga.
601
Selain perubahan struktur sosial dan gejala konflik horizontal, dampak pertumbuhan periwisata juga terlihat melalui kasus konflik sumber air Umbul Gemulo. Jika
sebelumnya permasalahan berasal dari alih fungsi lahan seperti pada kasus yang diangkat oleh Pratiwi dan Nurhadi 2011, maka dalam kasus ini, sumber daya yang dimaksud
adalah sumber daya air. Melalui FMPMA, warga memprotes pembangunan Hotel The Rayja karena dinilai dapat mengancam keberadaan sumber air, yang biasa dimanfaatkan
oleh warga untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, juga untuk menunjang aktivitas pertanian, dan peternakan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata,
tidak hanya mampu menyumbang PAD, melainkan juga mampu memberikan dampak sosial dan ekologis.
Lalu, jika memang pariwisata dapat membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi, dan peningkatan PAD, apakah akan membawa kesejahteraan sosial dan
keamanan ekologis? Dalam kasus yang diangkat dalam tulisan ini, ternyata gencarnya industri pariwisata tidak serta merta mampu memberikan kesejahteraan secara merata bagi
masyarakat.Masyarakat lokal menganggap pembangunan Hotel The Rayjamengancam sumber daya air yang tiap hari mereka manfaatkan. Bagi warga di Desa Punten, Sidomulyo,
dan Bulukerto, air adalah kebutuhan vital yang tak bisa dipisahkan. Merekaberanggapan bahwa jika ada bangunan fisik berupa hotel berdiri di dekat sumber air, maka krisis air
menimpa mereka.
Secara yuridis, pembangunan Hotel The Rayja menyalahi aturan.Dalam pembangunannya, Hotel The Rayja belum melengkapi dokumen Upaya Kelola
Lingkungan-Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup UKL-UPL.Lokasi pendiriannya juga melanggar Perda no 72011 tentang rencana tata ruang dan wilayah RTRW.Lokasi
pembangunan hotel menurut perda tersebut menyalahi aturan, karena merupakan kawasan konservasi lingkungan yang terlarang untuk dibangun kawasan komersial. Jarak lokasi
pembangunan dengan sumber air Gemulo melanggar PP no 382011 dan Kepres no 321990. Lokasi pembangunan harus berjarak sekurang
– kurangnya 200 meter. Namun, di lapangan menunjukkan bahwa pembangunan hotel berjarak hanya 150 meter dari sumber
air anonim, 2013. Gambaran di atas sesungguhnya menunjukkan bahwa di dalam gencarnya
pembangunan industri pariwisata, di dalamnya menyimpan potensi perebutan sumber daya. Warga yang sangat menggantungkan kehidupan pada sumber daya air Umbul Gemulo,
merasa terancam karena keberadaan pembangunan hotel. Jika memang pembangunan hotel dengan segala pelanggaran yuridisnya tetap terlaksana, maka sebenarnya yang terjadi
adalah negara memberikan ijin dalam pengambilalihan sumber daya yang selama ini dikelola secara kolektif secara turun temurun. Mengenai hal ini Shiva mengatakan bahwa:
“Air merupakan milik bersama, karena ia merupakan basis ekologis bagi kehidupan serta karena kelestarian dan alokasinya yang adil bergantung pada kerja
sama di antara para anggota masyarakat. Meskipun air telah dikelola sebagai milik bersama, sepanjang sejarah umat manusia dan di berbagai budaya yang berbeda,
dan kendati kebanyakan masyarakat mengelola sumber air sebagai milik bersama atau memiliki akses pada air sebagai barang publik yang dimiliki bersama bahkan
berlaku hingga sekarang.” Shiva, 2003: 25. Lalu melalui kasus ini, apakah pembangunan industri pariwisata Kota Batu telah
memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan?Dalam konsep sustainable development atau pembangunan berkelanjutan, seharusnya ada keseimbangan antara tiga aspek,
ekonomi, sosial, dan lingkungan.Dalam aspek ekonomi, misalnya, pembangunan harusmampu menyediakan barang dan jasa yang mampu mengurangi ketidakseimbangan
di antara sektor, atau di antara kelompok masyarakat.Sedangkan dalam aspek lingkungan
602
mensyaratkan bahwa pembangunan harus dapat menyediakan basis sumber daya yang stabil yang dapat menghindarkan dari eksploitasi sumber daya terbarukan yang
berlebihan.Sistem ini harus dapat pula menghindari menghilangnya ketersediaan sumber daya tak terbarukan.Aspek ini termasuk bagaimana mengelola keanekaragaman dan
ketersediaan sumber daya alam, dan aspek-aspek ekosistem lainnya.Yang terakhir adalah aspek sosial.Aspek ini mensyaratkan pemerataan distribusi dan kesamaan kesempatan
dalam memperoleh layanan yang menjadi hak seluruh komunitas.Hal ini termasuk kesehatan, pendidikan, hak politik, kesetaraan gender, termasuk akses sumber daya alam
yang merata untuk mayarakat setempat Harris dan Goodwin, 2001: xxix.Namun, pembangunan The Rayja nyatanya telah mengancam kehidupan warga sebagai pengelola
sekaligus pengguna sumber daya air. Industri pariwisata dalam kasus ini ternyata mengancam kondisi ekologis dan sosial
Gerakan FPMA dan Dinamikanya
Keberadaan mata air Umbul Gemulo yang terletak di Dusun Cangar, Desa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu begotu dibutuhkan oleh masyarakat sekitar. Air
dari Umbul Gemulo dimanfaatkan untuk mengairi sawah dan kebun sayur, memberi minum ternak, dan untuk memenuhi kebutuhan air bersih sehari-hari warga. Bahkan,
melalui saluran PDAM, sumber mata air Umbul Gemulo juga digunakan untuk memenuhi air bersih Kota Batu dan Kota Malang. Secara turun temurun, sumber mata air ini dijaga
oleh warga yang tinggal di Dusun Cangar tersebut. Maka tak hanya keberadaan sumber daya air, melainkan keberadaan komunitas lokal yang menjaga sumber air juga sangatlah
penting.
Sebelum kasus pembangunan The Rayja mencuat, warga Desa Bulukerto sempat melakukan penolakan atas masuknya salah satu perusahaan swasta yang akan mendirikan
perusahaan pengelolaan air minum kemasan. Adanya rencana tersebut, langsung ditolak oleh warga, karena mereka beranggapan, dengan datangnya perusahaan air minum, sama
saja menyerahkan sumber daya yang selama ini mereka rawat kepada pihak lain Briana dkk., 2014: 30. Upaya warga akhirnya mendapatkan hasilnya.Perusahaan air minum urung
mendirikan perusahaan.
Setelah penolakan atas pembangunan perusahaan air minum, lalu muncullah pembanguann hotel.Pada awalnya pembangunan Hotel The Rayja pada 2011 dapat berjalan
lancar. Namun pada akhir 2011, warga dari lima desa; Bulukerto, Punten, Pandanrejo,Bumiaji, dan Sidomulyo, Kecamatan Bumiaji melakukan protes kepada pihak
hotel. Mereka beranggapan lokasi hotel terlalu dekat dengan sumber mata air Umbul Gemulo. Karena berdekatan, hal ini dikhawatirkan akan mempengaruhi sumber air, seperti
pencemaran dan berkurangnya debet air. Protes warga dapat dipahami karena Umbul Gemulo memiliki peran langsung yang penting dalam kehidupan warga desa-desa tersebut,
sebagai sumber air di bidang pertanian, perkebunan, peternakan, dan konsumsi rumah tangga sehari-hari.Pada awal proses perencanaan pembangunan hotel, gelagat pelanggaran
yuridis telah terjadi. Dalam perencanaannya, masyarakat ternyata tak pernah dilibatkan dalam pembuatan AMDAL Briana, dkk., 2014: 2. Padahal, dalam pembuatan AMDAL,
masyarakat terdampak seharusnya diajak berpartisipasi aktif dalam merumuskannya.
Gerakan penolakan pembangunan Hotel The Rayja pada awalnya diinisiasi oleh Himpunan Penduduk Pemakai Air Minum HIPPAM dari Desa Bumiaji dan
Bulukerto.Hal ini bisa dipahami karena para pengurus HIPPAM yang dapat langsung mengetahui sumber air yang selama ini dikelolanya terancam.Dari HIPPAM tersebut, lalu
masyarakat membentuk Aliansi Masyarakat Peduli Sumber Umbul Gemulo AMPSU pada Desember 2011.Anggotanya berasal dari siapapun warga yang membutuhkan sumber
mata air tersebut Briana, dkk, 2014: 36.Lalu organisasi ini berubah bentuk menjadi Forum
603
Masyarakat Peduli Mata Air FMPMA pada awal 2012.Dalam organisasi yang berbentuk “forum” ini, tidak ada yang menjadi ketua, sekretaris, maupun bendahara, seperti organisasi
pada umumnya.Warga yang tergabung dalam FMPMA hanya mengenal koordinator dan koordinator lapangan khususnya ketika melakukan aksi demonstrasi.Keanggotaan forum
ini tidak mengikat dan informal.Mereka tidak mengetahui secara pasti berapa jumlah anggota yang tergabung dalam FMPMA. Bagi warga beberapa desa yang tertarik untuk
bergabung dipersilahkan untuk berpartisipasi, dengan tanpa paksaan Briana, dkk., 2014: 35. Lalu bagaimana forum ini mengorganisasi diri?Briana, dkk. 2014: 35 menjelaskan
sebagai berikut:
“Koordinasi dilakukan setiap seminggu sekali tiap awal bulan, yakni tiap tanggal 1 awal bulan. Rapat ini dilakukan melalui acara arisan warga, acara PKK, acara
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Desa LPMD, atau rapat RT. Penyebaran informasi dilakuka
n dengan saling mengirimkan SMS” Briana, dkk., 2014: 35. Gerakan yang diusung FMPMA ini lahir dari kesadaran para aktor atas
terancamnya kehidupan mereka.Pembangunan pariwisata yang sangat gencar, ternyata melahirkan ketidaksetaraan struktural structural inequality.Dalam aspek sosial dan
ekonomi, terdapat perasaan diskriminasi. Warga kemudian mengidentifikasi diri sebagai “korban” dari proses modernisasi, atau dalam hal ini pembangunan pariwisata. Dalam
kerangka ini, warga merupakan stakeholder yang dilupakan dalam proses politik tersebut Girling, 2004: 2. Dalam kasus yang saya angkat, structural inequality bersumber dari
terancamnya akses masyarakat setempat atas sumber daya air yang selama ini mereka kelola dan manfaatkan. Masyarakat menyadari bahwa yang menyebabkan masalah sosial
dan ekologi bersumber dari struktur dominasi, berisikan pertautan antara kebijakan pemerintah dengan kepentingan ekonomi pengusaha.Dalam fase ini, proses framing sedang
dan terus disampaikan di antara aktor, terutama mengenai masalah yang menimpa mereka.
Jika dilihat dari corak strategi, maka terdapat dinamika gerakan yang diusung FMPMA.Pada awal melancarkan gerakannya, FMPMA selalu melakukan aksi
demonstrasi.Briana, dkk.2014: 37 menjelaskan bahwa demo pertama kali diikuti oleh sekitar 1.000 orang. Setelah melakukan sosialisasi kepada warga lain, maka demonstrasi
diikuti warga dari lima desa di Kecamatan Bumiaji. Maka, masa yang mengikuti demo- demo berikutnya menjadi bertambah menjadi sekitar 4.000
–10.000 orang.Sedangkan terdapat 15-30 orang menjadi pengawas pembangunan hotel.Aksi demontrasipun
dilakukan hingga puluhan kali dengan melibatkan banyak massa. Tujuannya, jelas, untuk memprotes pembangunan sekaligus menuntut agar sumber air yang terbebas dari
pembangunan hotel.
Strategi gerakan yang tergambarkan di atas merujuk pada pola gerakan sosial klasik GSK.Sebab, basis gerakan adalah pengambilalihan materi, atau dalam hal ini
sumber mata air.Prosesnya menggunakan cara demonstrasi radikal yang merupakan ciri khas gerakan sosial klasik.Dalam corak ini, gerakan sosial klasik digambarkan melalui
kelas bawah yang melakukan gerakan dengan tujuan untuk mengambil alih materi atau sumber daya Eggert dan Guigni, 2012.Karena framing masalah berupa terancamnya
sumber daya dan tujuannya mengusir hotel The Rayja, maka sesungguhnya permasalahan ketimpangan structural menjadi kentara. Tuntutan warga menjadi jelas yaitu redistribusi
sumber daya Eggert dan Guigni, 2012: 5, karena selama ini pemanfaat dan pengelola sumber mata air adalah warga. Mereka menuntut sumber daya air dapat dikuasai dan
dikelola kembali oleh warga tanpa ada gangguan dari pihak hotel.
Meskipun gerakan FMPMA bertujuan untuk kelestarian lingkungan, namun dari corak tujuannya untuk mengambil alih sumber daya, maka gerakan FMPMA dekat dengan
pandangan Marx.Pandangan ini dinyatakan bahwa kapitalismelah yang dapat melahirkan
604
gerakan sosial akibat sistem ekonomi yang menindas kelas.Marx menujukkan bahwa ketimpangan dan property dalam masyarakat mampu melahirkan gerakan sosial.Tujuan
gerakan sosial itu menurut Marx adalah mengambil alih sumber daya Morris dan Herring, 1984: 4.
Kendati demikian, dalam perkembangannya, corak gerakan sosial yang diusung FMPMA mengalami dinamika. Dalam menuntut penghentian pembangunan The Rayja,
tidak cukup dengan melakukan demonstrasi dengan menurunkan banyak massa saja. Di tengah aktivitasnya, para aktor dalam FMPMA berjejaring dengan LSM, di antaranya
Malang Corruption Watch MCW, Walhi Wahana Lingkungan Hidup, Lembaga Bantuan Hukum, dan akademisi.
Dalam banyak kesempatan, MCW selalu mendampingi dan mengarahkan masyarakat pada setiap FMPMA. Bagi MCW sebenarnya, isu yang muncul pada kasus
sumber air Gemulo tidak hanya isu yang terkait lingkungan. Setelah ditelusuri mendalam, MCW menemukan bahwa ada indikator terjadinya korupsi pada kasus tersebut.Bermula
dari hal tersebut, MCW turut berperan aktif dalam mendampingi para aktivis FMPMA Agustin, dkk, 19-20.
Perkenalan dengan MCW kemudian, membawa jejaring pada LSM Walhi.Walhipun memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai pengelolaan
lingkungan. Dengan pengetahuan yang diberikan pengetahuan tersebut, membuat masyarakat sadar dan mengatahui dan mempertahankan sumber mata air Gemulo Agustin,
dkk, 20. Wawancara dengan beberapa kawan Walhi menujukkan bahwa masyarakat aktif dalam berbagi pengetahuan dengan Walhi, baik melalui diskusi perorangan maupun
kolektif.Pada November 2014 warga dilibatkan dalam acara Sekolah Ekonomika Demokratik yang digagas oleh Hendro Sangkoyo, seorang aktivis lingkungan, dan
difasilitasi Walhi. Dalam acara tersebut, masyarakat terlibat dalam diskusi yang menggagas bagaimana cara pengelolaan mata air dengan sumber daya lokal. Dalam acara ini, aktivis
FMPMA juga berjejaring dengan komunitas lain yang telah berhasil mempertahankan sumber mata air.
Pegiat FMPMA juga berjejaring dengan akdemisi dari beberapa universitas di Malang, seperti beberapa akademisi dari Fakultas Hukum di salah satu universitas di
Malang. Beberapa akademisi ini juga merupakan advokat yang mendampingi anggota FMPMA dalam proses persidangan secara pro bono. Sebelumnya, diskusi-diskusi informal
mengenai pendampingan hukum sering kali dilakukan di antara aktivis Walhi, MCW, warga, dan akademisi.Setelah itu, jejaring FMPMA menjadi lebih luas lagi.Tercatat,
terdapat banyak komunitas yang memberikan dukungan, terutama melalui akademisi dan LSM.
Jejaring yang digapai oleh FMPMA ini disadari sangatlah penting. Sebab, FMPMA menyadari bahwa hanya mengambil alih sumber mata air saja tidaklah cukup.
Dalam aktivitasnya, organisasi ini menghadapi banyak aspek, seperti aspek yuridis dan isu pengelolaan lingkungan berkelanjutan.Pihak yang dihadapi juga bukan hanua pihak The
Rayja saja, melainkan juga pemerintah Kota Batu, hingga akademisi kampus.Maka, perlawanan yang dilakukan oleh FMPMA juga mengalami perubahan, seperti
mengirimkan surat kepada pihak terkait, dan meminta mediasi kepada lembag-lembaga yang terkait seperti Komnas HAM. Namun demikian, pengerahan massa masih dilakukan
oleh FMPMA jika diperlukan, seperti misalnya ketika terdapat persidangan di Pengadilan Negeri Malang. Atau ketika warga melurug sebuah universitas di Kota Malang karena telah
mempublikasikan dan memberikan rekomendasi bahwa pembangunan hotel tidak berdampak apapun pada mata air Gemulo. Hasil penelitian seorang geolog yang diterbitkan
pada Mei 2012 tersebut menyatakan bahwa pembangunan hotel tidak berpengaruh pada
605
mata air Gemulo. Merasa tidak logis dan dituding hanya peneltiian pesanan, karena IMB diterbitkan pada 30 Januari 2012, akhirnya warga mendemo universitas tersebut.
Pihak pemerintah Kota Batu jelas berkepentingan dalam kasus ini, karena pihak yang memberikan ijin pembangunan.Mengenai hal ini, pada tanggal 17 Oktober 2013
Ombudsman mengeluarkan rekomendasi menyatakan bahwa kepala Kantor Perijinan Terpadu Kota Batu bersalah dan harus diberi sanksi atas tindakannya memberi ijin
pembangunan The Rayja.Sebelumnya pada 28 Agustus 2013, Kementerian Lingkungan Hidup KLH merekomendasikan untuk menghentikan pembangunan hotel sebelum
dipenuhi dokumen AMDAL, karena pembangunan The Rayja mengancam keberadaan sumber mata air.Namun, rekomendasi tersebut hingga sekarang tidak dijalankan oleh
Pemerintah Kota Batu Anonim, 2014.
Maka, dengan dinamika tersebut, corak gerakan yang diusung FMPMA yang awalnya klasik bercampur dengan Gerakan Sosial Baru GSB. Beberapa ciri GSB antara
lain diungkapkan oleh Singh dalam Haryanto, dkk., 2013, yaitu, Pertama, gerakan ini menaruh konsepsi ideologis pada asumsi bahwa masyarakat terancam. Ruang sosialnya
terancamkarena kontrol negara yang berlebihan.Sebaliknya kapitalisme juga dapat masuk ke ruang-ruang sosial warga.Dalam kasus The Rayja, ruang sosial berupa akses atas sumber
daya terancam karena efek pasar.Campur tangan negarapun minim, sehingga membebaskan kapitalisme menerobos struktur sosial, yang pada gilirannya mengancam
pula pengelolaan sumber daya air yang telah turun-temurun dilakukan.
Kedua, perjuangan seperti gerakan lingkungan bukanlah masalah kelas sosial semata.Permasalahan yang diangkat oleh GSB ini lintas kelas.Hal ini dapat dilihat melalui
aktor yang terlibat dalam aktivitas FMPMA.Warga yang terlibat bukan lagi dengan identitas tertentu.Mereka secara suka rela melibatkan diri karena merasa berkepentingan
dengan air.Demikian pula dengan jejaring yang dijalin oleh FMPMA, menunjukkan bahwa hubungan antar kelas, menjadi cair. Organisasi LSM, atau akademisi dapat melebur dengan
warga.
Ketiga, corak gerakan ini melibatkan politik akar rumput yang kemudian melahirkan gerakan yang sekupnya mikro.GSB tidak bermaksud menargetkan pada
perekonomian makro seperti perekonomian negara, melainkan kritik pada praktik sehari- hari, juga pada demoralisasi struktur.Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, gagasan
FMPMA tidak bertujuan untuk merombak sistem ekonomi pariwisata secara keseluruhan yang menjadi motor Pemerintah Kota Batu secara keseluruhan.Mereka hanya menuntut
agarpembangunan hotel di dekat mata air yang selama ini menghidupi mereka dihentikan.
Keempat, GSB memiliki wilayah aksi, strategi, dan cara mobilisasi luas.Gerakan ini memiliki ciri global dan tidak tersekat karena masalah batas negara, maupun kelas
sosial.Dari gambaran sebelumnya mencerminkan bahwa jejaring yang luas membuat FMPMA menjadi dikenal. Pun demikian kerjasama dengan kalangan media, membuat
FMPMA menyuarakan aspirasinya.
Pertemuan-pertemuan antara warga yang tergabung dengan FMPMA, telah membentu kaum intelektual, dalam versi Gramsci.Intelektual menurut Gramsci, tidak harus
akademisi kampus, melainkan orang atau kelompok orang yang memiliki kapasitas organisator. Fungsi intelektualnya antara lain untuk memperkuat kepentingan kelompok
yang diperjuangkannya Gramsci, 2013: 8. Pertemuan antara anggota FMPMA dengan berbagai jejaring, melahirkan pengetahuan yang dapat menunjang grakan kelompok.Hal
inipun kemudian mempengaruhi corak gerakan, antara lain FMPMA tidak hanya mengandalkan demontrasi masa, melainkan merambah pada isu yuridis, bahkan akademis.
606
5. KESIMPULAN